Hadis 4
Peringatan Terhadap Sikap Pelit
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اِتَّقُوا اَلظُّلْمَ، فَإِنَّ اَلظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا اَلشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Jauhilah berbuat zalim karena perbuatan zalim adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat dan jauhilah asy-syuhh (sifat kikir disertai ketamakan) karena ia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”([1])
Hadis ini memuat dua pembahasan, yaitu bahaya zalim dan bahaya sifat pelit. Adapun bagian pertama telah lewat penjelasannya pada hadis sebelumnya. Pada pembahasan ini akan dijelaskan mengenai bagian kedua.
Makna As-Syuhh
Di dalam bahasa Arab dikenal dua istilah الْبُخْلُ dan الشُّحُّ. Makna al-bukhl adalah pelit, sedangkan asy-syuhh adalah pelit disertai tamak terhadap harta sendiri dan harta yang dimiliki oleh orang lain. Jika Al-bukhl adalah sifat yang tercela maka asy-syuh lebih tercela karena asy-syuh adalah pelit yang disertai dengan ambisi untuk meraih harta, bahkan harta milik orang lain([2]).
Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwasanya asy-syuh inilah yang membinasakan umat-umat terdahulu. Sifat asy-syuh menyebabkan terjadinya banyak pertempuran dan penjajahan pada umat-umat terdahulu. Suatu negara datang ke negara lain untuk merebut harta yang dimiliki negara tersebut karena adanya sifat tamak. Sebagaimana kelanjutan hadis tersebut,
حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
“…membawa mereka pada sikap menumpahkan darah saudaranya dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ.”([3])
Sehingga asy-syuh mengandung makna tamak terhadap harta orang lain yang akhirnya mengantarkannya menzalimi orang lain atau membuat pelanggaran terhadap orang lain, apakah dengan membunuhnya atau menghalalkan hal-hal yang harusnya diharamkan.
Buruknya Sifat Bakhil
Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang buruknya sifat al-bukhl (bakhil), seperti firman Allah ﷻ,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di leher mereka pada hari kiamat.”([4])
Allah ﷻ juga berfirman dalam ayat yang lain,
وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ
“Barang siapa yang bakhil, maka sesungguhnya dia bakhil untuk dirinya sendiri.”([5])
Kemudian juga firman Allah ﷻ,
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Barang siapa yang terjaga dari sifat pelit maka sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang beruntung.”([6])
Selain itu sifat bakhil menjadi bukti akan kurangnya keimanannya kepada Allah ﷻ dan terhadap akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul sifat pelit dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.”([7])
Seandainya dia adalah orang yang beriman dengan iman yang benar maka dia akan yakin bahwasanya harta yang dia keluarkan akan diganti oleh Allah ﷻ baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam Al-Quran terdapat banyak sekali ayat mengenai perintah Allah agar berinfak dan bersedekah, begitu pun dalam hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Namun hal itu tidak juga cukup menggerakkan hatinya untuk bersedekah, justru membuat dirinya semakin bakhil. Ini menunjukkan bahwasanya keimanannya kurang.
Dari sini seseorang bisa mengukur tingkat keimanannya dari sifat bakhilnya. Kalau ternyata dia memiliki sifat bakhil maka imannya kepada Allah dan terhadap akhirat kurang. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda,
الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
“Bahwa sedekah itu adalah buberharapan (bukti nyata).”([8])
Sedekah adalah bukti nyata keimanan. Jika kita mengaku beriman kepada Allah maka harus ada buktinya, yaitu dengan bersedekah. Maka upayakan diri kita untuk bersedekah, sebagai bukti bahwa kita beriman dan sedekah yang kita keluarkan akan diganti oleh Allah ﷻ.
Bebagai Macam Bentuk Bakhil
Sesungguhnya sifat bakhil adalah sifat yang sangat tercela. Bakhil ada berbagai macam bentuknya, sebagaimana diisyaratkan oleh para ulama. Di antaranya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di di dalam tafsirnya berkata tentang makna bakhil,
يَمْنَعُوْنَ مَا عِنْدَهُمْ مِمَّا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ، مِنْ المالِ وَالجَاهِ وَالعِلْمِ
“(Yaitu) Orang-orang yang tidak memberikan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, seperti harta, kedudukan dan ilmu.”([9])
Allah telah memberi karunia kepada mereka tetapi mereka tidak ingin membagikannya kepada hamba-hamba Allah yang lain, baik karunia itu berupa harta, kedudukan, maupun ilmu. Ada orang yang bakhil dengan hartanya dan ada yang bakhil dengan kedudukannya, misalnya dia mampu untuk memberi syafaat (pertolongan) dengan kedudukannya, tapi dia tidak mau melakukannya. Ada pula orang yang bakhil dengan ilmunya, dia memiliki ilmu, akan tetapi jika ditanya dia tidak ingin menjawab atau tidak ingin mendakwahkannya bahkan berusaha menyembunyikan ilmunya. Inilah bentuk bakhil dengan ilmunya.
Ada juga bentuk kebakhilan yang lain seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhudhiyallahu ‘anhu,
أَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلَامِ
“Orang yang paling bakhil yaitu orang yang bakhil dengan salam.”([10])
Yaitu ketika bertemu dengan saudaranya dia tidak ingin mengucapkan salam, bahkan tidak mau menjawab salam ketika diberi salam. Padahal salam adalah perkara mudah yang tidak ada ruginya bahkan tidak ada harta yang keluar. Seorang muslim, ketika bertemu saudaranya, ia cukup mengucapkan, “Assalamu’alaikum.” Dengan dia mengucapkan salam berarti dia telah mengucapkan doa untuk saudaranya dan baginya pahala tersendiri. Saudaranya pun ikut mendapatkan pahala ketika menjawab salamnya serta membalas doa untuknya. Bakhil semacam ini pada umumnya disebabkan karena ada keangkuhan di dalam dirinya .
Dua Tingkatan Bakhil
Para ulama mengatakan bahwa kebakhilan ada dua tingkatan :
- Bakhil terhadap diri sendiri
Dia memiliki kelebihan harta namun terhadap dirinya sendiri dia bakhil. Sampai disebutkan oleh Al-Gazhali berharap,
فَكَمْ مِنْ بَخِيْلٍ يُمْسِكُ المالَ وَيَمْرَضُ فَلَا يَتَدَاوَى
“Betapa banyak orang yang bakhil. Dia mempunyai harta namun dia tidak menggunakan hartanya tersebut, sehingga saat sakit dia tidak mau berobat karena tidak ingin mengeluarkan biaya.”([11])
Dikisahkan ada seorang yang ditimpa penyakit parah, namun ketika diajak berobat ke satu tempat yang mahal yang lebih baik dia malah enggan. Dia lebih memilih berobat di tempat yang lebih murah, akhirnya dia meninggal dunia. Seandainya dia tidak memiliki uang yang cukup maka hal ini adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi jika dia mempunyai uang berlebih maka orang seperti ini membahayakan dirinya sendiri. Bahkan dia tidak hanya menyiksa dirinya dengan kebakhilannya akan tetapi juga menyiksa orang-orang terdekatnya, istrinya dan anak-anaknya.
Bahkan dalam kejadian yang lain tentang seseorang yang juga bakhil terhadap dirinya. Tatkala dia meninggal dunia, setelah dicek ternyata diketahui bahwa hartanya banyak. Anak-anaknya pun marah. Sang hakim yang memberitahukan bahwa ayahnya memiliki harta yang banyak menjadi heran. Anak-anaknya berkata: “Kami tidak mengetahui jika ternyata ayah kami kaya. Selama ini kami hidup dalam kondisi yang susah.” Bukannya senang ketika mengetahui harta warisan dari ayahnya banyak, mereka justru marah kepada ayah mereka. Oleh karena itu, orang bakhil tidak hanya menyiksa dirinya sendiri akan tetapi juga menyiksa orang-orang di sekitarnya.
Sungguh mengherankan keadaan orang-orang yang bakhil, sebagaimana perkataan Ibnu Muflih,
“Orang seperti ini hidupnya susah. Dia bakhil agar terhindar dari kefakiran. Dia mengumpulkan uang supaya tidak menjadi fakir. Namun kenyataannya, kehidupannya seperti orang miskin. Dia justru terjerumus pada kondisi yang ingin dihindarinya yaitu kefakiran.”([12])
Dia ingin mengumpulkan harta yang banyak agar menjadi orang kaya, tetapi karena bakhil maka dia hidup seperti orang miskin. Dia hidup seperti orang miskin di dunia namun di akhirat dia akan dihisab dengan hisabnya orang kaya. Benarlah perkataan sebagian ulama,
فَيَكُونُ عَيْشُهُ فِي الدُّنْيَا عَيْشَ الْفُقَرَاءِ، وَحِسَابُهُ فِي الْآخِرَةِ حِسَابَ الْأَغْنِيَاءِ
“Orang (kaya) yang pelit itu gaya hidupnya gaya hidup orang miskin tetapi hisabnya hisab orang kaya.”([13])
Inilah nasib buruk yang akan dialami oleh orang yang bakhil. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ النِّعْمَةِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah jika memberi nikmat kepada para hamba-Nya, Dia ingin melihat dampaknya.”([14])
Seseorang jika diberi harta maka silahkan dia gunakan sesuai dengan harta yang dia miliki. Jika dia punya harta yang banyak, silahkan dia beli mobil yang bagus, silahkan dia bangun rumah yang indah asalkan tidak berlebihan yang bisa mendorong kepada kesombongan.
- Bakhil terhadap orang lain
Tingkatan ini masih lebih ringan dari pada yang pertama. Selayaknya seseorang tidak perlu bakhil terhadap orang lain karena ketika dia mengeluarkan hartanya maka sebenarnya itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ
“Barang siapa bakhil maka sesungguhnya dia bakhil kepada dirinya sendiri.”([15])
Pada hakikatnya, hartanya yang sesungguhnya adalah harta yang dia keluarkan dan diinfakkan di jalan Allah, seperti menginfakkannya untuk pembangunan masjid, menyantuni fakir miskin, dan lain sebagainya. Itulah tabungannya di akhirat kelak, karena di akhirat nanti dia akan sangat membutuhkan pahala. Sedangkan orang bakhil menghalangi pahala untuk dirinya sendiri, jadilah dia orang yang bakhil terhadap dirinya sendiri.
Obat Sifat Tamak
Tidak ada yang bisa mengobati sifat tamak kecuali sifat Qana’ah, yaitu rida dan bahagia dengan pemberian Allah. Kita yakin bahwasanya apa yang kita miliki di dunia ini berupa harta yang banyak atau harta yang sedikit tidak akan dibawa mati. Kita meyakini bahwasanya apapun yang dimiliki setiap orang berupa harta seluruhnya akan dihisab oleh Allah ﷻ dengan dua pertanyaan, “min aina iktasabahu” (dari didapat harta tersebut)? “wa fima anfaqahu” (dan di mana ia habiskan?). Barang siapa yang yakin bisa menjawab dua pertanyaan ini maka silahkan dia miliki harta sebanyak-banyaknya.
Apabila kita memiliki sifat kanaah maka kita tidak akan tamak dengan harta orang lain. Rasulullah, sebagaimana telah lalu, ﷺ bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah kau di dunia seperti orang yang asing atau orang yang numpang lewat.”([16])
Orang asing tidak akan terlalu tertarik dengan harta orang lain, karena dia tau dirinya akan tinggal di negeri tersebut hanya sebentar saja. Misalnya seseorang yang ditugaskan tinggal beberapa hari di kota Madinah, dia tidak akan tertarik untuk membangun rumah indah seperti yang dimiliki oleh teman-temannya di kota tersebut. Dia tidak akan hasad karena dia mengetahui dia tidak akan tinggal di Madinah selamanya. Yang ia pikirkan adalah bagaimana dia bisa bangun rumah di Indonesia, karena itulah kampung dia yang sesungguhnya. Begitupun halnya antara dunia dan akhirat, di dunia ini kita hidup cuma sebentar saja, yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana kita bisa punya istana di surga kelak.
Oleh karena itu, janganlah tamak dengan harta. Ingatlah bahwasanya harta tersebut hanya akan memperpanjang hisab kita di akhirat kelak, jika tidak digunakan di jalan Allah ﷻ maka harta itu akan memperberat hisab kita dan akan menunda kita masuk ke dalam surga. Kita akan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang harta yang kita miliki, dari mana kita dapatkan, dan kemana kita gunakan. Dengan memiliki sifat kanaah maka kita bisa melawan penyakit asy-syuh.
Beberapa Kisah Orang Bakhil
Ada seseorang pakar sastra dan bahasa Arab bernama Al-Jahizh (wafat 255 H) menulis sebuah buku dengan judul Al-Bukhala’ yaitu kisah orang-orang pelit. Buku tersebut mengumpulkan kisah-kisah orang kikir dengan jumlah kurang lebih mencapai 500 halaman. Beliau menulis kisah tentang orang-orang pelit dan bagaimana trik-trik mereka untuk melegalkan sifat kikir mereka agar tidak dicela.
Di antara kisah tersebut adalah kisah orang pelit yang tidak mau menjamu tamunya. Jika ada tamunya datang di siang hari tepat pada waktu jam makan siang, maka dia tidak mau menghindangkan hidangan kepada tamunya dengan mencari alasan agar pelitnya tersebut tampak tidak pelit. Cara yang dia lakukan adalah jika ada orang yang bertamu, maka dia akan bertanya “Apakah kamu sudah makan siang?” Jika tamunya menjawab “Sudah”, maka dia mengatakan, “Alhamdulillah, sebenarnya saya hendak menyiapkan makan siang kepadamu. Akan tetapi kamu telah makan siang.” Adapun jika tamunya menjawab “Belum,” dia akan mengatakan, “Sayang sekali, jika sekiranya kamu telah makan siang, saya hendak menyiapkan minuman yang sangat lezat. Akan tetapi karena kamu belum makan siang, maka saya tidak jadi menghidangkannya kepadamu”. Intinya adalah orang ini tidak ingin menghidangkan makanan dan minuman kepada tamunya.
Kisah pelit lain adalah kisah seorang miskin yang menjamu tetangganya yang kaya raya namun terkenal pelit. Orang miskin ini hendak mengajarkan kepada tetangganya yang kaya ini agar tidak pelit. Akhirnya si miskin pun mengundang si kaya untuk datang ke rumahnya dan menghidangkan makanan-makanan yang enak. Tatkala orang kaya itu diundang, dia begitu senang saat melihat makanan dan dia pun makan sebanyak-banyaknya. Karena dia makan melebih batas, akhirnya dia pun menderita sakit. Dipanggil lah dokter untuk memeriksanya. Ketika telah diperiksa, dokter mengatakan bahwa tidak ada obat baginya kecuali dia memuntahkan sebagian apa yang dia makan. Akan tetapi karena saking pelitnya orang kaya tersebut, dia tidak mau memuntahkan makanannya karena menganggap sayang jika makanan gratis dan enak tersebut dimuntahkan. Sungguh betapa pelitnya orang ini.
Oleh karenanya sifat kikir ini adalah sifat orang-orang kafir. Sampai-sampai orang kafir zaman sekarang juga masih pelit sesama mereka. Ada sebuah cerita dari salah seorang kawan sayang yang tinggal di salah satu negara Barat. Ia menyebutkan bahwa di antara cara mendakwahi mereka (orang-orang kafir) adalah dengan cara mengundang mereka makan. Karena ternyata orang-orang kafir disana merasa heran jika ada yang mengundang makan, karena orang-orang di sana umumnya sangat pelit. Buktinya adalah sebagian dari mereka yang telah bersuami-istri dan sama-sama telah bekerja, jika makan bersama di salah satu restoran, mereka membayar sendiri-sendiri. Bahkan dikabarkan kepada saya bahwa di antara mereka ada yang jika memiliki anak yang telah sampai pada usia kerja namun belum bekerja dan tinggal di rumah, maka anak tersebut akan disuruh bayar. Maka jika orang kafir kikir, itu adalah sesuatu yang wajar karena tujuan mereka adalah dunia. Akan tetapi jika seorang mukmin kikir, yang demikian adalah musibah. Saya tidak mengatakan bahwa semua orang kafir bersifat demikian, akan tetapi sebagian mereka memiliki karakter yang sangat perhitungan. Betapa banyak mereka tidak ingin memiliki anak karena mereka takut bahwa anak hanya akan merepotkan mereka dengan membayar babysitter yang tentu nominalnya tidak sedikit.
Kisah berikutnya -yang termaktub dalam kita al-Bukholaa’– adalah kisah seorang Al-Marwazi dan Al-Iraqi. Mereka adalah dua orang yang bersahabat, dan Al-Marwazi senantiasa mengunjungi Al-Iraqi setiap kali dia menunaikan ibadah haji. Setiap kali Al-Marwazi berkunjung ke rumah temannya Al-Iraqi, dia selalu di jamu selama bertahun-tahun. Akan tetapi Al-Marwazi tidak pernah membawakan hadiah untuk temannya itu karena sifat pelitnya. Dia mengatakan kepada kawannya, “Wahai kawanku Iraqi, kamu di sini sudah mapan, maka saya tidak perlu membantumu. Akan tetapi jika kamu pergi ke kampungku, saya akan membantumu dan menjamumu.” Perkataan Al-Marwazi ini diingat oleh Al-Iraqi. Suatu hari Al-Iraqi dalam kondisi kesulitan. Maka seketika dia mengingat kawannya Al-Marwazi yang kaya dan telah berjanji untuk membantunya. Maka Al-Iraqi akhirnya bersafar ke kampung sahabatnya Al-Marwazi tersebut. Setelah Al-Iraqi sampai di kampung sahabatnya, dia pun mencari Al-Marwazi dengan bertanya kesana kemari kepada orang-orang yang dijumpainya. Akhirnya dia ditunjukkan bahwa sahabatnya itu sedang berbincang dengan orang-orang di suatu tempat. Kemudian dengan semangatnya Al-Iraqi menghampiri Al-Marwazi sambil mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabaraktuh.” Kemudian Al-Marwazi pun menjawab salamnya dengan dingin, sekana-akan tidak mengenalnya, “Wa’alaikumussalam”. Ketika mendengar jawaban yang dingin tersebut, Al-Iraqi menyangka bahwa sahabatnya Al-Marwazi pangling dengan penampilannya sehingga belum mengenalinya. Maka Al-Iraqi mulai membuka sebagian selendangnya dan kembali mengulangi salamnya, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Akan tetapi jawaban Al-Marwazi tetap menjawab dengan dingin, “Wa’alaikumussalam”. Akhirnya Al-Iraqi kemudian mencoba membuka serbannya sembari mengulang salamnya, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Akan tetapi ternyata jawaban Al-Marwazi tetap sama. Akhrnya kemudian Al-Marwazi kemudian membuka pecinya dan kembali mengulang salamnya, akan tetapi jawaban Al-Marwazi masih tetap sama. Maka bingunglah Al-Iraqi terhadap apa yang akan dia lakukan. Kemudian Al-Marwazi (yang pelit) pun berkata, “Wahai saudaraku, meskipun Anda membuka ruh Anda, saya tetap tidak mengenal Anda.” Subhanallah! Saking pelitnya Al-Marwazi ini, dia pura-pura tidak mengenal sahabatnya.
Dan dalam buku Al-Bukhala juga disebutkan kisah orang yang tidak pernah mau untuk diajak makan bersama. Padahal makan bersama adalah suatu amalan sunah. Ternyata alasan dia tidak mau untuk ikut makan bersama adalah dia tidak ingin bagiannya dimakan oleh orang lain.
Footnote:
_____________
([2]) Seseorang berkata kepada Ibnu Masúd radhiallahu ánhu,
أَسْمَعُ اللَّهَ، يَقُولُ: {وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} وَأَنَا رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يَكَادُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ يَدِي شَيْءٌ
“Aku mendengar Allah berfirman “Dan siapa yang dipelihara dari asy-Syuh (kekikiran) dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (QS Al-Hasyr : 9). Sementara aku adalah orang yang sangat kikir, hampir-hampir tidak ada sepeserpun yang keluar dari tanganku.” Maka Ibnu Masúd berkata :
لَيْسَ ذَلِكَ بِالشُّحِّ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ، إِنَّمَا الشُّحُّ أَنْ تَأْكُلَ مَالَ أَخِيكَ ظُلْمًا، وَلَكِنْ ذَاكَ الْبُخْلُ، وَبِئْسَ الشَّيْءُ الْبُخْلُ
“Itu bukanlah asy-Syuh yang Allah sebutkan (dalam QS al-Hasyr : 9), akan tetapi asy-Syuh adalah engkau memakan harta saudaramu dengan cara yang zalim. Akan tetapi yang kau sebutkan itu adalah al-Bukhl, dan seburuk-buruk perkara adalah al-Bukhl” (Syarhus Sunah, Al-Baghawi 14/358)
Sebagian ulama memAndang bahwa makna asy-syuh mirip sekali dengan al-bukhl, bahkan sangat sulit untuk membedakan diantara keduanya (Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibnu Ásyuur 28/90)
([7]) HR. Nasa’i, no. 3110 dan 3111.
([10]) HR. Bukhari di dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, no. 1015.
([12]) Lihat Al-Adab Asy-Syariyah, Ibnu Muflih, 3/318.
([13]) Lihat Al-Adab Asy-Syariyah, Ibnu Muflih, 3/318.
([14]) Syuabil Iman, al-Baihaqi, no.571 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadis Ash-Sahihah no. 115531.