Dosa-dosa yang Sering Tidak Disadari Kaum Wanita
(Berkaitan dengan Rumah Tangga dan Hubungan Suami-Istri)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
- Menggunakan bejana (peralatan) yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum.
Perkara ini sangat jarang atau bahkan tidak dijumpai di rumah-rumah wanita muslimah di Indonesia. Akan tetapi perkara ini tetap dilarang dalam syariat Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، وَلاَ تَلْبَسُوا الحَرِيرَ وَالدِّيبَاجَ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ
“Janganlah kalian minum dari tempat yang terbuat emas dan perak dan janganlah kalian menggunakan kain sutera dan diibaaj (sejenis sutera), karena itu semua untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat kelak.”[1]
Memang benar bahwa Allah ﷻ memberikan kepada orang-orang kafir kemewahan sehingga mereka membuat bejana dan gelas dari emas dan perak. Akan tetapi hal ini dilarang dalam agama karena di dalamnya ada unsur kesombongan (israf = berlebih-lebihan), dan menyerupai orang-orang fakir.
Secara otomatis, orang yang menggunakan barang-barang mewah, maka barang-barang mewah tersebut akan memberikan pengaruh ke dalam hatinya. Terkadang ada wanita menggunakan tas atau jam tangan yang mewah, maka jika dia tidak mampu menjaga dirinya, maka dia akan terbawa ke dalam sikap kesombongan. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
رَأْسُ الكُفْرِ نَحْوَ المَشْرِقِ، وَالفَخْرُ وَالخُيَلاَءُ فِي أَهْلِ الخَيْلِ وَالإِبِلِ، وَالفَدَّادِينَ أَهْلِ الوَبَرِ، وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الغَنَمِ
“Pusat kekufuran itu ada di arah Timur. Kebanggaan diri sendiri dan kesombongan terletak pada para pemilik kuda dan unta dan yang biasa bersuara keras adalah para penggembala unta yang berpindah-pindah sedangkan ketenangan ada pada para pemilik kambing.”[2]
Hadits ini menunjukkan bahwa para pemilik kuda dan unta itu sangat rawan untuk terkena kesombongan. Terlebih lagi jika mereka membandingkan ternaknya dengan ternak milik orang lain. Dan Nabi ﷺ mengatakan bahwa ketenangan (rendah hati) ada pada penggembala kambing.
Oleh karenanya, kemewahan itu akan mewariskan kesombongan di hati seseorang. Jika sekiranya seseorang selalu bepergian dengan kendaraan mewah, maka hendaknya sekali-kali dia menggunakan kendaraan yang biasa meskipun dia mampu, karena yang demikian adalah bentuk memaksa diri untuk bersikap tawadhu’. Maka hendaknya para wanita tatkala membeli suatu barang, belilah barang-barang dengan harga yang normal, meskipun mampu untuk membeli barang yang lebih mahal. Jagalah hati dari kesombongan dengan tidak hidup secara glamor, karena kesombongan itu terkadang dengan sendiri tanpa disadari. Latihlah diri kita untuk menghilangkan kesombongan, karena Nabi ﷺ telah bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sekecil zarah.”[3]
- Memajang gambar-gambar makhluk hidup yang memiliki fisik (seperti patung) atau tidak memiliki fisik (yakni, gambar atau foto), di rak-rak atau dinding rumah.
Terdapat khilaf di kalangan para ulama tentang hukum foto, akan tetapi para ulama yang membolehkan juga mensyaratkan agar foto tidak diletakkan di tempat yang penuh penghormatan (dipajang secara khusus), melainkan diletakkan di tempat-tempat yang diperlukan seperti KTP, surat nikah, paspor dan yang lainnya. Oleh karenanya, jangan sampai karena sebagian ulama membolehkan foto seperti pendapat Syaikh Sholeh Al-‘Utsaimin ﷺ, kemudian orang-orang membolehkan untuk memajang foto, padahal hal tersebut tidak dibolehkan.
Seperti halnya juga anak-anak dibolehkan memiliki boneka. Akan tetapi boneka tersebut tidak diperbolehkan sebagai bahan pajangan. Jika boneka dijadikan sebagai pajangan maka hukumnya haram. Tetapi, boneka tersebut harus dalam keadaan terhina, seperti sering digunakan untuk melempar atau dimasukkan ke dalam laci, atau gambar boneka yang jadi alas kaki atau alas kasur dan yang lainnya.
- Menolak poligami dan memerangi syariat poligami.
Sebagian dari para istri menganggap bahwa tindakan poligami suami sebagai pengkhianatan terhadap istrinya dan bentuk kejahatan yang besar terhadap hak istri. Padahal Allah ﷻ telah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Pada dasarnya, wanita yang tidak suka dengan poligami adalah suatu hal yang wajar. Wajar jika para wanita tidak ingin cintanya dibagi, akan tetapi jika para wanita telah sampai kepada derajat tidak suka karena benci dengan syariat tersebut, maka sama saja mereka telah menolak syariat Allah ﷻ, dan sikap tersebut bisa termasuk kekufuran. Maka hendaknya para wanita berhati-hati agar jangan sampai membenci syariat poligami, karena pada dasarnya poligami adalah syariat yang mulia, yang jika dipandang dari sudut pandang yang luas, maka akan ada maslahat yang lebih besar yang bisa diraih dari syariat poligami. Jika sekiranya wanita tidak ingin dipoligami, maka hal tersebut adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapi jangan sampai sikap tidak ingin dipoligami tersebut mengantarkan kepada kebencian terhadap syariat Allah ﷻ dan termakan dengan propaganda orang-orang kafir.
Terkait masalah ini pula, janganlah seorang wanita menjadi provokator putusnya hubungan suami-istri orang lain. Tatkala ada kerabat atau temannya yang dipoligami, janganlah dia kemudian mendatanginya dan mengatakan hal-hal yang membuatnya bisa semakin tidak sabar dengan situasi yang dia alami, karena bisa jadi wanita yang dipoligami sebelumnya telah bersabar, akan tetapi menjadi tidak sabar karena terhasut dengan omongan orang lain, sehingga akhirnya wanita tersebut meminta cerai kepada suaminya. Ketahuilah bahwa wanita provokator yang tidak senang dengan poligami seperti ini sangatlah banyak, maka berhati-hatilah.
- Tidak taat kepada suami, membantahnya dengan kasar, mengangkat suara di hadapan suami, mengingkari kebaikannya dan selalu mengeluhkan suami, baik dengan sebab atau tanpa sebab
Diriwayatkan Husain bin Muhshan, dia berkata,
أن عمة له أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ، فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟، قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، قَالَ: فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Sesungguhnya bibiku pernah mendatangi Nabi ﷺ untuk beberapa kepentingan, lalu Nabi ﷺ bertanya, ‘Apakah kamu memiliki suami?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Beliau bertanya, ‘Bagaimana sikap kamu kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak melalaikannya kecuali terhadap sesuatu yang aku tidak sanggup.’ Beliau ﷺ bersabda, ‘Lihatlah di mana posisimu? Karena sesungguhnya suami itu adalah surga atau nerakamu.”[4]
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Jikalau saya boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya.”[5]
Lihatlah bagaimana tingginya kedudukan suami atas istrinya, kedudukannya melebihi kedudukan seorang guru, ustaz, kiai, dan bahkan lebih tinggi daripada kedudukan kedua orang tuanya. Para ulama telah ijmak menyebutkan bahwa ketaatan suami lebih tinggi daripada ketaatan seorang istri terhadap kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan syariat memiliki pandangan akan hal ini. Tatkala wanita telah menikah, dia harus menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan cara istri taat kepada suaminya, karena mungkin dia akan tinggal bersama suaminya jauh lebih lama daripada bersama kedua orang tuanya. Maka dengan timbulnya rumah tangga yang harmonis, suami-istri yang saleh dan salihah, akan menumbuhkan anak-anak dan generasi yang terbaik.
Oleh karenanya hadits di atas menunjukkan bahwa kedudukan suami terhadap istrinya jauh lebih tinggi dalam ketaatan dari pada kedudukan orang tuanya. Maka ketahuilah, bahwa sebagaimana seorang wanita mendapat pahala dengan merendahkan suara di hadapan orang tuanya, maka demikian pula dia akan mendapat pahala ketika dia merendahkan suara di hadapan suaminya. Demikian pula sebaliknya, jika seorang wanita berdosa tatkala mengangkat suara, membentak dan tidak menaati orang tua, maka sama halnya seorang wanita akan berdosa tatkala mengangkat suara, membentak dan tidak taat kepada suaminya. Karena jangan sampai sikap membangkang seorang istri menjauhkannya dari surga.
Nabi ﷺ juga bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: العَبْدُ الآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
“Tiga orang yang shalatnya tidak akan melampaui telinga mereka; seorang budak yang kabur hingga ia kembali, seorang istri yang bermalam (tidur) sementara suaminya dalam keadaan marah dan seorang imam bagi suatu kaum sedangkan mereka tidak suka.”[6] (HR. Tirmidzi no. 360)
Hadits ini mengabarkan bahwa tatkala ada seorang istri yang membuat suaminya marah karena kesalahannya, kemudian dia tidur sementara suaminya masih marah kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima. Akan tetapi sebaliknya, Allah ﷻ telah menyiapkan balasan pahala yang besar bagi seorang perempuan yang berusaha sekuat tenaga agar dia tidur dalam keadaan suaminya ridha kepadanya, hingga sekalipun dia yang dizalimi dan suaminya keliru dalam haknya. Sebagaimana saba Nabi ﷺ,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ الْوَدُودُ، الْوَلُودُ، الْعَؤُودُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِي إِذَا آذَتْ أَوْ أُوذِيَتْ، جَاءَتْ حَتَّى تَأْخُذَ بَيْدَ زَوْجِهَا، ثُمَّ تَقُولُ وَاللهِ لَا أَذُوقُ غُمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku kabarkan kepada kalian istri-istri kalian yang termasuk penghuni surga? Yaitu perempuan yang banyak anak, penuh cinta dan kembali (meminta maaf, apabila merasa bersalah) yang apabila melakukan suatu kezaliman atau dia yang dizalimi (oleh suaminya) dia berkata (kepada suaminya), ‘Ini tanganku di tanganmu, aku tidak akan bisa tidur sekejap mata pun hingga engkau ridha (kepadaku)’.”[7]
Wahai para wanita, jika sekiranya terdapat permasalahan dalam rumah tangga kalian, carilah keridhaan Allah dengan mengalah. Ingatlah bahwa hidup ini memang penuh dengan ujian. Bisa jadi seseorang diuji dengan suami yang pemarah, pelit, dan yang lainnya. Maka terimalah, dan nasihati dengan perlahan serta mengalah. Bahkan meskipun jika kalian para wanita yang dizalimi, ingatlah bahwa surga menanti Anda sebab ketaatan kepada suami Anda. Karena tugas seorang istri adalah taat terhadap perintah suami selama pada perkara yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
- Membatasi kelahiran dan menyedikitkannya tanpa ada alasan yang bisa diterima, karena hal ini akan menyebabkan sedikitnya jumlah umat Islam.
Perkara ingin membatasi jumlah anak adalah hal yang terlarang. Seharusnya seorang wanita membiarkan dirinya untuk melahirkan. Adapun dengan menunda kelahiran agar asi dan perawatan anak dilakukan secara maksimal, maka hal yang demikian hukumnya boleh.
- Mengira bahwa dia (istri) tidak dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah tentang kepemimpinannya (dalam keluarga suaminya).
Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas orang yang dipimpinnya. Seorang istri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.”[8]
Ini menunjukkan bahwa suami maupun istri akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Dan yang paling banyak bertanggungjawab terhadap rumah dan anak-anak adalah seorang istri, karena kebanyakan seorang suami mencari nafkah di luar rumah sehingga dia jarang berada di rumah dan jarang mengurus anak-anaknya. Oleh karenanya jika seorang istri lalai dari tanggung jawabnya terhadap rumah dan anak-anaknya, bisa jadi pertanggungjawabannya kelak jauh lebih besar daripada tanggung jawab suaminya.
Maka dari itu, jangan sampai seorang istri lalai dalam mengurus anak-anak dan rumahnya, karena sesungguhnya seorang wanitalah yang lebih besar ditanya tentang anak-anaknya daripada seorang suaminya, karena dialah yang lebih banyak menemani anak-anaknya di rumah.
- Tidak memberikan perhatian untuk mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam yang murni dan bersih dari penyimpangan dan ajaran yang datang dari luar Islam dari musuh-musuh umat ini.
Di antara kesalahan dalam hal ini adalah sikap lalai dalam membelikan pakaian yang memiliki gambar makhluk hidup, atau tulisan-tulisan yang keji, atau tanda salib, atau juga seperti melaksanakan ulang tahun, mengajarkan musik kepada anak, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, seorang ibu juga tidak pernah menyuruh anaknya shalat di masjid, menghafal Al-Quran, dan menumbuhkan semangat membela Islam. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda,
فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Seorang istri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.”[9]
Sebagian ulama dahulu disebutkan bahwa ibunya mengantarkan mereka ke masjid untuk shalat subuh berjamaah, dan dijemput lagi tatkala shalat telah selesai. Ini adalah salah satu bentuk perhatian seorang ibu terhadap anaknya. Oleh karenanya anak-anak perlu untuk diajarkan hal-hal tentang Islam. Jangan kemudian seorang ibu cuek terhadap keislaman anak-anaknya, dan jangan pula seorang ibu mengajarkan anak-anak dengan perkara-perkara yang haram, seperti main musik, memakai pakaian yang tidak benar, dan yang lainnya, karena seorang ibu juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak.
- Tidak perhatian dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan rumah, mencuci dan memasak.
Termasuk pula kesalahan dalam hal ini adalah tidak memperhatikan hak-hak suami seperti berdandan, bersolek, dan mempersiapkan diri untuk suami. Ini adalah kesalahan yang fatal.
Sering penulis sampaikan kepada para wanita, ketahuilah bahwa suami Anda di luar sana melihat wanita-wanita yang terbuka auratnya. Kemudian di tempat kerjanya juga berteman dengan para wanita yang cantik-cantik, karena tidak ada wanita yang pergi ke tempat kerjanya tanpa bersolek. Sehingga akhirnya suami Anda tergoda dan telah berpikiran hal-hal yang aneh-aneh. Maka bagaimanakah perasaan suami Anda yang tatkala pulang ke rumah dan mendapati Anda dalam keadaan yang semrawut dan tidak merawat diri? Sungguh kasihan keadaan suami yang seperti ini. oleh karenanya hendaknya seorang istri memperhatikan diri dan badannya dengan berhias dan bersolek untuk suami Anda.
- Menuntut cerai kepada suami tanpa ada alasan yang syar’i
Rasulullah ﷺ bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Siapa pun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.”[10]
Sebagaimana tidak boleh seorang suami bermudah-mudahan untuk mengucap kata cerai, maka demikian pula seorang istri tidak boleh bermudah-mudah untuk meminta cerai, sebab meminta cerai tanpa alasan yang syar’i adalah suatu dosa besar dan menghalangi seseorang dari surga. Bahkan hadits ini menerangkan bahwa jangankan surga, bau surga pun dia tidak akan dia dapatkan, padahal sebuah riwayat disebutkan bahwa aroma surga itu tercium dari jauh.
- Menuntut suami untuk membelikan sesuatu yang tidak mampu dia belikan berupa barang-barang yang termasuk kebutuhan sekunder, pakaian-pakaian, dan hadiah-hadiah yang tidak penting lainnya, yang membutuhkan pengeluaran biaya yang banyak
Sebagian wanita memang hobi untuk mengumpulkan barang, sampai terkadang hal-hal yang tidak diperlukan pun dibeli. Terkadang ada sebagian wanita yang memiliki tas lima, sendal empat, dan yang lainnya. Padahal semakin seseorang memiliki banyak barang yang tidak penting, maka akan semakin panjang hisabnya pada hari akhirat kelak. Oleh karenanya hendaknya para wanita tatkala ingin membeli suatu barang, hendaknya memikirkan terlebih dahulu apakah dia siap untuk dihisab oleh Allah pada hari kiamat kelak atau tidak. Jika dia siap untuk dihisab, maka silakan dibeli, akan tetapi jika tidak siap dan tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaan di hadapan Allah ﷻ, maka hendaknya mempertimbangkan kembali niat tersebut. Allah ﷻ berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8)
Ingatlah bahwa masih banyak hal lain yang perlu kita lakukan untuk masa depan kita di hari akhirat. Kita bisa bersedekah dan berinfak, menyambung silaturahmi, memberikan sebagian harta kepada orang tua, adik atau kakak dan kerabat lainnya.
Jika sekiranya barang-barang tersebut memang diperlukan, maka tidak mengapa seseorang memilikinya. Yang sangat perlu diperhatikan di sini adalah jangan sampai seorang istri memaksakan kehendaknya di luar kemampuan suaminya. Betapa banyak suami terlilit dengan hutang karena istrinya yang meminta dibelikan barang-barang yang pada dasarnya tidak disanggupi oleh suaminya. Oleh karenanya betapa banyak kunci sukses suatu keluarga ada pada istrinya yang qana’ah. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak kehidupan suatu rumah tangga hancur karena sikap glamor dan bermewah-mewahan disebabkan oleh istrinya.
- Menyebarluaskan cerita, percekcokan, dan rahasia suami istri, khususnya menyangkut hubungan ranjang di antara keduanya.
Ingatlah bahwa segala hal yang terjadi antara suami istri, hendaknya cerita tersebut tidak keluar dari keduanya.
- Jatuhnya istri ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang padahal dia bermaksud kebaikan, seperti: berpuasa sunnah tanpa izin suami, atau mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya.
Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya.”[11]
Ini adalah dalil tentang agungnya suami. Sampai-sampai seorang istri yang hendak berpuasa sunnah harus dengan izin suami, karena bisa jadi tatkala suaminya di rumahnya, dia ingin untuk berhubungan intim, dan akan menjadi suatu hal yang sulit tatkala dia tahu bahwa istrinya sedang berpuasa. Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi ﷺ menyebutkan,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan syaithan. Maka bila kamu melihat seorang wanita, datangilah istrimu, karena yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatimu.”[12]
Oleh karenanya disunnahkan bagi para laki-laki tatkala tergerak syahwatnya karena melihat wanita, maka hendaknya dia mendatangi istrinya. Hal ini dikarenakan agar seorang tidak memikirkan hal-hal yang haram berkepanjangan. Sedangkan dengan mendatangi istrinya adalah cara menyalurkan syahwat dengan cara yang Allah ﷻ halalkan.
Dari sini kita melihat bahwa begitu pentingnya hak ini terhadap suami, sampai-sampai syariat memerintahkan jika seorang istri hendak puasa harus atas izin suaminya. Maka seorang wanita yang berpuasa tanpa izin suaminya adalah sebuah kesalahan. Dan dari sini kita ketahui bahwa melayani suami lebih utama daripada puasa.
Selain itu, tidak boleh seorang istri memasukkan seorang di rumahnya tanpa seizin suami, baik itu untuk sekedar bertamu atau menginap. Hal ini dikarenakan rumah tersebut adalah milik suami. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa meskipun kakak dari sang wanita tidak boleh masuk tanpa izin dari suami wanita tersebut. Demikianlah syariat mengajarkan seorang istri terhadap perkara memasukkan seseorang ke dalam rumah suaminya. Jangan kemudian para istri mengeluh dengan syariat seperti ini, karena Allah ﷻ berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Footnote:
______________
[1] HR. Bukhari No. 5633
[2] HR. Bukhari No. 3301
[3] HR. Muslim No. 91
[4] HR. Ahmad No. 19003, haditsnya hasan.
[5] HR. At-Tirmidzi No. 1159, sahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 1998.
[6] HR. At-Tirmidzi No. 360, hasan menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No. 3057
[7] Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No. 2604, dari Ka’ab bin ‘Ujrah, haditsnya hasan.
[8] HR. Bukhari No. 2558
[9] HR. Bukhari No. 2558
[10] HR. Abu Daud No. 2226, hadits ini sahih menurut Syaikh Al-Albani
[11] HR. Bukhari No. 5195
[12] HR. Muslim No. 1403