Hadis 17
Doa Rasulullah Agar Terhindar dari Akhlak Tercela
وَعَنْ قُطْبَةَ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ اَلْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ وَالْأَدْوَاءِ. أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَاللَّفْظِ لَهُ
Dari Quthbah bin Malik berkata, Rasulullah ﷺ berdoa, “Allahumma jannibni munkaratil akhlaq, wal a’mal, wal ahwai, wal adwa. (Ya Allah, jauhkanlah dari aku akhlak yang mungkar, amal-amal yang mungkar, hawa nafsu yang mungkar, dan juga berbagai penyakit). ([1])
Status Hadis
Hadis ini dinyatakan sebagai hadis sahih oleh al-Hakim dalam kitab beliau al-Mustadrak. Dalam bahasa arab al-Mustadrak artinya penyempurna. Maksudnya ialah penyempurna atas dua kitab Ash-Shahihain yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Al-Bukhari memiliki kitab yang menghimpun hadis-hadis sahih yang dinamakan Sahih Bukhari, begitu juga Imam Muslim dengan kitab Sahih Muslim. Kemudian Imam Al-Hakim menyusun kitab yang dinamakan dengan Al-Mustadrak yang mengumpulkan hadis-hadis sahih sesuai syarat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim namun tidak termaktub dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Meskipun demikian, ternyata masih dijumpai banyak hadis di dalam Al-Mustadrak hadis yang tidak sahih.
Terkait status hadis ini sendiri, ia adalah hadis yang sahih. Selain disahihkan oleh Imam Al-Hakim, hadis ini juga disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahumallah.
Makna Hadis
Rasulullah ﷺ adalah seorang manusia yang memiliki akhlak yang sangat agung sebagaimana pujian Allah ﷻ sendiri dalam firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad ﷺ) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Dan di antara kesempurnaan akhlak Rasulullahﷺ adalah senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari akhlak-akhlak yang buruk. Rasulullah tidak berdoa dengan lafal, “Allahumma inni a’udzu bika min munkaratil akhlak” (Ya Allah, aku berlindung kepada engkau dari akhlak-akhlak yang buruk), akan tetapi Rasulullah menggunakan kalimat, “Allahumma jannibni min munkaratil akhlak” (Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk). Rasulullah tidak berdoa agar akhlak buruk tidak menimpanya, tetapi Rasulullah berdoa agar akhlak buruk tersebut benar-benar dijauhkan dari dirinya, karena begitu bahayanya akhlak yang buruk.
Yang dimaksud dengan مُنْكَرَاتِ (kemungkaran) yaitu sifat-sifat yang tercela, yang tidak disukai oleh tabiat. Ditambah syariat juga menjelaskan akan buruknya sifat tersebut.
Hendaknya seorang muslim selalu menyisihkan waktunya untuk berdoa agar diberikan akhlak yang mulia dan dijauhkan dari akhlak yang buruk, kemudian dia berusaha menghafalkan doa tersebut atau yang semisalnya dengannya. Selain doa yang ada pada hadis ini, terdapat doa lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. Seperti doa Rasulullah,
اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلا أَنْتَ، اصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلا أَنْتَ
“Ya Allah tunjukilah aku jalan menuju akhlak yang baik. Tidak ada yang bisa memberikan aku petunjuk kepada akhlak yang baik kecuali Engkau. Palingkanlah aku dari akhlak yang buruk. Tidak ada yang bisa memalingkan aku dari akhlak yang buruk kecuali Engkau.” ([2])
Sesungguhnya berakhlak mulia itu hidayah. Jika ada orang yang senang menampilkan akhlak buruk, itu artinya Allah belum memberikannya hidayah untuk berakhlak mulia.
- Munkaratil akhlak (akhlak yang buruk)
Sebagian ulama memaknai munkaratil akhlaq dalam hadis ini dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan batin. Apabila kata akhlak dan kata amal masing-masing disebutkan dalam satu kalimat, maka akhlak berkaitan dengan batin, sedangkan amal berkaitan dengan anggota tubuh. Sehingga yang dimaksud dengan munkaratil akhlaq disini adalah hal-hal semisal sombong, hasad, dengki, pelit, penakut, berburuk sangka, dan akhlak buruk di hati lainnya([3]).
Hendaknya seseorang berusaha membersihkan hatinya dari hal-hal seperti ini. Setelah dia bersihkan hatinya, kemudian dia berusaha menghiasi hatinya dengan perkara yang berlawanan dengan hal tersebut. Dia menghiasi hatinya dengan tawaduk, rendah hati, mudah memaafkan, kasih sayang, sabar dalam menghadapi ujian dan seterusnya. Karena sesungguhnya akhlak yang buruk itu timbul dari hati yang sakit, sebagaimana akhlak yang baik timbul dari hati yang sehat.
Sebagian ulama lain memberikan batasan bahwa kata akhlak adalah kaitannya dengan muamalah sesama manusia, sehingga Rasulullah berdoa agar dijauhkan dari cara bermuamalah yang buruk kepada sesama manusia. Sedangkan kata amal adalah kaitannya dengan Allah, sehingga Rasulullah berdoa agar dijauhkan dari kemaksiatan.
- Munkaratil a’mal (amal yang buruk)
Telah disebutkan sebelumnya tentang tafsiran sebagian ulama untuk munkaratil a’mal dengan akhlak yang buruk yang berkaitan anggota tubuh, seperti memukul orang lain, atau berkaitan dengan lisan, seperti lisan yang kotor, suka mencaci, suka mencela. Demikian juga sebagian ulama menafsirkan dengan hal yang berkaitan dengan maksiat, di antara contohnya dosa-dosa besar seperti membunuh, berzina, merampok([4]).
- Al-Ahwa’ (hawa nafsu)
Rasulullahﷺ juga berlindung kepada Allah dari hawa nafsu yang buruk. Ini menunjukkan bahwasanya ada hawa nafsu yang baik yaitu jika hawa nafsu tersebut mengikuti Rasulullah. Adapun jika hawa nafsu tersebut tidak mengikuti perintah Allah I dan tidak sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka jadilah hawa nafsu tersebut adalah hawa nafsu yang mungkar dan buruk([5]).
Dari sini seseorang disyariatkan untuk berlindung dari buruknya hawa nafsu. Karena seseorang terkadang tidak berdaya beberharapadapan dengan hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya, menyeru untuk melakukan sesuatu, lalu dia tunduk dan bertekuk lutut di bawahnya maka hal itu akan menjerumuskannya dalam perkara-perkara yang membinasakannya. Akan membuatnya berani melakukan dosa-dosa demi memuaskan hawa nafsunya. Lebih-lebih jika seseorang telah menjadi budak hawa nafsu, sebagaimana firman Allah I ,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Terangkanlah kepadaku bagaimana tentang seorang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Apa pun yang diperintahkan oleh hawa nafsunya, akan dilakukannya karena ia telah menjadi hamba hawa nafsunya. Sungguh ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Kita tidak ingin seperti itu, kita ingin ketika hawa nafsu mulai menggoda kita maka kita bisa muqawamah (melawan) agar kita bisa menundukkan hawa nafsu kita terhadap Al-Quran dan hadis Rasulullah ﷺ.
- Al-Adwa’ (penyakit-penyakit)
Rasulullah ﷺ juga berlindung kepada Allah dari penyakit-penyakit yang mungkar, yaitu penyakit yang berkaitan dengan tubuh. Sebagian ulama menafsirkan bahwa penyakit yang dimaksud adalah penyakit-penyakit yangالشَّنِيْعَة (berbahaya) yang membuat orang tidak berdaya, tidak bisa lagi beribadah dengan baik, dan tidak bisa banyak beraktivitas jika tertimpa penyakit tersebut. Maka sebisa mungkin penyakit ini terhindar dari diri kita. Di antaranya seperti جُذَام (lepra), سَرَطَان (kanker), dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya([6]).
Rasulullah ﷺ tidaklah berlindung dari penyakit secara mutlak, karena ada sebagian penyakit yang bermanfaat. Sebagaimana di dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bahwasanya beliau bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa dengan keletihan, penyakit, kekhawatiran (sesuatu yang menimpa dikemudian hari), kesedihan (terhadap perkara yang sudah lewat), demikian juga gangguan dari orang lain, kegelisahan hati, sampai duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” ([7])
Dari sini diketahui bahwasanya penyakit adalah salah satu penggugur dosa. Itulah sebabnya jika ada orang yang sakit maka kita katakan, طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ “semoga penyakit tersebut menyucikan dosa-dosamu, insyaallah”.
Demikian juga dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ pernah melarang seorang wanita yang mencela demam. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata,
دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ (أَوْ: أُمِّ الْمُسَيَّبِ)، فَقَالَ: مَا لَكِ يَا أُمَّ السَّائِبِ (أَوْ: يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ) تُزَفْزِفِيْنَ؟ قَالَتْ اَلْحُمَّى، لاَ بَارَكَ اللهُ فِيْهَا. فَقَالَ: لاَ تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِيْ آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ
Bahwasanya Rasulullah ﷺ menjenguk Ummu As-Saib (atau Ummu Al Musayyib), kemudian beliau berkata, “Apa gerangan yang terjadi denganmu wahai Ummu Al Sa’ib (Ummu Al Musayyib), kenapa kamu bergetar?” Dia menjawab, “Saya sakit demam. Semoga Allah tidak akan memberi keberkahan bagi demam.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat besi.” ([8]
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ تَسُبَّهَا فَإِنَّهَا تَنْفِي الذُّنُوبَ كَمَا تَنْفِي النَّارُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Janganlah engkau mencela demam, sesungguhnya demam itu bisa menghilangkan dosa-dosa sebagaimana api menghilangkan karat besi.” ([9])
Inilah dalil bahwasanya sebagian penyakit bisa menghilangkan dosa-dosa. Jika seorang terkena penyakit, yang pertama dia lakukan adalah hendaknya bersabar. Kemudian dia berlindung dari penyakit-penyakit yang berbahaya, yaitu munkaratil adwa’ (penyakit yang berbahaya). Kalaupun ternyata dia tertimpa penyakit tersebut maka hendaknya dia tetap bersabar karena itu adalah ujian dari Allah dan sesungguhnya penyakit-penyakit tersebut bisa menghilangkan dosa-dosa. Bisa jadi dia sudah beristigfar tetapi tidak dikabulkan oleh Allah. Mungkin dia sudah salat agar diampuni oleh Allah tetapi belum saja diampuni. Maka Allah punya cara lain agar dosa-dosanya diampuni yaitu dengan ditimpakan penyakit.
Oleh karena itu, apabila kita tertimpa penyakit ringan, seperti demam, atau hanya sekedar sakit perut maka tidak usah dicela, hadapi dengan kebaikan dan husnuzan kepada Allah bahwasanya penyakit-penyakit ini akan menggugurkan dosa-dosa kita. Selain itu sakit yang ditimpakan kepada kita akan membuat kita mengingat Allah. Banyak orang yang sehat lupa kepada Allah. Maka tatkala kita sakit kita akan menyadari betapa besarnya nikmat Kesehatan. Kita akan menyadari bahwasanya selama ini kita kurang bersyukur kepada Allah. Di waktu sehat kita jarang ke masjid, jarang ikut pengajian, jarang bersedekah. Sehingga secara tidak langsung banyak manfaat dari sakit.
Footnote:
([1]) HR. Tirmizi no. 3591, disahihkan oleh Al-Hakim dan lafalnya dari kitab Al-Mustadrak karya Imam Al-Hakim
([3]) Lihat: Mirqatul Mafatiih, Al-Mulla Al-Qari, 4/1712
([4]) Lihat: At-Taisir Bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, 1/209 dan Faidh Al-Qadir, 2/110
([5]) Lihat: Mirqatul Mafatih, Al-Mulla Al-Qari, 4/1712 dan Faidh Al-Qadir, 2/110
([6]) Lihat: Mirqatul Mafatih, Al-Mulla Al-Qari, 4/1712 dan Faidh Al-Qadir, 2/110