Metode dakwah Nabi Hud álaihis salam
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Berikut beberapa metode yang ditempuh oleh Hud dalam berdakwah kepada kaumnya :
Pertama : Dengan kelembutan.
Ketika kaum Áad menuduh Nabi Hud dengan kebodohan maka Nabi Hud membantah mereka dengan tenang.
Allah berfirman :
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta” (QS Al-A’rof : 66)
Sesungguhnya semua rasul adalah pilihan Allah dari kaum mereka, para rasul tentu sebelumnya dikenal jujur dan berakhlak mulia oleh kaumnya. Hanya saja setelah para rasul berdakwah maka mereka dituduh pendusta. Hal ini juga berlaku pada Hud álaihis salam dan kaumnya. Kaumnya tentu mengetahui tentang kejujuran dan cerdasnya nabi Hud. Akan tetapi setelah nabi Hud berdakwah maka mereka menuduhnya sebagai kurang akal dan pendusta. Karenanya mereka berkata :
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu” (QS Hud : 54)
Ini menunjukan bahwa mereka menyangka perubahan kondisi Hud dari yang mereka kenal sebelumnya adalah karena buruknya keyakinan Hud terhadap sesembahan-sesembahan mereka([1]).
Akan tetapi Nabi Hud membantah tuduhan mereka dengan kelembutan, Beliau berkata :
يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ
“Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (QS Al-A’rof : 67-68)
Adapun sisi kelembutan Nabi Hud :
- Nabi Hud berkata يَا قَوْمِ “Wahai kaumku”, menunjukan bahwa Hud adalah bagian dari mereka. Hud tidak mengatakan “Wahai kaum kafir”, “Wahai kaum sombong”, “Wahai para pendosa”, atau ibarat-ibarat yang lain yang menunjukan sikap kasar.
- Nabi Hud menjawab tuduhan mereka bahwa Beliau “kurang akal/bodoh” dengan tenang, dengan penjelasan bahwa Beliau tidak bodoh akan tetapi Beliau adalah utusan dari Penguasa alam semesta. Beliau tidak berkata, “Kalianlah yang bodoh dan kurang akal”. Beliau menjelaskan tugas Beliau hanyalah penyambung antara Tuhan dengan mereka, karena Beliau membawa pesan-pesan dari Allah. Dan beginilah sikap para Nabi terhadap kaumnya, mereka tidak membalas kejahilan kaum mereka dengan kekasaran mereka. Padahal para nabi tahu benar bahwa kaumnya yang menolak dakwah mereka adalah kaum yang paling dungu dan kurang akal([2]). Ini juga menunjukan bahwa sikap meninggalkan “membalas dendam” itu adalah akhlak yang mulia dan lebih utama([3]).
- Mereka menuduh Hud sebagai pendusta, padahal Hud tahu justru merekalah yang pendusta. Hal ini karena mereka mengenal benar siapa Hud. Beliau tumbuh besar ditengah-tengah mereka, Beliau adalah bagian dari mereka, sehingga mereka tentu telah mengerti betul tentang keujujuran dan perangai Nabi Hud. Namun meskipun demikian, sekali lagi, Nabi Hud tidaklah mengambil sikap membalas tuduhan dengan tuduhan, akan tetapi Beliau lebih memilih metode menjelaskan tanpa harus membalas tuduhan.
- Beliau menjelaskan bahwa Beliau adalah نَاصِحٌ أَمِينٌ “pemberi nasihat”, yaitu ingin kebaikan bagi mereka, yaitu semua dakwah yang Beliau lakukan adalah untuk kebaikan mereka sendiri.
Kedua : Mengingatkan nikmat-nikmat Allah kepada mereka
Nabi Hud berkata kepada kaumnya :
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf: 69)
Nabi Hud juga berkata :
وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ، أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ، وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui, Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air (QS Asy-Syuáro : 132-134)
الأَنْعَام Hewan-hewan disebutkan terlebih dahulu di zaman tersebut hewan-hewan merupakan anugerah yang paling terbaik. Hewan-hewan tersebut menjadi sumber makanan bagi mereka, minuman bagi mereka (yaitu susunya), menjadi sumber pakaian mereka (yaitu kulitnya), dan juga digunakan untuk perjalanan safar mereka. Setelah itu baru disebutkan anugerah anak-anak karena anak-anak adalah sumber kebahagiaan, membantu mereka dalam menjalani kehidupan, dan juga penerus generasi mereka, serta sumber kekuatan mereka dihadapan suku-suku yang lain. Selanjutnya baru disebutkan kebun-kebun dan mata air-mata air yang merupakan pelengkap kebahagiaan hidup([4]).
Betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka, seperti mereka menjadi penguasa, diberi tubuh yang kuat, binatang-binatang ternak, anak-anak yang banyak, serta kebun-kebun dan mata air-mata air. Ini adalah puncak kenikmatan untuk ukuran zaman tersebut. Apalagi yang mereka perlukan?, tubuh yang kuat dan sehat, anak-anak yang banyak, harta benda berupa hewan ternak dan kebun-kebun, disertai sumber mata air yang banyak.
Karenanya dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa mereka hidup dalam kemewahan.
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ. وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَرًا مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذًا لَخَاسِرُونَ
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Mu’minun : 31-34)
Ketiga : Memberi motivasi (at-Targhiib)
Nabi Nabi Hud álaihis salam berkata kepada kaumnya :
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa” (QS Nabi Hud : 52)
Yaitu jika kalian beristighfar dan bertaubat maka Allah akan turunkan kepada kalian hujan yang deras. Dan hujan yang deras pertanda bahwa akan banyak hasil ladang kalian dan juga akan semakin banyak hewan-hewan ternak kalian. Ini menunjukan bahwa kaum ‘Aad adalah kaum yang bercocok tanam selain juga memiliki bangunan yang tinggi([5]).
Selain itu jika kalian beristighfar dan bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan menambahkan kekuatan bagi mereka. Dan tambahan kekuatan ini bisa berarti tambahan kekuatan bagi tubuh mereka yang memang sudah besar dan kuat secara fisik, atau maksudnya juga adalah menambah kekuatan mereka dengan menambah banyak anak bagi mereka.
Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya mereka ketika itu dilanda kekeringan dan istri-istri mereka dalam kondisi sulit melahirkan.
Maka dengan istighfar dan bertaubat maka terpenuhilah kebutuhan mereka, berkaitan dengan diri dan fisik mereka dan juga berkaitan dengan harta mereka.
Keempat : Memberi peringatan (at-Tarhib)
Nabi Nabi Hud berkata kepada kaumnya :
قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
“Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu”. Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yamg menunggu bersama kamu” (QS Al-A’rof : 71)
Nabi Hud juga berkata :
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَيْكُمْ وَيَسْتَخْلِفُ رَبِّي قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّونَهُ شَيْئًا إِنَّ رَبِّي عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ
“Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain (dari) kalian; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Penjaga segala sesuatu” (QS Nabi Hud : 57)
Yaitu Allah akan membinasakan kalian dengan mengirim adzab kepada kalian lalu Allah menggantikan kalian dengan kaum yang lain yang menggantikan posisi kalian. Allah حَفِيظٌ (maha menjaga) yaitu Allah mengetahui, mengawasi, dan meliputi seluruh perbuatan kalian. Allah tidak lalai untuk menghukum kalian sesuai dengan amal kalian yang Allah jaga dalam catatanNya([6]).
Nabi Hud juga berkata kepada kaumnya :
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ، وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ، وَإِذَا بَطَشْتُمْ بَطَشْتُمْ جَبَّارِينَ، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ…إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main?, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia), Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis, Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku….sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar” (QS Asy-Syu’aroo’ : 128-135)
Nabi Hud melihat kaumnya tenggelam dalam perkara-perkara dunia sehingga menjadikan mereka lupa untuk mengingat akhirat, lupa untuk beramal untuk persiapan akhirat, lupa dengan akibat perbuatan mereka([7]). Seharusnya beramal untuk akhirat, akan tetapi sebaliknya mereka berbuat untuk murni dunia, bersenang-senang, bahkan untuk mendzolimi suku-suku yang lain.
At-Thobari berkata :
يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ مُخْبِرًا عَنْ قِيلِ هُودٍ لِقَوْمِهِ مِنْ عَادٍ: اتَّقُوا عِقَابَ اللَّهِ أَيُّهَا الْقَوْمُ بِطَاعَتِكُمْ إِيَّاهُ فِيمَا أَمَرَكُمْ وَنَهَاكُمْ، وَانْتَهُوا عَنِ اللَّهْوِ وَاللَّعِبِ وَظُلْمِ النَّاسِ وَقَهْرِهِمْ بِالْغَلَبَةِ وَالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ، وَاحْذَرُوا سَخَطَ الَّذِي أَعْطَاكُمْ مِنْ عِنْدِهِ مَا تَعْلَمُونَ، وَأَعَانَكُمْ بِهِ مِنْ بَيْنِ الْمَوَاشِي وَالْبَنِينَ وَالْبَسَاتِينِ وَالْأَنْهَارِ. {إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ} مِنَ اللَّهِ {عَظِيمٍ}
“Allah mengabarkan tentang perkataan Nabi Hud kepada kaumnya dari kau Áad : “Jagalah kalian dari siksaan Allah dengan taát kepadaNya pada apa yang Allah perintahkan dan yang Allah larang. Berhentilah kalian dari bermain dan bersenda gurau, berhentilah kalian dari mendzolimi orang-orang, menguasai mereka dengan mendominasi mereka dan melakukan kerusakan di atas muka bumi. Hati-hatilah kalian dari kemurkaan Allah yang telah memberikan anugerah yang kalian ketahui. Allah memberikan kalian hewan-hewan ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan sungai-sungai. Sesungguhnya aku kawatir adzab dari Allah kepada kalian di hari yang dahsyat” ([8])
Ada dua pendapat tentang makna dari آيَةً tanda/alamat dan مَصَانِعَ bangunan-bangunan yang dibangun oleh kaum Áad.
- Pendapat pertama : Awalnya (di zaman nenek moyang mereka, yaitu sebelum kaum Áad rusak dan syirik) mereka membangun tiang-tiang atau tanda atau Menara-menara di tempat-tempat yang tinggi sebagai penunjuk jalan. Hal ini karena mereka tinggal di daerah yang banyak gunung-gunung pasirnya, yang kita tahu bahwa gunung pasir sering berubah ditiup angin dan terkadang berpindah, sehingga sulit untuk dijadikan patokan untuk arah dan perjalanan. Karenanya mereka membangun Menara-menara tersebut agar para pejalan dan pengendara tidak tersesat.
Mereka juga menggali dan membangun bendungan-bendungan dan saluran-
saluran untuk menampung air ketika hujan sehingga para musafir dan juga
para penduduk kota bisa memanfaatkan air dan minum ketika musim
kemarau.
Mereka juga membangun benteng-benteng dan istana-istana di tempat-tempat yang tinggi. Inilah kondisi kaum Áad dahulu, mereka membuat bangunan untuk memberi manfaat kepada manusia.
Akan tetapi berjalan waktu yang lama merekapun berubah sehingga merekapun sombong, tenggelam dengan dunia, melakukan kesyirikan. Bangunan-bangunan megah tersebut yang seharusnya dijadikan sebagai tanda ketundukan kepada Allah dan syukur kepadaNya akhirnya berubah hanya sebagai sarana untuk pamer, kesombongan dan keangkuhan, bukan untuk mencari keridoan Allah. Bahkan berpaling dari beribadah kepada Allah menjadi berbuat syirik kepada Allah.
Ketika perkaranya demikian bangunan-bangunan tersebut hanya murni untuk kesenangan duniawi dan tidak ada lagi nilai ibadah dan ketundukan kepada Allah. Maka di sisi Allah bangunan-bangunan tersebut hanyalah seperti perkara yang sia-sia dan permainan semata. Demikian juga tatkala tujuan menjadi murni hanya untuk perkara duniawi maka kondisinya seperti orang-orang yang menyangka bahwa mereka akan kekal hidup di dunia.
Karenanya ketika nabi Nabi Hud memberi nasihat kepada mereka bukan dalam rangka mengingkari bangunan-bangunan tersebut akan tetapi menasehati mereka akan penyakit yang ada di hati mereka yang salah dalam menyikapi bangunan-bangunan megah tersebut.
- Pendapat kedua : Yang dimaksud dengan adalah istana-istana yang tinggi dan megah. Maka nabi Nabi Hud mengingkari mereka karena sikap isroof (berlebih-lebihan) yang tidak bermanfaat([9]).
Intinya Nabi Nabi Hud memperingatkan mereka dengan adzab yang pedih karena mereka lalai dan tenggelam dalam perkara duniawi, yaitu sibuk dengan berbangga akan bangunan-bangunan yang mereka buat.
Sikap Kaum Áad
Dalam rangka menolak dakwah nabi Nabi Hud, maka kaum Áad menempuh beberapa cara, diantaranya :
Pertama : Menuduh Nabi Hud dengan tuduhan-tuduhan yang mereka sendiri tahu bahwa tuduhan-tuduhan tidaklah benar. Mereka menuduh Nabi Hud sebagai pendusta, orang gila, dan orang yang kurang akal (bodoh).
Allah berfirman :
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta” (QS Al-A’rof : 66)
Mereka juga berkata :
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu” (QS Nabi Hud : 54)
إِنْ هُوَ إِلَّا رَجُلٌ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا وَمَا نَحْنُ لَهُ بِمُؤْمِنِينَ
“Ia tidak lain hanyalah seorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya” (QS Al-Mukminun ; 38)
Dan demikianlah setiap nabi yang diutus kepada kaumnya selalu dituduh pendusta oleh kaumnya. Allah berfirman
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Demikianlah setiap kali seorang Rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 52)
Ayat ini merupakan bentuk hiburan kepada Nabi Muhammad. Beliau dikatakan sebagai seorang penyihir ataupun orang gila. Seakan-akan Allah berfirman kepada Beliau ‘Wahai Muhammad, bukan hanya engkau yang dikatakan sebagai orang gila maupun penyihir. Seluruh nabi dan rasul sebelum engkaupun dikatakan sebagai orang gila ataupun penyihir’.
Sebagaimana telah lalu bahwa nabi Nuh dikatakan sebagai ‘orang gila’. Beliau dikatakan gila karena pada musim kemarau tidak ada hujan maupun awan Beliau membuat perahu di tengah hutan. Padahal tidak ada laut maupun danau di tempat tersebut. Akhirnya, Beliau dikatakan sebagai orang gila.
Demikian juga halnya dengan Nabi Hud juga dikatakan sebagai orang gila.([10])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat: 53)
Apakah antara satu kaum dengan kaum yang lainnya saling berwasiat? Jawabannya tentu tidak. Jangankan saling berwasiat, mereka saja tidak saling bertemu. Kaum Nabi Nuh tidak pernah berwasiat kepada kaum Nabi Hud. Jarak antara kaum Nabi Nuh hingga kaum Áad ribuan tahun. Apalagi kaum Nabi Nuh sudah tewas semuanya terkena banjir dan tidak ada keturunannya. Begitu juga dengan kaum ‘Aad, mereka tidak pernah berwasiat kepada kaum Tsamud. Demikian seterusnya, kaum Nabi Musa tidak ada yang berwasiat kepada kaum Nabi Muhammad, karena antara kaum-kaum tersebut tidak saling bertemu.
Akan tetapi, kenapa gelar yang disematkan kepada mereka bisa sama? Jawabannya adalah,
بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Yang membuat mereka sama adalah jiwa-jiwa mereka yang buruk dan melampaui batas. Sehingga output-pun sama. Begitu juga dengan Iblis yang menggoda mereka. Iblis yang ada di zaman Nabi Nuh adalah iblis yang menggoda kaum Áad, dan dialah pula Iblis yang menggoda Abu Jahal bersama kawan-kawannya. Oleh karenanya, syubhatnya pun sama, outputnya juga sama.([11])
Kedua : Berpegang teguh dengan tradisi nenek moyang.
Kaum Nuh berkata :
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (QS al-A’raf : 70)
Nabi Hud álaihis salam menjawab dalih mereka tersebut dengan berkata :
أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu?” (QS Al-A’raf : 71)
Ini adalah jawaban yang telak, karena apa yang disembah oleh nenek moyang mereka hanyalah berhala-berhala yang asalnya adalah batu yang dipahat lalu dipanggil dan dinamakan sebagai sesembahan. Itu hanyalah panggilan dan sebutan nama-nama yang tidak ada dalilnya dari Allah, sehingga penamaan tersebut tidak merubah hakikatnya sebagai batu.
Ketiga : Keras kepala dan ngeyel
Mereka berkata :
يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ
“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu” (QS Nabi Hud : 53)
سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَوَعَظْتَ أَمْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الْوَاعِظِينَ، إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ، وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
“Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak akan diadzab” (QS Asy-Syuároo : 136-138)
Yaitu sebagaimana nenek moyang kami dahulu tidak diadzab, hanya mati terus perkaranya selesai, tidak ada hari kebangkitan, dan di duniapun mereka tidak diadzab, maka demikian pula kami.
Allah berfirman tentang mereka :
وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
Dan itulah (kisah) kaum ´Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran) (QS Nabi Hud : 59)
Keempat : Mengancam nabi Nabi Hud akan kualat
Mereka mengancam Nabi Hud dengan keburukan yang akan menimpa Nabi Hud dari sesembahan-sesembahan mereka. Mereka berkata
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu” (QS Nabi Hud : 54)
Maksudnya ini adalah ancaman kepada Nabi Nabi Hud dan juga kepada kaumnya. Menurut mereka kegilaan Nabi Hud yang ada sekarang itu hanyalah keburukan sedikit yang ditimpakan oleh sebagian sesembahan mereka. Lantas bagaimana lagi jika seluruh sesembahan mereka kompak bersatu padu memberikan keburukan kepada Nabi Hud álaihis salam? Tentu Nabi Hud akan hancur binasa([12]).
Maka ancaman tersebut sama sekali tidak menggentarkan Nabi Hud, bahkan Beliau menjawab ancaman tersebut dengan menantang mereka dan sesembahan-sesembahan mereka untuk memberi kemudorotan kepada Beliau. Namun sebelumnya Beliau menyatakan sikap berlepas diri, Beliau berkata :
إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ، مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ، إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku, Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus” (QS Nabi Hud : 54-56)
Nabi Hud berkata “Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya”. Maka ada dua kemungkinan dari maksud perkataan Beliau :
- Pertama : Beliau berlepas diri dari perbuatan mereka menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan mereka.
- Kedua : Beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang menjadikan tuhan berbilang. Hal ini karena sebelumnya mereka menyatakan bahwa Nabi Hud gila karena kualat oleh sebagian sesembahan mereka. Karena yang namanya tuhan harusnya bersifat Esa, bukan berbilang([13]).
Setelah itu Nabi Hud pun menantang mereka dengan berkata, فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ (jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku)
Di sini Nabi Hud benar-benar dipuncak-puncaknya merendahkan mereka beserta sesembahan-sesembahan mereka, hal ini dari tiga sisi.
Pertama : Yaitu Nabi Nabi Hud sendirian sementara yang Beliau hadapi adalah orang-orang sekampung yang terkenal kuat bahkan bangga dan sombong dengan kekuatan mereka. Lalu mereka mengancam dengan sebagian sesembahan mereka yang biasanya dihina oleh Nabi Hud, bahwasanya sebagian sesembahan tersebut akan menimpakan kegilaan kepada Nabi Hud. Akan tetapi justru Nabi Hud menyuruh mereka untuk berkumpul seluruhnya untuk melawan Beliau, bahkan jangan sebagian sesembahan mereka akan tetapi seluruh sesembahan mereka hendaknya bersatu padu dalam mencelakakan nabi Nabi Hud.
Kedua : Ketika nabi Nabi Hud menantang Beliau berkata فَكِيدُونِي “jalankanlah tipu daya kalian kepadaku”, di sini nabi Nabi Hud menggunakan kata ganti “kalian” untuk yang berakal, yang menunjukan nabi Nabi Hud tidak memandang sama sekali sesembahan mereka yang tidak berakal, meskipun maksudnya adalah, “Kalian (wahai kaum Áad) silahkan berkerja sama dengan seluruh sesembahan kalian untuk mencelakakan aku”.
Ketiga : Yaitu hendaknya mereka jangan menunda-nunda niat buruk dan ancaman mereka tersebut.
Sungguh ini adalah keberanian yang luar biasa dari Nabi Hud ‘alaihis salam, sekaligus penghinaan yang puncak dari Nabi Hud terhadap mereka dan sesembahan mereka([14]). Semuanya itu karena Beliau bertawakal kepada Allah. Sikap Nabi Hud ini sebenarnya merupakan mukjizat tersendiri([15]).
Kelima : Minta segera diturunkan adzab
Allah berfirman :
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَأْفِكَنَا عَنْ آلِهَتِنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata (kepada Nabi Hud) : “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkanlah kepada kami azab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar” (QS Al-Ahqoof : 22)
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar” (QS Al-A’raf : 70)
Menjawab permintaan mereka untuk segera diadzab Nabi Hud ‘alaihissalam berkata:
إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَأُبَلِّغُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
“Sesungguhnya pengetahuan (tentang azab) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang bodoh”.” (QS. Al-Ahqaf: 23)
Ketika Allah mendengar tantangan kaum Nabi Hud ‘alaihissalam untuk didatangkan azab, maka Allah benar-benar mendatangkan azab bagi mereka. Akan tetapi, Allah tidak mengirimkan azab yang berat untuk mereka, melainkan Allah kirim kepada kaum Nabi Hud ‘alaihissalam azab yang ringan berupa udara untuk membinasakan mereka. Padahal, mereka memiliki badan yang besar dan juga memiliki kekuatan.
Pada waktu mereka hendak didatangkan azab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, di negeri mereka sedang terjadi musim kemarau. Hal itu dijelaskan dalam ayat yang lain tatkala Nabi Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya,
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
“Dan (Nabi Hud berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu.” (QS. Nabi Hud: 52)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa mereka dalam kondisi kekeringan karena tidak turun hujan, sehingga Nabi Nabi Hud meminta mereka istighfar dan bertaubat agar turun hujan bagi mereka.
Setelah itu, Allah mendatangkan azab kepada kaumnya Nabi Hud ‘alaihissalam berupa angin yang cukup kencang bersamaan dengan awan yang gelap. Akan tetapi, ketika mereka melihat itu, mereka semakin sombong dan menyangka bahwa itu adalah hujan yang mereka nanti-nantikan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ. تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) tetapi itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Aad) menjadi tidak nampak lagi (di bumi) kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al-Ahqaf: 24-25)
Di dalam ayat yang lain Allah menceritakan tentang kisah angin tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ. إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ
“Kaum ‘Aad pun telah mendustakan (rasulnya). Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus, yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang.” (QS. Al-Qamar: 18-20)
Dalam ayat ini, angin yang Allah kirimkan kepada kaum ‘Aad sifatnya صَرْصَرًا. Terdapat dua tafsiran tentang kata tersebut.
- Tafsiran pertama adalah angin tersebut sangat dingin, sehingga dinginnya angin tersebut menyiksa kaum ‘Aad. Sebagaimana kita ketahui bahwa siksaan Allah kelak di neraka Jahannam ada dua macam yaitu api yang sangat panas dan satunya lagi sangat dingin. Sehingga Allah ingin mendatangkan angin yang dingin itu untuk menyiksa mereka terlebih dahulu.
- Tafsiran kedua adalah angin tersebut memiliki suara yang sangat keras yang memekakkan telinga mereka, hingga membuat telinga mereka kesakitan. ([16])
Diantara sifat angin tersebut adalah al-áqiim. Allah berfirman :
وَفِي عَادٍ إِذْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيحَ الْعَقِيمَ
“Dan (juga) pada (kisah kaum) ‘Aad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan.” (QS. Adz-Dzariyat: 41)
Kata الْعَقِيم di dalam bahasa arab memiliki makna mandul. Para ulama mengatakan angin yang mandul maksudnya adalah angin tersebut tidak bermanfaat. Biasanya, angin memiliki manfaat dan fungsi. Diantaranya adalah seperti menggiring dan merangkai awan. Setelah itu, awan tersebut berisi dengan uap air, kemudian menurunkan hujan. Dan diantara fungsinya adalah untuk menggabungkan serbuk sari (kelamin jantan) dan putik (kelamin betina) pada tumbuhan, memberi kesegaran disaat udara terasa panas. Akan tetapi, pada ayat ini Allah mensifati dengan angin yang mandul, artinya angin tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan, angin tersebut adalah angin siksaan yang Allah kirimkan kepada kaum ‘Aad([17]).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا جَعَلَتْهُ كَالرَّمِيمِ
“(Angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk.” (QS. Adz-Dzariyat: 42).([18])
Disebutkan dalam buku-buku tafsir, ketika kaum ‘Aad menyadari bahwa angin tersebut bukan sekedar angin yang akan membawa hujan, melainkan membawa azab, maka mereka berlari untuk bersembunyi di dalam gua, lorong-lorong, bahkan ke dalam sumur. Meskipun mereka telah berlindung di gunung-gunung, bersembunyi di dalam goa-goa, akan tetapi angin tersebut bisa mencabut mereka dari dalam goa kemudian menerbangkan mereka di udara ([19]).
Allah Subhanahu berfirman
تَنْزِعُ النَّاسَ
“Yang mencabut manusia” (QS al-Qomar : 20)
Setelah itu tubuh mereka yang besar tersebut diterbangkan diudara, seakan-akan mereka adalah benda yang ringan, atau seperti bulu yang ditiup angin tidak berdaya sama sekali. Allah menggambarkan keadaan mereka dengan berfirman,
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu melihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al-Haqqah: 7)
Meskipun tubuh mereka sangat besar dan kuat akan tetapi mereka diombang-ambingkan oleh angin yang sangat dingin dan bersuara sangat keras selama 8 hari. Begitu kuatnya angin yang menggoncang mereka, sampai membelah dada-dada mereka. Sehingga keluarlah isi dari perut mereka. Dan ketika mereka dijatuhkan, yang pertama kali sampai ke tanah adalah kepala mereka yang membuat kepala mereka pecah. Maka dari itu, Allah mengumpamakan kondisi jasad mereka seperti batang pohon kurma yang telah kosong([20]).
Anginpun menjatuhkan mereka ke daratan dengan kepala terlebih dahulu yang jatuh sehingga hancur kepala mereka. Karena itulah Allah menyamakan mereka seperti batang kurma yang telah kosong yaitu tanpa kepala([21]) .
Dalam ayat yang lain :
كَأَنَّهُمْ أَعْجازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ
“Seakan-akan mereka batang kurma yang terlobangi” (QS Al-Qomar : 20)
Firman Allah مُنْقَعِرٍ (yang terlobangi) menunjukan bahwa angin telah menghantam mereka sehingga terbelah perut mereka dan bertebanglah usus-usus dan jantung mereka keluar maka jadilah mereka mayat-mayat yang kosong isinya([22]).
Allah berfirman tentang kesudahan mereka, seakan-akan mereka sudah tidak terlihat lagi.
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa (QS Al-Ahqoof : 25)
Allah juga berfirman :
فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ
“Maka apakah engkau melihat dari mereka ada yang tersisa?” (QS al-Haaqqoh : 8)
Kaum ‘Aad yang begitu sombong dengan tubuh yang besar dan kuat, mereka ternyata dibinasakan oleh Allah hanya dengan udara. Allah tidak membinasakan mereka dengan besi atau batu atau gunung, akan tetapi cukup dibinasakan dengan udara yaitu angin yang kencang.
Faedah yang bisa kita ambil dari kisah kaum ‘Aad adalah tentang betapa bahayanya sifat kesombongan. Tatkala seseorang diberikan oleh Allah berupa kelebihan, maka janganlah dia menyombongkan diri dengan kelebihan tersebut. Karena, Allah memberikan kelebihan agar seseorang semakin bersyukur dan menjadikannya semakin bertakwa. Berhati-hatilah terhadap hal-hal yang bisa memancing kesombongan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ، يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، فَخَسَفَ اللهُ بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Ketika seorang lelaki sedang berjalan, ia bangga (sombong) dengan juntaian rambut dan kainnya, maka Allah benamkan dia dalam tanah, maka ia pun terbenam di dalam bumi sampai hari kiamat.” ([23])
Maka, sebagaimana baju bisa membuat orang bersifat sombong, apalagi sesuatu yang lebih dari pada itu. Termasuk pula, ilmu bisa membuat orang sombong atas orang yang lain yang tidak memiliki ilmu. Bahkan, potensi kesombongan karena ilmu itu lebih besar daripada harta. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan tentang kesombongan di dalam Al-Quran,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)
Maka, jauhilah segala sebab-sebab kesombongan. Salah satu caranya adalah bergaul dengan orang-orang miskin dan bersikap sederhana. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun hanya sebesar biji zarrah.” ([24])
Nabi Hud di Bible
Ternyata Nabi Hud, demikian juga Nabi Shalih tidak ada penyebutannya sama sekali di dalam kitab Injil, baik perjanjian lama maupun perjanjian baru. Tentu Allah menceritakan kisah Nabi Hud dan Nabi Shalih kepada Nabi Musa dan Ísa álaihimas salaam. Akan tetapi kenapa tidak terdapat sama sekali di dalam kitab suci mereka yang sekarang?. Sebagian Ulama menyatakan bahwa ini bisa jadi karena hasadnya Bani Israíl, karena Nabi Hud dan Nabi Shalih demikian juga Nabi Syuáib adalah Nabi-Nabi yang bersuku Arab. Sementara mereka anti suku selain mereka, apalagi Nabi muncul dari suku yang lain. Jika mereka mengakui adanya Nabi Hud dan Nabi Shalih, maka konsekuensinya mereka harus mengakui kenabian Muhammad shallallahu álaihi wasallam. Jika pernah ada nabi yang bersuku Arab sebelumnya maka sangat mungkin muncul nabi berikutnya di akhir zaman bersuku Arab. Karenanya demi kesempurnaan menolak kenabian Nabi Muhammad mau tidak mau harus menolak kenabian Nabi Hud dan Nabi Shalih. Wallahu álam.
Footnote:
____________–
([1]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibn Ásyuur 19/164
([2]) Lihat al-Bahr al-Muhiit, Abu Hayyan al-Andalusi 5/87
([3]) Lihat at-Tafsiir al-Kabiir, Ar-Raazi 14/301
([4]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir 19/170
([5]) Lihat Ruuhul Ma’aani, al-Aluusi 11/509
([6]) Lihat Ruuhul Ma’aani, al-Aluusi 11/517
([7]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibn Ásyuur 19/165
([8]) Tafsir at-Thobari 19/377
([9]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibn Ásyuur 19/165-168
([10]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/182.
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/54.
([12]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibn Ásyuur 12/98
([13]) Lihat Ruuhul Maáani 11/512
([14]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibn Ásyuur 12/100
([15]) Ibnul Qoyyim berkata, “Karena kesempurnaan keadilanNya, rahmatNya, hikmahNya, kecintaanNya untuk memberi udzur, dan untuk menegakkah hujjah, maka tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali bersamanya ayat (mukjizat) yang menunjukan akan kebenaran dakwah beliau….sampai mukjizat para rasul yang paling samar adalah mukjizatnya nabi Hud álaihis salam, hingga kaumnya berkata kepadanya, يَاهُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ “Wahai Hud engkau tidak mendatangkan bukti kepada kami (akan kebenaran dakwahmu)” (QS Hud : 53). Padahal bukti (mukjizat) kebenaran nabi Hud sangatlah jelas, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Hud pada perkataannya, “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku, Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus” (QS Hud : 54-56).
Maka ini adalah mukjizat yang sangat hebat. Bagaimana seorang lelaki sendirian berbicara dengan suatu umat yang dahsyat dengan pembicaraan seperti ini, tanpa ada rasa takut sama sekali tanpa ragu-ragu sama sekali. Bahkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan terhadap apa yang ia ucapkan.
Pertama : Ia telah mempersaksikan Allah terhadap sikap berlepas diri beliau dari agama kaumnya dan apa yang diyakini mereka, dengan persaksian orang yang penuh percaya diri dan penuh penyandaran kepada Allah, seraya mengumumkan kepada mereka bahwa Allah adalah penolongnya dan tidak akan menjadikan mereka mengalahkannya.
Kedua : Kemudian beliau mempersaksikan mereka -dengan terang-terangan menyelisihi mereka- bahwasanya beliau berlepas diri dari agama mereka dan sesembahan-sesembahan mereka yang mereka loyal kepada sesembahan tersebut bahkan mereka memusuhi orang lain demi membela sesembahan mereka dan mereka mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk menolong sesembahan-sesembahan mereka.
Ketiga : Lalu beliau menekankan kepada mereka dengan menghina serta merendahkan mereka. Jika mereka seluruhnya bersatu untuk berbuat makar kepadanya dan untuk melampiaskan kemarahan mereka kemudia mereka melakukannya tanpa menundanya …, yaitu jika melakukannya maka mereka akan gagal dan terhinakan dan kembali dalam kondisi memedam amarah.
Keempat : kemudian beliaupun menjelaskan dakwah beliau dengan sebaik-baik penjelasan, dan menjelaskan bahwa Rabbnya adalah Rabb mereka juga, yang ubun-ubun mereka berada di tanganNya. Dialah penolongnya dan pengurusNya, yang akan menolongnya dan memperkuatnya, dan bahwasanya Rabbnya yang berada di atas jalan yang lurus. Allah tidak akan meninggalkan orang yang bertawakkal kepadanya dan beriman kepadanya….
Kelima : Diantara konsekunsi Allah berada di atas jalan yang lurus adalah Allah mengadzab orang yang keluar dari jalanNya dan melakuka amalan yang bertentangan, dan Allah menurunkan siksaNya kepadanya. Karena jalan yang lurus adalah keadilan yang ditegakan oleh Allah ta’ala. Diantaranya Allah membalas para pelaku kesyirikan dan kejahatan, dan Allah menolong wali-waliNya dan para rasulNya untuk mengalahkan musuh-musuh mereka. Bahwasanya Allah akan membinasakan mereka dan menggantikan mereka dengan kaum yang lain, dan itu semua sama sekali tidak memberi kemudorotan kepadaNya karena Dialah yang mengurusi segala sesuatu” (Madaarijus Saalikiin 3/431)
([16]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/135, 18/259
([17]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/11.
([18]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/12.
([19]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 16/206
([20]) Tafsir Ibnu Katsir 7/479, 8/209
([21]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/139
([22]) Lihat At-Tahriir wa at-Tanwiir 27/194