Hadis 8
Peringatan dari Berburuk Sangka Terhadap Muslim yang Lain
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau telah bersabda, “Hati-hatilah (waspadalah) kalian dari prasangka. Sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling dusta!” ([1])
Makna Prasangka yang Diharamkan
Prasangka adalah sesuatu yang terbetik di dalam hati, hanya berupa dugaan dan tidak ada sesuatu yang menunjukkan kejelasan dan kepastian. Dan prasangka terkadang baik dan seringnya buruk.
Adapun prasangka yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah prasangka yang buruk. Di mana Allah melarang seseorang berprasangka buruk kepada saudaranya. Allah ﷻ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan persangkaan, karena sesungguhnya sebagian persangkaan itu adalah dosa.” (QS. Al Hujurat : 12)
Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud dengan firman Allah, إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ “sebagian persangkaan itu dosa” adalah berprasangka buruk terhadap orang-orang yang keadaan lahirnya baik([2]). Perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan.
Kemudian yang dimaksud dengan sabda Rasulullah, “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk)…”, maksudnya adalah tidak boleh membenarkan prasangka tersebut. Adapun jika persangkaan buruk tersebut hanya terbetik sesaat di dalam hati, padahal dia adalah seorang muslim yang baik, maka hal tersebut tidaklah mengantarkan kepada dosa karena sangat sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku terhadap apa yang terbetik di dalam hatinya, selama mereka tidak mengatakan itu dan tidak mengamalkannya (tidak mengambil tindakan).” ([3])
Atas dasar itulah jika prasangka buruk itu hanya terbetik sesaat saja dalam hati kita kepada seseorang maka tidak berdosa. Dianggap berdosa jika telah membenarkan persangkaan tersebut baik dengan ucapan maupun tindakan.
Prasangka Merupakan Perkataan yang Paling Dusta
Sesuatu yang sudah jelas merupakan kedustaan/kebohongan maka semua orang tidak ada yang mempercayainya. Tetapi sesuatu yang merupakan persangkaan atau dugaan semata, sering kali kita mempercayainya, padahal bisa jadi persangkaan tersebut hanyalah kebohongan. Oleh karena itu, prasangka dikatakan sebagai perkataan yang paling dusta karena banyak orang tertipu dan mudah dibohongi oleh prasangkanya .
Bukankah perbuatan atau pernyataan orang yang kita curigai masih bisa ditafsirkan dengan tafsiran yang baik? Masih banyak kemungkinan, namun sering sekali setan datang, kemudian membisikkan atau mendikte agar menafsirkan perkataan atau perbuatannya dengan tafsiran yang buruk. Umar Bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah berprasangka buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari lisan saudaramu, padahal engkau masih sanggup menafsirkan kalimat tersebut dengan tafsiran yang baik.” ([4])
Al-Imam Ibnu Al-Mubarak berharap berkata,
اَلْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَ وَالْمُنَافِقِ يَطْلُبُ الْعَثَرَاتِ
“Seorang mukmin berusaha mencari uzur bagi saudaranya. Adapun orang munafik mencari-cari kesalahan saudaranya.” ([5])
Sebagian ulama salaf juga mengatakan,
إِذَا زَلَّ أَخٌ مِنْ إِخْوَانِكَ، فَاطْلُبْ لَهُ تِسْعِيْنَ عُذْراً، فَإِنْ لَمْ يقْبَلْ ذَلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ
“Jika salah seorang saudaramu tergelincir dalam suatu kesalahan maka carilah 90 uzur baginya, jika engkau tidak mendapati uzur maka engkaulah yang tercela.” ([6])
Oleh karenanya, ketika perkataan atau perbuatan saudara kita masih mengandung penafsiran baik dan buruk (multi penafsiran), kenapa kita lebih memilih penafsiran yang buruk? Tidak lain karena setan datang lantas mendikte kita agar menafsirkan dengan penafsiran yang buruk. Setelah menafsirkan dengan penafsiran yang buruk, lantas kita membangun hukum di atas penafsiran yang buruk tersebut kemudian kita menyangka bahwa itu adalah sebuah kebenaran. Itulah mengapa Rasulullah mengatakan bahwa persangkaan itu merupakan perkataan yang paling dusta. Karena kita menyangka prasangka itu benar kemudian kita membangun hukum di atas persangkaan tersebut padahal itu merupakan kesalahan.
Kapan Boleh Berprasangka Buruk?
Adapun terhadap para pelaku maksiat dan kefasikan, maka boleh berprasangka buruk terhadap mereka, karena seperti itulah keadaan luar yang tampak pada mereka. Kita diperintahkan untuk menghukumi sesuatu sesuai dengan keadaan luarnya yang terlihat, dan keadaan luar yang terlihat dari mereka (para pelaku maksiat, orang-orang fasik, orang-orang jahat, dan pelaku kriminal) adalah kejelekan, maka boleh berprasangka buruk kepada mereka.
Sedangkan orang yang keadaan luarnya baik, tidak dibenarkan berprasangka buruk kepadanya kecuali setelah terdapat bukti kuat atau qarinah (indikasi) yang menguatkan untuk berprasangka buruk kepadanya. Akan tetapi jika tidak ada indikasi sama sekali, melainkan hanya sekedar persangkaan, maka berprasangka buruk kepadanya hukumnya haram.
Hukum asal kepada seorang muslim yang baik yang bukan ahli maksiat, adalah wajib berprasangka baik kepada mereka. Terutama yang kita tahu biasanya mereka baik, maka kita jangan sembarang berprasangka buruk, tetapi kita berusaha berbaik sangka terlebih dahulu. Lebih-lebih orang yang dekat dengan kita, mereka adalah yang paling utama untuk kita berprasangka baik kepadanya. Misalnya, Ustaz kita yang mungkin mengucapkan perkataan yang keliru, maka kita berprasangka baik dan kita kroscek terlebih dahulu. Orang tua kita, istri/suami kita, anak-anak kita, hendaknya kita berprasangka baik kepada mereka. Seandainya dari lisan mereka terucap perkataan keliru atau mungkin perbuatannya keliru, harus kita kroscek terlebih dahulu.
Berprasangka buruk boleh jika memang ada indikasi yang kuat. Contohnya kisah yang Allah sebutkan dalam Al Quran tentang saudara-saudara Nabi Yusuf u yang meminta izin kepada ayah mereka (Ya’qub u) untuk membawa adik mereka (Yusuf) bermain-main. Lantas mereka memasukkannya ke dalam sumur, karena iri. Kemudian mereka pulang bertemu dengan ayah mereka, lantas mengatakan bahwa Rasulullah Yusuf u telah dimakan oleh serigala. Dan untuk meyakinkan sang ayah, mereka berkata, “Engkau tidak akan percaya kepada kami wahai ayah, meskipun kami jujur.” Mereka juga datang di malam hari sambil menangis seakan-akan Yusuf meninggal dunia. Mereka juga membawa bukti berupa baju Yusuf yang penuh darah.
Akan tetapi Nabi Ya’qub u tidak langsung membenarkan perkataan mereka dan tetap berprasangka bahwa ini adalah kedustaan anak-anaknya, karena ada indikasi yang sangat kuat yang dilihat oleh beliau, yaitu baju Rasulullah Yusuf yang berlumuran darah akan tetapi tidak terkoyak (tidak sobek). Apakah ada serigala yang begitu baik, ketika menyerang mangsanya tidak dicakar tetapi hanya dimakan saja? Tentu saja hal ini tidak mungkin, karena jika benar Rasulullah Yusuf dimakan serigala tentu bajunya sudah terkoyak oleh cakaran serigala.
Dari sini Rasulullah Ya’qub u tidak serta-merta membenarkan perkataan anak-anaknya yang menyatakan bahwa adik mereka (Yusuf) telah dimakan serigala, maka seperti ini diperbolehkan. Jadi, boleh berprasangka buruk jika memang ada indikasi yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub u. Tetapi jika tidak ada, maka haram berprasangka buruk. Oleh karena itu, sebagian salaf berkata,
إِيَّاكَ مِنْ الكَلامِ مَا إِنْ أَصَبْتَ فِيه لَمْ تُؤْجَرْ، وَإِنْ أَخْطَأَتْ فِيه أَثِمْتَ، وَهُوَ سُوءُ الظَّنِّ بِأَخِيكَ
“Hati-hatilah berbicara terkait sesuatu yang seandainya itu benar kamu mendapat pahala. Namun apabila ternyata salah, kamu berdosa, yaitu berprasangka buruk kepada saudaramu.” ([7])
Allah ﷻ melarang prasangka buruk jika tidak ada indikasi. Seandainya kita berprasangka buruk tanpa ada indikasi kuat, dan ternyata persangkaan kita benar maka tetap saja berdosa karena kita membangun persangkaan tersebut tanpa indikasi dan bukti yang menguatkannya. Maka, bagaimana lagi jika ternyata persangkaan kita keliru.
Footnote:
___________
([1]) HR. Bukhari, no. 5143 dan Muslim, no. 2563
([3]) HR. Bukhari, no. 2528 dan Muslim no. 127
([4]) Al-Mukhallishiyyaat, no. 3037, 4/83
([5]) Ihya’ ‘Ulumiddin, karya Al-Imam Al-Ghazali, 1/132