Dosa-dosa yang Sering Tidak Disadari Kaum Wanita
(Seputar etika keluar rumah (safar) dan campur baur dengan laki-laki)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
- Memakai wewangian atau parfum atau dupa yang wanginya dapat tercium oleh kaum pria ketika keluar dari rumah.
Hal ini termasuk kemungkaran yang sering diremehkan oleh banyak kaum wanita, padahal Rasulullah ﷺ bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ، ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلَاةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ
“Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian keluar ke masjid, maka tidak akan diterima shalatnya sehingga dia mandi terlebih dahulu.”[1]
Beliau juga bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.”[2]
Lihatlah betapa bahayanya parfum bagi wanita. Sesungguhnya parfum seorang wanita itu sangat mampu untuk membangkitkan syahwat para laki-laki. Oleh karenanya tidak boleh bagi seorang yang sedang berihram untuk mengenakan parfum.
Benar bahwa terkadang seorang laki-laki tergerak syahwatnya tatkala mencium parfum seorang wanita yang lewat di depannya, terlebih lagi jika aurat wanita tersebut terbuka. Maka telah jelas bahwa hal seperti ini akan membangkitkan syahwat. Oleh karenanya para wanita dilarang untuk menggunakan parfum. Akan tetapi jika parfum tersebut memiliki wangi yang tidak begitu keras dan tidak bisa dicium oleh laki-laki, maka menggunakannya adalah hal yang boleh. Contohnya adalah seorang wanita menggunakan deodoran atau bedak ke tubuhnya yang tidak menimbulkan bau bagi orang lain, atau wanita menggunakan parfum yang tercium akan tetapi hanya melewati dan berkumpul dengan para wanita dan tidak ada laki-laki yang mencium baunya, atau memakai parfum untuk bertemu dengan laki-laki yang menjadi mahram baginya. Hal-hal semacam ini membolehkan para wanita menggunakan parfum. Karena yang dilarang adalah memakai parfum yang baunya tercium oleh laki-laki ajnabi (asing)
- Mengendarai mobil dengan sopir yang bukan mahramnya dan hanya berduaan saja.
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya.”[3]
Maka jika seorang wanita hendak bepergian dengan sopirnya, hendaknya dia membawa orang ketiga, karena yang demikian adalah sikap hati-hati, dan karena Nabi ﷺ telah melarang seseorang wanita berdua-duaan dengan laki-laki lain tanpa mahramnya.
- Berkumpul atau berbaur dengan kaum pria yang bukan mahramnya, seperti saudara suami (ipar), suami dari saudara perempuan, anak paman (sepupu) dan orang-orang semacam mereka, begitu juga bercengkerama dan bercanda bebas dengan mereka dan tidak berhijab di depan mereka.
Semua perkara ini adalah haram untuk dilakukan. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: الحَمْوُ المَوْتُ
“Janganlah kalian masuk ke dalam tempat kaum wanita.” Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?’ beliau menjawab: ‘Ipar adalah maut’.” (Muttafaqun ‘alaih)[4]
Bagi pandangan masyarakat umum, kerabat laki-laki dari suami juga adalah kerabat bagi dirinya (istri), sehingga terkadang seorang wanita tatkala bertemu dengan kerabat suami bersikap seperti kerabatnya. Padahal yang seperti itu bisa menimbulkan fitnah, misalnya seperti seorang wanita menjadi suka dengan kerabat suaminya. Oleh karenanya Nabi ﷺ mengatakan bahwa ipar atau kerabat suami itu adalah kematian. Alasannya adalah karena kesalahan ini adalah kesalahan yang tidak dianggap sebagai kesalahan oleh kebanyakan masyarakat. Sebagaimana sebagian menganggap bisa seorang wanita berjalan berdua dengan iparnya, padahal dalam pandangan syariat hal tersebut adalah kesalahan.
Oleh karenanya seorang suami juga hendaknya berhati-hati dengan adik perempuan istrinya. Karena pada dasarnya dirinya sendiri tidak aman dari hatinya. Bisa jadi terbenak dalam hatinya bahwa adik istrinya jauh lebih cantik, lebih lembut, lebih baik daripada istrinya. Maka yang demikian adalah fitnah. Boleh seorang wanita bertemu dengan iparnya akan tetapi tetap dalam aturan yang syar’i.
- Banyak keluar rumah dan pergi ke pasar tanpa ada kepentingan, sehingga dia akan banyak berbicara dengan kaum pria, seperti pedagang, penjahit, dan lain sebagainya.
Terkadang juga banyak wanita tertawa dan bergurau dengan teman-temannya saat di pasar hingga menarik pandangan orang-orang. Rasulullah ﷺ bersabda,
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.”[5]
Maka janganlah wanita sering keluar rumah kecuali ada keperluan dan dalam kondisi darurat. Karena Allah ﷻ telah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
- Terlalu ceroboh dan menyepelekan masalah berobat kepada dokter laki-laki, sampai membuka apa-apa yang tidak boleh dilihat, padahal tindakan semacam ini adalah haram kecuali dalam kondisi yang benar-benar darurat.
Tatkala wanita telah berada di hadapan dokter, terkadang mereka telah pasrah, sehingga terkadang apa pun yang dilakukan oleh seorang dokter adalah boleh. Padahal dalam hal ini agama memberikan aturan, seperti wanita yang pergi berobat kepada laki-laki hendaknya didamping oleh mahramnya baik itu suami atau anaknya. Dan tidak boleh berdua-duaan. Dan jika harus menampakkan aurat, maka yang dibuka pun hanyalah yang darurat dan yang perlu, dan jika tidak perlu dan tidak darurat maka tidak boleh dibuka.
Namun jika ada dokter perempuan yang bisa menangani, maka dia tidak boleh berobat ke dokter laki-laki. Berobat ke dokter laki-laki hanya dibolehkan jika benar-benar tidak ada dokter perempuan, dan harus ditemani oleh mahramnya, dan tidak membuka aurat yang tidak diperlukan.
- Bepergian jauh (safar) tanpa ditemani mahram, baik dengan mobil atau pesawat, dan lain sebagainya.
Perkara safar tanpa mahram termasuk hal yang diharamkan. Nabi ﷺ bersabda,
لاَ تُسَافِرِ المَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.”[6]
Dalam riwayat yang lain Nabi ﷺ bersabda,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَاحِدٍ، لَيْسَ لَهَا ذُو حُرْمَةٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat untuk bepergian dalam perjalanan sehari tanpa disertai mahramnya.”[7]
Maka hukum asal wanita bersafar tanpa mahram adalah haram, kecuali jika dalam kondisi darurat atau hajat yang mendesak yang mengharuskan dia keluar, sementara tidak ada yang bisa menemaninya, maka diperbolehkan dengan syarat sesuai kadar hajat tersebut. Contohnya adalah jika suaminya sedang kerja, sementara sang istri harus berobat dan jika tidak segera berobat maka akan berbahaya. Demikian pula ketika orang tua sang istri sedang sakit parah, dan harus segera datang namun tidak ada mahramnya. Maka dalam kondisi-kondisi seperti ini dan yang semisalnya adalah kondisi darurat yang membolehkan seorang wanita bersafar.
Akan tetapi pada zaman sekarang banyak para wanita yang bermudah-mudahan dalam bersafar tanpa mahram. Mereka berkumpul dengan jumlah tertentu, kemudian mereka bersafar dalam rangka berlibur. Padahal tidak ada kondisi darurat yang mengharuskan mereka safar tanpa mahram, maka yang demikian hukumnya haram.
- Keluarnya sebagian kaum wanita untuk kerja, kecuali apabila masyarakat Muslim membutuhkan pekerjaannya di tengah masyarakat, maka hal ini adalah boleh, dengan syarat dia tetap mengenakan hijab dan tidak mengurangi perhatian terhadap hak-hak suami dan anaknya, atau sampai meninggalkan hal-hal yang wajib atau ikhtilath.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hukum asal wanita itu adalah di rumahnya. Dan sesungguhnya banyak pekerjaan-pekerjaan yang bisa dia lakukan di rumahnya seperti mengurus suami, anak-anak dan rumah, dan semua pekerjaan itu adalah pekerjaan yang mulia. Di samping itu dia juga bisa fokus dalam beribadah kepada Allah di rumahnya dengan tilawah Al-Quran, shalat, dzikir dan yang lainnya. Oleh karenanya tidaklah seorang wanita boleh untuk bekerja di luar rumahnya kecuali dalam kondisi terdesak, dan tetap memperhatikan hak-hak syariat atasnya.
- Terjadinya campur baur di tempat-tempat pendidikan, seperti laki-laki mengajar anak perempuan, baik di sekolah-sekolah maupun di perguruan-perguruan tinggi, atau bahkan dalam kajian-kajian di rumah-rumah yang merupakan pelajaran khusus (seperti les privat dan pengajian keluarga).
Salah satu kesalahan kebanyakan wanita zaman sekarang adalah bermudah-mudahan dalam perkara laki-laki memberikan pelajaran kepada wanita adalah hal yang dilarang, karena dikhawatirkan akan terjadi ikhtilath. Jangankan ikhtilath dalam belajar di sekolah dan perguruan tinggi, bahkan dalam masalah belajar agama, jika seorang tidak berhati-hati, maka syaithan akan mudah menggodanya untuk terjerumus ke dalam fitnah. Sehingga akhirnya terjadi hal-hal yang haram lainnya.
Footnote:
_______
[1] HR. Ibnu Majah No. 4002, hadits ini hasan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
[2] HR. An-Nasa’i No. 5126, hadits ini hasan.
[3] HR. Bukhari No. 5233
[4] HR. Bukhari No. 5232 dan HR. Muslim No. 2172
[5] HR. At-Tirmidzi No. 1173, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 273.
[6] HR. Bukhari No. 1862
[7] HR. Ibnu Majah No. 2899, hadits ini sahih.