Hadis 5 :
Celaan Terhadap Riya’
وَعَنْ مَحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟” قَالَ: اَلرِّيَاءُ
“Dari sahabat Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Kemudian para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, Wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya’.”([1])
Makna Riya’
Kata رِيَاء diambil dari رَاءَى – يُرَائِي yang artinya memperlihatkan, yakni memperlihatkan amal saleh. Memperlihatkan tersebut bisa dengan cara menampakkannya, membicarakannya, atau menceritakannya.
Riya’ (dalam Bahasa Indonesia: Ria) adalah termasuk akhlak buruk kepada Allah, bukan kepada manusia. Penyakit riya’ umumnya justru diidap oleh orang yang sangat baik akhlaknya kepada sesama manusia, karena tujuannya memang mencari pujian manusia. Sehingga dia akan menunjukkan akhlak mulianya kepada orang lain, mungkin dengan salatnya, murah senyum, atau dengan mudah bersedekah. Tetapi semuanya dilakukan bukan karena Allah melainkan karena ingin dipuji oleh manusia.
Riya’ dikatakan sebagai perbuatan syirik, karena seseorang yang riya’ ketika beribadah dia telah menjadikan manusia sebagai tandingan untuk Allah ﷻ. Tujuan dia beribadah bukan karena Allah semata, tetapi juga karena makhluk, dia ingin dipuji oleh manusia, ingin disanjung, ingin dilihat, ingin dihormati dan diakui. Dari sisi inilah, riya’ dikatakan sebagai syirik kecil.
Jenis-Jenis Syirik
Berdasarkan hadis ini bisa disimpulkan bahwa syirik terbagi menjadi 2, yaitu syirik akbar (besar) dan syirik asghar (kecil).
- Syirik Akbar (besar)
Syirik akbar adalah perbuatan syirik yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Orang yang melakukan syirik besar akan ditimpa 3 musibah:
- Seluruh amalannya akan gugur
Allah ﷻ berfirman,
و َلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Telah diwahyukan kepada engkau dan juga Rasulullah-Rasulullah sebelum engkau. Apabila engkau berbuat syirik (syirik akbar) maka akan gugurlah seluruh amalanmu, dan sungguh engkau akan menjadi orang yang merugi (di neraka Jahanam).”([2])
Ancaman ini berlaku untuk umat Rasulullah Muhammad ﷺ dan juga umat seluruh utusan Allah sebelumnya. Demikian pula dalam ayat yang lain, setelah menyebutkan para utusan-Nya, Allah kemudian berfirman mengenai mereka,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Kalau seAndainya mereka berbuat kesyirikan maka akan gugur seluruh amalan yang telah mereka lakukan.”([3])
Ayat ini disampaikan kepada para rasul padahal mereka tentu saja tidak akan melakukan kesyirikan, karena dijaga oleh Allah ﷻ. Jadi maksudnya adalah seandainya Rasulullah Muhammad ﷺ yang mana beliau adalah manusia yang paling mulia, yang mana surga tidak akan terbuka kecuali diketuk oleh beliau, juga melakukan kesyirikan maka amalannya akan gugur, apa lagi orang-orang yang kedudukannya berada di bawah Rasulullah ﷺ.
Sebagai contoh ada seorang hamba yang selama 60 tahun melakukan amal saleh, kemudian sebelum meninggal dunia dia melakukan syirik besar, maka amalannya selama 60 tahun tersebut baik berupa haji, sedekah, infak, dan berbakti kepada orang tua, seluruhnya gugur. Karena dia akhiri amalannya dengan berbuat syirik besar kepada Allah ﷻ.
- Dosanya tidak akan diampuni
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa lainnya bagi siapa yang Ia kehendaki.”([4])
Jika seseorang meninggal dunia dalam kondisi berbuat maksiat, misalnya sedang berzina, atau karena bunuh diri, atau merampok lalu meninggal karena ditembak polisi, maka dia telah melakukan dosa besar yang mana belum sempat bertobat sehingga terancam dengan neraka Jahanam. Akan tetapi masih ada kemungkinan bagi Allah untuk mengampuninya.
Berbeda halnya jika dia meninggal dalam keadaan berbuat syirik besar dan belum sempat bertobat, maka mustahil diampuni oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ
“Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari ayat-ayat Allah (mendustakan ayat-ayat Allah) maka tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga sampai onta bisa dimasukkan ke dalam lubang jarum.”([5])
Orang musyrik mustahil masuk ke dalam surga kecuali setelah onta bisa dimasukkan ke dalam lubang jarum. Sedangkan tidak mungkin ada onta yang bisa masuk ke dalam lubang jarum, artinya tidak mungkin orang musyrik itu masuk surga.
- Kekal di dalam neraka Jahanam
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَ مَأْوَاهُ النَّارُ وَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah maka telah Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka Jahanam dan tidak ada penolong baginya.”([6])
Ketiga musibah ini saling berkaitan. Barang siapa yang melakukan syirik besar maka seluruh amalannya akan gugur, kemudian jika ia meninggal dalam keadaan belum bertobat maka tidak akan diampuni oleh Allah, dan akan dikekalkan di dalam neraka.
- Syirik Asghar (kecil)
Adapun syirik kecil maka yang gugur (dihapus) adalah amalan saleh yang bercampur dengan syirik kecil tersebut saja. Misalnya seseorang bersedekah sebanyak 3 kali, yang pertama ikhlas, yang kedua riya’, kemudian yang ketiga ikhlas lagi, maka pahala yang gugur adalah pahala sedekah yang kedua saja, sedangkan yang pertama dan ketiga tidak gugur.
Meskipun demikian, syirik kecil tetap saja dosa besar karena beberharapubungan dengan hak Allah ﷻ. Sebagaimana hadis tentang tiga kelompok orang yang akan diazab Allah pertama kali di neraka sebelum yang lainnya dikarenakan perbuatan riya’. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ.
“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta! Engkau berperang supaya dikatakan sebagai seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur’an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau berdusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang alim dan engkau membaca Al-Qur’an supaya dikatakan seorang qari. Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‚Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (kepada malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.”([7])
Hadis ini menunjukkan betapa sengsaranya di akhirat kelak orang yang suka riya’ selama hidup di dunia. Hadis ini juga menunjukkan bahwasanya perbuatan riya’ merupakan dosa besar, karena bisa menyebabkan seseorang diseret ke dalam neraka Jahanam.
Rasulullah ﷺ menyebutkan tiga golongan yang pertama kali diazab di akhirat. Pertama, orang yang berperang karena riya’, Allah telah memberikan nikmat kepada mereka berupa kehebatan dalam bertempur, tubuh yang kuat, dan keberanian. Tetapi dia berperang agar dikatakan sebagai pemberani. Orang ini rela mengorbankan dirinya agar bisa diakui dan dikatakan sebagai pahlawan. Kedua, orang yang menuntut ilmu agama dan mengajarkannya karena riya’. Sehingga para penuntut ilmu, Ustaz, Kyai, dan orang-orang yang ilmunya tinggi juga bisa dilemparkan ke dalam neraka disebabkan karena niatnya yang tidak beres. Kemudian ketiga, Rasulullah menyebutkan keadaan orang kaya yang suka bersedekah karena riya’. Dia bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin, jika ada orang yang membangun masjid maka dia ikut membantu, jika ada orang yang mendirikan sebuah pondok pesantren maka dia membantu seluruhnya, dan dia katakan semua ini karena Allah ﷻ. Tetapi tidaklah dia bersedekah melainkan karena ingin disebut dermawan. Sehingga dengan sebab itu ia dilemparkan ke dalam neraka Jahanam.
Demikianlah tiga keadaan manusia yang memanfaatkan nikmat Allah ﷻ untuk beramal tetapi bukan karena Allah. Ingatlah bahwasanya seluruh kenikmatan yang kita miliki akan ditanya oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Sungguh kalian akan ditanya tentang nikmat yang kalian dapatkan.”([8])
Riya’ Lebih Berbahaya dari Fitnah Dajal
Riya’ umumnya menimpa orang-orang saleh. Oleh karena itu, khitab (wacana pembicaraan) Rasulullah pada hadis ini pertama kali ditujukan kepada para sahabatnya([9]) yang merupakan orang-orang saleh. Tidak ada sesuatu yang bisa diriya’kan oleh para pecandu khamr, begitu juga oleh para pelaku maksiat lainnya. Dalam suatu hadis, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah pernah bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ؟ قَالَ: قُلْنَا: بَلَى، فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian, tentang yang lebih aku khawatirkan atas kalian daripada fitnahnya Al-Masih Ad-Dajjal?” Kemudian para sahabat berkata, “Tentu, wahai Rasulullah, apakah itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Asy-Syirkul Khafiy (syirik yang tersembunyi). (Kemudian Rasulullah mencontohkan) “Seseorang berdiri kemudian dia salat dan dia bagus-baguskan salatnya, karena dia tahu ada orang yang melihatnya.”([10])
Seperti inilah gambaran riya’, seseorang yang salat kemudian dia bagus-baguskan salatnya karena dia tahu ada orang lain yang sedang memperhatikannya ketika sedang salat. Sehingga dia ingin supaya orang itu menganggap bahwa dirinya adalah orang yang salatnya bagus.
Bahaya riya’ lebih ditakutkan Rasulullah ﷺ menimpa diri kita daripada bahaya fitnah Dajal, padahal fitnah Dajal adalah fitnah yang sangat berbahaya. Hanya saja, meskipun Dajal merupakan fitnah yang sangat berbahaya, ada dua hal yang membuatnya masih tidak lebih berat daripada bahaya riya’,
Pertama, Dajal hanya muncul sekali di akhir zaman sedangkan fitnah riya’ terjadi setiap saat. Selama hidup, seorang muslim akan terus berjuang untuk melawan fitnah riya’
Kedua, orang-orang yang terfitnah dan menjadi pengikut Dajal bukan dari golongan orang-orang yang saleh melainkan para pelaku maksiat, orang-orang kafir, munafik, Yahudi atau orang-orang yang imannya lemah. Beda dengan riya’ yang bisa menimpa orang-orang saleh.
Oleh karena itu, kita dapati orang-orang yang paling takut dengan riya’ adalah orang-orang saleh. Mereka akan berusaha untuk selalu mengecek dan memperhatikan niat mereka. Mereka tidak percaya diri bahwa mereka sudah ikhlas. Mereka juga selalu khawatir terjerumus ke dalam riya’. Karena jika tertimpa riya’, maka ibadah yang sudah susah-susah dilakukan menjadi tidak diterima. Para ulama terdahulu sangat khawatir dengan riya’.
Disebutkan dalam biografi Imam Al-Mawardy, dia menulis banyak buku dengan berbagai macam judul namun dia tidak mencetak buku-buku tersebut. Menjelang meninggal dunia dia pun memanggil seseorang yang ia percaya lalu berkata kepadanya
الكُتُبُ الَّتِي فِي المَكَان الفُلاَنِي كُلُّهَا تَصنِيفِي، وَإِنَّمَا لَمْ أُظْهِرهَا لأَنِّي لَمْ أَجِدْ نِيَّة خَالصَةً، فَإِذَا عَايَنْتُ المَوْتَ، وَوَقَعْتُ فِي النزع، فَاجعل يَدَكَ فِي يَدي، فَإِنَّ قبضتُ عَلَيْهَا وَعَصَرْتُهَا، فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يُقبلْ مِنِّي شَيْءٌ مِنْهَا، فَاعْمَدْ إِلَى الكُتُب، وَأَلقهَا فِي دِجْلَة، وَإِن بَسَطْتُ يَدي، فَاعْلَمْ أَنَّهَا قُبِلَتْ
“Buku-buku yang ada di tempat itu semua ini adalah tulisanku. Hanya saja aku tidaklah memunculkannya karena aku belum mendapatka niat yang ikhlash. Jika maut sudah hadir di hadapanku dan ruh sudah mau keluar dariku maka letakanlah tanganmu di tangaku. Jika tanganku menggenggam tanganmu dengan keras maka ketahuilah bahwa tidak ada satu buku-ku pun yang diterima oleh Allah dariku, maka ambilah buku-buku tersebut lalu buanglah di sungai Dijlah. Jika tanganku terbuka maka ketahuilah bahwasanya buku-buku tersebut diterima oleh Allah”
Lelaki tersebut berkata, “Ketika ia akan meninggal maka akupun meletakan tanganku di tangannya, maka iapun membentangkan (membuka) telapak tangannya, maka akupun memunculkan kitab-kitabnya” ([11])
Beliau takut riya’ karena ilmunya yang luar biasa. Sekarang orang-orang memuji buku-buku tersebut. Seandainya pujian-pujian tersebut dia dengar saat dia masih hidup, dia khawatir akan riya’. Ini menunjukkan ketakutan para salaf dari yang namanya riya’. Berkata Sufyan Ats-Tsauri berharap,
مَا عَالَجْتُ شًيْئًا أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي لِأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيّ
“Aku tidak pernah beberharapadapan dengan perkara yang paling berat seperti memperbaiki niatku. Karena niat itu berubah-ubah.”([12])
Demikianlah riya’, setan tidak akan peduli apakah orang tersebut rajin beribadah, rajin bersedekah, berjihad, dan yang lainnya, setan hanya cukup menggelitik hatinya agar dia riya’. Dimasukkan ke dalam hatinya niat yang busuk, yaitu keinginan agar dia diakui dan dihormati oleh masyarakat. Dan seketika itu hancurlah ibadahnya, padahal dia sudah berkorban begitu banyak.
Sesungguhnya orang yang riya’ dalam ibadah tidak hanya rugi dengan ibadahnya yang rusak dan tidak diterima oleh Allah ﷻ, tanpa ada dampak yang buruk. Jika seAndainya riya’ itu pada akhirnya hanya mendapatkan pahala nol dan tidak ada dampak buruk maka itu masih lebih baik, akan tetapi riya’ itu adalah itu syirik kecil.”
Jadi, seseorang yang sudah beribadah namun disertai riya’, dia tidak hanya mendapatkan pahala “nol”, tetapi dia mendapatkan “minus”, bahkan minusnya besar. Hal ini disebabkan karena riya’ adalah syirik kecil, dan walaupun kecil tetap saja termasuk dosa besar. Dari sini kita mengerti, kenapa Rasulullah ﷺ sangat khawatir kepada para sahabatnya dan juga orang-orang saleh terkena penyakit riya’. Oleh karena itu, seorang muslim harus takut dengan penyakit riya’ dan tidak meremehkan masalah ini.
Hinanya Orang Riya’
Kemudian ﷺ bersabda dalam kelanjutan hadis yang sedang kita bahas,
يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Allah berkata kepada mereka tatkala Allah membalas amalan manusia dengan balasan, pergilah kalian kepada mereka yang dahulu kalian cari muka terhadap mereka. Perhatikanlah, apakah kalian akan mendapati balasan dari mereka?”([13])
Potongan hadis ini menjelaskan tentang hinanya orang-orang yang riya’ pada hari kiamat, mereka akan dipermalukan oleh Allah. Ketika di dunia mereka beramal saleh karena mencari Perhatian dan pujian orang lain, maka Allah pada hari kiamat menyuruh mereka untuk mencari ganjaran amal saleh dari orang-orang tersebut. Ini merupakan bentuk penghinaan untuk mereka. Allah ﷻ menyebutkan tentang riya’ di dalam Al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”([14])
Orang yang riya’ telah menipu orang-orang di sekitarnya, orang-orang melihatnya seakan-akan tulus, rajin salat, rajin puasa, rajin bersedekah, rajin berdakwah, seakan akan dia calon penghuni surga, karena amalan dia pasti mendapatkan ganjaran yang besar. Tetapi ternyata dia menipu orang-orang di sekitarnya, ternyata dia menyembunyikan riya’ dalam hatinya.
Dia menipu orang lain dan juga menipu dirinya sendiri. Amalan yang dia lakukan seakan-akan tanah yang bisa menumbuhkan tetumbuhan, ternyata tanah tersebut tidak subur sama sekali, hanya fatamorgana yang ada di atas batu yang licin. Begitu terkena hujan yang deras, tampaklah hakikatnya ternyata tidak bisa menumbuhkan apa-apa. Demikianlah orang yang riya’ pada hari kiamat, Allah ﷻ akan membongkar hakikatnya.
Bentuk-Bentuk Riya’
Perkara yang membuat Rasulullah ﷺ sangat mengkhawatirkan riya’ menimpa umatnya adalah karena pintu-pintu riya’ (hal-hal yang menimbulkan riya’) itu sangatlah banyak, riya’ bisa muncul dalam berbagai bentuk. Di antara yang disebutkan oleh para ulama tentang bentuk-bentuk riya’ adalah riya’ yang jelas dan riya’ tersembunyi. Berikut sebagian contohnya,
- Riya’ yang jelas
Contoh perbuatan riya’ yang jelas di antaranya sengaja menampakkan badan dalam kondisi lemas di pagi hari agar orang tahu bahwa tadi malam dia salat malam. Atau sengaja menampakkan bibir dalam kondisi kering untuk menunjukkan bahwa dia sedang berpuasa sunah. Hanya saja boleh jadi benar-benar dalam kondisi lemas bukan karena riya’, atau bibirnya kering bukan karena riya’, tetapi memang kondisinya membuat seperti itu.
Contoh lainnya yaitu seseorang yang sengaja menunjukkan ibadahnya dengan kondisi tubuhnya, misalnya sengaja menghitamkan keningnya supaya orang tahu bahwa dia banyak sujud dan lain sebagainya. Atau sengaja membawa tasbih agar orang tahu bahwasanya dia suka berzikir. Atau dia menggerakkan bibirnya di hadapan banyak orang agar orang tahu bahwa dia rajin berzikir. Ini semua adalah riya’ yang tampak jelas.
Namun patut diingat, kita menjelaskan bentuk-bentuk riya’ tujuannya bukan untuk mengidentifikasi keadaan orang lain lantas menuduhnya riya’ atau tidak, karena riya’ adalah masalah hati dan apa yang ada di dalam hati hanya diketahui oleh Allah ﷻ. Sangat mungkin orang lain melakukannya karena dia memang ikhlas kepada Allah ﷻ. Tetapi tujuan menjelaskan contoh-contoh ini sebagai bahan introspeksi diri kita masing-masing agar kita tidak sengaja melakukannya karena ingin riya’.
- Riya’ yang tersembunyi
Ini adalah cara halus dari setan untuk menjerumuskan seseorang ke dalam riya’. Di antara contohnya seperti seseorang yang menceritakan kejelekan orang lain, misalnya dia berkata, “Si fulan itu bakhil” atau “Si fulan itu malas salat malam”, sehingga orang yang diajak berbicara tersebut akan beranggapan bahwa dia tidak seperti si fulan. Dia mengatakan bahwa si fulan malas salat malam, tidak pernah salat berjemaah, setiap salat subuh tidak pernah kelihatan. Namun sebenarnya dia bermaksud riya’, untuk menunjukkan bahwa dirinya rajin salat malam, rajin salat berjemaah, dan salat subuh selalu berjemaah.
Orang yang mencela saudaranya seperti ini dalam rangka riya’ terjerumus ke dalam dua kesalahan. Pertama, dia telah melakukan dosa besar karena menggibah saudaranya, saudaranya menjadi korban dalam rangka mengangkat dirinya. Kedua, pendengar akan memahami bahwa orang ini tidak seperti orang yang dia cela dan inilah riya’ terselubung.
Contoh riya’ terselubung lainnya adalah menceritakan kenikmatan dunia secara berlebih-lebihan yang dia dapat. Misalnya dia berkata, “Alhamdulillah, saya dimudahkan oleh Allah mencari uang.” Bersyukur kepada Allah merupakan hal yang baik bahkan harus, akan tetapi jika kita menceritakan kenikmatan, dimudahkan mendapatkannya, dan lain sebagainya karena ingin menunjukkan seakan-akan kita orang saleh, sekan-akan kita wali (kekasih) Allah ﷻ sehingga dimudahkan oleh-Nya, maka hal ini juga merupakan perbuatan riya’. Beda halnya jika niatnya karena benar-benar bersyukur maka tidak mengapa.
Contoh riya’ terselubung lainnya adalah seseorang memuji gurunya setinggi langit dengan mengatakan bahwa gurunya adalah orang saleh, alim, dan seterusnya. Namun dengan maksud agar dia mendapat imbas baiknya yaitu mengangkat derajat dirinya. Dia berkata, “Itu guru saya, saya adalah muridnya.” Dia mengangkat derajat gurunya setinggi langit agar dia sebagai muridnya juga terangkat, maka hal ini juga merupakan riya’ terselubung. Atau sebaliknya, seseorang merendahkan dirinya dengan mengatakan, “Saya ini begini dan begitu.” Terkadang dia menyebutkan sebagian kekurangannya, dengan tujuan agar dia dikatakan sebagai orang yang tawaduk (rendah hati).
Contoh lainnya, seseorang menyampaikan bahwa dia beberharapasil berdakwah dan banyak orang yang menghadirinya. Sebenarnya, jika kita senang karena banyak orang yang mendengar dakwah kita, maka tidaklah tidak mengapa karena ini merupakan nikmat dari Allah. Akan tetapi terkadang ada niat buruk dalam diri kita (yaitu) ingin menyampaikan, “Saya pandai dalam menyampaikan, banyak yang datang itu karena Sayanya, bukan karena Allah.” Maka hal ini juga merupakan riya’ terselubung. Dan banyak lagi bentuk-bentuk riya’ terselubung.
Semoga Allah menjauhkan kita dari segala pintu-pintu riya’ karena pintu-pintu riya’ yang dihiasi oleh setan sangatlah banyak. Hal inilah yang menyebabkan ﷺ sangat mengkhawatirkan orang-orang saleh terjerumus ke dalam riya’.
Kiat-Kiat Agar Terlindung Dari Penyakit Riya’
- Berdoa kepada Allah ﷻ
Berdoa merupakan kiat paling penting yang hendaknya dirutinkan oleh seorang muslim. Dia berdoa kepada Allah dengan tulus dan serius agar Allah ﷻ menjauhkannya dari penyakit riya’. Di antara doa tersebut adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah yaitu,
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ، وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
“Ya Allah, kami berlindung kepada Engkau dari kesyirikan yang kami sadari dan kami berlindung kepada Engkau dari kesyirikan yang tidak kami sadari.”([15])
Sesungguhnya pintu-pintu riya’ itu sangatlah samar. Betapa banyak pintu-pintu riya’ yang ada di hadapan seseorang dan dia masuk ke dalam pintu tersebut tanpa dia sadari. Ditambah setan memiliki berbagai macam metode (langkah-langkah) untuk menjerumuskan manusia ke dalam riya’. Sehingga seseorang itu harus berdoa kepada Allah menjauhkannya dari riya’.
Bisa juga membaca doa apabila ada orang yang memuji kita seperti doa yang diucapkan oleh para salaf,
اَللَّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ وَاغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَعْلَمُوْنَ وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
“Ya Allah, jangan engkau azab aku karena perkataan mereka. Ampuni mereka atas apa yang mereka tidak ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan.”([16])
- Berusaha menyembunyikan amal saleh
Jika seseorang mempunyai amal saleh, hendaklah tidak diceritakan kecuali jika ada maslahat yang jelas. Pada asalnya kita berusaha menyembunyikan amal kita dan tidak menceritakannya kepada orang lain. Karena amal saleh yang dikerjakan dengan diam-diam pahalanya lebih besar daripada yang dikerjakan terang-terangan. Dua-duanya jika dilakukan dengan ikhlas masing-masing akan mendapatkan pahala, tetapi amalan yang tersembunyi pahalanya lebih besar. Allah ﷻ berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Jika kalian menampakkan sedekah maka itu baik, namun jika kalian sembunyikan sedekah kalian dan kalian berikan kepada orang fakir maka itu lebih baik bagi kalian.”([17])
Ayat ini menunjukkan bahwa amalan yang diterima itu ada dua derajat, pertama adalah amal yang ikhlas namun disaksikan oleh orang lain, kedua adalah amal yang ikhlas namun disembunyikan atau tidak diperlihatkan kepada orang lain. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ memuji tujuh golongan manusia akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat nanti. Salah satu di antaranya adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seseorang yang berinfak lalu dia rahasiakan infaknya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”([18])
Padahal tangan kiri adalah teman dekat tangan kanan. Di mana ada tangan kanan, tangan kiri selalu bersama dan bekerja sama dengannya. Namun untuk urusan amal saleh, ketika tangan kanan bersedekah maka disembunyikan sampai-sampai sahabat dekatnya yaitu tangan kiri tidak mengetahuinya. Yaitu hingga sebagian tubuhnya sendiri tidak tahu apa yang dia lakukan Hal ini menunjukkan bahwa dirinya berusaha untuk menyembunyikan amal salehnya.
Dahulu para salaf benar-benar berusaha menyembunyikan amal mereka. Adapun sekarang, kita jumpai orang-orang berusaha dengan berbagai macam metode dan gaya mengumbar, men-share, mempublikasikan amalan saleh mereka. Melalui berbagai macam media sosial dengan cara memfotonya lalu menjadikannya DP (display picture) atau mengunggahnya ke media sosial tersebut. Misalnya dengan bergaya mengangkat kedua tangan sambil berdoa di depan Kakbah kemudian difoto. Sebenarnya dia tidak sedang berdoa kepada Allah, hanya bergaya saja kemudian difoto lalu memamerkannya ke teman-temannya. Maka hendaknya seseorang berusaha keras menyembunyikan amal salehnya. Kalau bisa, dia umrah tidak ada yang tahu, beberharapaji tidak ada yang tahu, berjalan ke Masjid Nabawi tidak ada yang tahu.
Hendaknya seseorang juga melatih dirinya agar kanaah (merasa puas) ketika yang mengetahui amalannya hanyalah Allah. Jika Allah sudah mengetahui amal yang dia lakukan maka dia merasa puas, sehingga dia tidak punya syahwat (keinginan) agar orang lain mengetahui amalan dia, cukup dia tahu bahwa Allah sudah mengetahui. Dia boleh membagikannya atau mengumumkannya jika memang ada maslahatnya (kebaikan yang diharapkan). Akan tetapi jika sekedar memamerkan agar orang lain tahu, maka ini adalah pintu besar yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam riya’. Oleh karena itu, menyembunyikan ibadah dan amalan merupakan sarana yang kuat agar teberharapindar dari penyakit riya’.
- Mengingat akan bahaya riya’ dan bahagianya orang ikhlas
Bahaya riya’ sangatlah besar, riya’ memiliki dampak di dunia dan juga di akhirat. Di antaranya,
- Dampak buruk riya’ di dunia
Orang yang riya’ di dunia tidak akan pernah merasakan kepuasan. Dia ingin dikomentari dan ingin selalu dipuji. Padahal tidak selamanya orang akan memujinya, terkadang orang akan mencelanya. Bisa saja sekarang dia dipuji dengan pujian yang tinggi, akan tetapi jika dia bermasalah dengan orang lain maka dia akan dicaci-maki secara berlebihan. Oleh karena itu, jika hanya mengharapkan pujian manusia maka ini adalah cita-cita yang tidak akan pernah tercapai. Mengharapkan agar semua orang memujinya hanya akan menimbulkan kekecewaan dan kesedihan. Orang yang seperti ini adalah orang yang gelisah, karena yang dicari adalah pujian, sehingga jika dia tidak mendapatkan pujian itu maka dia pun bersedih.
- Dampak buruk riya’ di akhirat
Adapun akibat riya’ di akhirat, sebagaimana hadis tiga orang yang pertama kali diazab di neraka Jahanam, semuanya adalah orang-orang yang riya’. Yang berjihad karena riya’, yang belajar dan mengajarkan ilmu (berdakwah) karena riya’, dan yang bersedekah karena riya’.
Hendaknya kita merenungkan akibat riya’ di dunia dan di akhirat sehingga kita menjauhkan diri kita dari penyakit riya’. Kemudian kita merenungkan tentang kebahagiaan orang-orang yang ikhlas. Sesungguhnya orang yang ikhlas adalah orang yang berbahagia. Dia tahu bahwa Allah ﷻ mengetahui amalan dia meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Hidupnya tenteram, karena dia tahu bahwa Allah ﷻ yang akan memberinya ganjaran telah mengetahui bahwa dia telah beramal saleh. Allah ﷻ telah mengetahui dia telah berbuat baik kepada orang tuanya dan telah berbuat baik kepada istrinya. Dia tidak peduli dengan komentar orang, tetapi yang dia pedulikan adalah komentar Allah ﷻ.
Namun jika kita sudah berusaha ikhlas dengan semaksimal mungkin, lantas kita terjerumus ke dalam riya’ dalam sedikit kesalahan, misalnya mungkin kadang niat kita tidak beres, maka kita segera bertobat kepada Allah. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kita tersebut, karena Allah mengetahui bahwa kita telah berusaha. Allah ﷻ berfiman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.”([19])
Tidak ada yang menjamin kita akan selalu ikhlas, akan tetapi jika kita berusaha maka Allah mengetahui usaha kita dan insyaallah Allah akan memaafkan kekurangan kita yang di luar dari kemampuan kita.
Footnote:
_____________
([1]) HR. Ahmad, no. 23630, dengan sanad yang derajatnya ‘hasan’.
([9]) Sahabat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudnya adalah orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman kepada Rasulullah dan meninggal dalam keadaan beriman (tidak murtad).
([10]) HR. Ibnu Majah no. 4204, dari hadis Abu Sa’id al Khudri. Hadis ini hasan. Lihat Sahih at Targhib wat Tarhib no. 30.
([11]) Siyar A’laam An-Nubalaa’, Adz-Dzahabi 18/66-67
([12]) Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal 12.
([13]) HR. Ahmad no. 23630, dikatakan hadis hasan oleh Syua’aib Al-Arnauth.
([15]) HR. Ahmad no. 19606. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih At-Targhib 36.
([18]) HR. Bukhari no. 1423, Muslim no. 1031 dan Tirmidzi no. 2391.