Wanita dan Ujub
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang penyakit hati yang sangat berbahaya, dan penyakit ini merupakan lawan daripada ikhlas. Kita tahu bahwa musuh berbahaya yang bisa menggugurkan keikhlasan adalah penyakit riya’ dan ujub. Kedua penyakit ini tidaklah menimpa orang-orang yang buruk atau pelaku maksiat, bahkan justru penyakit ini rawan mengenai orang-orang yang rajin beribadah. Oleh karenanya, seorang salaf mengatakan,
وَلَا أَعْلَمُ فِي الْمُصَلِّينَ شَيْئًا شَرًّا مِنَ الْعُجْبِ
“Aku tidak tahu sesuatu yang paling buruk ada pada orang-orang yang salat seperti ujub.”[1]
Mengapa dikatakan ujub adalah suatu perkara yang paling buruk menimpa orang-orang yang salat? Karena penyakit ujub ini menimpa orang-orang yang memiliki kelebihan dalam agama, baik karena ia rajin bersedekah, memiliki ilmu yang tinggi, atau bahkan rajin salat, mereka-mereka inilah yang rawan terkena ujub. Adapun orang-orang yang tidak memiliki sesuatu kelebihan namun ia ujub, maka kita katakan bahwasanya dia telah ujub tidak pada tempatnya.
Penyakit ujub perlu untuk kita bersihkan dari hati-hati kita. Oleh karenanya, demi untuk membersihkan hati kita dari penyakit ujub, maka kita perlu untuk memperdalam pembahasan tentang ujub. Kemudian, kita juga akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk ujub yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Definisi Ujub
Secara bahasa
Secara bahasa (etimologi), الْعُجْب ‘ujub’ mirip maknanya dengan الْكِبْرُ ‘al-Kibr’, yaitu bentuk kagum sehingga mengantarkan kepada merasa tinggi. Akan tetapi, tetap saja antara ujub dengan al-Kibr ada perbedaan, dan kesamaannya hanya pada sebatas ‘merasa tinggi’.
Secara istilah
Adapun ujub secara istilah (terminologi), maka datang dalam beberapa definisi.
- Al-Jurjani (الشَّرِيْف الْجُرْجَانِ)
Al-Jurjani mengatakan tentang ujub,
هُوَ عِبَارَةٌ عَن تَصَورِ استحقاقِ الشَّخْصِ رُتْبَةً لَا يَكُوْنُ مُسْتَحِقًّا لَهَا
“(ujub) adalah perasaan seseorang yang menganggap bahwa dirinya berhak mendapat suatu kedudukan yang sebenarnya tidak ia tidak berhak mendapatkannya.”[2]
Jadi, yang namanya ujub adalah seseorang merasa bahwa dirinya berhak mendapatkan kedudukan yang tinggi, akan tetapi pada hakikatnya dia tidak berhak untuk itu. Ini menunjukkan bahwa ujub itu adalah seseorang merasa tinggi, padahal hakikatnya dia tidak tinggi.
- Al-Ghazali (الْغَزالِي)
Al-Ghazali berkata tentang ujub,
العجب هو استعظام النعمة والركون إليها مع نسيان إضافتها إلى المنعم
“Ujub adalah mengagungkan kenikmatan yang dia miliki dan bersandar padanya dan lupa menyandarkannya kepada Sang pemberi nikmat.”[3]
Jadi, Imam Al-Ghazali menggambarkan bahwasanya ujub itu melihat kelebihan yang dimiliki dan lupa bahwasanya kelebihan tersebut murni dari Allah ﷻ.
Jika kita mau menggabungkan dan meringkas kedua perkataan ulama ini, maka akan kita dapatkan definisi bahwasanya ujub itu adalah seseorang yang merasa dirinya berhasil karena dirinya sendiri, dia lupa bahwasanya segala keberhasilan itu dari Allah ﷻ. Oleh karenanya, ketika seseorang sudah merasa bahwasanya dirinya punya andil dalam keberhasilannya bersama Allah ﷻ, maka dia telah terjebak dalam ujub.
Komparasi antara Ujub dan Riya’
Kita tentu telah sama-sama mengetahui bahwasanya yang namanya riya’ adalah beramal saleh agar dilihat dan dipuji oleh orang lain. Adapun ujub, sederhananya adalah merasa memiliki andil dalam keberhasilannya.
Komparasi antara Ujub dan Riya’ bisa kita lihat sebagai berikut:
- Perbedaan
- Letak kesyirikan
Riya’: Syiriknya riya’ berkaitan dengan orang lain, yaitu menyekutukan Allah ﷻ dengan orang lain. Sederhananya, ketika seseorang beribadah, maka dia ingin dipuji oleh Allah ﷻ dan juga dipuji oleh manusia, maka dengan demikian dia telah menyekutukan Allah dengan manusia.
Ujub: Syiriknya ujub berkaitan dengan diri sendiri, yaitu menyekutukan Allah ﷻ dengan diri sendiri. Maksudnya adalah dengan seseorang merasa bahwa keberhasilan yang dia raih merupakan hasil kerja sama antara Allah dengan dirinya, maka dia telah menyekutukan Allah ﷻ dengan dirinya.
- Tauhid yang dirusak
Riya’: Syirik yang dilakukan karena riya’ berkaitan dengan tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah dalam hal ini rusak karena yang asalnya ibadah hanya untuk Allah, namun ternyata diperuntukkan untuk selain Allah ﷻ pula, yaitu pengakuan dan pujian manusia.
Ujub: Syirik yang dilakukan karena ujub berkaitan tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah tauhid tentang meyakini bahwasanya hanya Allah ﷻ yang bisa menolong hamba dan menentukan segala keberhasilan. Tauhid rububiyah dalam hal ini rusak karena yang asalnya semua keberhasilan asalnya dari Allah, namun ternyata seseorang merasa bahwa keberhasilan yang dia raih adalah hasil kerja sama antara dia dengan Allah ﷻ.
- Amalan yang mengenainya
Riya’: Penyakit riya’ hanya bisa mengenai amal-amal saleh. Riya’ hanya bisa berkaitan dengan amal saleh seperti salat, sedekah, haji, umrah, dakwah, hafalan dan bacaan Al-Qur’an, dan amal saleh lainnya. Namun, riya’ tidak pada perkara-perkara duniawi, yaitu seseorang tidak dikatakan riya’ dengan nasab, paras yang indah, atau harta.
Ujub: Penyakit ujub bisa mengenai amal saleh dan perkara-perkara duniawi. Seseorang bisa saja ujub dengan salatnya, dengan sedekahnya, dengan dakwahnya yang berhasil. Selain itu, ujub juga bisa mengenai seseorang dari sisi duniawinya, yaitu seseorang bisa ujub dengan hartanya, ujub dengan parasnya, ujub dengan nasabnya, dan perkara dunia lainnya.
Pertanyaan: Apakah seseorang yang bekerja boleh mempresentasikan hasil kerjanya kepada atasannya?
Jawabannya: Tentu hal tersebut boleh. Hal tersebut bukan riya’ dan tidak termasuk dalam perkara riya’. Perkara ini, mempresentasikan hasil kerja kepada atasan ataupun khalayak tidak mengapa, yang penting tidak ada ujub di dalamnya, karena perkara ini bisa dimasuki ujub.
- Persamaan
Riya’ dan ujub sama-sama merupakan syirik kecil, dan sama-sama bisa menggugurkan amal saleh yang dilakukan.
Ujub dan Al-Kibr
Ujub memiliki keterkaitan dengan al-Kibr, sebagaimana perkataan Ibnu Qudamah bahwa ujub adalah wasilah untuk sombong.[4] Orang yang ujub mungkin belum tentu sombong, bisa jadi seseorang merasa bahwa kekayaannya itu karena kerajinan dan kecerdasannya. Orang yang demikian tidaklah sombong, akan tetapi dia ujub, karena dia merasa bahwa dirinya hebat, dia telah lupa bahwasanya Allah yang memberikan segalanya kepadanya. Akan tetapi ketika ujubnya itu menjadikan dia merendahkan orang lain, maka dia telah terjatuh pada kesombongan. Sebagaimana yang Nabi Muhammad ﷺ telah sebutkan tentang kesombongan,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”[5]
Ini menunjukkan bahwasanya ujub adalah sarana yang sangat kuat untuk menjadikan seseorang sombong.
Ketahuilah bahwasanya kesombongan itu lebih parah daripada ujub, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarah dari kesombongan.”[6]
Penyebutan Ujub dalam Dalil-dalil
Sifat atau penyakit ujub ini disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ.
- Dalil Al-Qur’an
Di antara dalil yang menyebutkan tentang ujub adalah sebagaimana yang Allah ﷻ sebutkan pada kisah perang Hunain. Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sungguh, Allah telah menolong kalian (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang.” (QS. At-Taubah: 25)
Ketika perang Hunain, Rasulullah ﷺ membawa 12.000 pasukan. Biasanya, Rasulullah ﷺ membawa pasukan dengan jumlah yang lebih sedikit, seperti perang Badar dengan jumlah 315 pasukan, perang Khandaq dengan sekitar 2000 pasukan, namun dengan jumlah yang sedikit daripada musuh, ternyata Rasulullah ﷺ dan para sahabat bisa meraih kemenangan. Logikanya, kalau dengan jumlah sedikit saja bisa menang, maka tentu dengan jumlah yang lebih banyak bisa menang pula. Akan tetapi, ketika perang Hunain, ada seorang sahabat yang mengatakan,
لَنْ نُغْلَبَ الْيَوْمَ مِنْ قِلَّةٍ
“Kita tidak akan kalah dengan jumlah yang sedikit.”
Mendengar perkataan tersebut, maka Rasulullah ﷺ kemudian merasa berat.[7] Perkataan ini menunjukkan bahwasanya mereka menyandarkan kemenangan kepada diri mereka sendiri, yaitu dengan jumlah yang banyak, artinya mereka tidak akan kalah dengan jumlah musuh yang lebih sedikit dari mereka. Maka, di sinilah yang dikatakan dengan ujub, tidak menyandarkan keberhasilan atau kemenangan kepada Allah ﷻ. Maka, benarlah firman Allah ﷻ bahwa jumlah yang banyak tidak bisa memberi manfaat kepada mereka. Akhirnya, yang terjadi adalah para pasukan perang kabur berlarian, dan mereka kalah di awal peperangan.
Dari ayat tersebut kemudian kita bisa memahami bahwasanya benar kita melakukan sebab untuk meraih keberhasilan, akan tetapi bukan sebab itu yang mendatangkan keberhasilan. Untuk menjadi orang yang kaya tentu ada banyak sebab, seperti cerdas, kreatif, disiplin, dan yang lainnya. Namun, setelah kaya, jangan kemudian kita katakan bahwasanya kekayaan tersebut karena kecerdasan atau karena kedisiplinan kita, akan tetapi kekayaan itu murni dari Allah, kemudian dengan sebab kita yang telah berusaha. Oleh karenanya, Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya tersebut bahwasanya ujub dengan jumlah yang banyak tidak menjadikan mereka para sahabat berhasil.
- Dalil Hadis
Ada dua dalil dalam hadis yang menyebutkan tentang ujub. Hadis pertama, yaitu Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara yang membinasakan; rakus yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujubnya seseorang dengan dirinya.”[8]
Hadis kedua, yaitu Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَوْ لَمْ تَكُونُوا تُذْنِبُونَ خَشِيتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa, aku khawatir menimpa kalian yang lebih besar daripada dosa, yaitu ujub, yaitu ujub.”[9]
Mengapa Nabi Muhammad ﷺ mengkhawatirkan ujub menimpa seseorang, sampai-sampai Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa beliau lebih mengkhawatirkan ujub daripada dosa? Para ulama menyebutkan sebabnya, di antaranya seperti Al-Munawi, bahwa sebabnya adalah orang yang berdosa tahu bahwa dia berdosa, sedangkan orang yang ujub seringnya tidak sadar kalau dia sedang ujub, dan ketika orang yang ujub tidak sadar, maka bagaimana bisa dia bertaubat?[10]
Kemudian, mengapa Nabi Muhammad ﷺ sampai mengulang penyebutan ujub dua kali? Karena bertobat dari ujub itu susah, dan telah kita ketahui bahwa seringnya orang yang ujub tidak sadar bahwa dirinya sedang ujub. Oleh karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan sebuah perkataan yang indah, bahwasanya bisa jadi seseorang masuk surga disebabkan dosa-dosanya, dan bisa jadi seseorang masuk surga disebabkan karena amal salehnya. Mengapa demikian? Karena orang yang melakukan dosa tersebut merasa bersalah, dia merasa hina dan rendah di hadapan Allah ﷻ, kemudian dia bertaubat, dia selalu mengingat-ingat dosanya, dan setiap kali diingat maka dia bertaubat kembali, hingga akhirnya derajatnya semakin tinggi di sisi Allah ﷻ. Adapun orang yang beramal saleh masuk neraka karena dia ujub. Dia senantiasa beramal saleh dengan ujub, merasa tinggi, dan bahkan sombong, hingga akhirnya dia dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.[11] Selain karena ujub susah untuk tobatnya, ternyata karena ujub juga bisa menggugurkan amal saleh. Sebagaimana perkataan seorang ulama dalam syairnya,
والعجْبَ فاحذَرْهُ إِنَّ العُجْبَ مُجْتَرِفٌ أَعْمَالَ صَاحِبِهِ فِي سَيْلِهِ الْعَرِمِ
“Adapun ujub, waspadalah terhadapnya. Sesungguhnya ujub akan menarik amalan pelakunya ke dalam arus yang besar (hilang dan tak bermanfaat).”[12]
Oleh karenanya, orang yang ujub amalannya akan gugur, maka berhati-hatilah dengan sifat ujub.
Dampak Buruk Ujub
Ada beberapa dampak buruk dari ujub, di antaranya:
- Bisa menjadikan seseorang sombong
Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, bahwasanya orang yang ujub lama-kelamaan bisa bersikap sombong dengan merendahkan orang lain. Ketika seseorang memiliki perbuatan atau amal saleh, maka dia tidak menganggapnya, karena dia merasa bahwa dirinya lebih tinggi daripada yang lain.
- Kurang bersyukur kepada Allah
Di antara dampak buruk ujub adalah seseorang akan kurang bersyukur kepada Allah ﷻ. Bagaimana tidak, karena orang ujub itu merasa bahwa apa yang dia capai, apa yang dia telah raih, itu semua karena dirinya, dia merasa memiliki andil dalam keberhasilannya. Akhirnya, orang yang ujub tidak bersyukur kepada Allah ﷻ, padahal hakikatnya Dia-lah yang memberikan keberhasilan tersebut.
Cara Mengatasi Ujub
Di antara cara agar kita bisa mengatasi ujub antara lain:
- Menyadari bahwa segala keberhasilan itu dari Allah ﷻ
Lihatlah bagaimana perkataan para penghuni surga yang diabadikan Allah ﷻ dalam firman-Nya,
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran’. Diserukan kepada mereka, ‘Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS. Al-A’raf: 43)
Perkataan penghuni surga yang Allah ﷻ abadikan ini sangatlah menakjubkan, yaitu mereka masuk surga tanpa ada ujub sama sekali, dan bahkan mereka menyadari bahwasanya yang membuat mereka bisa masuk surga adalah Allah ﷻ, bukan karena diri mereka sendiri.
Oleh karenanya, Allah ﷻ mengingatkan kepada kita akan hal ini, bahwasanya hendaknya kita menyadari bahwa segala keberhasilan itu dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun di antara kalian bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 24)
Ketika kita rajin beribadah, rajin salat, rajin bersedekah, senantiasa berzikir kepada-Nya, maka semua itu karuni dari Allah ﷻ. Allah ﷻ yang telah menggerakkan hati kita untuk melakukan segala macam bentuk ketaatan dan meninggalkan segala macam maksiat, karena dalam ayat tersebut Allah ﷻ menyebutkan bahwa kalau bukan karena rahmat-Nya maka kita tidak bisa melakukan demikian.
Inilah yang harus kita akui dalam diri kita, bahwasanya segala keberhasilan itu datangnya dari Allah ﷻ. Oleh karenanya, ketika Nabi Muhammad ﷺ bersama para sahabat menggali parit ketika perang Khandaq, beliau dan para sahabat berkata,
لَوْلاَ أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا، فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا، وَثَبِّتِ الأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا، إِنَّ الأُلَى قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا
“Kalaulah bukan karena Engkau ya Allah, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak pula menunaikan zakat dan mendirikan shalat. Untuk itu turunkanlah sakinah (ketenangan) kepada kami, dan kuatkanlah kaki-kaki kami bila bertemu (musuh) Sesungguhnya orang-orang (itu) telah berbuat aniaya terhadap kami, jika mereka menghendaki fitnah, kami tidak pernah peduli (menyerah).”[13]
Inilah mengapa kita harus mengakui dan menyadari bahwa segala keberhasilan berasal dari Allah ﷻ.
- Merenungkan akibat dari ujub
Ketahuilah bahwasanya Allah ﷻ pernah menghukum Qarun karena ujub. Apa perkataan Qarun? Allah ﷻ berfirman,
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Dia (Qarun) berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’ Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripada dia, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Lantas, hukuman apa yang Allah ﷻ berikan kepada Qarun karena ujubnya? Yaitu dia dibenamkan ke dalam bumi bersama harta-hartanya. Allah ﷻ berfirman,
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ
“Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.” (QS. Al-Qashash: 81)
Demikian juga yang disebutkan dalam sebuah hadis, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ mengabarkan bahwa ada orang yang dibenamkan ke dalam bumi karena ujub dengan pakaiannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي حُلَّةٍ، تُعْجِبُهُ نَفْسُهُ، مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ، إِذْ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
“Ketika seorang lelaki berjalan dengan menggunakan jubah yang ia kenakan, dan berjalan dengan rasa ujub, sambil menyisir rambutnya, lalu ia dibenamkan ke dalam bumi, dan ia akan tetap berguncang-guncang (di dalam perut bumi) hingga datang hari kiamat.”[14]
Dari sini kemudian kita bisa lebih mengetahui, bahwasanya ujub bukan hanya sekadar menggugurkan amalan, akan tetapi ujub juga menyebabkan pelakunya mendapatkan siksaan dari Allah ﷻ, sebagaimana yang dialami oleh Qarun dan orang yang telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya.
- Menyadari bahwa kenikmatan bisa diambil oleh Allah kapan saja
Di antara hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ujub adalah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang kita rasakan bisa diambil kembali oleh Allah ﷻ kapan saja Dia kehendaki. Bisa jadi kita dapati ada orang yang sebelumnya rajin salat menjadi tidak rajin lagi, atau ada orang yang sangat dermawan tiba-tiba menjadi pelit, atau dengan model lainnya. Intinya, nikmat itu bisa diambil oleh Allah ﷻ kapan saja, sehingga tidak perlu bagi kita untuk ujub dengan amalan yang kita lakukan.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi kita yang hendak ujub adalah “Apa yang bisa kita ujubkan (banggakan) dengan amal kita?” Bukankah kita telah sadar bahwa atas rahmat Allah-lah sehingga kita bisa beramal? Lantas, untuk apa kita ujub? Oleh karenanya, hendaknya kita menyadari hal ini, bahwasanya nikmat itu bisa diambil oleh Allah ﷻ kapan saja, sehingga tidak perlu kita ujub dengan amal ataupun dengan dunia yang kita miliki.
- Merenungkan banyaknya dosa-dosa kita
Ketika kita merenungkan tentang betapa banyaknya dosa-dosa kita, tentu kita tidak akan ujub. Dengan merenungkan betapa banyaknya dosa-dosa kita, maka kita akan sadar bahwa kita ini memiliki aib-aib yang sangat banyak, hanya saja Allah ﷻ menutupi aib-aib kita. Jika sekiranya Allah ﷻ menyingkap aib-aib kita kepada orang banyak, tentu kita tidak bisa dan bahkan tidak pantas ujub, karena saking banyaknya aib yang kita miliki.
Model-model Ujub
Model-model ujub asalnya banyak, hanya saja beberapa yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali ada tujuh[15], di antaranya:
- Ujub karena nasab
Di antara yang dicontohkan oleh Imam Al-Ghazali tentang ujub karena nasab adalah seperti ujub yang terjadi di zaman beliau, yaitu ujubnya Hasyimiah (ahlulbait). Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwasanya di zaman beliau, ada ahlulbait yang sombong dengan nasabnya. Tentunya mereka wajar saja jika ujub, karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian, Imam Al-Ghazali menasihatinya dengan firman Allah ﷻ,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Allah ﷻ tidak menilai nasab ataupun keturunan seseorang, bahkan Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barang siapa yang lemah amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.”[16]
Maka dari itu, apa pun keturunan kita, janganlah kita ujub. Bahkan, jika Anda adalah keturunan Nabi Muhammad ﷺ, tetap jangan ujub, namun yang perlu Anda lakukan adalah menyesuaikan amalan Anda dengan amalan Nabi Muhammad ﷺ, jangan Anda mempermalukan leluhur Anda dengan amalan yang jauh dari amalan Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwasanya seseorang mulia dengan amal saleh, bukan dengan nasabnya.
Tentunya, kita dapati sebagian orang yang ujub dengan keturunannya, padahal bisa kita katakan bahwa tidak semua keturunan nabi menjadi baik. Lihatlah Bani Israil, mereka seluruhnya adalah keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Akan tetapi, ternyata di antara mereka ada yang saleh dan ada pula yang kafir seperti Yahudi. Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihissalam, salah seorang anaknya pun kafir. Ini menunjukkan bahwasanya yang memuliakan seseorang bukanlah nasabnya, akan tetapi seseorang mulia karena amal saleh. Oleh karenanya, ketika seseorang adalah keturunan Nabi Muhammad ﷺ, tentu nasabnya adalah nasab yang mulia, namun dia tetap harus menyelaraskan amalannya dengan amalan Nabi Muhammad ﷺ. Akan tetapi, ketika ternyata amalannya jauh di bawah Nabi Muhammad ﷺ, atau bahkan seringnya dia bermaksiat, maka nasabnya tersebut menjadi percuma, bahkan bisa jadi dia telah mempermalukan leluhurnya yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
- Ujub karena paras
Wajah yang cantik terkadang membuat seseorang ujub. Dia lupa bahwasanya paras yang cantik itu asalnya dari Allah ﷻ, dan jika Allah ﷻ ingin mencabut kecantikan darinya, maka tentu hal tersebut sangat mudah bagi Allah ﷻ.
- Ujub karena kekuatan
Di antara bentuk ujub karena kekuatan adalah seperti yang dilakukan oleh kaum ‘Ad. Sebab mereka ujub dengan kekuatan yang mereka miliki, akhirnya mereka pun bersikap sombong. Allah ﷻ berfirman tentang mereka,
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Fusshilat: 15)
Kaum ‘Ad sombong tanpa hak, mereka ujub dengan kekuatan yang mereka miliki, padahal kekuatan tersebut dari Allah ﷻ. Oleh karenanya, dalam ayat ini Allah ﷻ menegaskan kepada kaum ‘Ad bahwasanya Dia lebih kuat daripada mereka, sehingga mereka tidak pantas untuk ujub dan sombong dengan kekuatan yang mereka miliki.
- Ujub karena kecerdasan
Tidak dipungkiri bahwa masih ada di antara saudara-saudara kita yang ujub karena kecerdasannya. Maka, perlu untuk kita ingat bahwasanya kecerdasan itu dari Allah ﷻ. Sehingga, kita lebih harus bersyukur kepada Allah ﷻ atas kecerdasan yang kita miliki, bukan malah kita bersikap sombong.
- Ujub karena jumlah yang banyak
Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya tentang perang Hunain, bahwasanya ada sebagian dari para sahabat[17] yang ujub dengan jumlah mereka yang banyak. Mereka menyangka bahwasanya mereka tidak akan kalah dengan jumlah musuh yang lebih sedikit dari jumlah kaum muslimin. Akan tetapi, ternyata Allah ﷻ berikan kekalahan kepada mereka, dan Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sungguh, Allah telah menolong kalian (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang.” (QS. At-Taubah: 25)
- Ujub karena harta
Ujub karena harta juga sebagaimana yang terjadi pada Qarun.
- Ujub karena pendapatnya
Bisa jadi, ada orang yang ujub dengan pendapatnya, padahal pendapatnya sendiri salah. Akhirnya, meskipun pendapatnya salah, dia tetap bela pendapatnya.
- Ujub karena bernasab kepada penguasa yang zalim
Sebagian orang mungkin bangga ketika dia memiliki hubungan dengan penguasa. Padahal, jika penguasanya zalim, apa yang dia hendak banggakan dari hubungan tersebut? Bagaimana bisa dia bangga dengan hubungannya dengan seseorang yang zalim? Sesungguhnya, ujub yang seperti ini juga keliru.
Tentunya, ujub lebih banyak daripada apa yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali. Saran ujub tentu sangat banyak, sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya seseorang juga bisa ujub karena pakaian, rambut yang indah, komunitas pengajiannya, dan yang lainnya. Oleh karena banyaknya hal yang bisa membuat seseorang ujub, hendaknya kita semua dan para akhwat khususnya berhati-hati, karena ujub adalah dosa besar.
Obat yang paling bagus bagi ujub, selain dengan merenungkan hal-hal yang telah kita sebutkan, yaitu ketika shalat dan membaca firman Allah ﷻ,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
Artinya, kita menyadari dan berkata “Ya Allah, seluruh keberhasilanku hanya karena Engkau”. Yaitu kita bisa salat karena Allah, kita bisa bahagia di rumah karena Allah, kita bisa mendapatkan pasangan yang saleh dan salihah karena Allah, kita bisa memiliki anak-anak yang berbakti karena Allah, kita masih bisa berzikir karena Allah, dan yang lainnya semua karena Allah ﷻ. Maka, jangan kita merasa bahwa diri kita punya andil dalam apa yang kita lakukan. Ketika kita telah merasa bahwa kita memiliki andil terhadap diri kita, maka kita akan terjebak dalam ujub, dan itu adalah dosa besar yang bisa menggugurkan amal saleh kita.
footnote:
_________
[1] Syu’ab al-Iman No. 7910.
[2] At-Ta’rifat (hal. 147).
[3] Ihya’ ‘Ulum ad-Din (3/371).
[4] Lihat: Mukhtashar Minhaj al-Qashidin (hal. 234).
[5] HR. Muslim No. 91.
[6] HR. Muslim No. 91.
[7] Lihat: Fath al-Bari (8/27).
[8] HR. Al-Baihaqi No. 731 dalam Syu’ab al-Iman, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah No. 1802.
[9] HR. Al-Baihaqi No. 6868 dalam Syu’ab al-Iman, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir No. 5303.
[11] Lihat: Madarij as-Salikin (1/307).
[12] Syarah Risalah Abi Daud li Ahli Makkah, karya ‘Abdul Karim Al-Khudhair (3/21).
[13] HR. Bukhari No. 2837.
[14] HR. Bukhari No. 5789.
[15] Lihat: Ihya’ ‘Ulum ad-Din (3/374-378).
[16] HR. Muslim No. 2699.
[17] Sebagian ulama menyebutkannya bahwasanya mereka adalah orang-orang munafik.