Hadis 16
Hasad dan Merendahkan Sesama Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, “Janganlah kalian saling hasad. Janganlah kalian saling melakukan ‘najasy’. Janganlah kalian saling membenci. Janganlah kalian saling ‘membelakangi’. Janganlah sebagian kalian ‘menjual di atas penjualan yang lainnya’. Jadilah kalian, Wahai Hamba-hamba Allah, bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak menzhaliminya, tidak meninggalkannya tatkala membutuhkan pertolongannya dan tidak pula meremehkannya. Takwa itu tempatnya disini (Rasulullāh ﷺ menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seseorang dianggap jelek ketika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya (tidak boleh dibunuh tanpa hak), haram hartanya (tidak boleh dirampas) dan haram kehormatannya (tidak boleh dijatuhkan).” ([1])
Urgensi Persatuan
Rasulullah ﷺ mengisyaratkan tentang pentingnya persatuan melalui kalimat وَ كُونُوا عِبَادَ اللَّهِ أِخْوَانًا “Jadilah kalian, Wahai Hamba-hamba Allah, saling bersaudara.” Jika semua larangan-larangan berupa saling hasad, saling dengki, dan saling benci tidak dilanggar, maka kita akan menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Ketauhilah bahwasanya di antara kaidah dan prinsip dalam Islam adalah persatuan. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat 10)
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa persatuan merupakan prinsip yang paling utama setelah tauhid. Jika seseorang itu telah menegakkan tauhid, tetapi tidak tegak di atas persatuan maka hancurlah Islam ini([2]). Ditambah setan selalu berusaha memecah-belah kaum muslimin. Allah ﷻ berfirman,
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, agar berucap dengan perkataan yang terbaik karena setan mengadu domba di antara mereka, menimbulkan permusuhan di antara mereka, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata buat manusia.” (QS Al-Isrā’: 53)
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan sudah putus asa untuk bisa disembah oleh orang-orang yang salat di Jazirah Arab, akan tetapi setan tidak putus asa untuk mengadu domba di antara mereka.” ([3])
Hadis ini menunjukkan bahwasanya misi utama setan adalah bagaimana agar manusia berbuat syirik. Namun ketika setan tidak mampu menjerumuskan orang-orang dalam kesyirikan, dia akan beralih ke misi penting berikutnya yaitu bagaimana menghancurkan persatuan umat Islam. Apabila orang-orang yang bertauhid tidak bersatu tetapi bercerai-berai, maka dakwah Islam akan tersendat dan Islam sulit tegak. Celah inilah yang akan dimanfaatkan oleh setan. Oleh karena itu, yang pertama kali diserang oleh setan adalah ajaran tauhid. Jika mereka merasa tidak mampu, setan tidak akan pernah putus asa untuk mengadu domba kaum muslimin. Dari sinilah segala perkara yang bisa mewujudkan persatuan dan mengokohkan persatuan itu disyariatkan dalam Islam. Dari perkara yang besar sampai pada perkara kecil yang mungkin diremehkan.
Beberapa Amalan yang Dianggap Remeh Tetapi Dapat Menumbuhkan dan Memperkuat Persatuan
- Wajah yang berseri-seri ketika bertemu
Rasulullah ﷺbersabda,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apa pun, meskipun hanya sekedar dengan wajah yang berseri-seri ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” ([4])
Wajah berseri-seri ketika bertemu dengan orang lain sepertinya merupakan hal yang sepele. Namun sebenarnya hal ini memunculkan kasih sayang di antara kaum muslimin, sehingga memperkuat persatuan mereka.
- Senyuman
Rasulullah ﷺ bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di hadapansaudaramu bernilai sedekah.” ([5])
Rasulullah ﷺ menamakan senyuman dengan sedekah, yang dapat membuahkan pahala. Tidak lain karena hal ini akan menumbuhkan dan memperkuat persatuan.
- Menebarkan salam
Menebarkan salam adalah hal yang sangat penting, karena dapat menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu (amalan) yang jika kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” ([6])
Dan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَوَّلَ شَىْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ
Tatkala Rasulullah ﷺpertama kali memasuki kota Madinah, pertama kali yang aku dengar dari perkataan beliau adalah: “Wahai manusia sekalian, tebarkanlah salam (di antara kalian).” ([7])
- Berjabat tangan
Di antara sunah Rasulullah, ketika seseorang bertemu dengan saudaranya adalah berjabat tangan. Berjabat tangan dapat menggugurkan dosa-dosa dan bisa menumbuhkan kasih sayang. Dalam sebuah hadis,
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: قُلْتُ لأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: هَلْ كَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ.
Dari Qatadah berharap, dia berkata: “Aku bertanyakepada Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: “Apakah berjabat tangan sudah biasa di kalangan para sahabat Rasulullah ﷺ? Anas bin Malik menjawab: ‘Iya’.” ([8])
Mungkin sebelumnya ada dua orang yang saling jengkel, saling hasad. Tetapi setelah berjabat tangan yang disertai senyuman maka rasa sakit hati itu akan berkurang, bahkan bisa hilang sama sekali. Kemudian tumbuhlah kasih sayang di dalam hati. Sehingga hasad akan terkikis, kebencian akan perlahan hilang, karena ada sentuhan tubuh antara satu dengan yang lainnya yaitu tangan dengan tangan, terutama jika ditambah dengan pelukan.
- Saling memberi hadiah
Cara ini juga tidak kalah pentingnya dalam menciptakan persatuan yaitu saling memberi hadiah. Rasulullah ﷺbersabda,
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai!”([9])
Jika sesama muslim saling mencintai tentu akan terwujud persatuan di antara kita.
- Menunaikan hak-hak sesama muslim
Rasulullah ﷺbersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ، قِيل: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَ إِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَ إِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak muslim terhadap muslim yang lain ada enam (di antaranya):Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya, jika dia mengundangmu untuk datang maka penuhilah (undangannya), jika dia minta nasehat maka nasihati dia, jika dia bersin lalu memuji Allah maka ucapkanlah ‘Yaberharapamukallah’, jika dia sakit maka jenguk dia, dan jika dia meninggal maka iringi jenazahnya.” ([10])
Kesimpulannya, segala sesuatu yang menumbuhkan dan memperkuat persatuan umat Islam maka hal-hal tersebut disyariatkan. Karena persatuan merupakan pondasi yang sangat penting setelah tauhid.
Selain itu, Rasulullah ﷺ bersabda,
الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“ (Perumpamaan) orang beriman yang satu dengan orang beriman lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lain.” ([11])
Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam sikap saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berlemah-lembut adalah seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka seluruh bagian tubuh akan ikut merasa sakit dan demam.” ([12])
Bahkan Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga dia menyukai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana yang dia sukai untuk dirinya.” ([13])
Hal ini semua dilakukan dalam rangka memperkuat tali persaudaraan dan persatuan di antara kaum muslimin. Sebaliknya segala perkara yang bisa merusak persatuan maka diharamkan dalam Islam. Demikian, di dalam hadis pada pembahasan ini juga telah disebutkan sejumlah perkara yang dapat merusak persatuan.
Hal-hal yang Dapat Merusak Persatuan
- Hasad
Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَحَاسَدُوْا (Janganlah kalian saling hasad) karena hasad ini terkadang timbul dari salah satu pihak, dan terkadang dari kedua belah pihak. Telah lalu pembahasan mengenai hasad pada hadis pertama.
- Melakukan najsy
Rasulullah ﷺ bersabda وَ لاَ تَنَاجَشُوْا (janganlah kalian berbuat najsy). Najsy diambil dari kata نَجَشٌ yaitu isyarat/provokasi. Definisi dari najsy adalah segala trik yang dilakukan untuk memprovokasi pembeli lain agar segera membeli barang si penjual sehingga dia terjebak dalam harga yang tidak sesuai.
Sebagai contoh, ketika ada calon pembeli sedang melihat-lihat barang di sebuah toko. Kemudian dia (orang yang hendak melakukan najsy) datang ke toko tersebut, lalu memuji-muji kualitas barang yang dijual di toko tersebut. Dia sengaja memberi kesan seolah-olah barang tersebut kualitasnya tinggi dan mahal harganya, padahal dia tidak ingin membeli. Dia hanya ingin menipu calon pembeli yang pertama supaya membelinya dengan harga yang mahal. Padahal barang tersebut tidak sesuai dengan harga yang diperkirakan, inilah salah satu gambaran praktik najsy.
- Saling bermusuhan dan saling membelakangi
Rasulullah ﷺ bersabda وَ لاَ تَبَاغَضُوْا وَ لاَ تَدَابَرُوْا (janganlah kalian saling bermusuhan, dan jangan saling membelakangi). Namun pada kenyataannya, banyak kita saksikan di antara kaum muslimin yang berada dalam kondisi seperti ini, tidak saling sapa ketika bertemu, tidak saling senyum ketika berjumpa, dan tidak saling ramah ketika bersua. Yang terjadi justru sebaliknya, saling menjauh dan saling bermusuhan. Bahkan terkadang sama-sama telah mengenal dunia pengajian dan sudah mengenal agama lebih jauh. Terkadang penampilannya sama-sama Islami, tapi ketika bertemu malah saling tidak acuh, saling bermusuhan, dan saling bertolak belakang.
Dalam Islam, segala perkara yang bisa menimbulkan pertikaian dan mengantarkan kepada permusuhan itu dilarang. Bahkan salah satu sebab utama pengharaman khamar dan perjudian adalah karena dapat menimbulkan permusuhan. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
“Sesungguhnya setan ingin memunculkan di antara kalian permusuhan dan pertikaian dalam khamr dan perjudian.” (QS Al-Maidah: 91)
Inilah di antara sebab mengapa khamar dan perjudian diharamkan. Selain bisa menghilangkan akal sehat, khamar juga bisa menimbulkan perkelahian. Dahulu ketika khamar masih dihalalkan, sebagian sahabat pun meminum khamar. Lalu ada sahabat yang mabuk kemudian memukul temannya sehingga terjadilah permusuhan, atau dia mencaci-maki kabilahnya.
- Menjual di atas penjualan saudaranya
Rasulullah ﷺ bersabda وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ (janganlah sebagian kalian menjual di atas penjualan sebagian yang lain), karena hal ini juga bisa menimbulkan permusuhan. Ada seorang penjual yang sedang bertransaksi dengan calon pembeli, tiba-tiba datang penjual lain yang menawarkan barangnya dengan harga yang lebih murah.
Para ulama mengatakan, menjual di atas penjualan orang lain bisa berupa dua bentuk:
- Masih ada hak khiyar syarat atau khiyar majelis
Khiyar majlis yaitu hak untuk membatalkan transaksi saat transaksi masih berlangsung dalam satu majelis. Misalnya si A dan si B sedang bertransaksi. Mereka berdua telah sepakat dan si B telah membeli barang dari si A dengan harga 2 juta tetapi keduanya masih dalam toko. Sehingga pada kondisi seperti ini masih berlaku khiyar majelis. Kemudian datang si C menawarkan kepada si B agar membeli barangnya seharga 1,5 juta. Akhirnya si B membatalkan jual belinya dengan si A. Secara syar’i, si B boleh membatalkannya karena masih dalam khiyar majelis. Tetapi ini akan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Karena si C telah melakukan perbuatan terlarang ini yaitu menjual di atas penjualan si A.
Adapun khiyar syarth (syarat) adalah hak untuk membatalkan transaksi sesuai syarat yang telah disepakati meskipun majelis telah selesai. Misalnya si B telah membeli barang dari si A dengan harga 2 juta. Kemudian si B diberi waktu 3 hari untuk mempertimbangkan apakah dia ingin membatalkan transaksi jika seandainya barang tersebut tidak seperti yang diinginkan. Ternyata dalam rentan waktu tiga hari tersebut, datang si C menawarkan kepada si B agar membeli barangnya seharga 1,5 juta. Akhirnya si B membatalkan jual belinya dengan si A lalu barang dikembalikan kepada si A. Perbuatan seperti ini dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.
- Tidak ada lagi khiyar majelis atau khiyar syarat
Misalnya si B telah membeli barang dari si A dengan harga 2 juta. Kemudian si B pulang ke rumahnya dan tidak ada kesepakatan di antara mereka berdua adanya khiyar syarat. Tiba-tiba datang si C menawarkan kepada si B agar membeli barangnya seharga 1,5 juta. Akhirnya si B membatalkan jual belinya dengan si A lalu barang dikembalikan kepada si A. Perbuatan seperti ini juga dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka.
- Menawar di atas penawaran saudaranya
Sebagaimana tidak boleh menjual di atas penjualan saudaranya, tidak boleh juga menawar di atas penawaran saudaranya. Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺbersabda,
وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
“…dan janganlah dia menawar di atas penawaran saudaranya…!” ([14])
Misalnya si A dan si B sedang melakukan proses tawar menawar dan telah sepakat si A akan menjual barangnya kepada si B dengan harga 1,5 juta. Tiba-tiba datang si C menawarkan kepada si A untuk membeli barang tersebut dengan harga 2 juta. Kemudian si A tidak jadi menjual barang tersebut kepada si B, tetapi kepada si C. Tentunya seperti ini bisa menimbulkan permusuhan di antara mereka.
- Melamar di atas lamaran saudaranya
Demikian juga masalah lain yang hampir sama, yaitu melamar di atas lamaran saudaranya. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
وَ لاَ يَخْطِبُ الرَّجُلَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya!” ([15])
Ketika kita mengetahui bahwa ada seorang laki-laki yang telah melamar seorang wanita, kemudian di antara keduanya sudah ada kecondongan atau kecocokan. Misalnya si laki-laki sudah berbicara dengan calon mertuanya kapan akan diadakan akad nikah, telah membicarakan tentang mahar, atau membicarakan tentang tempat tinggal. Ini berarti sudah ada kecondongan, maka tidak boleh bagi kita ikut melamar wanita tersebut. Hal ini sangat memungkinkan timbul permusuhan disebabkan seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.
Namun para ulama mengatakan bahwa seandainya belum ada kecondongan, dalam keadaan seperti ini tiba-tiba datang laki-laki lain mengajukan lamaran juga kepada si wanita yang sama maka yang seperti ini para ulama mengatakan boleh, karena tidak ada indikasi menunjukkan persetujuan atas lamaran lelaki sebelumnya. Yang dilarang adalah jika sudah terjadi indikasi persetujuan.
Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis tentang Fatimah binti Qais yang pernah dilamar oleh dua orang sahabat Rasulullah, yaitu Abu Jahm dan Muawiyah. Dua-duanya mengajukan lamaran kepada Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha sekaligus, karena belum ada isyarat dari Fatimah bahwasanya dia setuju dengan salah satunya.
Namun bagaimanapun juga, sebaiknya jika saudara kita sedang melamar seorang wanita, maka kita biarkan terlebih dahulu, baik sudah ada kecondongan atau belum. Baiknya kita tunggu sampai ada kepastian mengenai diterima atau tidaknya, agar tidak terjadi perselisihan.
- Dua orang berbisik padahal ada orang yang ketiga
Bahkan dalam perkara yang kecil, yang mungkin tidak kita pikirkan. Dalam hadis yang lain pula Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يُحْزِنَهُ.
“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbisik-bisik, tanpa (mengajak) yang ke tiga, sampai kalian berkumpul dengan manusiasupaya tidak membuatnya sedih.”([16])
Sampai-sampai berbisik-bisiknya di antara dua orang saja dilarang jika ada orang yang ketiga. Padahal mereka berdua tidak bermaksud membicarakan orang yang ketiga. Tetapi hal ini akan memberi kesempatan kepada setan untuk datang kepada pihak yang ketiga dan membisikkan di dalam hatinya bahwa mereka berdua telah membicarakannya. Oleh karena itu, perbuatan seperti ini dilarang, karena bisa menimbulkan perselisihan di antara hati kaum muslimin. Sampai perkara sepele seperti ini pun diperhatikan oleh syariat.
Lihatlah, betapa indahnya ajaran Islam, bagaimana Islam menyokong persatuan dan melarang segala sebab yang bisa merusak persatuan.
Konsekuensi Persaudaraan Seislam
Setelah Rasulullah ﷺ menyebutkan beberapa perkara yang dapat menghambat persatuan di antara kaum muslimin lalu menyusulnya dengan perintah agar sesama muslim saling bersaudara dan tidak bermusuhan, beliau kemudian menekankan lagi tentang kewajiban seorang muslim dengan muslim lainnya, melalui sabdanya:
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.”([17])
Jika dia sebagai saudara bagi muslim yang lainnya maka,
لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ
“…dia tidak menzhaliminya, tidak meninggalkannya ketika membutuhkan pertolongannya, dan tidak meremehkannya…”
Karena seorang muslim yang melakukan ini semua kepada sesama muslim, dipertanyakan takwanya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺselanjutnya,
اَلتَّقْوَى هَهُنا
“Takwa itu tempatnya di sini (Rasulullah ﷺ menunjuk dadanya tiga kali).”([18])
Seakan-akan Rasulullah mengatakan, “Mengapa kamu merendahkan dia? Apakah kamu lebih bertakwa dari pada dia? Apakah kamu lebih saleh dari pada dia? Apakah kamu lebih alim daripada dia?” Atau seakan-akan Rasulullah mengatakan bahwa orang yang merendahkan saudaranya bukanlah orang yang bertakwa, orang itu adalah orang yang sombong dan angkuh.
Kemudian Rasulullah ﷺ kembali menekankan tidak bolehnya meremehkan saudara muslim, dengan sabdanya,
بِحَسْبِ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
“Cukuplah seseorang dianggap jelek dengan merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya (tidak boleh dibunuh tanpa hak), haram hartanya (tidak boleh dirampas) dan haram kehormatannya (tidak boleh dijatuhkan).” ([19])
Tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh memukul orang lain, hak hartanya tidak boleh dilanggar. Bahkan sebagian ulama memisalkan, jika ada seseorang yang pergi ke masjid memakai sandal kemudian sandalnya diletakkan di luar. Lalu ada orang lain yang ingin meminjam sandal tersebut hendak berwudhu, maka hal ini tidak diperbolehkan. Dia wajib meminta izin kepada pemilik sandal. Karena sandal tersebut adalah hartanya yang tidak boleh dilanggar. Begitu pun larangan menduduki tempat orang lain. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَةِ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Janganlah kamu duduk di tempat yang biasa diduduki oleh pemiliknya kecuali dengan izinnya.” ([20])
Misalnya Anda datang bertamu ke rumah orang lain, kemudian Anda menjumpai kursi khusus pemilik rumah. Maka menempati kursi tersebut tidak diperbolehkan kecuali setelah meminta izin kepada pemilik rumahnya. Karena Rasulullah melarang hal tersebut. Sama halnya ketika Anda memasuki sebuah masjid di suatu tempat, kemudian datang imam yang biasa mengimami salat jemaah di masjid tersebut. Maka menggantikannya tidak diperbolehkan kecuali setelah mendapat izin darinya, karena masjid tersebut adalah masjid dia dan jemaah di tempat tersebut. Meskipun bacaan Anda lebih bagus, hafalan Anda lebih banyak. Apalagi menggunakan harta orang lain tanpa izin. Demikian juga menjatuhkan harga diri orang lain, maka semua itu tidak diperbolehkan.
Dampak Perselisihan Di antara Kaum Muslimin
Hadis ini adalah dalil bahwasanya seorang muslim harus menjauhi segala perkara yang bisa memecah-belah persatuan di antara kaum muslimin. Karena jika terjadi perpecahan maka kaum muslimin akan menjadi lemah. Bahkan dengan adanya perpecahan akan hilanglah keberkahan dan rahmat dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا
“Janganlah kalian bertikai, kalian akan menjadi lemah dan akan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah kalian.” (QS. Al-Anfal: 46)
Suatu ketika Rasulullah ﷺ keluar rumah untuk memberitahu sahabat kapan lailatulqadar. Saat itu lantaran ada dua orang yang sedang bertengkar, Rasulullah ﷺ pun bersabda,
إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، وَإِنَّهُ تَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، التَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالخَمْسِ
“Aku keluar kepada kalian untuk memberitahu kalian tentang lailatulqadar, akan tetapi Si Fulan dan Si Fulan bertengkar, sehingga ilmu tentang kapan malam qadar tersebut diangkat (sehingga tidak diketahui pastinya), semoga ini menjadi kebaikan bagi kalian.” ([21])
Pada awalnya Rasulullah ﷺ ingin memberitahu umatnya tentang kapan lailatulqadar yang sangat istimewa itu. Namun dengan sebab dua orang yang bertikai, ilmu tersebut diangkat yang menyebabkan kepastian kapan lailatulqadar tersebut tidak diketahui, sehingga sulit mendapatkan keberkahannya. Jadi, dengan sebab pertikaian suatu keberkahan bisa terangkat.
Kemudian dalam sebuah hadis, dinyatakan bahwasanya ampunan ditunda karena pertikaian di antara dua orang muslim. Rasulullah ﷺ bersabda,
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَ يَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis. Maka Allah akan memberi ampunan kepada setiap hamba yang tidak berbuat syirik sama sekali, kecuali seseorang yang mempunyai persoalan (pertikaian) dengan saudaranya. Maka dikatakan: ‘Jangan dulu diberikan ampunan kepada dua orang ini sampai mereka damai. Jangan dulu diberikan ampunan kepada dua orang ini sampai mereka damai. Jangan dulu diberikan ampunan kepada dua orang ini sampai mereka damai’.” ([22])
Apapun permasalahan yang ada jangan sampai menimbulkan pertikaian karena bisa melemahkan dan memecah belah kaum muslimin serta menyebabkan terangkatnya keberkahan. Bahkan dalam skala kecil, seperti rumah tangga, seorang suami jangan sampai bertikai dengan istrinya. Hendaknya dia bersabar, menjaga lisannya, menghiasi dirinya dengan sifat memaafkan, sifat meredam amarah, karena jika sering bertengkar dengan istrinya, bisa jadi menghalangi turunnya keberkahan sehingga akan semakin banyak masalah yang bermunculan.
Kesimpulannya, segala perkara yang bisa merusak persatuan diharamkan dan segala perkara yang bisa memupuk persatuan disyariatkan dalam Islam. Di antara perkara yang menakjubkan dalam hal ini, yaitu mengenai dibencinya perpecahan dan dicintainya persatuan, sampai-sampai Rasulullah ﷺmembolehkan berbohong demi persatuan. Rasulullah ﷺbersabda,
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا
“Tidaklah dikatakan ‘pembohong’ orang yang mengusahakan perdamaian di antara manusia (yang sedang bertikai), lalu dia mengatakan kebaikan atau memberi isyarat kebaikan.” ([23])
Pada dasarnya bohong merupakan dosa besar dan termasuk ciri-ciri orang munafik yang sampai-sampai Rasulullah ﷺ bersabda,
وَ إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Hati-hatilah dengan kedustaan, karena kedustaan bisa mengantarkan kepada kefajiran dan kefajiran bisa mengantarkan kepada neraka.” ([24])
Akan tetapi berbohong dalam kondisi ini diperbolehkan jika dalam rangka menjalin persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan sangat dicintai oleh Allah, sedangkan perpecahan sangat dibenci oleh Allah ﷻ.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوا: بَلَى، يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ، وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah kalian aku beritahu suatu perkara yang lebih utama dari derajat salat (sunah), puasa (sunah) dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Rasulullah ﷺmenjawab, “Mendamaikan orang yang sedang bertikai.”([25])
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa memupuk persatuan, mendamaikan orang-orang yang bertikai. Bukan orang-orang yang menyulut api perpecahan dan memprovokasi terjadinya pertikaian.
Larangan Keras Merendahkan Sesama Muslim
Kita mengetahui bahwasanya yang menjadi barometer (tolok ukur) di masyarakat adalah masalah dunia. Masyarakat menilai seseorang, mengagungkan seseorang, dan memuliakan seseorang umumnya karena dunianya. Jika ada orang yang kaya raya atau memiliki jabatan yang tinggi atau memiliki nasab (garis keturunan) yang tinggi, barulah ia dihormati dan dihargai. Adapun jika seseorang tidak memiliki apa-apa dari kekayaan dunia, misalnya dia orang yang miskin, orang yang rendah, tidak memiliki jabatan, cuma bawahan, maka cenderung kurang dihargai oleh umumnya masyarakat. Seperti inilah kenyataan yang ada.
Oleh karena itu, Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Quran bahwa tolok ukur yang benar adalah berdasarkan ketakwaannya. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah dari kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ketakwaan adalah masalah hati bukan masalah lahiriah yang bisa dilihat dengan mata kepala. Ketakwaan juga bukan masalah penampilan, bukan masalah harta, bukan pula jabatan. Bahkan banyak hadis yang menunjukkan bahwa bisa jadi orang itu misikin dan tidak punya apa-apa, tetapi dia lebih mulia di sisi Allah dari pada orang yang kaya. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu menceritakan,
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ: مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا؟ فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ، هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ، قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه ِ و َسَلَّمَ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا؟ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ المُسْلِمِينَ، هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لاَ يُنْكَحَ، وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لاَ يُشَفَّعَ، وَإِنْ قَالَ أَنْ لاَ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
“Suatu hari ada seseorang melewati Rasulullah ﷺ (dan saat itu beliau sedang bersama para sahabatnya). Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bagaimana menurut kalian tentang orang ini?’mereka menjawab, ‘Orang ini, jika dia melamar pasti sangat mudah diterima, jika dia memberi syafaat (rekomendasi) maka mudah untuk diterima syafaatnya (rekomendasinya), dan jika dia bicara pasti didengar.’ Kemudian Rasulullah ﷺ diam. Tidak lama kemudian lewatlah seorang lelaki dari kaum fakir miskin, lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepada para shahabat, ‘Bagaimana menurut kalian tentang orang ini?’, mereka menjawab, ‘Orang ini, jika melamar pasti tidak diterima, jika memberi syafaat tidak diterima syafaatnya, dan jika dia bicara pasti tidak didengar.’ Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Orang yang kedua ini (yang miskin) lebih baik (dibandingkan) dengan orang yang pertama sepenuh bumi’.” ([26])
Hadis ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang menilai seseorang dari sisi dunianya, tapi Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa orang ini (orang yang kedua) lebih mulia di sisi Allah dibandingkan dengan orang yang kaya tadi. Itu disebabkan karena Allah melihat apa yang ada di hatinya. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kalian, dan tidak juga penampilan kalian, akan tetapi Allah melihat hati kalian.” ([27])
Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺ bersabda,
طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ، إِنْ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ كَانَ فِي الْحِرَاسَةِ، وَ إِنْ كَانَ فِي السَّاقَةِ كَانَ فِي السَّاقَةِ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، وَ إِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ.
“Sungguh beruntung seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya untuk berjihad di jalan Allah ﷻ. Rambutnya ‘berantakan’, kedua kakinya penuh dengan debu. Jikadia ditugaskan di bagian depan untuk menjaga pasukan dari musuh maka dia akan berjaga di depan, jikadia ditugaskan di bagian belakang, dia bertugas dengan baik di bagian belakang. Jika dia minta izin, tidak diizinkan. Jika dia memberi syafaat maka tidak diberi syafaat.” ([28])
Orang ini jika dia ditugaskan dalam posisi apa pun dia akan terima. Dan orang ini tidak begitu dianggap, sehingga jika dia minta izin dia tidak akan diizinkan karena tidak punya kedudukan. Sedangkan biasanya yang diizinkan adalah orang yang punya kedudukan. Namun orang ini sebagaimana kata Rasulullah, “Sungguh beruntung” atau menurut pendapat yang lain maknanya, “dia akan masuk surga dan mendapatkan pohon Tuba sebagai pohon termasyhur di Surga.”
Pada umumnya orang menilai orang lain dari sisi dunianya. Ketika melihat seseorang yang ‘dunianya’ rendah, dia lantas meremehkannya. Padahal bisa jadi orang tersebut sangat mulia di sisi Allah ﷻ. Kalaupun kita ingin menilai dari ketakwaannya, mungkin kita hanya bisa melihat dari lahiriah amalannya saja.
Jika kita menjaga salat kita, rajin ke pengajian, rajin ke masjid, atau berusaha menghafal Al-Qur’an. Kemudian kita melihat saudara kita yang mungkin jarang ke masjid, ada sedikit maksiat yang dia lakukan atau mungkin penampilannya kurang Islami, maka hendaklah kita tidak merendahkan dia. Karena penilaian di sisi Allah tolok ukurnya adalah ketakwaan, sementara kita tidak tahu ketakwaan orang tersebut. Kita hanya bisa melihat sisi lahiriahnya. Yang terlihat dari diri kita mungkin lebih baik dari pada dia, kita rajin berjemaah tetapi dia kurang. Padahal bisa jadi dia punya amalan-amalan mulia yang kita tidak tahu. Mungkin dia sering bersilaturahmi, mungkin dia suka bersedekah kepada orang lain, mungkin dia selalu berbakti kepada orang tuanya, mungkin dia baik kepada istrinya, mungkin dia sayang kepada anaknya, kita tidak mengetahui hal-hal tersebut. Belum lagi amalan hatinya, kita tidak bisa menilainya. Mungkin dia adalah orang yang tidak suka hasad, jauh dari dengki, selalu berprasangka baik kepada Allah, atau mungkin dia penyabar, dan tidak suka berburuk sangka kepada saudaranya. Oleh karena itu, dari mana kita merasa lebih bertakwa dari pada dia? Apakah kita mempunyai tolok ukur untuk mengukur bahwa takwa kita lebih tinggi dari pada dia? Tentu saja jawabannya adalah tidak ada.
Al-Hasan Al-Bashri berkata
الزَّاهِدُ: الَّذِي إِذَا رَأَى أَحَدًا قَالَ هُوَ أَفْضَلُ مِنِّي
“Orang yang zuhud adalah yang jika melihat orang lain maka ia berkata, ‘Orang ini lebih baik dariku’.”([29])
Karena kita tidak tahu isi hati. Itulah yang namanya zuhud dan tawaduk, menjauhkan diri kita dari kesombongan. Kalaupun kita memiliki kelebihan, maka kelebihan tersebut untuk kita syukuri, bukan untuk disombongkan, apalagi untuk merendahkan saudara kita.
Sungguh ini adalah masalah yang sangat penting. Rasulullah ﷺ bersabda di dalam hadis tersebut,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dikatakan jelek ketika dia merendahkan (menghina) sesama muslim.” ([30])
Ibnu Daqiqil ‘Ied di dalam Syaberharap Arba’in An-Nawawiyyah berkata,
فِيه تَحْذيرٌ عَظيمٌ مِنْ ذَلِكَ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمْ يَحْقِرْهُ إِذْ خَلَقَهُ وَرَزَقَهُ ثُمَّ أَحْسَنَ تَقْويمَ خَلْقِهِ وَسَخَّرَ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا لِأَجْلِهِ
Di dalam sabda Rasulullah ini terdapat peringatan yang keras terhadap masalah ini (merendahkan saudara sesama muslim), karena Allah ﷻ tidak merendahkan dia. Karena Allah telah menciptakan dia dan memberinya rezeki. Kemudian menyempurnakan bentuk penciptaannya dan Allah mudahkan apa yang ada di langit dan di bumi semuanya untuknya.([31])
Kemudian Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata,
ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ سَمَّاه مُسْلِمًا وَمُؤْمِنًا وَعَبْدًا وَبَلَغَ مِنْ أَمْرِهِ إِلَى أَنْ جَعَلَ الرَّسولَ مِنْهُ إِلَيْهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وسَلَّمَ
Bahkan Allah menamakan dia sebagai seorang muslim, seorang mukmin, dan sebagai hamba. Bahkan lebih daripada itu, Allah ﷻ mengutus rasul kepadanya yaitu Muhammad ﷺ.
Mengapa demikian? Karena Allah sangat Perhatian kepada hamba-Nya. Di samping itu, tujuan dari Allah mengutus Rasul adalah agar memberi petunjuk kepada hamba-Nya. Maka orang yang suka meremehkan muslim yang lainnya, berarti dia merendahkan apa yang diagungkan oleh Allah ﷻ. Cukuplah dia dalam hal ini dikatakan orang yang jelek.
Ibnu Daqiqil ‘Ied kembali berkata memberikan beberapa contoh-contoh merendahkan saudara muslim,
فَإِنَّ مِنْ احْتِقارِ الْمُسْلِمِ لِلْمُسْلِمِ أَنْ لَا يُسَلِّمَ عَلَيْهِ إِذَا مَرَّ وَلَا يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ إِذَا بَدَأَ بِهِ وَمِنْهَا أَنْ يَرَاه دُونَ أَنْ يُدْخِلَهُ اللَّهُ الجَنَّةَ أَوْ يُبْعِدُهُ مِنْ النّارِ
Di antara bentuk seorang muslim merendahkan muslim yang lainnya adalah tidak mengucapkan salam kepadanya ketika dia lewat di depannya. Bahkan jika saudaranya memberi salam kepadanya, dia tidak membalas salamnya. Di antara bentuk merendahkan orang lain yaitu, dia melihat orang lain, seakan-akan Allah tidak akan memasukkannya ke surga, atau Allah tidak akan menjauhkannya dari neraka.([32])
Oleh karena itu, Allah ﷻ melarang kita menghina saudara kita. Allah ﷻ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian kalian menghina sebagian yang lain. Bisa jadi yang dihina lebih baik daripada yang menghina. Dan janganlah sebagian wanita mengejek sebagian wanita yang lain, bisa jadi yang diejek lebih baik dari pada yang mengejek.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah menyebutkan pengkhususan wanita pada ayat ini karena ejekan-ejekan itu pada umumnya muncul di kalangan para wanita. Hal-hal sepele juga bisa menjadi bahan ejekan di antara mereka, baju, jilbab, tas, sandal, rumah, mobil, bahkan suami bisa menjadi bahan ejekan di antara mereka. Berbeda pada laki-laki yang jarang terjadi saling ejek-mengejek di antara mereka pada hal-hal yang sepele.
Jika Anda mengejek dia, maka lihatlah diri Anda. Apakah Anda lebih bertakwa dari pada dia? Kalaupun Anda lebih bertakwa Anda pun tidak boleh mengejeknya, apalagi belum tentu demikian. Justru, merendahkan orang lain itu menunjukkan ketakwaan yang minim. Adapun jika ingin menasihatinya maka nasihatilah dengan cara yang baik. Karena berbeda antara menasihati dengan mengejek. Sedangkan seseorang itu tidak akan mengejek dan meremehkan saudaranya, kecuali ada kesombongan di dalam dirinya. Rasulullah ﷺ bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” ([33])
Sebagaimana harta bisa membuat seseorang sombong, jabatan bisa membuat seseorang sombong, ilmu juga bisa membuat sombong. Bahkan ilmu lebih bisa membuat sombong daripada harta. Seharusnya ilmu itu mengajarkan seseorang semakin tawaduk dan rendah hati, semakin mengetahui bahwa pada dirinya banyak kesalahan. Karena seseorang semakin berilmu, dia akan semakin tahu bahwasanya dia itu bodoh. Semakin dia belajar, dia akan semakin mengetahui bahwa ilmu itu sangat luas sedangkan ilmunya masih sangat sedikit. Bagaimana seseorang bisa merendahkan orang lain sementara ilmunya pas-pasan, hafalan Al-Qur’annya tidak beres, belum pernah belajar usul fikih, ilmu tafsir tidak pernah baca, Qawaid Al-Fiqhiyyah tidak pernah belajar, tetapi dia suka merendahkan orang lain. Apa yang disombongkannya sementara dia tidak menguasai ilmu agama.
Oleh karena itu, ilmu itu sangat mudah membuat seseorang sombong apabila ilmu tersebut tidak dituntut dengan ikhlas. Jika ada orang yang hanya bisa mengajarkan Al-Fatihah maka janganlah ia dihina. Beberharapati-hatilah dalam perkara ini, bisa jadi orang yang sudah lama kenal dunia pengajian merendahkan orang yang baru kenal pengajian. Ilmu yang dituntut dengan tidak ikhlas itu sangat mudah menjerumuskan dalam kesombongan, apabila sombong telah merasuki hati maka akan mudah untuk merendahkan orang lain. Seharusnya setelah mengenal dunia pengajian, dia akan sangat mudah untuk menghargai orang lain. Rasulullah ﷺ dulu selalu menghargai orang lain. Bahkan tatkala menulis surat kepada Kaisar Romawi, beliau mengungkapkannya dengan kalimat, “إِلَى عَظِيْمِ الرُّوم (kepada penguasa romawi).” Rasulullah ﷺ tidak mengungkapkannya dengan kalimat “Kepada si musyrik” atau “Kepada si kafir”.
Harga Diri Seorang Muslim
Di akhir hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya (tidak boleh ditumpahkan), haram hartanya (tidak boleh dirampas) dan harga dirinya haram (tidak boleh dijatuhkan).” ([34])
Rasulullah ﷺ menggandengkan antara harga diri dengan darah dan harta. Umumnya seseorang itu akan takut menumpahkan darah orang lain, akan merasa berdosa setelah menumpahkan darah saudaranya. Begitu pun seseorang itu tidak akan berani mengambil harta saudaranya. Karena dia akan merasa berdosa telah mengambil harta saudaranya. Namun, banyak orang yang tidak merasa bersalah ketika menjatuhkan harga diri saudaranya, padahal hukumnya sama. Sebagaimana haram bagi kita menumpahkan darah orang lain, haram bagi kita mengambil harta orang lain, demikian juga haram bagi kita untuk menjatuhkan harga diri saudara kita. Dan di antara bentuk menjatuhkan harga diri orang lain adalah dengan merendahkannya dan menghinanya, hukumnya haram.
Jika Anda memiliki kelebihan, ketakwaan, maka harus Anda syukuri, bukan malah menjadikannya sebagai sarana untuk mengejek atau merendahkan orang lain, apalagi untuk menyombongkan diri.
Footnote:
_____________
([2]) Lihat: Tafsir Az-Zamakhsyari 4/366
([3]) HR. Muslim, no. 2812, dari Jabir t
([4]) HR. Muslim, no. 2626 , dari Abu Dzar t
([5]) HR. Tirmizi, no. 1956, dari Abu Dzar t
([6]) HR. Muslim, no. 54, dari Abu Hurairah t
([7]) HR. Tirmizi, no. 2485 dan Ibnu Majah, no. 3251
([9]) HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad, no. 59, dari Abu Hurairah t. Hadis ini sahih menurut Syekh Al-Albani rahimahullah.
([10]) HR. Muslim, no. 2162, dari Abu Hurairah t
([11]) HR. Bukhari no. 481, dari Abu Musa t
([12]) HR. Muslim nomor 2586, dari Nu’man bin Basyir t
([13]) HR. Bukhari, no. 13, dari Anas bin Malik t
([24]) HR. Muslim, no. 2607 dan Tirmizi, no. 1971
([25]) HR. Abu Dawud, no. 4919
([29]) Az-Zuhd, Ibu Abid Dunya hal 141 dan Az-Zuhd al-Kabir, Al-Baihaqi hal 79
([31]) Syarh Al-Arba’iin An-Nawawiyah halaman: 118
([32]) Syarh Arba’in An-Nawawiyah, karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, 1/118