Hadis 7
Larangan Mencela Seorang Muslim Dan Memeranginya
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سِبَابُ المٌسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْر
Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya merupakan kekufuran’.” ([1])
Hadis ini mengandung dua pokok pembahasan yaitu hukum mencela seorang muslim dan hukum memeranginya.
- Mencela Seorang Muslim
Rasulullah mengatakan bahwa mencela seorang muslim merupakan kefasikan. Di dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menggunakan kata سِبَابُ yang artinya mencela. Dalam bahasa Arab dikenal istilahسَبٌّ dan سِبَابٌ dan para ulama membedakan makna keduanya.
- Kata سَبٌّ artinya mencela seorang muslim dengan aib yang memang ada pada dirinya.
- Sedangkan kata سِبَابٌ maknanya lebih parah, yaitu mencela seorang muslim dengan tidak memperdulikan lagi apakah aib tersebut ada padanya atau tidak.[2] Inilah yang merupakan kefasikan.
Kefasikan dalam bahasa arab artinya keluar dari kebenaran. Sedangkan menurut istilah syariat, kefasikan lebih besar (berat) daripada sekedar kemaksiatan.
Hadis ini adalah dalil bahwa orang yang mencela dan mencaci muslim yang lain (saudaranya) baik karena aib yang ada padanya ataupun aib yang tidak ada padanya maka dia telah melakukan suatu kefasikan. Padahal seharusnya seorang muslim menutupi aib saudaranya, bukan malah mengumbarnya, apalagi menuduhnya dengan aib yang tidak ada pada dirinya. Selain itu, kewajiban seorang muslim adalah menjaga lisannya. ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata :
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا
“Rasulullah ﷺ bukanlah seorang keji dan bukan pula seorang yang mulutnya keji.” ([3])
Bahkan Rasulullahﷺ menegur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika mencaci-maki kaum Yahudi, padahal caciannya benar. Namun karena tampak keras dan kasar maka ditegurlah oleh Rasulullah ﷺ. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكُمْ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ قَالَتْ: أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا؟ قَالَ: قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ
“Sekumpulan orang-orang Yahudi meminta izin menemui Rasulullah ﷺ dengan mengucapkan, ‘Assaamu alaikum’ (kebinasaan bagimu). ‘Aisyah membalas, ‘Bal ‘alaikumussaam walla’nah’ (bahkan atas kamulah kebinasaan dan juga laknat). (Mendengar kata-kata ‘Aisyah itu) Rasulullah ﷺ menegur, ‘Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam segala hal.’ ‘Aisyah berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Aku telah menjawab, ‘wa’alaikum’ (begitu pula atasmu)’.”[4]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak salah dalam berucap. Perkataan ‘Aisyah mengenai Yahudi semua ada dalam Al-Quran. Namun Rasulullah ﷺ tetap menegurnya. Jika perkataan yang benar saja apabila disampaikan dengan cara yang kasar itu dilarang apalagi perkataan yang tidak benar. Lebih-lebih lagi jika hal tersebut ditujukan kepada seorang muslim.
Rasulullah ﷺ menegur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha karena cara pandang Rasulullah yang jauh. Rasulullah ingin menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama rahmat. Kalau ‘Aisyah ditegur oleh Rasulullah karena mencaci Yahudi, maka bagaimana mungkin kita boleh mencaci-maki sesama muslim yang lain, atau merendahkannya, dan menghinanya. Orang yang melakukan perbuatan seperti itu sungguh telah terjatuh dalam perbuatan kefasikan.
Namun para ulama mengecualikan, ada orang muslim yang boleh dicela yaitu orang yang memang telah ‘melepaskan pakaian rasa malunya’. Orang yang mencelanya tidaklah menjadi fasik. Misalnya orang yang menampakkan maksiatnya dan menggembar-gemborkan kerusakannya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافىٍ إلاَّ المُجَاهِرُوْنَ
“Seluruh umatku selamat (dimaafkan) kecuali orang-orang yang menampakkan (maksiatnya).” ([5])
Orang yang menampakkan kemaksiatannya dan bangga dengan maksiat yang dilakukannya, tidak masalah orang banyak membicarakan kejelekannya, karena dia sendiri yang telah mengumbar aibnya. Orang yang mencelanya tidak teberharapitung fasik. Adapun yang dilarang adalah mencela seorang muslim yang lahirnya baik, bahkan selaiknya kita berusaha menutup aibnya jika kita mengetahuinya.
- Memerangi Seorang Muslim
Kemudian memerangi seorang muslim adalah suatu kekufuran. Ketika Rasulullah ﷺ menyebut perbuatan tersebut sebagai kekufuran, itu artinya perbuatan tersebut lebih besar lagi tingkatannya daripada kefasikan. Dan dosa perbuatan itu adalah dosa besar. Apalagi sampai membunuh seorang muslim tersebut. Allah ﷻ telah berfirman dalam Al Quran,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahanam, dia kekal dalam neraka Jahanam tersebut dan Allah murka kepadanya dan Allah melaknatnya dan Allah menyiapkan baginya azab yang pedih.” (QS An Nisa’ :93)
Ayat ini berisi ancaman besar bagi orang yang memerangi seorang muslim, apalagi sampai membunuhnya. Karena seorang muslim darahnya sangat teberharapormat, sampai-sampai Rasulullah ﷺ bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Hilangnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” ([6])
Demikianlah karena seorang muslim telah mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”, dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bersaksi bahwa Rasulullah Muhammad adalah utusan Allah, dia bertasbih, berzikir, dan beristighfar. Lalu orang seperti ini dibunuh? Sesungguhnya ini adalah perkara yang sangat besar di sisi Allah. Oleh karena itu, jangankan membunuh seorang muslim, membunuh seorang kafir yang mempunyai perjanjian damai saja maka dia terancam. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh seorang ‘kafir mu’ahad’ (yaitu orang kafir yang antara negara muslim dan kafir tersebut ada perjanjian gencatan senjata/perjanjian damai), maka dia tidak akan mencium ‘aroma surga’, dan sesungguhnya ‘aroma surga’ bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan.” ([7])
Para ulama menjelaskan bahwasanya kekufuran yang dimaksudkan dalam hadis bukan kufur besar yang mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam. Membunuh seorang muslim tanpa hak merupakan dosa besar bahkan termasuk kekufuran, akan tetapi كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ (kekafiran yang di bawah kekafiran), atau dengan istilah lain yaitu kufr asghar (kufur kecil) yang tidak sampai pada derajat kufur akbar. Dalam Aqidah Ahlus-Sunah dikatakan:
“Seseorang yang membunuh seorang muslim, selama dia tidak ‘menghalalkan’ pembunuhan tersebut, dan dia tahu bahwa dia bersalah sebab telah membunuh seorang muslim baik karena emosi atau sebab-sebab yang lainnya, maka dia telah terjerumus dalam dosa besar namun tidak menjadikannya kafir.”
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Jika ada dua golongan dari kaum mukminin yang berperang saling membunuh maka damaikanlah diantara keduanya.” (QS. Al-Hujurat : 9)
Allah mengatakan “Jika ada dua golongan mukminin...” menunjukkan bahwasanya mereka masih memiliki iman sehingga tidak keluar dari Islam meskipun saling membunuh. Bahkan setelah itu Allah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara maka damaikanlah diantara mereka yang bertikai.” (QS. Al-Hujurat : 10)
Dari sini membunuh seorang mukmin tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam, akan tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa yang sangat besar. Kecuali jika dia meyakini atau menghalalkan perbuatannya, barulah perbuatannya itu dapat mengakibatkan dirinya keluar dari Islam karena menghalalkan sesuatu yang haram adalah kekafiran. Orang yang berzina tidak kafir, tetapi ketika dia menghalalkan zina menjadi kafir, karena zina semua orang tahu hukumnya haram, bahkan meskipun ia tidak berzina sekalipun. Hal ini lantaran ia menghalalkan sesuatu yang semua orang tahu akan keharamannya di dalam ajaran agama Islam. Berbeda dengan sesuatu yang masih samar atau diperselisihkan, yang mana hanya sebagian orang saja yang mengetahui hukumnya.
Sama seperti orang yang mengatakan laki-laki boleh nikah dengan laki-laki, maka dia telah kafir dari sisi penghalalannya terhadap perkara yang diketahui keharamannya oleh seluruh umat Islam. Adapun pembunuhan maka perbuatan tersebut tidak sampai pada derajat kufur akbar (kufur besar yang mengeluarkan dari Islam) akan tetapi dia terjerumus ke dalam dosa yang sangat besar.
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak berakhlak buruk, atau mencaci-maki seorang muslim yang lain, apalagi sampai memeranginya, terlebih lagi sampai membunuhnya. Semoga Allah ﷻ menjaga darah kaum muslimin dan menyatukan hati-hati kaum muslimin.
Footnote:
________
([1]) HR. Bukhari, no. 48 dan Muslim, no. (64) 116
[2] Ini adalah pendapat Ibrahim al-Harbi. Di antara ulama ada juga yang tidak membedakan antara سب dengan سباب. Lihat: Fath al-Bari, 1/112.
[4] HR. Muslim no. 2165