Hadits 20
Membalas Celaan Dengan yang Setimpal
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Dua orang yang saling mencaci maki, maka apa yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang memulai memaki, selama yang dimaki (dizalimi) tidak melampaui batas.”([1])
Makna Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwasanya jika ada orang yang mencaci kita, kemudian kita membalas caciannya dengan yang semisal maka kita tidak berdosa. Adapun dosa balasan cacian kita akan kembali kepadanya karena dia yang memulai dan yang menyebabkan kita membalas, dengan syarat kita tidak melampaui batas yaitu melebihi kadar celaannya.
Mencaci-maki adalah akhlak yang sangat buruk. Nabi ﷺ mengatakan,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ.
“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”([2])
Yang dimaksud dengan cacian adalah perkataan yang buruk atau keji, yang kita lemparkan kepada saudara kita sesama muslim. Dan terkadang cacian tersebut bisa menjerumuskan kepada perbuatan yang lebih parah yaitu terjadinya perkelahian bahkan bisa sampai pada pertumpahan darah. Semuanya berawal hanya dari caci-maki di antara sesama muslim.
Pada hadits ini Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa apabila terdapat dua orang yang saling mencaci-maki, maka perkataan-perkataan keji yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang pertama kali memaki, selama yang dimaki tersebut tidak melampaui batas.
Sebagai contoh, si A mencaci si B dengan perkataan “kamu bodoh wahai B”. Kemudian si B membalasnya dengan cacian yang serupa, “kamu juga bodoh wahai A”. Lalu si A kembali menambah caciannya, “istrimu bodoh wahai B”. Si B kembali membalasnya, “istrimu juga bodoh wahai A”. Maka semua dosa cacian ini kembali kepada A karena dialah yang telah memulai melemparkan kata-kata keji tersebut, sehingga ia mendapatkan dosa sebab. Hal ini semisal dengan hadits bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :
“مِن الكَبَائِرِ: شتم الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ” قِيْلَ: وَهَلْ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: “نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ الرجل أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ.”
“Di antara dosa besar adalah seorang lelaki memaki kedua orang tuanya.” Maka ditanyakan kepada Nabi ﷺ , “Apakah ada seorang mencaci maki kedua orang tuanya?” Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Ya ada, seseorang mencaci ayah orang lain, maka orang lain tersebut kembali mencaci ayahnya. Dan (demikian juga) ia mencaci maki ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencaci ibunya pula.”([3])
Karena ia yang menyebabkan saudaranya mencela kedua orang tuanya maka perbuatannya disandarkan kepadanya karena ia merupakan sebabnya([4]).
Namun apabila si A menambah kembali caciannya, “bapakmu bodoh wahai B”. Si B tidak tahan dan membalasnya, “bapakmu dan ibumu juga bodoh A”. Pada kondisi ini dosa semua cacian yang terlontar dari mulut A dan B tidak kembali kepada A sebagai pihak yang paling pertama memulai cacian, karena si B sebagai pihak yang dizalimi (pada awalnya) telah melampaui batas melebihi dari apa yang dilontarkan oleh A.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah si B juga menanggung dosa atau tidak. Akan tetapi pendapat yang terkuat sebagaimana yang dirajihkan oleh sebagian ulama adalah pihak yang dizalimi mendapatkan dosa sebagaimana kadar dia melampaui batas. Sehingga pada contoh tadi B juga mendapatkan dosa untuk caciannya kepada A pada perkataan, “ibumu juga bodoh A” sedangkan semua dosa cacian selain itu kembali kepada A sebagai pihak yang memulai pertama kali([5]).
Memaafkan Lebih Baik daripada Membalas
Meskipun Allah membolehkan seseorang untuk membalas cacian yang dilontarkan kepadanya dengan yang semisal dengan syarat bukan dia yang memulai, namun seorang muslim berusaha meninggalkan hal ini. Karena Allah memberikan pilihan yang lebih baik dari membalas keburukannya. Apabila ada orang yang mencaci-maki maka kita tidak perlu membalas, bahkan berusaha memaafkannya. Allah ﷻ berfirman,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Jika kalian membalas, maka balaslah yang setimpal, akan tetapi bila kalian bersabar maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (QS. An-Nahl: 126)
Jika kita membalas orang yang menzalimi kita, maka kita tidak akan berdosa tetapi kita juga tidak akan mendapatkan pahala. Namun seseorang yang menginginkan pahala, maka dia tidak akan membalas akan tetapi berusaha bersabar. Allahﷻ berfirman dalam ayat yang lain,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)
Allah ﷻ juga berfirman,
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ
“Maafkan dan ampuni lapangkan dada, apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nur: 22)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ juga berfirman,
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ والله يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah memuji orang-orang yang memaafkan orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Ali-‘Imran: 134)
Hendaknya seorang muslim itu menjauhkan lisannya dari mencaci-maki dan memilih kata-kata yang baik. Seorang muslim juga hendaknya berakhlak mulia dan menjauhkan dirinya dari kata-kata yang buruk. Apabila dia bertemu dengan orang yang memiliki kata-kata yang buruk hendaknya tidak meladeninya dan berusaha menjauh darinya karena bergaul dengannya akan mempengaruhinya. Semoga Allahﷻ menghiasi lisan-lisan kita dengan kata-kata yang indah terhadap sesama muslim dan menjauhkan kita dari kata-kata yang buruk.
Footnote:
________
([2]) HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64.
([3]) HR. Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90
([4]) Lihat Fathu Dzil Jalaal wal Ikroom bi Syarh Buluugh al-Maroom, al-Útsaimin 15/302
([5]) Lihat MInhatul Álaam fi Syarh Buluugh al-Maroom, al-Fauzan 10/260