Dosa-dosa yang Sering Tidak Disadari Kaum Wanita
(Berkaitan dengan Rukun-rukun Islam)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
- Mengakhirkan shalat dari waktunya, khususnya ketika bepergian atau begadang, atau terlambat tidur yang biasanya akan membuat seseorang terlambat melaksanakan shalat subuh sampai matahari terbit, dan ini adalah di antara sifat orang-orang munafik
Hendaknya para wanita memperhatikan hal ini agar tidak menunda-nunda shalat, terutama untuk shalat isya. Memang benar bahwa disunnahkan untuk mengakhirkan shalat isya, akan tetapi jangan sampai kebablasan. Kemudian juga jangan sampai seseorang wanita banyak begadang yang membuatnya terlambat bangun subuh. Ketahuilah bahwa menunda shalat adalah termasuk dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya dia akan masuk ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan.”[1]
Hadits ini adalah hadits yang sangat luar biasa yang menunjukkan keutamaan wanita yang menjalankan empat perkara yang di antaranya adalah menjaga shalat lima waktu. Akan tetapi jika ternyata seseorang menunda shalat hingga keluar waktunya, ingatlah bahwa dia terancam dengan sabda Nabi ﷺ. Dari Samurah bin Jundub h berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ، وَإِنَّهُمَا ابْتَعَثَانِي، وَإِنَّهُمَا قَالاَ لِي انْطَلِقْ، وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا، وَإِنَّا أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُضْطَجِعٍ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِصَخْرَةٍ، وَإِذَا هُوَ يَهْوِي بِالصَّخْرَةِ لِرَأْسِهِ فَيَثْلَغُ رَأْسَهُ، فَيَتَدَهْدَهُ الحَجَرُ هَا هُنَا، فَيَتْبَعُ الحَجَرَ فَيَأْخُذُهُ، فَلاَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ حَتَّى يَصِحَّ رَأْسُهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ المَرَّةَ الأُولَى» قَالَ: “ قُلْتُ لَهُمَا: سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ؟ قَالاَ لِي: أَمَا إِنَّا سَنُخْبِرُكَ، أَمَّا الرَّجُلُ الأَوَّلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالحَجَرِ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَأْخُذُ القُرْآنَ فَيَرْفُضُهُ وَيَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ
“Semalaman aku didatangi dua orang (utusan Tuhanku), keduanya mengajakku pergi dan berkata; ‘Berangkatlah!’. Aku pun berangkat bersama keduanya, dan kami mendatangi seseorang yang berbaring dan yang lain berdiri di sampingnya dengan membawa batu besar, lalu ia menjatuhkan batu tersebut di kepalanya sehingga kepalanya pecah dan batu menggelinding di sini. Orang tadi terus mengikuti batu dan mengambilnya, namun ketika dia belum kembali kepada yang dijatuhi, tetapi kepalanya telah kembali seperti sedia kala. Lantas orang tadi kembali menemuinya dan mengerjakan sebagaimana pertama kali. Saya pun bertanya kepada dua orang yang membawaku; ‘Subhanallah, apa ini?’ Mereka menjawabku, ‘Adapun laki-laki pertama yang kamu datangi sedang kepalanya pecah dengan batu, itu adalah seseorang yang mempelajari Al-Quran namun ia menolaknya, dan ia tidur sampai meninggalkan shalat wajib’.”[2]
Oleh karenanya, jangan sampai menjadi sebuah kebiasaan di mana shalat subuh dilaksanakan ketika matahari telah terbit, karena membiasakan sebab-sebab yang menjadikan seseorang akan terlambat melaksanakan shalat adalah haram dan dosa besar.
- Wanita yang tidak mengqada (mengganti shalat) yang sudah masuk waktunya, namun belum dilaksanakan karena keluar darah haid atau nifasnya. Padahal seharusnya dia wajib menggantinya langsung setelah suci dari haid atau nifas.
Maksudnya adalah ketika seorang wanita menunda shalat yang telah masuk waktunya, dan bermaksud melaksanakan beberapa saat kemudian. Sebelum dia melaksanakan shalat tersebut, ternyata tiba-tiba keluar darah haid atau nifasnya sehingga menjadikannya dia tidak bisa shalat. Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, jika seseorang telah suci dari haid atau nifasnya, maka yang pertama yang harus dia lakukan adalah mengqada shalat yang dia telah tinggalkan tatkala masuk waktunya sebelum keluar darah haid atau nifasnya, karena pada dasarnya pada waktu sebelum haid dia telah mendapatkan kewajiban shalat zuhur, akan tetapi dia tidak melaksanakannya, sementara masih ada waktu di mana dia bisa melakukannya sebelum keluarnya darah haid atau nifasnya. Oleh karenanya dari sini Syaikh mengatakan bahwa seseorang yang mengalami hal demikian harus mengqada’ shalat tersebut setelah suci.
Sebenarnya, permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Pada permasalahan ini sebenarnya terdapat beberapa pendapat,
Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang berada pada waktu shalat dan bisa mendapatkan takbiratul ihram sebelum haid, maka wajib baginya mengqada’ setelah suci. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Sholeh Al-‘Utsaimin ﷺ.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang haid di waktu dia mendapatkan kewajiban shalat namun belum melaksanakannya, maka dia tidak perlu mengqada’ shalatnya setelah suci. Karena waktu shalat wanita pada dasarnya panjang selama belum masuk waktu shalat berikutnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh bin Baz ﷺ.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa jika seorang wanita menunda-nunda shalatnya sampai waktu tersisa lima menit dan dia mengalami haid atau nifas, maka wajib baginya mengqada’. Karena dia seharusnya memiliki waktu-waktu sebelum itu untuk shalat namun tidak melaksanakan shalat, sehingga demikian dia haru mengqadanya.
- Membiarkan suami dan anak-anaknya yang tidak melaksanakan shalat dan tidak menasihati mereka.
Sikap masa bodoh seperti ini adalah kesalahan. Jika sekiranya para wanita memiliki anak yang tidak shalat, maka hendaknya mereka menasihati anak-anaknya, begitu pula dengan suami yang tidak melaksanakan shalat. Jangan sampai ada seorang wanita yang menganggap bahwa hal tersebut adalah urusan masing-masing, akan tetapi harus saling perhatian antara suami dan istri, sehingga jika suami melakukan maksiat atau tidak shalat, maka hendaknya dinasihati dengan lembut.
Hendaknya pula para wanita mengajarkan anak-anak mereka untuk shalat, dan hendaknya mereka para wanita menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap perkara shalat dengan senantiasa mengingatkan dan menasihati anak-anak mereka untuk shalat.
- Tidak memperhatikan pengeluaran zakat mal (harta) dan perhiasan yang dimilikinya, padahal telah sampai haulnya dan nisabnya.
Jika para wanita tahu bahwa suaminya memiliki harta atau dirinya sendiri memiliki harta yang ada zakatnya, hendaknya dia bayarkan zakatnya. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ، يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (QS. At-Taubah: 34-35)
- Tidak perhatian terhadap masa balig putra-putrinya dan terhadap kewajibannya yang harus dilaksanakan mereka saat itu.
Terkadang kita melihat ada anak-anak putri yang sudah balig dan mendapatkan haid, tetapi sang ibu tidak memerintahkannya untuk shalat, puasa, memakai jilbab dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Ketahuilah wahai para ibu, anak-anak itu memerlukan doktrin. Yaitu kita mengajarkannya untuk shalat atau memakai jilbab sebelum usia balignya. Seorang ibu hendaknya melatih anak-anaknya sebelum balig, sehingga tatkala mereka telah balig, mereka telah terbiasa. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun.”[3]
Kemudian hendaknya pula orang tua agar mengajarkan kepada anaknya tanda-tanda balig tersebut, seperti memberitahukan bahwa tanda balig wanita adalah dengan haid, dan tanda balig laki adalah salah satu dari tiga cara yaitu mimpi basah, umur lima belas tahun hijriah, atau telah tumbuh bulu kemaluan.
- Mengkhususkan warna tertentu untuk kain ihram haji atau umrah, seperti warna hijau dan lain sebagainya. Begitu pula mengenakan niqab (cadar penutup wajah) dan sarung tangan di saat ihram.
Perkara ini telah dilarang oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya,
وَلاَ تَنْتَقِبِ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ، وَلاَ تَلْبَسِ القُفَّازَيْنِ
“Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan.”[4]
Wanita pada dasarnya boleh menggunakan baju dengan warna apa pun, selama tercukupi syarat syar’i pada pakaian tersebut. Sebabnya ada sebagian wanita yang berihram namun masih menggunakan cadar dan sarung tangan, dan tentunya hal ini adalah kesalahan.
Footnote:
___________
[1] HR. Ibnu Hibban No. 4163, hadits ini hasan lighairih menurut Syaikh Al-Albani.
[2] HR. Bukhari No. 7047
[3] HR. Abu Daud No. 495, hasan sahih menurut Syaikh Al-Albani.
[4] HR. Bukhari No. 1838