Hadits 23
Larangan Mencela, Melaknat, dan Berkata Kasar serta Kotor
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الفَاحِشِ وَلَا البَذِيءِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah seorang mukmin, orang yang suka mencela, orang yang suka melaknat dan orang yang suka berkata-kata kasar dan juga kotor.” ([1])
Status Hadits
As-Shan’ani mengatakan bahwa hadits ini dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi dan di sahihkan oleh Al Hakim. Sedangkan Imam Ad-Daruquthni merajihkan hadits ini sebagai hadits yang mauquf.([2])
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya. Hanya saja ada tambahan keterangan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut bukanlah merupakan ciri seorang mukmin.
Kemudian hadits ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan hadits ini marfu’ yaitu diriwayatkan sampai kepada Nabi ﷺ dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hadits ini mauquf yaitu diriwayatkan dari sahabat sehingga hadits ini merupakan perkataan Ibnu Mas’ud dan bukan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, apapun kondisi hadits ini apakah sampai pada derajat marfu’ atau sekedar mauquf, maknanya tetap benar. Bahwasanya seorang mukmin tidak boleh membiasakan dirinya untuk mencela orang lain tetapi hendaknya dia membiasakan dirinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS Al-Baqarah: 83)
Adapun seseorang yang membiasakan dirinya untuk melaknat orang lain, mencelanya, mencari-cari aibnya, menjatuhkan harga dirinya, berkata-kata kotor dan kasar kepadanya, ini menunjukkan bahwasanya dia bukan mukmin yang sejati, imannya tidak sempurna. Karena Rasulullah ﷺ berkataلَيْسَ الْمُؤْمِنُ (bukanlah mukmin yang sempurna) menunjukkan bahwasanya imannya rendah. Hal ini disebabkan karena imannya tidak bisa mencegahnya dari berkata-kata kotor dan kasar.
Makna Hadits
الطَّعَّانِ adalah suka mencari-cari kesalahan orang dan mencelanya sedangkanاللَّعَّانِ adalah suka melaknat dan tidak bisa menjaga lisannya. Laknat adalah berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari rahmat-Nya([3]). Adapunالفَاحِشِ dan البَذِيءِ telah lewat penjelasannya pada pembahasan hadits sebelumnya.
Hendaknya setiap muslim membiasakan dirinya untuk berkata-kata yang baik karena lisan sangatlah berbahaya. Bukankah dalam hadits yang mashyur dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ berkata kepada Mu’adz bin Jabal,
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
“Tahanlah lisanmu.” Sehingga aku (Mu’adz bin Jabal) bertanya, Ya Rasulullah, apakah kita akan disiksa oleh Allah karena ucapan kita? Rasulullah ﷺ berkata, “Wahai Mu’adz, tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan-lisan mereka?” ([4])
Lisan ini berbahaya maka jangan dibiasakan lisan tersebut berkata-kata kotor. Seorang bijak pernah berkata,
عَوِّدْ لِسَانَكَ قَوْلَ الْخَيْرِ تَحْظَ بِهِ، إِنَّ اللسانَ لِمَا عَوَّدْتَ مُعْتَادُ
“Biasakanlah lisanmu untuk mengucapkan kata-kata yang baik, maka engkau akan meraih hal tersebut (artinya engkau akan terbiasa mengucapkan kata-kata yang baik-red), karena lisan itu tergantung apa yang engkau biasakan.” ([5])
Apabila seorang membiasakan lisannya untuk berkata-kata baik, maka dia akan terbiasa mengucapkan kata-kata yang baik. Jika seseorang biasa menahan dirinya untuk tidak mencela orang lain maka lisannya akan terbiasa dengan hal tersebut. Tetapi jika dia biarkan lisannya, terbiasa mencela, terbiasa merendahkan, terbiasa berkata kotor, maka lisannya akan terus terbiasa melakukan hal-hal tersebut. Sebagian penyair pernah berkata,
احفَظْ لِسانَكَ أَيُّهَا الإِنْسانُ لا يَلْدَغَنَّكَ إِنَّهُ ثُعْبانُ
كَمْ في المقابِرِ مِنْ قَتيلِ لِسانِهِ كانَتْ تخافُ لِقَاءَهُ الشُّجعانُ
“Jagalah lisanmu wahai manusia jangan sampai engkau tersengat oleh lisanmu karena lisanmu adalah ular.
Betapa banyak orang di kuburan menjadi korban dari lisannya padahal sewaktu dia masih hidup dahulu dia ditakuti oleh orang-orang pemberani.” ([6])
Maksudnya adalah ada orang hebat di dunia yang ditakuti oleh orang-orang. Ternyata ketika dia telah memasuki kuburan akhirnya dia menjadi korban dari lisannya sendiri. Karena dia disiksa oleh Allāh ﷻ sehingga dia menjadi korban lisannya sendiri. Hal ini disebabkan karena dahulu di dunia dia suka mencela, suka memaki, suka melaknat, dan lainnya.
Demikian juga kenyataannya sebagian penyair yang suka menyerang dengan celaan-celaan melaui syaír-syaír mereka akhirnya juga meninggal akibat syaír-syaírnya sendiri. Sampai ada sebuah buku berjudul شُعَرَاءُ قَتَلَهُمْ شِعْرُهُمْ “Para penyaír yang dibunuh oleh syaír mereka sendiri” ([7])
Oleh karena itu, setiap orang harus berusaha untuk menjaga lisannya. Jangan sampai dia menjadi seorang yang suka melaknat, mencela dan merendahkan orang lain, berkata-kata kotor dan kasar. Karena ini semua dibenci oleh Allah ﷻ dan bukanlah merupakan ciri seorang mukmin yang baik.
Footnote:
____________
([1]) HR At-Tirmizi no. 1977 dan Al-Hakim no. 29 disahihkan oleh Al-Albani
([2]) Fathul Ghoffaar Al-Jaami’ Li Ahkaami sunnati Nabiyyinaa Al-Mukhtaar No. 6071
([3]) Lihat: Daliil Al-Faalihiin Lithuruqi Riyaadhis Shaalihiin 8/396
([4]) HR Tirmizi no. 2616 beliau mengatakan hadits ini hasan sahih
([5]) Majma al-hikam wa Al-Amtsal 9/225
([6]) Nazmu Ad-Duror Fii Tanaasub Al-Aayaat Wa As-Suwar 21/59
([7]) Sebuah buku karya Samir Mushthofa Farrooj, dimana disebutkan dalam kitab tersebut sekitar 15 penyair yang terbunuh akibat syaír mereka sendiri. Yaitu syaír-syaír mereka membuat marah sebagian orang yang akhirnya karena kemarahan tersebut merekapun membunuh para penyair tersebut.