Hadis 13
Peringatan Tentang Mengambil Harta Tanpa Hak
عَنْ خَوْلَةَ الأَنْصَارِيَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ
Dari Khaulah Al-Anshariyyah, ia berkata Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya beberapa orang lelaki mengelola harta Allah tanpa hak. Maka bagi mereka neraka pada hari kiamat.” ([1])
Makna Hadis
Di dalam bahasa Arab, kalimat يتخوَّضُوْنَ diambil dari kata الْخَوْضُyang makna asalnya adalah الْمَشْيُ فِي الْمَاءِ (berjalan di air). Kemudian kata الْخَوْضُ ini lebih sering diartikan masuk ke dalam suatu urusan dan mengelolanya sehingga makna hadis di atas kurang-lebihnya: ‘Betapa banyak orang yang mengelola harta Allah dengan cara yang tidak diridai Allah’.([2]) Para ulama memaknai يَتَصَرَّفُوْنَ (yatasharrafun) dengan pengelolaan harta tanpa hak. Artinya harta tersebut diberikan kepada orang yang dia tidak berhak atasnya. Atau dia mengelola harta tersebut tanpa prosedur yang benar.
Kata مَالِ اللَّهِ (harta Allah) di dalam hadis ini mencakup harta sendiri maupun harta orang lain. Karena harta yang ada di tangan kita pada hakikatnya adalah harta Allah sebagaimana firman Allah ketika menjelaskan budak-budak yang ingin melakukan mukatabah([3]),
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS An-Nur: 33)
Perhatikan firman Allah ini, “…sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…” Ayat ini jelas sekali mengatakan bahwa harta kita pada hakikatnya adalah harta Allah, karena Allah menyebut harta yang ada di tangan manusia dengan sebutan harta Allah. Sehingga ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa harta kita adalah harta Allah dan kita hanya dititipi oleh Allah ﷻ.
Oleh karena itu, ketika ada seorang muslim meninggal dunia, kita mengucapkan kalimat istirja’ إِنَّا للهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُوْنَ artinya “Sesungguhnya kita semua milik Allah, dan sesungguhnya kita semua akan dikembalikan kepada Allah.” Jangankan harta, nyawa dan jasad kita adalah milik Allah semata dan akan kembali kepada Allah.
Harta Kita Adalah Titipan Allah
Ketika kita mengetahui bahwa harta manusia adalah milik Allah, maka kita tahu bahwa semua harta ini hanyalah titipan dari Allah. Seseorang hanya boleh memanfaatkan barang titipan sesuai dengan aturan pemiliknya yang sesungguhnya, tidak boleh memakainya secara sembarangan. Peraturannya, ketika ada seseorang menitipkan barang kepada orang lain, maka orang yang dititipi boleh menggunakan barang tersebut dengan syarat telah mendapat izin dari pemilik barang dan harus sesuai dengan aturan yang ditetapkannya.
Sebagai contoh, Si A menitipkan motor kepada Si B. Maka Si B boleh menggunakan motor tersebut sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Si A karena yang memiliki motor sesungguhnya adalah Si A. Misalnya Si A mengatakan: “Kamu boleh menggunakan motor ini asalkan tidak digunakan untuk ke luar kota.” Artinya si B boleh menggunakannya sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Si A yang telah menitipkan barang.
Demikian pula harta titipan Allah yang ada pada diri kita, dia hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah, tidak boleh digunakan secara sembarangan. Karena itulah, di akhirat nanti Allah akan bertanya kepada setiap hamba, ”Untuk apa kau habiskan harta tersebut?” sehingga seseorang tidak boleh menggunakan seenaknya karena semua akan ditanyai, apalagi dia habiskan untuk perkara-perkara yang haram atau perkara yang sia-sia. Allah berfirman,
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’: 27)
Allah juga berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“…makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf: 31)
Oleh karena itu, barang siapa yang mengelola hartanya dengan tanpa hak, misalnya dia gunakan untuk perkara yang haram, perkara yang sia-sia, menghambur-hamburkan uang saja, maka dia diancam Allah dengan ancaman neraka Jahanam. Inilah penafsiran jenis pertama dari hadis tersebut, yaitu mengelola harta yang ada di dirinya tanpa hak.
Mengelola Harta Rakyat
Penafsiran jenis kedua, sebagian ulama lain menafsirkannya dengan mengelola harta orang lain tanpa hak, misalnya harta negara atau harta rakyat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa jenis kedua inilah yang dimaksudkan oleh hadis yang sedang dibahas ini.
Harta negara atau harta rakyat semuanya adalah harta Allah yang dititipkan kepada para petugas negara untuk mengelolanya. Seorang Raja saja yang mana secara zahir harta-harta tersebut adalah miliknya, itupun diwajibkan mengelola harta tersebut sesuai aturan Allah. Bagaimana lagi kalau bukan raja, tetapi hanya petugas negara yang juga digaji oleh negara? Tentu dia hanya diperbolehkan mengelola harta demi kepentingan rakyat, tidak boleh untuk kepentingan pribadi.
Bahkan Rasulullah ﷺ menegur orang yang mendapatkan hadiah melalui jalan tersebut. Suatu ketika ada seorang lelaki yang bertugas menarik harta zakat, lalu dia diberi hadiah oleh orang lain karena dia adalah petugas negara. Ketika dia menghadap Rasulullah membawa harta zakat yang telah dikumpulkannya, dia memisahkan harta zakat dan hartanya (yang telah dihadiahkan kepadanya). Rasulullah pun menegur dan mengatakan bahwa itu semua adalah harta milik negara. Rasulullah ﷺ berkata,
فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ
“Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak?” ([4])
Sesungguhnya dia diberi hadiah karena dia adalah petugas negara dan orang yang memberinya punya kepentingan kepadanya. Walaupun uang yang diberikan kepadanya bukanlah uang negara melainkan uang dari luar, Rasulullah tetap saja menghukuminya sebagai sesuatu yang haram. Maka bagaimana pula jika uang itu adalah uang milik negara dan diambil untuk dikelola sembarangan, sungguh ini adalah musibah.
Pada hakikatnya para pemimpin, pejabat, dan pegawai negeri, mereka sedang mengelola harta rakyat, bukan harta mereka. Apalagi jika harta tersebut diperoleh dari sumber semisal pajak maka jelas harta-harta tersebut adalah milik rakyat, atau paling tidak milik negara, bukan milik pribadi. Karena harta tersebut adalah titipan Allah, maka harus dikelola demi kebaikan dan kemaslahatan kaum muslimin.
Seorang pegawai negeri yang melakukan tugasnya dengan maksimal, niscaya dia akan mendatangkan maslahat bagi banyak orang dan baginya pahala yang besar. Tetapi jika sebaliknya, ternyata dia menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi atau dia mengelolanya tidak sesuai prosedur, misalnya membuat proyek-proyek yang tidak jelas sehingga uang habis begitu saja, lalu dia menyangka bahwa uang tersebut habis kemudian tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah ﷺ bersabda, “…bagi mereka neraka Jahannam.”
Sehingga seseorang harus beberharapati-hati ketika diberi amanah untuk mengurus harta rakyat atau mengurus uang negara. Setiap uang yang dia kelola akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah ﷻ. Dia harus mengelola uang tersebut demi kebaikan negara dan rakyat.
Contoh mengelola harta rakyat tanpa hak di antaranya sengaja membeli barang untuk kepentingan negara dengan harga yang murah, kualitas jelek, agar cepat diganti. Dengan begitu akan ada proyek baru lagi setelah itu, dan dia leluasa mengambil dari situ untuk dinikmati, maka yang seperti ini haram. Jika dia ingin membeli barang untuk kepentingan negara maka harus membeli barang yang terbaik, yang berkualitas, meskipun mahal. Jika tidak demikian, sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ, karena dia telah mengelola harta tanpa hak dan tidak sebagaimana mestinya.
Footnote:
___________
([2]) Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, 4/596, Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam.
([3]) Mukatabah adalah salah satu sistem terkait perbudakan di mana ketika seorang budak ingin memerdekakan dirinya dari perbudakan, membayar sejumlah uang dari hartanya sendiri kepada tuannya dengan harga yang telah disepakati.