Hadis 14
Larangan Berbuat Kezaliman
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا رَوَى عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ tentang apa yang Rasulullah riwayatkan dari Allah ﷻ bahwasanya Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku mengharamkan kezaliman di antara kalian semua, maka janganlah kalian saling menzalimi.” ([1])
Definisi Hadis Qudsi
Hadis ini dan yang semisal dengannya dinamakan hadis qudsi.[2] Jika diperhatikan antara Al-Quran dan hadis qudsi sekilas mirip, akan tetapi para ulama mengatakan bahwa Al-Quran makna dan lafalnya dari Allah, sedangkan hadis qudsi maknanya dari Allah tetapi lafalnya dari Rasulullah ﷺ. Adapun selain hadis qudsi ia merupakan sabda dari Nabi Muhammad ﷺ dan sumber utamanya adalah wahyu dari Allah ﷻ. Dari sisi periwayatan, para ulama mengesahkan periwayatan hadis qudsi dengan makna. Sedangkan Al-Quran harus diriwayatkan dengan makna sekaligus lafalnya.[3]
Orang-orang Liberal mengatakan bahwa Al-Quran itu lafalnya bukan dari Allah melainkan dari Rasulullah ﷺ. Akidah semacam ini diambil dari pemahaman orang-orang terdahulu dari golongan Asy’ariah. Asy’ariah meyakini bahwa Allah berbicara tanpa suara dan tanpa lafal. Ini adalah akidah yang batil, yang benar adalah Allah berbicara dengan suara, dengan lafal, dan juga dengan huruf. Oleh karena itu, terjadi dialog antara Allah dengan Rasulullah Musa ‘alaihissalam. Allah ﷻ berkata kepada Rasulullah Musa,
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى
“Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” (QS. Thaha: 17-18)
Ayat di atas menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi dialog antara Allah ﷻ dengan Rasulullah Musa ‘alaihissalam. Dan banyak ayat lain di dalam Al-Quran yang menyebutkan dialog antara Allah dengan para Rasulullah-Nya. Intinya Allah berbicara dengan suara yang dapat di dengar oleh Rasulullah Musa. Sebagaimana Allah berfirman,
فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ
“Dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu.” (QS. Thaha :13)
Jika Allah berbicara tanpa suara, maka untuk apa Allah menyuruh Rasulullah Musa untuk mendengarkan.
Mereka berkeyakinan bahwasanya Al-Quran itu lafalnya bukan dari Allah tetapi hikayat dari Rasulullah Muhammad, Rasulullah sendiri yang menyampaikan atau Malaikat Jibril yang menyampaikan. Sehingga dengan meyakini bahwa Al-Quran itu lafalnya bukan dari Allah maka mereka akan mudah bermain-main dengan lafal tersebut. Mereka akan menafsirkan Al-Quran dengan seenaknya, tafsiran yang keluar dari kaidah bahasa arab dan keluar dari kaidah zahirnya. Karena mereka menganggap bahwa Al-Quran adalah lafalnya Rasulullah, Rasulullah menafsirkan Al-Quran dipengaruhi oleh sifat-sifat manusiawi beliau dan hal tersebut berkaitan dengan kondisi serta keadaan beliau 1400 tahun yang lalu di mana orang-orang badui bertempat tinggal. Sehingga dengan pemahaman tersebut mereka menganggap bahwa hukum hudud itu tidak boleh diterapkan karena sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Dan banyak permasalahan syariat lainnya yang mereka tafsirkan sendiri.
Makna Kezaliman dan Keharamannya
Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Allah mengharamkan kezaliman di antara para hamba-Nya. Demikian pula Allah mengharamkannya pada diri-Nya Karena sifat ini bertentangan dengan keadilan Allah, bertentangan dengan nama Allah Al-Hakim (Yang Mahabijak).
Hadis ini menjelaskan tentang besarnya perkara kezaliman. Allah mengharamkan semua bentuk kezaliman dan menegaskannya dengan beberapa bentuk penegasan. Dimulai dari kalimat يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي (“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku…”), Allah menegaskan bahwa kezaliman sangat bertentangan dengan sifat-sifat mulia Allah. Kemudian Allah pun mengharamkan atas para hamba-Nya, dengan kalimat وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا (“Dan Aku mengharamkan kezaliman di antara kalian”). Kemudian Allah menegaskan lagi dengan tambahan kalimat larangan saling menzalimi فَلَا تَظَالَمُوا (“maka janganlah kalian saling menzalimi”).
Demikian pula banyak dalam ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah ﷻ sendiri tidak berbuat zalim. Di antaranya firman Allah,
وَمَآ أَنَا۠ بِظَلَّٰامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Aku tidak akan berbuat zalim kepada hamba-hamba-Ku.” (QS. Qaf: 29)
وَمَا اللّهُ يُرِيدُ ظُلْماً لِّلْعَالَمِينَ
“Allah tidak menghendaki kezaliman bagi makhluk-Nya.” (QS. Ali Imran: 108)
وَ مَا رَبُّكَ بِظَلَّٰمٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan tidaklah Rabb kalian berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Fussilat: 46)
Allah bisa saja jika seandainya menginginkan kezaliman, karena Allah mampu melakukan segala sesuatu. Hanya saja Allah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya, maksudnya Allah tidak akan berbuat kezaliman, karena hal itu tidak layak bagi Allah ﷻ.
Ketika Allah mengharamkan kezaliman atas dirinya maka Allah haramkan pula bagi hamba-hamba-Nya. Bahkan larangan berbuat zalim tidak hanya berlaku untuk sesama manusia, kepada hewan pun kezaliman tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ في هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تَأكُلُ مِنْ خَشاشِ الأَرْضِ حَتَّى مَاتَتْ
“Seorang wanita masuk neraka akibat seekor kucing yang ia kurung. Dia tidak memberinya makan dan tidak juga melepas kucing tersebut mencari makan hingga kucing tersebut mati.” ([4])
Demikian pula kepada non muslim, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh mengambil hartanya, tidak boleh mencuri hartanya. Rasulullah saja sebagai kepala negara di kota Madinah meninggal dalam kondisi beberharaputang kepada seorang yahudi, Rasulullah ﷺ tidak memaksa mengambil harta orang Yahudi tersebut, bahkan Rasulullah menjaminkan baju perang beliau.
Berbeda dengan situasi perang, di mana kaum muslim diperbolehkan membunuhnya karena statusnya sebagai kafir harbi (memerangi) sebagaimana ia juga ingin membunuh kita. Kita boleh merampas hartanya sebagaimana dia juga ingin merampas harta kita. Adapun orang kafir yang hidup bertetangga dengan kita dalam kondisi tenang dan aman, maka tidak boleh menzaliminya. Maka lebih-lebih lagi kezaliman itu sangat dilarang jika kezaliman itu diantara para hamba-Nya yang muslim. Karena para ulama menafsirkan tentang seruan Allahيَا عِبَادِي (Wahai hambaku!) bisa mencakup ‘ubudiyah ‘ammah (hamba Allah yang mencakup muslim atau kafir) atau ‘ubudiyah khasshah (hamba Allah yang beriman). Allah ﷻ berfirman,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah : 8)
Kemudian di dalam hadis, Allah mengatakan فَلَا تَظَالَمُوا “janganlah kalian saling menzalimi.” Larangan ini mencakup kezaliman dalam arti memulai berbuat zalim kepada orang lain dan juga mencakup larangan menzalimi dalam arti zalim karena membalas kezaliman orang lain. Hanya saja syariat memberi keringanan boleh membalas kezaliman orang lain dengan perlakuan yang semisal, tetapi tidak boleh lebih. Misalnya dia memukul dua kali maka kita dibolehkan membalas dua kali juga, tidak lebih. Jika melebihi Batasan yang dibolehkan maka sesungguhnya kita telah berbuat zalim. Adapun jika kita membalas kezaliman sesuai dengan yang kita alami, maka diperbolehkan dalam syariat Islam. Allah ﷻ berfirman,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
“Dan jika kalian hendak membalas maka balaslah dengan balasan yang sama (sesuai dengan kezaliman yang kalian terima).” (QS. An-Nahl: 126)
Jenis Kezaliman
Sebagian ulama membagi kezaliman menjadi dua macam:
Pertama, zalim kepada diri sendiri yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan kemaksiatan. Di antara bentuk zalim kepada diri sendiri dan yang paling parah kezalimannya adalah berbuat syirik. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٌ۬
“Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Ketika seorang berbuat syirik pada hakikatnya dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dia tidaklah menzalimi Allah ﷻ karena tidak ada siapapun yang mampu memudaratkan Allah. Ada banyak sekali bentuk-bentuk menzalimi diri sendiri, tetapi yang paling besar adalah kesyirikan.
Kedua, zalim kepada orang lain. Zalim inilah yang dimaksud dalam hadis yang sedang dibahas. Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang kezaliman dengan segala bentuknya, beliau bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian haram (tidak boleh ditumpahkan), harta kalian haram (tidak boleh dilanggar), harga diri kalian haram (tidak boleh dijatuhkan) sebagaimana kehormatan hari ini, sebagaimana kehormatan bulan ini, sebagaimana kehormatan kota kalian ini (Mekkah).” ([5])
Oleh karena itu, Allah mengharamkan kezaliman secara mutlak, tanpa ada pengecualian. Karena zalim adalah sesuatu yang tercela, di mana dia menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sehingga zalim diharamkan secara mutlak, dalam bentuk apa pun dan sekecil apa pun. Sebagaimana dalam suatu hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ.
“Barang siapa yang merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya (bersumpah dengan kebohongan), maka Allah telah mengharuskannya masuk ke neraka Jahanam dan Allah akan haramkan baginya surga.” Tiba-tiba ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah: “(Ya Rasulullah) meskipun yang dia ambil tersebut hanya perkara yang sedikit (kecil)?” Kata Rasulullah ﷺ, “Ya, meskipun yang ia rampas dari saudaranya itu hanyalah sepotong kayu siwak.” ([6])
Di zaman Rasulullah, sepotong kayu siwak sangat tidak beberharaparga karena banyak dijumpai Di mana -mana. Namun, jika sepotong kayu siwak tersebut telah menjadi milik saudara muslim, kemudian dia merampasnya dengan sumpah palsu, maka neraka Jahanam balasannya. Rasulullah ﷺ pernah memberi wasiat,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ
“Barang siapa yang melakukan kezaliman kepada saudaranya, baik karena menjatuhkan harkat dan martabat saudaranya atau kezaliman apa pun maka hendaknya dia minta dihalalkan (dimaafkan) pada hari ini.”([7])
Sehingga apa saja bentuk kezaliman tersebut, apakah dia menjatuhkan harga diri atau yang lainnya, haram hukumnya. Dia harus berusaha meminta dihalalkan (dimaafkan) atas kezaliman yang telah dia lakukan kepada saudaranya, agar tidak dituntut pada hari kiamat kelak. Karena pada hari kiamat kelak dia akan disidang oleh Allah dan dia akan membayar kezaliman yang telah dia lakukan. Cara membayarnya bukan dengan uang, karena dia dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan tidak membawa uang sepeser pun. Akan tetapi dia akan membayar dengan pahala kebaikan yang dia miliki. Jika ternyata pahala kebaikannya sudah habis, maka dosa-dosa orang yang dia zalimi yang akan dipikulkan kepada dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Kezaliman pada umumnya terjadi dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah, jarang berlaku sebaliknya. Contohnya seorang tuan yang menzalimi budaknya, seorang bos yang menzalimi anak buahnya, seorang suami yang menzalimi istrinya karena istrinya tersebut berada di pihak yang lemah.
Seorang sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah menceritakan,
كُنت أَضْرِب غُلَامًا لِي فَسَمِعْتُ مِنْ خَلْفِي صَوْتًا، اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ لَلَّهُ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مْنَك عَلَيْه. فالتفتُّ فَإِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَهُوَ حُرٌّ لِوَجْهِ اللَّهِ. فَقَالَ: أما إن لَوْ لَمْ تَفْعَلْ لمَسَّتْكَ النَّارُ.
“Aku pernah memukul seorang budak milikku. Tiba-tiba aku mendengar suara dari belakang, ‘Wahai Abu Mas’ud, ketahuilah Allah lebih mampu terhadapmu daripada dirimu terhadap budakmu.’ Aku pun berbalik ke arah suara tersebut. Ternyata yang menegur adalah Rasulullah. Kemudian aku berkata, ‘Ya Rasulullah, aku bebaskan budak ini karena Allah.’ Rasulullah berkata, ‘Seandainya engkau tidak membebaskan budakmu, kau akan disentuh dengan api neraka Jahanam.’” ([8])
Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki kedudukan, apakah dia orang kaya, orang terpandang, seorang pejabat, seorang jenderal, atau dia adalah pemimpin, sehingga dia memiliki potensi untuk sombong dan angkuh lalu menzalimi orang-orang di bawahnya, agar beberharapati-hati. Anda mungkin mampu untuk menzalimi orang-orang di bawah Anda, tapi ingatlah bahwa Allah ﷻ lebih mampu atas diri Anda dari pada Anda terhadap orang-orang bawahan Anda tersebut.
Seorang suami pun demikian, Anda mungkin bisa menzalimi istri Anda, Anda tidak adil tatkala berpoligami, Anda membentaknya, Anda menamparnya, karena dia adalah makhluk yang lemah. Tapi ingatlah bahwa Allah ﷻ lebih mampu terhadap diri Anda dari pada Anda terhadap istri Anda.
Footnote:
________
[2] Sebagian ulama menyebutnya ‘hadits rabbani’.
[3] Di antara perbedaan hadis qudsi dengan Al-Qur’an adalah bahwasanya hadis qudsi tidak dibenarkan untuk dibaca di dalam salat.