Hadis 6
Tanda-Tanda Kemunafikan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, tanda-tanda orang Munafik ada tiga, jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari janjinya, dan jika diberi amanah (diberi kepecayaan) dia berkhianat. ([1])
Dalam redaksi yang lain dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah ﷺ bersabda :
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat perkara jika terdapat pada seorang hamba maka dia adalah seorang munafik yang murni. Barang siapa yang memiliki salah satu dari empat perangai tersebut, maka pada dirinya ada satu dari perangai kemunafikan sampai dia tinggalkan seluruhnya: kalau diberi amanah dia berkhianat, kalau dia berbicara dia berdusta, kalau dia berjanji maka dia berbuat curang, kalau dia bermusuhan maka dia berbuat fajir.” ([2])
Jenis-Jenis Kemunafikan
- Kemunafikan Besar (Nifaq Akbar)
Nifaq akbar merupakan perbuatan kekafiran yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Nifaq akbar disebut juga dengan nifaq i‘tiqadi, yaitu nifaq yang berkaitan dengan keyakinan dengan bentuk menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Inilah kemunafikan orang-orang munafik di zaman Rasulullah ﷺ yang Allah hukum berada di dasar neraka. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya orang-orang Munafiq berada di dasar neraka Jahannam.” (QS An-Nisa’ : 145)
Allah juga menyifati mereka sebagaimana firman-Nya,
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Mereka menipu (melakukan makar/ melakukan penipuan) Allah dan orang-orang yang beriman, namun sebenarnya mereka tidak menipu kecuali diri mereka sendiri dan mereka dalam kondisi tidak sadar.” (QS Al Baqarah : 9)
Orang munafik lebih parah dari orang kafir yang asli karena orang kafir asli menampakkan kekafirannya sehingga semua orang mengetahui hakikat mereka. Berbeda halnya dengan orang munafik, di samping kekafirannya, mereka juga menipu Allah, meskipun Allah maha mengetahui isi hati mereka. Pantas jika mereka dimasukkan ke neraka Jahanam di bagian dasar yang paling bawah, karena apa yang mereka lakukan lebih parah.
Dari sini kita mengetahui bahwa hidayah itu ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya Allah tidak memberi hidayah kepada kita maka kita tidak akan mendapatkan hidayah, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
وَاللَّهِ لَوْلاَ اللَّهُ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا
“Kalau bukan karena Allah, kita tidak bisa mendapatkan hidayah, tidak bersedekah, dan tidak salat.” ([3])
Perhatikanlah keadaan orang-orang munafik! Sebab-sebab hidayah telah datang kepada mereka, di antaranya mereka memahami bahasa Arab, mengerti isi Alquran, mereka berada di dekat Rasulullah dan mendengarkan langsung wejangan-wejangan Rasulullah, mereka ikut menyaksikan ketika ayat-ayat Alquran turun, melihat langsung mukjizat-mukjizat Rasulullah, tetapi tetap saja mereka tidak masuk Islam dengan sebenar-benarnya.
Bahkan mereka ikut salat berjemaah di belakang Rasulullah, dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ، وَصَلَاةُ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya salat yang paling berat bagi orang Munafiq adalah salat Fajar (salat Subuh) dan salat Isya….” ([4])
Mereka melakukan semua itu karena ingin menampakkan bahwa mereka termasuk umat Islam. Kalau tidak terlihat dalam jemaah tentu akan ketahuan. Karena itu mereka tidak mendatangi jemaah salat Shubuh dan Isya karena kondisi gelap sehingga tidak akan ketahuan. Allah ﷻ menyebutkan sifat orang-orang munafik ketika salat,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Kalau mereka salat, salat dengan bermalas-malasan, mereka hanya riya’, ingin agar amalan mereka dilihat oleh manusia dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.” (QS An-nissā’ : 142)
Artinya orang munafik juga salat, bahkan ikut salat berjemaah, dan mereka juga berzikir kepada Allah. Tetapi semua itu dilakukan dengan maksud menipu lantaran batin mereka penuh dengan kekufuran. Inilah kemunafikan akbar. Mereka sudah dibukakan sebab-sebab hidayah di hadapan mereka, tetapi tidak juga beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti Abdullah bin Ubay bin Salul gembong munafik di zaman Rasulullah ﷺ dan yang semisalnya, secara lahiriah mereka Islam tetapi sebenarnya membenci Islam.
Yang semisal dengan mereka masih bisa dijumpai orang-orang munafik di zaman sekarang dengan jenis nifaq akbar. Contohnya seperti sebagian orang yang membenci syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak beriman dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan tidak mau apabila syariat Islam tegak. Mereka suka mengejek orang-orang yang beragama, mengejek syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengejek hadis dan sebagian ajaran Rasulullah ﷺ. Namun mereka mengaku Islam, KTP mereka Islam, terkadang memiliki gelar dalam bidang agama, tetapi mereka benci terhadap syariat Islam, bahkan menghalalkan perkara-perkara yang jelas keharamannya, semisal menghalalkan homoseksual, mengatakan pemeluk semua agama masuk surga, menghalalkan zina (yang penting didasari suka sama suka dan bukan dengan istri orang lain). Hati mereka benci dengan Islam, tidak menerima syariát Islam, akan tetapi KTP-mereka Islam.
- Kemunafikan Kecil (Nifaq Asghar)
Nifaq asghar disebut juga dengan nifaq ‘amali yaitu nifaq yang berkaitan dengan amalan. Artinya hatinya beriman, hanya saja amalannya menyelisihi batinnya, namun tidak sampai pada derajat kekufuran. Kemunafikan inilah yang dimaksudkan dalam hadis yang sedang kita bahas, yaitu sabda Rasulullah ﷺ,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda Munafiq ada 3, yaitu: jika berbicara berdusta, jika berjanji menyelisihi, dan jika diberi amanah berkhianat.” ([5])
Dan tambahan keterangan tentang sifat orang munafik dari hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yaitu,
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“…jika bersepakat dengan orang lain mengkhianati kesepakatan itu dan jika bersengketa dia berbuat kefajiran (curang/licik).” ([6])
Inilah lima ciri-ciri orang munafik dengan nifaq asghar. Kelima ciri tersebut seluruhnya kembali kepada satu muara, yaitu ketidakserasian antara penampakan lahiriah dengan batin (apa yang ada di dalam hati). Inilah yang disebut dengan nifaq ‘amali. Semakin banyak sifat tersebut pada diri seseorang semakin tinggi kadar kemunafikannya.
Oleh karena itu, kita dapati para sahabat dahulu sangat takut mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Ibnu Abi Mulaikah berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah, seluruhnya takut kemunafikan akan menimpa dirinya.” ([7])
Kemunafikan yang dimaksud dalam hadis ini adalah kemunafikan secara umum, termasuk pula nifaq ‘amali. Para sahabat takut kemunafikan menimpa diri mereka, yaitu penampakan lahir menyelisihi batin. Hal inilah yang seharusnya kita khawatirkan. Bayangkan Anda berbicara baik tetapi tidak membenarkannya dalam batin, menampakkan di hadapan orang sebagai hamba yang rajin ibadah tetapi sewaktu bersendirian di kamar malas beribadah. Kelakuan semacam ini oleh para salaf dahulu dianggap termasuk ke dalam nifaq.
Jika muncul pertanyaan, apabila kita dapati kelima ciri tersebut ada pada diri seseorang yaitu jika berbicara selalu berdusta, jika berjanji selalu menyelisihi, jika diberi amanah selalu berkhianat, jika membuat kesepakatan selalu menyelisihi, dan jika bersengketa selalu melakukan kefajiran, apakah dikatakan dia telah munafik dengan nifaq akbar lantas dinyatakan telah kafir? Jawabannya adalah tidak. Dia tetap dikatakan munafik dengan nifaq ‘amali (kemunafikan yang kecil) selama masih terindikasi memiliki keimanan dalam hatinya sehingga belum sampai pada derajat nifaq akbar yang akan menyebabkan dirinya kafir.
Poin lainnya, Rasulullah ﷺ dalam hadisnya menggunakan kata-kata إِذَا yang bermakna “jika”. Rasulullah bersabda, “Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia menyelisihi…” dan seterusnya. Artinya, kata إِذَا di dalam hadis tersebut, menunjukkan akan sifat yang selalu dia lakukan. Sehingga apabila ada seorang mukmin yang kadang-kadang berdusta, tidaklah serta-merta dikatakan sebagai orang munafik (nifaq ‘amali) karena seorang mukmin tidak ada yang bersih dari kesalahan. Terkadang dia berdusta, terkadang menyelisihi janji, terkadang melakukan kefajiran, dan terkadang pula mengkhianati amanah. Tidak bisa dikatakan bahwa dia munafik, akan tetapi dikatakan bahwa dia adalah seorang mukmin namun dia telah melakukan dosa.
Berbeda halnya dengan orang yang selalu melakukan perkara-perkara tersebut, inilah yang disebut sebagai orang munafik dengan nifaq ‘amali. Jadi, patut dibedakan antara seorang mukmin yang terkadang melakukan kesalahan dengan seorang yang benar-benar munafik, karena selalu melakukan kesalahan-kesalahan tersebut dan secara berulang-ulang.
Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kelima sifat munafik dengan nifaq ‘amali.
- Jika berbicara dia berdusta
Selalu berdusta dikatakan sebagai sifat munafik karena dia mengetahui apa yang dia sampaikan itu sebenarnya dusta tetapi dia tetap menyampaikannya, seolah yang dia katakan itu adalah kebenaran. Sehingga lahirnya menyelisihi batinnya. Batinnya tahu apa yang disampaikan itu kedustaan, namun dia tetap menyampaikan secara terang-terangan sekan-akan apa yang dia ucapkan adalah kebenaran. Inilah yang merupakan sifat munafik.
Adapun dusta yang tidak sengaja di lakukan, misalnya seseorang terlanjur menyampaikan kabar, dan dia tidak tahu sebelumnya bahwa kabar tersebut salah (belum sampai kepadanya informasi bahwa yang dia sampaikan ternyata salah) maka orang ini tidak dikatakan mempunyai sifat munafik, karena dustanya tidak disengaja. Hal ini sangat mungkin terjadi pada seorang mukmin. Dia ditanya dengan suatu pertanyaan kemudian dia jawab dengan tanpa berpikir sebelumnya, dan ternyata jawabannya keliru.
Inti dari sifat munafik adalah penyelisihan antara lahir dan batin dengan disengaja, yaitu sengaja berdusta. Dia tahu itu dusta tetap dia tetap menyampaikannya seakan suatu kebenaran.
- Jika berjanji dia menyelisihi
Di zaman sekarang banyak sekali fenomena menyelisihi janji. Janji ketemuan dengan teman tetapi tidak datang-datang. Janji bayar utang tetapi tidak kunjung dilunasi. Oleh karena itu, seharusnya seorang muslim tidak gampang berjanji. Seorang muslim harus berusaha berkomitmen, jika sudah berjanji maka harus ditepati.
Penyelisihan terhadap janji ada 3 bentuk :
- Berjanji tetapi niatnya tidak akan menepati janji tersebut. Inilah yang merupakan sifat munafik, karena lahirnya menyelisihi batinnya. Dia berjanji akan melakukan demikian tetapi di dalam hatinya dia berkata, “Saya tidak akan melakukannya.” Ini jelas kemunafikan dan merupakan perbuatan yang sangat buruk.
- Berjanji kemudian di dalam hatinya dia bertekad akan memenuhi janji tersebut, namun Allah berkehendak lain. Setelah itu dia tidak melakukan sebagaimana yang dia janjikan, karena ada uzur dibenarkan agama. Bentuk ini sama sekali bukan termasuk kemunafikan dan orang ini sama sekali tidak berdosa, karena dia sudah berniat untuk memenuhi janji namun tidak sanggup menepatinya dikarenakan uzur.
- Berjanji kemudian di dalam hatinya dia bertekad akan memenuhi janji, tetapi pada akhirnya dia tidak memenuhi janji tersebut, namun tanpa uzur (tanpa ada alasan yang dibenarkan). Lantas apakah orang ini berdosa dan termasuk dalam sifat-sifat orang munafik? Jawabannya, wallahu a’lam bish shawwab bentuk ini tidak termasuk sifat orang munafik, karena sebelumnya telah dijelaskan bahwa: “Seluruh sifat-sifat nifaq ‘amali kembali kepada penyelisihan lahir dan batin.”
Hanya saja apakah dia berdosa atau tidak. Lahir dan batin Orang ini sudah benar, dia telah berjanji dan dalam hatinya juga akan memenuhi, akan tetapi setelah itu tiba-tiba dia menyelisihi. Dia tidak memenuhi janjinya tanpa ada uzur sama sekali. Di kalangan para ulama telah terjadi ikhtilaf mengenai statusnya berdosa atau tidak.
Jumhur ulama (mayoritas ulama), seperti tiga imam madzhab, yaitu Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad, mereka berpendapat bahwasannya orang ini tidak berdosa, karena terdapat hadis Di mana Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا وَعَدَ الرَّجُلُ أَخَاهُ، وَمِنْ نِيَّتِهِ أَنْ يَفِيَ لَهُ فَلَمْ يَفِ وَلَمْ يَجِئْ لِلْمِيعَادِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang sudah berjanji kepada saudaranya, kemudian dia berniat untuk memenuhi janjinya, kemudian dia tidak memenuhi, maka dia tidak berdosa.” ([8])
Ini adalah dalil jumhur ulama bahwasanya orang tersebut tidak berdosa. Hanya saja hadis ini adalah hadis yang lemah. Oleh karena itu, pendapat yang kuat adalah pendapat sebagian ulama dan sebagian salaf seperti ‘Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al Bashri dan Ishaq bin Rahawaih dan juga merupakan pendapat kalangan Zahiriyyah, bahwasanya orang tersebut berdosa karena dia telah berjanji dan kewajiban bagi dia adalah memenuhi janjinya.
Dia tidaklah berdosa jika memang memiliki uzur. Tetapi jika tidak ada maka tidak boleh dan tetap berkewajiban memenuhi janjinya. Dalam hal ini dia menyerupai orang-orang munafik. Meskipun kita tidak mengatakan itu adalah sifat orang munafik, namun terdapat kemiripan dengan sifat orang munafik yang jika berjanji maka diniatkan sejak awal untuk menyelisihinya. Sehingga yang seperti ini hukumnya haram dan pelakunya berdosa meskipun tidak sampai pada derajat kemunafikan.
- Jika bersengketa dia berbuat kefajiran (curang/licik)
Jika bersengketa atau masuk dalam persidangan dengan saudaranya, dia melakukan kefajiran (keluar dari jalan kebenaran), misalnya dengan mendatangkan bukti-bukti yang batil (bukti-bukti palsu). Ini adalah sifat kemunafikan, karena sebenarnya dia tahu bahwa bukti-bukti yang dia datangkan tidak benar atau dia melakukan pengakuan-pengakuan palsu. Intinya, jika dia sedang bersengketa dia berusaha agar lawan sengketanya kalah, meskipun dengan perkara-perkara dusta yang tidak benar.
- Jika membuat kesepakatan maka dia menyelisihi
Allah ﷻ telah memerintahkan agar kita memenuhi kesepakatan kita. Allah ﷻberfirman,
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Penuhilah kesepakatan (perjanjian) karena sesúngguhnya kesepakatan (perjanjian) tersebut akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’: 34)
Allah ﷻjuga berfirman dalam ayat yang lain,
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
“Penuhilah janji kepada Allah kalau kalian sudah berjanji, dan janganlah kalian membatalkan janji setelah kalian menekankan janji tersebut.” (QS An Nahl: 91)
Rasulullah ﷺ bersabda,
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعْرَفُ بِهِ، يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ
“Setiap orang yang berkhianat (menyelisihi kesepakatan) akan diberikan bendera baginya pada hari kiamat agar dikenali dengannya. Lalu kemudian dikatakan, ‘Inilah pengkhianatan Si Fulan yang tidak menjalankan perjanjian’.” ([9])
Adapun terkait perjanjian dengan orang kafir, bisa dibayangkan jika seandainya terjadi perjanjian antara seorang muslim dengan seorang kafir, lalu dia mengkhianati perjanjian tersebut kemudian dia membunuh orang kafir tersebut. Misalnya, ada negara Islam dengan negara kafir mengadakan perjanjian damai, yaitu mereka akan melakukan gencatan senjata. Kemudian ada seorang muslim yang menyelisihi perjanjian ini dengan membunuh salah seorang kafir dari negara tersebut tanpa hak, maka seorang muslim ini tidak akan mencium bau surga. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh orang ‘kafir mu’ahad’ (orang kafir dalam perjanjian gencatan senjata/ perjanjian damai), maka dia tidak akan mencium ‘aroma surga’. Sesungguhnya ‘aroma surga’ bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan.” ([10])
Ancaman ini berkaitan dengan kesepakatan antara seorang muslim dan orang kafir. Lantas bagaimana lagi jika kesepakatan tersebut adalah diantara seorang muslim dengan muslim yang lainnya!?
- Jika diberi amanah dia berkhianat
Yaitu seseorang yang diberi amanah (titipan), kemudian dia tidak menunaikan titipan (amanah) tersebut. Padahal Allah ﷻ telah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak menerima amanah tersebut.” (QS An Nisa’: 58)
Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda,
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” ([11])
Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari sifat-sifat munafik ini sejauh-jauhnya.
Footnote:
______________
([1]) HR. Bukhari, no. 33 dan Muslim, no. (59) 107
([2]) HR. Bukhari no. 34 dan HR. Muslim no. 106
([4]) HR. Muslim, no. (651) 252
([6]) HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 254
([8]) Abu Daud, no. 4995 didaifkan oleh Al-Albani
([9]) HR. Bukhari, no. 6177 dan Muslim, no. 1736
([10]) HR. Bukhari, no. 3166 dan Ibnu Majah, no. 2686
([11]) HR. Abu Daud, no. 3534 dan Tirmidzi, no. 1264 disahihkan oleh Al-Albani