Hadis 19
Pelit dan Akhlak Buruk
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَصْلَتَانِ لَا تَجْتَمِعَانِ فِي مُؤْمِنٍ البُخْلُ وَسُوءُ الخُلُقِ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Dua perangai yang tidak akan terkumpulkan pada seorang mukmin, sifat pelit dan akhlak yang buruk.” ([1])
Status Hadis
Ungkapan para ahli hadis mengenai hadis lemah ada bermacam-macam, ada hadis dha’if (hadis yang lemah), dan yang paling ringan adalah wa fii sanadihi dha’fun (pada sanadnya ada kelemahan) sebagaimana hadis ini. Ini adalah isyarat bahwa kelemahannya ringan.
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad dan juga Imam Tirmidzi. Dalam sanadnya terdapat seorang perawi bernama Shadaqah bin Musa yang merupakan seorang rawi yang dhaif. Shadaqah bin Musa apabila dia bersendirian (tidak ada yang menyertainya) dalam periwayatan maka hadisnya menjadi lemah.
Hadis ini secara sanad lemah, tetapi dari sisi makna benar. Didukung oleh hadis yang lain seperti sabda Rasululllah ﷺ,
وَلَا يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul rasa pelit dan keimanan dalam hati seorang mukmin.” ([2])
Iman dan pelit adalah dua perkara yang kontradiktif (saling bertolak belakang). Jika ada orang yang pelit, menunjukkan imannya patut dipertanyakan. Karena orang yang pelit menunjukkan bahwasanya dia berburuk sangka dan tidak punya kepercayaan kepada Allah.
Makna Hadis
Rasulullah ﷺ menyebutkan dua perangai yang tidak mungkin ada pada seorang mukmin bersama dengan imannya yaitu pelit dan akhlak yang buruk. Peniadaan iman yang disebutkan oleh Rasulullah di sini mengandung tiga kemungkinan yaitu nafyu al-wujud (meniadakan wujud keimanan), nafyu ash-shihhah (meniadakan keabsahan iman), dan nafyu al-kamal (meniadakan kesempurnaan iman). Jika terdapat nas yang mengandung peniadaan maka dimaknai pertama kali dengan nafyu al-wujud. Jika tidak memungkinkan maka kemudian dimaknai dengan nafyu ash-shihhah, kemudian apabila masih tidak memungkinkan barulah dimaknai dengan nafyu al-kamal.
Seperti hadis ini, apabila dibawa ke makna nafyu al-wujud maka hal ini akan kontradiksi dengan realita karena banyak dijumpai seorang mukmin yang pelit dan berakhlak buruk namun masih memiliki keimanan. Kemudian apabila dibawa ke makna nafyu ash-shihhah maka hal ini juga kontradiksi karena dijumpai mukmin yang imannya sah meskipun dia pelit dan berakhlak buruk. Sehingga peniadaan yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah nafyu al-kamal, yaitu tidak sempurna iman seseorang jika di dalam dirinya masih ada sikap pelit dan juga akhlak yang buruk.
Buruknya Sifat Pelit
Pelit itu sendiri merupakan bagian dari akhlak buruk. Namun karena saking bahayanya, pelit disebutkan di awal secara sendiri, padahal pelit merupakan bagian dari akhlak buruk itu sendiri. Hal ini ditegaskan pula dalam banyak ayat di dalam Al-Quran yang menjelaskan buruknya sifat pelit ini. Contohnya seperti dalam firman Allah ﷻ,
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tidak mengajak orang untuk memberi makan kepada orang miskin.” (QS Al Mā’ūn: 3)
Dia tidak mengajak orang untuk bersedekah kepada fakir miskin karena dia sendiri tidak suka bersedekah. Demikian pula di antara sifat penghuni neraka adalah tidak memberi makan fakir miskin. Allah ﷻ berfirman,
وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
“Kami dahulu tidak memberi makanan kepada fakir miskin.” (QS Al Muddatstsir: 44)Allah ﷻ juga mengatakan,
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى .
“Adapun orang yang bakhil (pelit) dan merasa dirinya cukup, dan mendustakan pahala yang terbaik (hari akhirat).” (QS Al Lail: 8-9)Allah ﷻ juga berfirman dalam ayat yang lain,
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
“Yaitu orang-orang yang bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil seperti mereka.” (QS An Nisā’: 37)
Seperti itulah sebagian gambaran keadaan yang sangat mengherankan dari orang yang bakhil. Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya yang berjudul Fathul Qadir menjelaskan bagaimana buruknya orang-orang seperti ini, selain mereka pelit dan tidak mau mengeluarkan hartanya, anehnya mereka ingin agar orang lain juga pelit seperti dirinya. Seakan-akan mereka merasa tidak tenang jika melihat ada orang lain yang rajin bersedekah. Mereka ingin agar orang-orang memiliki sifat tercela seperti dirinya. Jika semua orang bakhil maka mereka merasa tidak tercela. Tetapi jika yang pelit hanya dirinya sementara orang lain tidak, mereka akan merasa rendah. Ini menunjukkan buruknya tabiat orang bakhil, tidak tenang melihat orang lain bersedekah. Padahal, kalaupun ada orang lain yang bersedekah, hal tersebut bukanlah urusan dia.[3]
Sebelum ini kami telah menyebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang tercelanya sifat pelit. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ berdoa agar terjauhkan dari sifat pelit, seperti doa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ والْبُخْلِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari sifat penakut dan juga sifat pelit.” ([4])
Konsekuensi dari pelit itu banyak. Selain pelit merupakan akhlak buruk, pelit juga akan melahirkan sikap buruk sangka kepada Allah. Dia menyangka kalau harta tersebut apabila dia keluarkan maka hartanya akan berkurang dan tidak akan diganti oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ ketika menyerukan hal-hal yang berkaitan dengan berbuat baik kepada orang lain, beliau mengaitkannya dengan iman kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah ﷺ,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” ([5])
Memuliakan tamu membutuhkan biaya, menjamu dan menyajikan makanan yang enak kepadanya. Adapun orang pelit, hanya akan menjamu tamu ala kadarnya, dia enggan menyajikan sajian yang memuaskan untuk tamunya. Oleh karena itu, tidaklah seorang itu pelit, kecuali disertai buruk sangka kepada Allah ﷻ. Padahal Rasulullah ﷺ juga mengatakan,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” ([6])
Hanya orang yang imannya kuat yang meyakini hal ini. Sehingga dia bisa melawan rasa pelitnya, mengeluarkan harta di jalan Allah ﷻ dengan mudah. Karena dia yakin hartanya tidak akan berkurang, justru akan digantikan dan dilipatgandakan oleh Allah ﷻ.
Bentuk-Bentuk Pelit
Sifat bukhl (sifat pelit) ada beberapa bentuk. Di antara bentuk yang paling tampak adalah pelit terhadap harta dengan tidak mau mengeluarkan uangnya, tidak mau bersedekah, atau tidak mau membantu orang lain. Namun pelit terjadi bukan pada harta saja, bisa juga terjadi pada kedudukan. Dengan kedudukannya dia bisa memberi syafaat dan membantu orang lain, tetapi dia tidak mau dan merasa repot.
Ada juga orang yang pelit dengan waktunya. Dia mungkin tidak punya uang untuk membantu orang lain tetapi sebenarnya dia bisa membantu dengan waktu, menyisihkan waktunya untuk membantu orang lain, namun dia enggan. Begitu pula pelit dengan tenaga, dia tidak ingin membantu orang lain dengan tenaga yang dimilikinya.
Di antara bentuk pelit yang sangat buruk adalah pelit dengan ilmu. Sebagian orang yang mempunyai ilmu dia malah sengaja menyembunyikan ilmunya, tidak mau menyampaikannya kepada orang lain, seakan-akan harus dia sendiri yang tahu ilmu tersebut. Ini indikasi bahwasanya orang ini adalah orang yang ria, ingin tampil beda, ingin disanjung, sehingga ilmunya tidak disebarkan kepada orang lain.
Apabila seseorang mempunyai ilmu maka hendaknya tidak pelit dengan ilmunya tersebut. Oleh karena itu, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ itu جَوَادٌ (sangat dermawan). Dalam segala hal beliau dermawan, termasuk di antaranya dermawan dengan ilmu. Jika ada orang yang bertanya kepada ﷺ, maka Rasulullah akan menjelaskannya. Jika ada yang harus diberitahukan kepada umatnya, maka Rasulullah ﷺ akan menyampaikannya.
Demikianlah keadaan para ulama, mereka sangat dermawan dengan ilmunya. Bahkan, suatu ketika Syekh Bin Baz hafizhahullahu Ta’ala pada saat musim haji, beliau menjawab pertanyaan yang begitu banyak yang masuk melalui telepon. Beliau tidak pelit dengan ilmunya. Orang-orang merasa butuh bertanya kepada beliau, maka beliau akan menjawab pertanyaan mereka. Sampai-sampai seorang syekh menceritakan bahwa betapa sedihnya beliau ketika melihat kondisi Syekh Bin Baz waktunya habis dan suaranya menjadi serak karena menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada beliau.
Sesungguhnya orang yang pelit dengan ilmunya lebih tercela daripada orang yang pelit dengan hartanya. Orang yang pelit dengan ilmunya selain terindikasi riya’, juga kita mengetahui bahwasanya orang yang membagikan ilmunya, niscaya ilmunya tidak akan habis bahkan bertambah dan semakin kokoh. Seseorang kalau punya ilmu kemudian disampaikan kepada orang lain maka ilmunya tidak akan habis. Bahkan semakin kokoh dan semakin bertahan dalam ingatannya. Berbeda dengan harta yang secara lahirnya berkurang apabila diinfakkan. Namun orang yang pelit terhadap ilmunya seakan tidak ingin mendapatkan keutamaan-keutamaan tersebut.
Tidak Menunaikan Nafkah Adalah Bentuk Pelit
Banyak definisi yang disebutkan oleh para ulama tentang pelit, namun mereka bersepakat pada satu poin yaitu salah satu bentuk pelit adalah tidak menunaikan nafkah([7]). Seharusnya dia memberikan nafkah yang layak kepada anak dan istrinya tetapi dia hanya menafkahkan sedikit saja padahal dia mampu untuk memberikan kelapangan kepada mereka. Allah ﷻ berfirman,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ الله
“Hendaknya seorang yang diberi kelapangan dia berinfak dengan kelapangannya, adapun jika seorang ternyata disempitkan rezekinya maka dia berinfak sesuai kemampuannya.” (QS Ath Thalāq: 7)
Namun bukan berarti jika seseorang itu mampu dan memiliki kelapangan harta dia kemudian menghamburkan-hamburkan uangnya seenaknya sampai pada tingkatan mubazir, tentu hal seperti ini tidak boleh. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Janganlah kalian berbuat tabdzir. Sesungguhnya orang yang melakukan tabdzir (mubazir) itu teman-temannya setan.” (QS. Al-Isra: 26-27)
Sesungguhnya setan ingin agar kita menghamburkan uang tidak pada tempatnya. Allah ﷻ memuji para hamba-Nya yang Dia sebut mereka sebagai ‘Ibadurrahman sebagaimana tersurat pada surat Al-Furqan. Allah ﷻ mengatakan di antara ciri mereka,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Yaitu orang-orang yang takkala mereka berinfak mereka tidak mubazir (tidak berlebih-lebihkan, tidak israf) namun juga tidak pelit, tapi mereka di antara keduanya.” (QS. Al-Furqan : 67)
Oleh karena itu, hendaknya setiap orang berusaha menghindarkan dirinya dari sifat pelit dan jangan sampai terjerumus dalam sikap mubazir.
Perangai Akhlak Buruk
Kemudian Rasulullah ﷺ menyebutkan perangai yang kedua yaitu akhlak yang buruk. Akhlak yang buruk itu umum. Segala perkara yang merupakan perangai buruk, hendaknya seorang muslim menjauhkan diri darinya terutama yang berkaitan dengan muamalah terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman kepada Rasulullah ﷺ,
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Seandainya Engkau Muhammad adalah seorang yang kasar (perkataannya keras dan kasar) dan hatinya keras, maka orang-orang akan berpaling menjauh darimu.” (QS. Ali Imrān: 159)
Padahal orang-orang di sini adalah para sahabat Beliau, Andai Rasulullah ﷺ bersikap keras dan bermulut kasar niscaya para sahabat akan lari dari Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan bahwasanya di zaman sekarang ini kita sangat perlu untuk bersikap lemah lembut. Apalagi, orang-orang yang kita hadapi bukanlah orang-orang yang setara dengan para sahabat. Terutama para dai serta para ikhwan dan akhwat yang menyeru kepada sunah, hendaknya mereka beberharapias dengan akhlak yang mulia.
Di antaranya akhlak yang mulia akan sangat tampak pada lisan. Hendaknya seseorang berusaha berkata-kata lembut, tidak mudah menyakiti hati orang lain, dan juga berusaha untuk berakhlak mulia dalam segala hal. Dan hendaknya patut diketahui bahwasanya akhlak mulia bisa diusahakan. Akhlak yang buruk bisa ditinggalkan dan akhlak yang baik bisa diusahakan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ.
“Barang siapa yang berusaha untuk sabar maka Allah akan menjadikan dia penyabar.” ([8])
Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam hadis yang lain,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperindah akhlaknya.” ([9])
Dua hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang indah bisa diusahakan. Jika seseorang tahu bahwa dirinya pemarah maka dia lawan akhlak buruk tersebut. Jika seseorang tahu mulutnya suka ceplas-ceplos dan suka menyakiti orang lain maka dia lawan akhlak tersebut. Jika seseorang tahu dia pelit, maka dia lawan akhlak tersebut. Dan hendaknya senantiasa berdoa agar Allah menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.
Footnote:
__________
([1]) HR. Tirmizi no. 1962 pada sanadnya ada kelemahan
[3] Fath Al-Qadir, 3/785.