Hadits 7
Malu Adalah Warisan Para Nabi
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshary Al-Badry radhiallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.”([1])
Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ (Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’) tidak hanya datang dalam ajaran Nabi Muhammad saja tetapi sudah ada sejak nabi-nabi terdahulu. Nasihat ini telah disampaikan oleh para Nabi kepada umatnya sejak dahulu kala dan diwariskan turun-temurun hingga Nabi Muhammad ﷺ. Sekaligus menunjukkan bahwa para Nabi sangat Perhatian dengan perangai malu ini.
Para ulama menafsirkan makna perkataan dalam hadits ini dengan dua jenis penafsiran,
Pertama, bermakna ancaman. Sehingga maknanya adalah jika engkau tidak punya rasa malu maka lakukan saja sesukamu, dan Allah akan membalasmu. Uslub (metode) seperti ini sering dijumpai dalam Al Quran seperti firman Allah,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ
“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki.” (QS. Fushshilat: 40)
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُم مِّن دُونِهِ
“Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia.” (QS. Az-Zumar: 15)
Bukan berarti semua firman Allah ﷻ ini adalah bentuk pembolehan, akan tetapi merupakan ancaman, artinya jika engkau benar-benar melakukannya maka Allah ﷻ akan menjerumuskanmu ke dalam neraka.
Kedua, bermakna pembolehan. Sehingga maknanya adalah jika engkau ingin melakukan sesuatu di mana itu bukan perkara yang harus dimalukan maka lakukan saja. Sebagai contoh, olahraga dengan cara jalan kaki mengelilingi komplek tanpa memakai alas kaki, jika hal itu bukanlah sesuatu yang pantas dimalukan karena masyarakat memandang hal itu sebagai sesuatu yang biasa maka lakukan saja dan tidak perlu malu.
Dari sini kita juga bisa memahami bahwa banyak hal yang mungkin secara syariat hukumnya boleh tetapi jika hal tersebut bisa merusak muruah (harga diri/sopan santun) seseorang dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat maka hal tersebut sebaiknya ditinggalkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata,
أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ مُرَاعَاةُ النَّاسِ وَأَنْ لَا يَفْعَلَ مَا يُسْتَحْيَا مِنْهُ بَيْنَهُمْ
“Hendaknya seseorang melihat bagaimana penilaian masyarakat dan tidak melakukan sesuatu yang dianggap memalukan di tengah mereka.”([2])
Seseorang apabila ingin melakukan sesuatu jangan masa bodoh dengan penilaian masyarakat. Adab-adab yang berkaitan dengan tradisi masyarakat, selama tidak melanggar syariat, maka kita berusaha berjalan dengan tradisi tersebut. Namun ada kalanya sesuatu itu tidak terlarang menurut syariat tetapi bagi masyarakat itu adalah aib maka sebaiknya ditinggalkan.
Suatu hal yang sangat disayangkan betapa banyak orang di zaman sekarang ini yang kehilangan rasa malunya disebabkan kemaksiatan yang berulang kali dia lakukan sehingga mengantarkannya pada kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, mengantarkannya kepada suatu perbuatan yang memalukan di tengah masyarakat. Imam Ibnu Al-Qayyim mengatakan,
مِنْ عُقُوْبَاتِ الْمَعَاصِي ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِى هُوَ مَادَّةُ الْحَيَاةِ لِلْقَلْبِ، وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ، وَذِهُابُه ذِهًابُ كُلِّ خَيْرٍ بِأَجْمَعِهِ
“Di antara hukuman Allah ﷻ akibat suka bermaksiat adalah hilangnya rasa malu yang merupakan sumber kehidupan bagi hati. Dan malu adalah pokok segala kebaikan, jika malu itu hilang sama saja seluruh kebaikan itu hilang.”([3])
Termasuk di dalamnya adalah suka melihat kemaksiatan, menyaksikan kebiasaan orang kafir yang membuka aurat, melakukan kemaksiatan. Maka hal ini akan membuatnya berkurang rasa malunya. Oleh karena itu, rasa malu di dalam diri itu perlu dipupuk yang mana merupakan salah satu akhlak mulia seorang muslim.
Footnote:
_________
([2]) Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 6/430.
[3] Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, hal 168