KUNCI-KUNCI REZEKI
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pentingnya Rezeki
Ada hal-hal yang dianjurkan oleh syariat yang selayaknya diperhatikan dan dijalani oleh seorang hamba, agar rezeki dimudahkan kepadanya. Tentu, masalah rezeki dan harta adalah suatu hal yang wajar, karena di antara tabiat manusia adalah menyukai hal-hal yang berkaitan dengan harta, aset atau kekayaan, tidak hidup di dalam kekurangan dan sejenisnya. Allah ﷻ telah menyebutkan di antara sifat-sifat manusia adalah sebagaimana firman-Nya yang berbunyi,
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-‘Adiyat: 8)
Para ulama menafsirkan bahwa الْخَيْرِ adalah harta. Artinya kecintaan manusia terhadap harta sangat kuat([1]).
Oleh karenanya, wajar jika semua orang merasa khawatir dengan kemiskinan, dan dengan sebab itu mereka berusaha mencari harta. Karena kemiskinan adalah sesuatu yang tidak mengenakkan, apalagi ketika seseorang tidur dalam kondisi lapar. Atau bahkan, bukan hanya dia yang lapar, akan tetapi istri dan anak-anaknya juga dalam kondisi yang sama, maka hal ini menjadi suatu perkara yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya, di antara doa Nabi ﷺ adalah,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ
“Wahai Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari rasa lapar, karena ia adalah teman tidur yang paling buruk.” ([2])
Terkadang seseorang mengalami keadaan, dimana dia tidur dalam kondisi lapar, ditambah lagi istri dan anak-anaknya mengalami hal yang demikian, dikarenakan karena kondisi mereka yang serba kekurangan. Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ berlindung dari kefakiran, sebagaimana disebutkan di dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ﷺ, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Wahai Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, kehinaan dan aku berlindung kepada engkau dari berbuat zalim atau dizalimi oleh orang lain.” ([3])
Demikian juga, di antara doa Nabi ﷺ adalah,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ القَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الغِنَى، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الفَقْرِ
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan dari azab neraka, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah (akibat) kekayaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kefakiran.” ([4])
Terkadang kemiskinan menghalangi seseorang dari banyak kebaikan dan ibadah, dan terkadang pun menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, seperti mencuri dan sejenisnya, atau bahkan menjual dirinya, hanya karena alasan kemiskinan. Secara naluri, kemiskinan atau kefakiran adalah perkara yang tidak disukai. Oleh karenanya, menjadi sesuatu yang wajar jika manusia suka dengan mencari harta dan kekayaan. Tentu saja, hal itu telah diatur oleh syariat. Akan tetapi, keinginan untuk memiliki aset dan harta, adalah suatu perkara yang alami dan manusiawi. Seseorang tidak perlu merasa mengaku bahwa dirinya tidak memerlukan harta atau kekayaan lainnya. Seandainya ada pun, maka itu adalah perkara yang langka dan kenyataannya semua orang butuh dengan harta.
Doa untuk meminta rezeki sangat banyak. Di antaranya adalah setiap pagi Nabi ﷺ berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.”([5])
Di dalam shalat pun seseorang selalu berdoa, yaitu ketika dia sedang duduk di antara dua sujud di antara doa yang dibaca adalah,
وَارْزُقْنِي
“Dan berikanlah rezeki kepadaku.” ([6])
Karena begitu pentingnya rezeki, sehingga para nabi dahulu mendoakan keluarga mereka untuk mendapatkan rezeki, sebagaimana kisah Nabi Ibrahim u tatkala meninggalkan istri dan anaknya di kota Makkah. Allah ﷻ berfirman,
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim: 37)
Jika rezeki bukan termasuk perkara yang penting, maka untuk apa Nabi ﷺ berdoa setiap waktu pagi dan setiap shalat? Untuk apa Nabi Ibrahim u berdoa sedemikian rupa untuk keluarganya? Hal ini menunjukkan bahwa seseorang mengkhawatirkan diri dan keluarganya dari kefakiran dan ingin agar Allah ﷻ memberikan rezeki kepada diri dan keluarganya. Apalagi, jika dalam kondisi keluarga tersebut dia tinggalkan, maka sejatinya dia telah memohon kepada Allah ﷺ untuk sesuatu yang sangat wajar.
Allah ﷻ memerintahkan kita untuk mencari rezeki, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Berdasarkan firman Allah ﷻ tersebut, telah jelas bahwa begitu pentingnya rezeki di kehidupan manusia. Sebagai contoh kecilnya adalah apabila seseorang tidak memiliki kendaraan, maka dia akan kerepotan dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain. Jadi, rezeki sangat diperlukan oleh semua orang, terutama adalah rezeki yang ‘thayyib’ (baik).
Hendaknya setiap orang sadar bahwa rezeki tidak terbatas pada materi. Rezeki adalah anugerah dan karunia. Allah ﷻ telah memberikan banyak karunia kepada manusia, dan masing-masing karunia tersebut adalah karunia dari Allah ﷻ yang seharusnya disyukuri. Di antara bentuk rezeki adalah anak yang saleh, sebagaimana doa Nabi Zakaria u agar dikaruniai keturunan yang saleh. Allah ﷻ berfirman,
قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali ‘Imran: 38)
Apabila seseorang diberikan anak yang saleh, maka dia telah mendapatkan rezeki yang luar biasa, karena itu adalah rezeki yang dapat menopang hidupnya dan membuatnya bahagia. Begitu juga dengan rezeki berupa suami yang saleh atau istri yang salehah. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ
“Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang salehah, rumah yang luas, tetangga yang baik dan tunggangan yang nyaman.” ([7])
Pada zaman sekarang ini, apabila seseorang memiliki suami yang saleh atau istri yang salehah, maka itu adalah nikmat sekaligus karunia yang luar biasa. Terkadang seseorang memiliki rumah yang luas dan banyak, namun di balik itu dia memiliki istri yang tidak salehah. Dia selalu menjumpai istrinya banyak mengeluh, banyak menuntut, tidak pernah berterima kasih kepada suaminya ataupun menghormatinya, maka kebahagiaan yang dia miliki akan terasa hambar, karena kehadiran istri yang seperti ini. Bisa jadi sang istri ketika masuk rumah bagaikan singa betina, namun ketika keluar rumah bagaikan kelinci. Artinya ketika di dalam rumah bersama suaminya bersikap keras dan bermuka masam, tetapi ketika keluar rumah, dia sangat ramah sekali kepada semua orang. Maka dari itu, ketika seseorang telah mendapatkan istri yang salehah, maka itu menjadi rezeki yang luar biasa. Apabila dilihat menyenangkan, apabila jauh terasa sangat rindu ingin segera bertemu dengannya, hari terasa hambar jika sehari itu tidak mendengar suaranya. Ini adalah bentuk rezeki yang luar biasa. Jika seseorang mendapat istri salehah yang demikian, maka hendaknya dia pegang erat-erat, karena pada zaman sekarang, sangat jarang dijumpai istri yang salehah yang seperti itu.
Oleh karenanya, janganlah seseorang membatasi bahwa rezeki itu hanya pada harta. Jika seseorang membatasi rezeki hanya pada harta, terkadang akan membuatnya menjadi pribadi yang tidak pandai bersyukur. Sejatinya rezeki itu bermacam-macam bentuknya, baik berupa hidayah dari Allah, sifat qanaah([8]) ataupun kesehatan.
Terkadang sebagian orang mencari harta sebanyak-banyaknya, dengan tujuan agar dapat menikmati makanan-makanan yang lezat. Namun, begitu dia sudah menjadi orang kaya dengan berlimpah banyak harta, akhirnya dia tertimpa banyak penyakit, dimana penyakit tersebut menghindarkannya dari berbagai makanan-makanan yang disukainya yang menyebabkan penyakitnya bertambah parah. Dengan hartanya dia mampu membeli obat yang paling mahal, atau membayar dokter yang termahal sekalipun, namun dia tetap tidak diperbolehkan menikmati makanan-makanan yang disukainya, karena hal itu akan menimbulkan efek yang lebih buruk bagi kesehatannya. Terkadang kondisi sebagian orang berbeda, di antara mereka ada yang makan makanan apa saja yang dia temui tanpa banyak berpikir, dimanapun tempatnya, apapun resiko yang didapatkannya, mereka tetap memakannya dan menikmatinya. Artinya, jika seseorang memperhatikan keadaan yang ada pada diri dan jiwanya, maka dia akan dapati bahwa kesehatan adalah salah satu rezeki yang sangat luar biasa. Jika seseorang tidak membatasi rezeki hanya pada materi, maka dia akan banyak bersyukur kepada Allah ﷻ. Sungguh, benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi ﷺ,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian.”([9])
Rezeki sudah dicatat oleh Allah ﷻ. Rezeki seseorang tidak akan tertukar dengan rezeki orang lain. Apabila Allah telah memberikan rezeki kepada hamba-Nya, maka rezeki itu menjadi haknya. Segiat apa pun seseorang bekerja dan berusaha, namun jika Allah tidak menetapkannya sebagai rezekinya, maka apa yang telah diusahakannya tersebut bukanlah rezekinya. Seperti seseorang yang sedang menikmati makanan yang lezat sekalipun, lalu tiba-tiba muntah, maka sejatinya apa yang dimuntahkan itu bukanlah rezekinya. Apabila itu adalah rezekinya, pasti akan sampai kepadanya, dan tentunya setelah dia sudah berusaha. Karena, sejatinya rezeki setiap manusia sudah tercatat sebelum dia lahir di atas muka bumi ini. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6)
Semua rezeki makhluk yang berada di atas muka bumi, baik ulat yang ada di dalam tanah atau ikan yang berada di dasar laut, sudah dicatat oleh Allah ﷻ. Hendaknya setiap muslim mengetahui bahwa rezeki semua makhluk dan bagaimana caranya mereka berusaha untuk mendapatkan rezekinya tersebut telah dicatat oleh Allah ﷻ di Lauh Mahfuzh. Jika hewan saja, Allah ﷻ telah mengatur rezekinya, maka bagaimana dengan rezeki manusia.
Begitu juga disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
أَنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيُؤْذَنُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيَكْتُبُ: رِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ، وَعَمَلَهُ، وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى لاَ يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ، فَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya penciptaan salah seorang diantara kalian adalah dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal); tentang rezekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian Allah meniupkan ruh padanya, sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahuluinya, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya.” ([10])
Jadi, sebelum seseorang keluar dari perut ibunya menuju alam semesta ini, Allah ﷻ telah mencatat semua rezekinya. Selain itu, di dalam riwayat yang sama, Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا أَلا فَاتَّقُوا اللَّهَ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ([11]) وَلَا يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمُ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلَّا بِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya malaikat Jibril memberi wahyu ke dalam hatiku bahwasanya suatu jiwa tidak akan meninggal dunia hingga sempurna rezekinya. Ingatlah, bertakwalah kepada Allah, carilah harta dengan cara yang baik. Janganlah karena lambatnya rezeki membuat salah seorang dari kalian kepada mencari rezekinya dengan jalan maksiat, karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak dapat dicapai kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.”([12])
Inilah yang harus diyakini oleh setiap orang bahwa dia tidak akan meninggal dunia hingga jatah rezekinya telah sempurna diberikan kepadanya. Jika rezekinya belum sempurna diberikan kepadanya, maka dia tidak akan meninggal dunia.
Janganlah lantaran dirinya merasa bahwa rezekinya lambat, membuatnya mencari harta dengan cara yang haram. Dengan cara yang halal ataupun haram, rezeki setiap orang pasti akan datang kepadanya. Seseorang yang mencari rezeki dengan menempuh cara yang halal, maka rezekinya pasti akan datang dengan cara tersebut. Begitu juga halnya, bagi seseorang yang mencari rezeki dengan menempuh cara yang haram, maka rezekinya pasti akan datang dengan cara yang sama pula. Maka dari itu, hendaknya dia memilih mencari rezeki dengan cara yang halal, karena dia tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya diberikan kepadanya dengan sempurna.
Penulis pernah mendengar kisah yang diceritakan oleh guru beliau, bahwa ada seseorang yang terjatuh di suatu lubang, kemudian dia ditolong oleh orang lain. Setelah itu, dia merasa haus. Sambil meredakan rasa sakit akibat jatuh tersebut, orang yang menolong tadi memberikan segelas susu dan menanyakan apa yang mengakibatkannya jatuh di tempat tersebut. Setelah meminum susu yang telah diberikan, maka orang yang terjatuh tersebut menceritakan sekaligus mempraktekannya bagaimana dia terjatuh, pada saat jatuh yang kedua itulah dia meninggal dunia. Pada kali yang pertama, dia terjatuh, namun belum meninggal dunia, karena masih tersisa satu gelas susu dari rezekinya yang belum dia dapatkan. Akan tetapi, pada jatuh yang kedua, dia meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa seseorang akan meninggal dunia, setelah rezekinya telah sempurna diberikan kepadanya.
Maka dari itu, selayaknya manusia tidak merasa khawatir, karena semuanya telah tercatat di sisi Allah ﷻ. Bahkan, di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah, dan disahihkan oleh Al-Albani ﷺ,
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ هَرَبَ مِنْ رِزْقِهِ كَمَا يَهْرُبُ مِنَ الْمَوْتِ لَأَدْرَكَهُ رِزْقُهُ كَمَا يُدْرِكُهُ الْمَوْتُ
“Seandainya anak Adam lari dari rezekinya sebagaimana dia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian yang mengejarnya.” ([13])
Di antara perkara yang dicatat oleh malaikat, ketika manusia masih berada di dalam janin adalah rezeki dan ajalnya. Oleh karenanya, rezeki dan ajal adalah dua perkara yang sama, karena sama-sama dicatat tatkala manusia masih berada di dalam janin. Terkadang sebagian orang sangat yakin terhadap ajal. Namun, keyakinan mereka terhadap rezeki sangat minim sekali.
Seharusnya keyakinan setiap orang terhadap rezeki sama dengan keyakinannya terhadap ajal. Bukankah semua manusia akan menemui ajalnya? Bahkan, ucapan yang sering didengungkan adalah ‘Jika belum tiba ajalnya, maka seseorang tidak akan meninggal dunia’. Meskipun, tatkala seseorang sakit dan khawatir dengan ajalnya yang semakin dekat, lalu berusaha menghindari kematian tersebut, kemudian dia berpikir jika belum tiba ajalnya, maka dia tidak akan meninggal dunia. Akan tetapi, sebanyak apa pun usaha yang ditempuh, selengkap apa pun peralatan yang dipakai, sebugar apa pun kesehatannya, jika sudah tiba ajalnya, maka dia akan meninggal dunia. Jika Allah hendak mencabut nyawa seseorang, maka dia akan meninggal dunia.
Meskipun, rezeki telah dicatat, namun hendaknya setiap orang harus tetap berusaha untuk memperoleh rezekinya. Allah ﷻ berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 60)
Di dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa rezeki manusia sudah terjamin. Bukan hanya manusia, hewan yang hanya berjalan dengan nalurinya dan tidak memiliki akal pun, Allah telah memberikannya rezeki. Terlebih lagi manusia yang mampu berpikir, bertindak dan melakukan apa saja, Allah ﷻ telah mengatur dan memberikan rezeki kepada mereka.
Meskipun Allah ﷻ telah mengatur semuanya, mereka tetap harus berusaha untuk mencari rezeki tersebut. Sebagaimana seseorang yang yakin terhadap ajal yang sudah tercatat, lalu dia berusaha untuk selalu dalam keadaan sehat. Padahal, umur tidak akan ditunda, apalagi dimajukan. Allah ﷻ berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذا جاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ ساعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. Al-A’raf: 34)
Meskipun ajal telah ditetapkan, sehingga seseorang tidak mampu menunda ataupun memajukan waktunya, maka hendaknya mereka tetap berusaha untuk menjaga kesehatannya agar tetap hidup. Tidak seperti seseorang yang ketika sakit kemudian dia tidak berusaha untuk berobat dan hanya mengandalkan keyakinannya bahwa ajal hanya ada di tangan Allah, maka ini adalah kesalahan besar. Seperti gambaran dalam sebuah percakapan antara si A dan si B.
A : “Sedang sakit pak?.”
B : “Iya, sakit.”
A : “Tidak berobat?.”
B : “Tidak, ajal kan ada di tangan Allah. Kalau sudah waktunya mati, cepat atau lambat pasti mati. Dan saya tidak berobat, karena kalo memang ditakdirkan Allah untuk sembuh, pasti sembuh. Kalau belum waktunya untuk mati, saya tidak akan mati.”
Ini adalah suatu kekonyolan([14]). Jika dia berpandangan demikian, maka sejatinya apa yang dipikirkan itu adalah waktu ajalnya. Karena dengan sakit yang dideritanya, apabila dia tidak segera berobat atau diobati, maka akan mengakibatkan kematiannya. Jika dia meninggal dunia, maka dia akan meninggal dunia akibat keyakinannya yang konyol itu. Artinya hendaknya kita berpikir secara logis, sebagaimana kita mengetahui bahwa ajal kita yang sudah tercatat, maka kita berusaha untuk tetap sehat dan menghindar dari marabahaya agar kita bisa tetap hidup. Demikian pula dengan rezeki, meskipun sudah tercatat, maka hendaknya kita tetap berusaha untuk mencarinya.
Sebab-sebab mendapatkan rezeki
Secara umum, sebab-sebab mencari rezeki terbagi menjadi dua sebab, yaitu duniawi (materi) dan ukhrawi (sebab-sebab yang berkaitan dengan ketakwaan).
Pertama, sebab-sebab duniawi adalah sebab-sebab yang berkaitan dengan materi, yaitu berusaha bekerja dengan apa saja yang Allah ﷻ mudahkan kepadanya dengan cara yang halal. Terkadang seseorang mendapatkan rezeki dengan berprofesi sebagai dokter, konsultan, pegawai, pengajar, pemilki restoran, atau apa pun yang penting dia berusaha dan dengan cara yang halal. Pada sebab-sebab ini, semua orang -baik kafir ataupun muslim- pandai melakukannya, karena manusia diberikan kelebihan berupa akal pikiran. Maka dari itu, setiap orang bisa berusaha mencari pintu rezeki sekaligus sebab-sebabnya dengan cara yang halal. Namun, ini bukanlah pembahasan utama, karena sejatinya kebanyakan orang pandai dalam masalah dunia. Nabi ﷺ bersabda kepada para sahabat,
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”([15])
Kedua, sebab-sebab ukhrawi adalah sebab-sebab yang berkaitan antara seseorang dengan Allah ﷻ. Apapun profesi dan pekerjaan seseorang, hendaknya dia memperhatikan sebab-sebab ukhrawi. Sebab-sebab yang mampu memberikan harapan untuk menambah rezekinya, tapi dengan cara yang berkah, bukan menambah rezeki yang tidak berkah. Inilah hal-hal yang jika dikerjakan, maka Allah akan memberikan rezeki kepada orang yang melakukannya. Banyak orang yang mempraktekan hal tersebut dan Allah ﷻ melimpahkan rezeki kepada mereka. Di antara kunci-kunci yang bisa membuka pintu-pintu rezeki, adalah:
- Bertakwa kepada Allah ﷻ
Kata ‘bertakwa’ bukanlah sekedar kata-kata yang diumbar, diucapkan dan didengarkan oleh banyak orang. Akan tetapi, yang dibutuhkan adalah praktek dari kata tersebut. Takwa adalah:
أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ عَذَابِ اللَّهِ وِقَايَةً
“Engkau menghalangi dirimu dengan azab Allah.” ([16])
Sehingga jika disebutkan antara التَّقْوَى dengan الْبِرّ , sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah ﷻ,
وَتَناجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوى
“Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Mujadalah: 9)
Maka, التَّقْوَى digunakan sebagai konotasi yang berarti ‘meninggalkan maksiat’, sedangkan الْبِرّ ‘menjalankan ketaatan’. Adapun, jika hanya disebutkan التَّقْوَى saja, maka lafal tersebut memiliki arti keduanya.
Hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah ﷻ sesuai dengan kemampuannya, baik tatkala dia bersama banyak orang ataupun sendirian. Apalagi pada zaman sekarang ini, setiap orang sangat sulit bertakwa kepada Allah. Meskipun saat dia sedang sendirian, ditambah lagi dengan fasilitas internet, akan banyak maksiat yang akan dia lakukan. Bermacam-macam maksiat yang disepelekan oleh setiap orang pada zaman ini, karena mereka sudah terbiasa dengan kemaksiatan tersebut. Di antaranya adalah memandang aurat wanita yang tidak halal baginya. Pemandangan tersebut akan banyak dijumpai di berbagai media sosial. Siapakah di antara orang di zaman sekarang ini yang ketika melihat aurat wanita terbuka, lalu bertobat dan beristigfar? Sama sekali tidak ada, kecuali orang-orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah ﷻ, lantaran hal itu sudah menjadi hal yang sangat lumrah dijumpai. Contohnya adalah ketika seseorang menonton berita di televisi. Ketika dia menjumpai pembawa berita adalah seorang wanita, maka dia akan merasa biasa saja, tidak terbetik di dalam hatinya untuk bertobat dan beristigfar. Padahal tanpa dia sadari, dia telah berbuat dosa dengan melihat aurat wanita yang terbuka, seperti rambutnya yang terurai tanpa hijab ataupun yang sejenisnya. Jika seseorang tidak hati-hati dan tidak bertakwa kepada Allah ﷻ, maka pasti dia akan terjerumus dosa tersebut. Itulah contoh yang menunjukkan tentang kurangnya ketakwaan seseorang.
Maka dari itu, cara bagi seseorang yang ingin dimudahkan rezekinya oleh Allah ﷻ adalah dengan berusaha bertakwa kepada Allah ﷻ. Menjalin hubungan yang baik antara dirinya dengan Allah ﷻ, karena itulah hal yang terpenting. Tidak menzalimi orang lain, selalu melaksanakan ketaatan, berusaha menghindari hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ dengan sungguh-sungguh dan sesuai kadar kemampuannya. Seandainya dia sudah berusaha dan bersusah payah menjauhi hal-hal yang diharamkan, lalu tidak mampu menghindarinya, maka hendaknya tetap selalu berdoa kepada Allah, agar dimudahkan segala urusannya dan semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ayat ini turun berkaitan dengan kasus perceraian. Seseorang suami yang menceraikan istrinya, maka perkara itu akan membuat kondisi yang berat bagi keduanya, baik bagi suami maupun istri. Bisa jadi keduanya telah menjalin hubungan rumah tangga selama belasan atau puluhan tahun, namun mereka harus mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian. Perkara rumah tangga dan perceraian adalah kasus yang berat. Apalagi bagi wanita yang sudah menjadi janda. Terkadang sulit baginya untuk mendapatkan rezeki. Tetapi Allah ﷻ telah menjelaskan bahwa “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya”. Apabila dia adalah seorang janda, bertakwa kepada Allah ﷻ, menjaga dirinya, sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah, melaksanakan shalat malamnya, membaca Al-Quran, tidak berbuat ghibah, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, berusaha membersihkan hati, maka Allah akan memberikan kemudahan, jalan keluar dan memberikan rezeki baginya dari arah yang tidak sangka-sangka.
Para ulama mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa rezeki manusia terbagi menjadi dua. Pertama, rezeki yang bisa diprediksikan oleh setiap manusia. Gambarannya adalah seperti seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan atau isntansi, maka dia bisa menduga berapa penghasilan yang akan dia dapatkan, atau seseorang yang memiliki perusahaan, restoran ataupun toko, maka dia akan mengetahui penghasilan yang akan dia terima setelah barang-barangnya laku terjual.
Kedua, adalah rezeki di luar prediksi atau persangkaan setiap manusia([17]). Dia sama sekali tidak mengetahui jalan rezeki yang tiba-tiba datang kepadanya tanpa dia duga. Barangkali dia tidak menduga akan mendapat bonus di luar gaji yang biasa diterimanya, atau tiba-tiba ada orang yang memberikan hadiah kepadanya atau secara mendadak mendapatkan tawaran investasi yang menghasilkan perolehan yang besar. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ﷺ berkata, “Apabila Anda mendapatkan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, mudah-mudahan itu menjadi pertanda bahwa Anda telah bertakwa kepada Allah ﷻ.”
Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 96)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketakwaan adalah perkara yang tidak sepele. Rezeki dan takwa memiliki ikatan yang sangat kuat. Apabila seseorang mengalami kesulitan, maka hendaknya dia sungguh-sungguh dalam bertakwa kepada Allah ﷻ dan meminta kepada Allah agar diberikan rezeki.
Allah ﷻ telah memberikan rezeki kepada orang-orang kafir, bagaimana mungkin Allah tidak memberikan rezeki kepada orang-orang yang beriman, yang menangis sujud kepada-Nya siang dan malam sembari berdoa mengangkat kedua tangannya di tengah malam? Janganlah seseorang berprasangka buruk kepada Allah ﷻ dan wajib baginya untuk selalu berbaik sangka kepada Allah ﷻ.
Allah ﷻ tidak merasa susah ataupun repot untuk memberikan rezeki kepada manusia, karena Allah ﷻ Maha kaya, Dia-lah Pemilik alam semesta ini. Apabila Allah menghendaki sesuatu, maka cukup bagi Allah ﷻ untuk berfirman, ‘Kun’ “Jadilah!”, Fayakun ‘Maka terjadi’. Artinya jika Allah ﷻ berkehendak menjadikan seseorang menjadi kaya, maka orang tersebut akan menjadi kaya dengan kehendak Allah ﷻ. Oleh karenanya, inilah yang harus yang diyakini oleh setiap muslim agar dia senantiasa bertakwa kepada Allah ﷻ dan berusaha untuk tidak bermain-main dalam hal ketakwaan.
- Banyak mengerjakan shalat
Allah ﷻ berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْها لا نَسْئَلُكَ رِزْقاً نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعاقِبَةُ لِلتَّقْوى
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Taha: 132)
Ayat ini menjadi dalil bahwa ketika seseorang berhenti dari kesibukannya, lalu dia mengerjakan shalat, maka Allah akan melimpahkan rezeki kepadanya. Betapa banyak orang yang mengesankan bahwa shalat menghalanginya dari rezeki. Padahal, untuk mengerjakan shalat, hanya membutuhkan waktu beberapa menit. Akan tetapi, dia berpikir bahwa seakan-akan waktu yang dia habiskan untuk shalat di masjid, akan menghalangi rezekinya, atau lantaran dia harus mencari rezeki untuk menafkahi kepada anak dan istrinya, mengakibatkannya harus meninggalkan shalat. Ini adalah suatu kesalahan. Justru, shalat itulah yang akan mendatangkan rezeki kepada seseorang. Begitu juga, bagi seseorang hendaknya sabar dalam memerintahkan keluarganya untuk mengerjakan shalat, baik ketika berada di rumah maupun ketika sedang bepergian. Inilah di antara hal-hal yang dapat mendatangkan rezeki.
Selain mengingatkan keluarganya untuk shalat, hendaknya setiap orang tidak lupa agar dirinya tetap mendirikan shalat. Hendaknya dia menjadikan shalat sebagai hobi, di mana dia merasa rileks di dalam shalat tersebut. Menyisihkan waktu beberapa menit saja tatkala di pagi hari untuk mendirikan shalat duha karena Allah ﷻ. Begitu juga di malam hari, hendaknya dia memiliki waktu -meskipun beberapa menit- untuk mendirikan shalat di malam hari, berdoa dan beristigfar kepada Allah ﷻ. Tidak mungkin Allah ﷻ tidak memberi rezeki kepada orang-orang yang istiqamah di dalam mengamalkan amal kebaikan. Allah ﷻ pasti akan memberikan kepadanya.
- Banyak beristigfar
Allah ﷻ berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12)
Ayat ini menceritakan tentang Nabi Nuh u yang sedang berdakwah kepada kaumnya yang kafir. Seandainya kaumnya beristigfar kepada Allah ﷻ, maka Allah akan memberikan rezeki. Bagaimana dengan orang yang beriman? Tidak mungkin Allah ﷻ akan membiarkan mereka. Nabi Nuh u berkata kepada kaumnya supaya beristigfar kepada Allah ﷺ. Niscaya dengan istigfar tersebut Allah akan menurunkan hujan yang deras, berupa hujan rahmat, bukan hujan azab. Karena pada saat itu adalah musim kemarau, dimana beliau dicaci maki dan dituduh sebagai orang gila, karena membuat perahu di musim itu. Selain menurunkan hujan, dengan istigfar Allah ﷻ akan memberikan kemudahan di dalam harta dan anak-anak mereka, menumbuhkan kebun-kebun yang banyak dan mengalirkan sungai-sungai. Akan tetapi, tatkala kaum nabi Nuh u tidak beriman, Allah ﷻ menurunkan hujan yang lebih deras, namun sejatinya hujan itu adalah azab bagi mereka. Mereka tidak beryukur kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ menyinggung mereka di dalam firman-Nya,
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا. وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا
“Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah?. Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).” (QS. Nuh: 10-14)
Di antara faedah yang disebutkan di dalam ayat ini adalah bahwa dengan seseorang memperbanyak beristigfar, maka Allah akan memberikan materi berupa harta, anak dan keturunan, menumbuhkan kebun-kebun yang kekeringan dan mengalirkan sungai-sungai.
Allah ﷻ berfirman,
وَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ مَاءً بِقَدَرٍ
“Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran.” (QS. Al-Mu’minun: 18)
Apabila suatu negeri bertakwa kepada Allah ﷻ, maka Allah akan memberikan rahmat-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Namun, apabila suatu negeri tidak bertakwa kepada Allah ﷻ -sebagaimana kaum nabi Nuh u-, maka Allah akan menurunkan hujan azab yang dapat meneggelamkan mereka sesuai dengan kehendak-Nya.
Alam semesta ini -termasuk manusia- adalah makhluk Allah ﷻ. Allah telah menciptakan manusia dan tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Cukup bagi mereka untuk meminta dan beristigfar kepada Allah ﷻ yang Maha Pencipta, Allah ﷻ pasti akan memberikan rezeki.
Sejatinya di antara bentuk tidak mengagungkan Allah adalah tidak beristigfar. Terkadang seseorang menganggap segala hal menjadi sepele, hingga akhirnya dosa-dosa yang dilakukannya pun menurutnya adalah sepele. Karena dia menyepelekan dosanya, akhirnya dia menyepelekan tobat dan beristigfar kepada Allah ﷻ. Namun, apabila seseorang mengagungkan Allah ﷻ, dia selalu merasakan kehadiran Allah ﷻ yang telah menciptakan dirinya dan semua makhluk dan mereka akan dihisab di hari kiamat, maka dia tidak akan menyepelekan perbuatan dosa, sedangkan lisannya akan senantiasa basah dengan istigfar setiap waktunya.
Maka dari itu, di antara kunci yang dapat membuka pintu rezeki adalah dengan memperbanyak istigfar. Seberat apa pun dan sebesar apa pun masalah yang dihadapi oleh seseorang, maka hendaknya dia segera beristigfar kepada Allah ﷻ. Dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya, hendaknya dia senantiasa mengisinya dengan beristigfar kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda,
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Sungguh beruntung bagi siapa saja yang menjumpai catatan amalnya berisi banyak istigfarnya.” ([18])
Sejatinya banyak sekali waktu luang yang dijumpai di dalam kehidupan setiap muslim. Tidak patut baginya melewatkan waktu dan aktifitasnya dengan bengong, penuh dengan kesia-siaan dan tanpa faedah sedikitpun. Hendaknya dia sertai segala bentuk aktivitasnya dengan istigfar, baik ketika berdiri, duduk, berjalan, naik kendaraan, sendirian ataupun keramaian dan di dalam setiap aktifitasnya yang lain.
- Menjalin silaturahmi
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda’,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang senang agar dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung tali persaudaraannya.” ([19])
Hubungan kekerabatan yang paling agung adalah hubungan seseorang terhadap orang tuanya, lalu kepada saudara-saudaranya, lalu saudara-saudara dari ayah dan saudara-saudara dari ibu, kemudian anak-anak mereka dan seterusnya. Ini merupakan sebab silaturahmi yang terbesar. Maka dari itu, apabila seseorang ingin dimudahkan rezekinya, maka hendaknya dia menyambung silaturahmi dengan kedua orang tuanya dengan mencari keridaan dari keduanya. Membuat mereka berdua bangga, karena memiliki seorang anak seperti dirinya. Membuat perasaan mereka senang dan rindu ingin mendengar suaranya dan melakukan segala hal yang membuat keduanya rida kepadanya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar i,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridaan Rabb pada keridaan orang tua dan kemurkaan Rabb pada kemurkaan orangtua.”([20])
Apabila seorang muslim mampu mencari keridaan orang tuanya, sabar dengan segala kekurangan dan kelemahan mereka, niscaya Allah ﷻ akan melapangkan rezekinya. Betapa banyak orang yang berhasil, siapa pun dia dan apa pun profesinya, baik pedagang, pengusaha, pemimpin, pejabat, dai ataupun pengajar, ternyata kunci kesukseksannya adalah berbakti kepada orang tuanya. Karena doa orang tua adalah doa yang luar biasa.
Menjaga silaturahmi adalah sebab terbesar agar dilapangkan rezeki seseorang. Apabila dia sudah menjalin hubungan baik kepada orang tuanya, maka hendaknya dia tidak melupakan hubungan baiknya dengan saudara-saudaranya dan tidak bersikap pelit terhadap mereka, karena mereka adalah kerabat yang paling dekat dengannya. Selain itu, menjaga hubungan baik dengan mereka adalah termasuk salah satu sebab dilapangkan rezekinya. Betapa banyak pengalaman-pengalaman orang, dimana mereka dimudahkan rezekinya, akibat perhatian mereka yang baik terhadap keluarganya.
Jangan sampai seseorang berlaku kebalikannya, dia memberikan perhatian besar kepada orang lain. Akan tetapi, keluarganya tidak pernah diperhatikan sama sekali. Seringkali dia berbuat baik kepada teman-temannya, namun tidak pernah berbuat baik sama sekali kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Seringkali dia menghabiskan waktunya bersama kawan-kawannya, namun tidak pernah meluangkan waktunya untuk orang tua dan saudara-saudaranya. Janganlah seseorang beralasan, karena banyak kesibukan, sehingga menghalangi waktunya untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Umur manusia sangat singkat, begitu juga dengan umur orang tuanya, sementara kesibukannya semakin hari, akan bertambah banyak. Maka dari itu, hendaknya dia tetap menyisihkan waktu untuk berbuat baik kepada keluarga, orang tua dan saudara-saudaranya.
Apabila jarak antara dirinya dengan orang tuanya berjauhan, maka hendaknya jika dia memiliki kelebihan rezeki, dia berikan kepada orang tua dan saudara-saudaranya atau ketika tiba waktu-waktu tertentu mendatangi orang tuanya dengan membawa hadiah ataupun oleh-oleh. Dengan kehadiran dirinya di hadapan mereka membuat mereka senang, maka dengan kehendak Allah ﷻ, hal itu akan memperbaiki keadaan dirinya, terutama dalam masalah rezekinya.
Tatkala seseorang telah memberikan sesuatu kepada orang lain, maka janganlah dia mengharapkan kata terima kasih darinya. Inilah yang membuat rezeki seseorang tidak lancar. Terkadang seseorang sudah bersusah payah membantu orang lain, namun rezekinya masih tidak lancar, bisa jadi terdapat kesalahan di dalam niatnya. Tidak perlu bagi siapa pun yang hendak berbuat baik kepada orang lain agar dipuji dan dipandang baik oleh orang lain. Hendaknya dia memberi karena Allah ﷻ semata.
لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang menyambung silaturahmi adalah yang apabila ikatan persaudaraannya diputus, maka dia tetap menyambungnya.” ([21])
Seandainya saudara atau kerabatnya menuduhnya dengan tuduhan yang tidak pantas atau ucapan yang buruk atau bahkan tidak mengucapkan terima kasih kepadanya, maka hendaknya dia bersabar dan lebih ikhlas dan mengharapkan rida Allah ﷻ ketika menjalin silaturahmi kepada mereka. Seandainya seseorang tidak memiliki materi ataupun sejenisnya untuk diberikan kepada orang tua, saudara ataupun keluarganya, hendaknya dia tetap menjaga silaturahmi dengan berkomunikasi dengannya, baik berkunjung ke rumahnya atau pada zaman sekarang ini dengan media sosial dan yang semisalnya.
Penulis pernah menjumpai suatu kasus di Arab Saudi antara dua saudara kakak beradik yang saling berselisih, lantaran memperebutkan hak berbakti kepada ibunya. Yang lebih mengagumkan adalah keduanya membawa kasus tersebut ke Mahkamah (pengadilan). Sangat jarang sekali kasus tersebut pada zaman sekarang ini. Sang kakak berumur sekitar 60 tahun yang selalu merawat ibunya, sedangkan sang adik selalu mengirimkan uang yang diberikan kepada ibunya. Setelah beberapa tahun kemudian, sang adik meminta agar dia yang merawat ibunya, akan tetapi sang kakak enggan mengabulkan permintaannya. Akhirnya, kasus tersebut dibawa ke pengadilan. Sang ibu dipanggil untuk memutuskan sesuai dengan pilihannya dan ruang sidang dipenuhi dengan suara tangisan. Intinya adalah bagaimana dua orang tersebut berebut untuk berbuat kebaikan dalam merawat orang tuanya. Karena, apabila ayah dan ibu, baik ketika masih hidup ataupun meninggal dunia telah memberikan ridanya kepada anaknya, maka sejatinya dia telah meraih keridaan Allah ﷻ. Apabila Allah ﷻ telah rida kepada seseorang, maka dia akan diberikan kemudahan di dunia dan di akhirat.
- Tawakal
Yang perlu dipahami dari hal ini adalah sungguh-sungguh menggantungkan hati kepada Ar-Raziq (Maha Pemberi rezeki) dan tidak menggantungkan hati kepada sebab. Tatkala seseorang bekerja, hendaknya dia menggantungkan hatinya kepada Allah ﷻ yang Maha Pemberi rezeki.
Ketika seseorang bekerja di dalam suatu perusahaan dan saat tiba waktunya pemberian gaji, maka pimpinanlah yang memberikan gaji kepada setiap karyawannya. Dalam hal ini, hendaknya dia yakin bahwa itu hanyalah sebab, yang memberikan rezeki sebenarnya adalah Allah ﷻ. Maka dari itu, hendaknya dia bersyukur kepada Allah, tidak kepada pimpinan. Kepada pimpinan hanyalah sekedar terima kasih, namun bersyukur harus kepada Allah. Misalnya ada seorang pimpinan yang memberikan hadiah kepada kita, hadiah tersebut diberikan dengan perantara orang terdekatnya, maka hendaknya dia berterima kasih kepada pimpinan tersebut. Ini hanyalah sekedar logika.
Semua jenis perusahaan, rumah sakit, rumah makan ataupun usaha yang lain, sejatinya itu adalah sebab, sedangkan yang memberikan rezeki adalah Allah ﷻ. Oleh karenanya, janganlah seseorang, menggantungkan kepada sebab semata, karena sebab harus dikerjakan atas perintah Allah ﷻ, sedangkan hati harus bergantung kepada Allah semata. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana memberikan rezeki kepada burung, pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” ([22])
Ibnu Rajab Al-Hanbali ﷺ berkata,
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي التَّوَكُّلِ، وَأَنَّهُ مِنْ أَعْظَمِ الْأَسْبَابِ الَّتِي يُسْتَجْلَبُ بِهَا….. أَنَّ النَّاسَ إِنَّمَا يُؤْتَوْنَ مِنْ قِلَّةِ تَحْقِيقِ التَّوَكُّلِ، وَوُقُوفِهِمْ مَعَ الْأَسْبَابِ الظَّاهِرَةِ بِقُلُوبِهِمْ وَمُسَاكَنَتِهِمْ لَهَا، فَلِذَلِكَ يُتْعِبُونَ أَنْفُسَهُمْ فِي الْأَسْبَابِ، وَيَجْتَهِدُونَ فِيهَا غَايَةَ الِاجْتِهَادِ، وَلَا يَأْتِيهِمْ إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُمْ،
“Hadits ini adalah landasan dalam masalah tawakal, ia adalah sebab terbesar untuk mendatangkan rezeki. Sesungguhnya kebanyakan manusia diberikan rezeki dari sisi kurangnya mereka dalam merealisasikan tawakal dan hanya mengandalkan sebab-sebab yang tampak dengan hati mereka dan merasa tenang terhadap hal tersebut. Maka dari itu, sejatinya mereka membuat lelah jiwa mereka karena menggantungkan sebab-sebab serta berusaha dengan puncak kesungguhannya terhadap hal tersebut, maka (rezeki) yang datang kepada mereka, hanyalah sebatas apa yang ditakdirkannya.” ([23])
Jadi, kebanyakan orang-orang terkena musibah dan merasa sulit di dalam mencari rezeki adalah karena kurangnya tawakal mereka dan tidak mewujudkan tawakal yang sebenarnya di dalam hati mereka. Di samping itu mereka hanya fokus memandang kepada sebab yang tampak dengan hati mereka dan merasa tenang terhadap hal tersebut. Sehingga mereka lupa kepada Dzat yang membuat sebab tersebut, yaitu Allah ﷻ.
Seandainya setiap orang merenungkan kisah Maryam ‘alaihassalam, saat itu tengah hamil dalam kondisi haus, lapar dan sakit akan melahirkan, sedangkan orang yang hamil tidak banyak memiliki tenaga. Bisa saja Allah ﷻ mengirimkan kurma di hadapannya tanpa banyak bersusah payah, akan tetapi Allah mengajarkan kepadanya untuk melakukan sebab. Allah ﷻ berfirman,
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)
Orang yang hendak melahirkan tidak mempunyai tenaga, derita yang dia rasakan, lapar, haus dan kesakitan yang luar biasa ketika anaknya hendak keluar. Bisa saja Allah ﷻ mengirimkan makanan atau kurma kepada Maryam ‘alaihassaalam tanpa bersusah payah. Namun, Allah mengajarkan kepada Maryam ‘alaihassaalam untuk melakukan sebab dengan berfirman,
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (QS. Maryam: 25)
Siapakah yang bisa menggoyangkan pangkal kurma? Jangankan orang yang hamil hampir melahirkan, seorang lelaki yang kuat pun tidak akan mampu untuk menggoyangkannya. Padahal, saat itu Maryam tengah hamil dalam kondisi hendak melahirkan dan berada pada puncak-puncak kelemahan. Namun, dengan ajaibnya, Allah ﷻ menggugurkan buah kurma untuknya dari pohon tersebut.
تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)
Jika seseorang memiliki tawakal yang tinggi, namun dengan sebab yang sedikit, setidaknya dia telah menempuh sebab – dan sudah seharusnya dia menempuh sebab -, tidak hanya duduk di rumah saja. Oleh karena itu, ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu marah kepada orang yang mengharapkan rezeki dari Allah ﷻ, namun hanya berdoa di masjid atau duduk di rumah saja, tanpa ada usaha sedikitpun.
لَا يَقْعُدَنَّ أَحَدُكُمْ فِيْ الْمَسْجِدِ يَقُوْلُ: اللهُ يَرْزُقُنِيْ، فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ السَّمَاءَ لَا تُمْطِرُ ذَهَباً وَلَا فِضَّةً
“Janganlah salah seorang dari kalian duduk di masjid, lalu berkata, ‘Allah akan memberikanku rezeki’, sedangkan kalian tahu bahwa langit tidaklah menurunkan hujan berupa emas maupun perak.” ([24])
Harus ada usaha disertai dengan tawakal yang tinggi. Ibnu Rajab Al-Hanbali ﷺ kembali berkata,
فَلَوْ حَقَّقُوا التَّوَكُّلَ عَلَى اللَّهِ بِقُلُوبِهِمْ، لَسَاقَ إِلَيْهِمْ أَرْزَاقَهُمْ مَعَ أَدْنَى سَبَبٍ، كَمَا يَسُوقُ إِلَى الطَّيْرِ أَرْزَاقَهَا بِمُجَرَّدِ الْغُدُوِّ وَالرَّوَاحِ وَهُوَ نَوْعٌ مِنَ الطَّلَبِ وَالسَّعْيِ، لَكِنَّهُ سَعْيٌ يَسِيرٌ
“Seandainya mereka sungguh-sungguh dalam merealisasikan tawakal kepada Allah di dalam hati mereka, niscaya Allah akan membawakan rezeki mereka, meskipun dengan sebab yang ringan, sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang hanya terbang dengan keluar dari sangkarnya pada pagi hari lalu kembali lagi dalam keadaan kenyang di sore hari. Ini adalah bentuk pencarian dan usaha, namun usaha yang ringan.” ([25])
Jika seseorang memperhatikan seekor burung, makhluk kecil yang tak memiliki akal dan Allah ﷻ hanya memberikan kemampuan berupa terbang di udara. Namun, dengan kekuasaan-Nya, Allah telah memberikan jatah rezeki kepadanya. Adapun manusia, Allah ﷻ telah memberikan kepada mereka banyak kelebihan berupa akal pikiran, memiliki tenaga dan usaha dan mampu melakukan apa saja. Oleh karena itu, hendaknya mereka selalu berusaha untuk mendapatkan rezeki dari Allah ﷻ.
Terkadang kesalahan dan kekhawatiran mereka di dalam masalah rezeki adalah kurangnya tawakal mereka terhadap Allah ﷻ. Sebagian orang dari pagi sampai malam berlebih-lebihan di dalam usahanya, memaksakan dirinya hingga di luar batas wajar kemampuannya, jika seorang dari mereka mampu melakukan pekerjaan selama 30 jam dalam sehari, maka dia akan melakukannya. Bahkan, telepon genggam yang ada di tangannya tidak boleh lepas darinya. Namun, rezeki yang didapatkan hanya wajar-wajar saja. Ada juga sebagian yang lain, hanya mencari rezeki sekedarnya saja, ketika panggilan shalat berkumandang, maka dia pergi ke masjid dan meninggalkan pekerjaannya. Namun, Allah memberikan rezeki yang melimpah. Tentu saja, ada rahasia dan sebab-sebab di balik itu, yang orang lain tidak mengetahuinya.
Tawakal, tentunya harus dibarengi dengan usaha. Lihatlah para nabi, ketika mencari rezeki mereka pun harus berusaha. Di dalam Sahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda tentang nabi Zakariya ‘alaihissalam,
كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا
“Nabi Zakariya u adalah seorang tukang kayu.” ([26])
Begitu juga dengan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أُحَدِّثُكَ عَنْ آدَمَ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا حَرَّاثًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا نَجَّارًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا خَيَّاطًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ دَاوُدَ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا زَرَّادًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ مُوسَى أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا رَاعِيًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا زَرَّاعًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنْ صَالِحٍ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا تَاجِرًا، وَأُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَرْعَى غَنْمَ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Aku beritahukan kepadamu tentang Adam u, sesungguhnya beliau adalah seorang hamba yang bercocok tanam. Nuh u, beliau adalah seorang tukang kayu. Idris u adalah seorang penjahit. Daud u adalah seorang pembuat baju besi. Musa u adalah seorang penggembala. Ibrahim u adalah seorang petani. Salih u adalah seorang pedagang dan Nabi ﷺ adalah penggembala kambing anggota keluarganya.”([27])
Artinya para nabi terdahulu juga berusaha untuk mendapatkan rezeki. Maka dari itu, tatkala seseorang ingin mendapatkan rezeki, hendaknya dia mengatur hatinya.
Terkadang seseorang merasa tamak untuk mendapatkan sesuatu, tetapi sedikitpun dia tidak mendapatkannya. Namun, ketika dia menginginkan sesuatu, tetapi tidak merasa tamak untuk mendapatkan sesuatu itu, ternyata Allah ﷻ memberikan kepadanya. Kuncinya adalah bagaimana seseorang mengatur hati dan tawakal kepada Allah ﷻ. Manusia hanya mampu berdoa dan berusaha. Disamping dia berdoa, hendaknya semua hasil dari segala jerih payah dari usaha tersebut, diserahkan kepada Allah ﷻ semata yang menentukannya.
Maka dari itu, hendaknya setiap manusia tetap selalu berusaha dengan mengedepankan tawakal yang tinggi kepada Allah, meskipun dengan usaha yang kecil atau sedikit. Inilah sebab dimana sebagian orang seringkali tertimpa musibah dan kesulitan dalam meraih rezeki, yaitu meninggalkan tawakal mereka kepada Allah ﷻ, mereka hanya terfokus kepada sebab dan tidak terfokus kepada yang memberi sebab, yaitu Allah ﷻ.
- Senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)
Dalam hal ini Allah ﷻ telah memberikan maklumat yang penting “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”. Oleh karenanya, jadilah manusia yang banyak bersyukur kepada Allah ﷻ.
Banyak orang yang tidak bersyukur, bahkan marah kepada Allah ﷻ. Buktinya adalah ketika dia merasa rendah diri dengan kenikmatan yang diberikan kepadanya dibandingkan kenikmatan yang diberikan kepada orang lain, seraya berucap, ‘Dia memang lebih kaya dari saya’ atau ‘Mobilnya lebih bagus dari pada mobil saya’. Sama sekali tidak ada ungkapan syukur darinya, tetapi sebaliknya, ucapan yang keluar dari lisannya adalah berupa sindiran-sindiran.
Contoh yang lain adalah sebagaimana seorang istri yang selalu mengeluhkan keadaan suaminya dan tidak bersyukur sedikitpun atas apa yang diberikan kepada mereka. Begitu pun sebaliknya, jangan sampai seorang suami tidak bersyukur terhadap istri dengan mengeluhkan banyak kekurangannya. Jangan sampai pekerjaannya hanya mengeluh terus-menerus. Hendaknya mereka saling bersyukur, karena mereka telah saling memiliki dibandingkan dengan orang lain yang belum mendapatkan pasangannya. Jika salah satu di antara mereka memiliki kesalahan dan kekurangan, maka hendaknya saling memperbaiki dan menasehati.
Ada sepasang suami istri yang datang dan berkeluh kesah kepada penulis. Sang istri mengeluhkan suaminya di hadapan penulis, padahal sang suami berada di sampingnya. Istri tersebut mengeluhkan masalahnya sambil menangis, hanya karena suaminya seringkali bermain game. Dalam kondisi tersebut, sang suami hanya diam saja. Penulis memberikan nasehat dan mengajak kepada sepasang suami istri tersebut untuk bersyukur. Terutama kepada sang istri, hendaknya dia banyak bersyukur, meskipun suaminya hanya disibukkan dengan bermain game. Padahal, ada yang lebih parah lagi dari permasalahan mereka, dimana banyak suami yang bermain perempuan, merokok atau bermain dengan hal-hal yang diharamkan. Jika suaminya melampaui batas dalam bermain game atau melakukan kesalahan, maka hendaknya diberikan nasehat. Terkadang yang sebagai orang tua yang bermain game pun bukan hanya dia saja. Bahkan, sebagian orang tua bermain dengan anak-anaknya.
Masalah syukur inilah yang terkadang banyak orang tidak memperhatikannya. Maka dari itu, hendaknya bagi setiap orang sesering mungkin untuk mengucapkan ‘Alhamdulillah’. Apapun rezeki yang dia dapatkan, sebesar atau sekecil apa pun yang dia dapatkan, hendaknya dia mengucapkan ‘Alhamdulillah’, karena semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah ﷻ. Sejatinya apapun yang diberikan kepada seorang hamba adalah rezeki yang wajib untuk disyukuri dan belum tentu rezeki tersebut diberikan kepada orang lain yang semisal dengan apa yang diberikan kepadanya. Apabila dia beryukur, maka Allah ﷻ akan menambah rezeki kepadanya. Terkadang seseorang sulit atau merasa berkurang dalam mendapatkan rezekinya, ternyata sebabnya adalah karena tidak pandai bersyukur kepada Allah ﷻ dengan apa yang diberikan kepadanya. Ini merupakan kewajiban bagi setiap orang. Disamping itu, dia harus mengajarkannnya kepada keluarganya, agar mereka menjadi orang-orang yang pandai bersyukur. Apabila dalam satu keluarga pandai bersyukur, niscaya rezeki akan dimudahkan oleh Allah ﷻ.
- Menunaikan haji dan umrah
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Sertakanlah haji dengan umrah, karena keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa, sebagaimana karat dari besi.”([28])
Maksud hadits ini adalah menunaikan haji dan umrah setiap kali dia mendapatkan rezeki. Meskipun dua hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tentunya, seseorang ketika melaksanakan dua ibadah tersebut hendaknya tidak mengabaikan kewajibannya dalam memperhatikan nafkah terhadap keluarga dan kerabatnya. Setelah memberikan hak-hak terhadap keluarga dan kerabat, dia dapat menggunakan hartanya untuk menunaikan haji dan umrah. Manfaat haji dan umrah tidak hanya untuk menghapuskan dosa, tetapi juga untuk menghilangkan kefakiran. Apabila seseorang mampu menunaikan haji dan umrah terus menerus, maka Allah akan menjaga rezekinya dan tidak diberi musibah berupa kemiskinan.
- Sedekah
Nabi ﷺ bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.”([29])
Abu Al-Walid menjelaskan bahwa artinya adalah sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Bahkan, sedekah akan menambah rezeki([30]).
Amalan ini membutuhkan keyakinan. Tatkala kita bersedekah, hendaknya kita mengingat bahwa dalam masalah apapun kita beribadah, tujuan utama adalah akhirat. Boleh bagi seseorang untuk mendompleng niat duniawi selama niat akhirat yang lebih mendominasi dan diutamakan. Dalilnya adalah sebagaimana nabi ﷺ memotivasi dengan sabda beliau di atas. Dibolehkan bagi kita bersedekah dengan tujuan untuk menambah harta, dan ini adalah niat yang memberikan semangat/domplengan. Namun, yang paling utama niat untuk akhirat. Jangan sampai seseorang berniat hanya semata-mata agar ditambahkan rezekinya. Akhirnya dia hanya mendapatkan rezeki, namun tidak mendapatkan pahala di akhirat. Selama pahala akhirat masih mendominasi, maka tidak mengapa dia mendomplengkan niat untuk menambah rezeki.
Disamping itu, hendaknya seseorang memaksakan diri di dalam bersedekah. Jika dia menyadari adanya rasa pelit di dalam dirinya, maka hendaknya dia memulai sedekah nya dengan menyisihkan sedikit demi sedikit dari hartanya. Barangkali setiap bulan dia mampu bersedekah sepuluh ribu, lalu bulan berikutnya dia tambah menjadi dua puluh ribu, lalu menambah kelipatannya pada bulan berikutnya. Semakin besar harta yang dia sedekahkan, maka semakin besar pula pahala yang akan dia petik di akhirat kelak.
Jika diperhatikan, biaya hidup seseorang tidaklah banyak. Apa yang dimakan tidaklah banyak, jika dia memiliki rumah yang bagus, terkadang dia tidak mampu tidur nyenyak daripada orang yang tidur di rumah yang biasa-biasa saja. Untuk apa dia memiliki uang banyak. Maka, hendaknya dia menyedekahkan dan menyimpan uangnya untuk kehidupan akhirat kelak. Barang siapa yang banyak bersedekah, maka Allah ﷻ akan memudahkan rezekinya. Allah ﷻ berfirman di dalam hadits qudsi,
أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ
“Berinfaklah! wahai anak Adam, maka Aku akan berinfak kepadamu.”([31])
Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidaklah hamba-hamba berada di pagi hari, kecuali ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, ‘Ya Allah berikanlah ganti kepada orang yang berinfak’, dan yang lain berkata, ‘Ya Allah berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan (hartanya).” ([32])
Allah ﷻ berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’: 39)
Allah akan menggantikan apa yang telah diinfakkan oleh seseorang. Bukan suatu kebetulan ketika seseorang mengeluarkan hartanya, tiba-tiba Allah memberikan balasannya. Bisa jadi saat itu pula Allah akan memberikan balasannya. Terkadang beberapa waktu kemudian Allah menggantikan apa yang dia infakkan, baik ketika sadar, maupun tidak sadar. Sudah menjadi sunatullah yang berjalan di alam semesta ini bahwa cepat atau lambat Allah ﷻ akan membalas dan memberi ganti bagi orang yang bersedekah.
Penulis menceritakan kembali apa yang telah dikisahkan oleh guru beliau. Kisah tersebut adalah tentang seseorang yang setiap kali mendapatkan rezeki, maka dia menyedekahkannya kepada orang lain hingga membuat teman-teman dekatnya menyesalkan perbuatannya. Namun, dengan ajaibnya dia mengatakan, ‘Allah ﷻ mempunyai kebiasaan kepadaku, dan aku mempunyai kebiasaan kepada orang lain. Kebiasaanku kepada orang lain, maka aku telah memberikan kepadanya dan kebiasaan Allah kepadaku, maka Allah telah memberikannya kepadaku. Apabila aku merubah kebiasaanku kepada orang lain, maka Allah merubah kebiasaan-Nya kepadaku. Oleh karena itu, saya ingin merubah kebiasaan tersebut.
Dalam cerita tersebut, terdapat faedah bahwa bisa saja Allah ﷻ langsung memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa perantara kita. Akan tetapi, jika Allah memberikan sesuatu tersebut kepada orang lain melalui kita sebagai perantara, maka kita akan mendapatkan pahala. Allah ﷻ mampu memberikan rezeki kepada anak-anak yatim tanpa perantara kita. Akan tetapi, jika Allah memberikan rezeki kepada anak-anak yatim melalui kita, maka kita akan mendapatkan pahala darinya. Oleh karenanya, janganlah seseorang ragu-ragu dalam bersedekah, karena sedekah akan menambah rezeki.
Jika kita dipaksa untuk menjadi layaknya Abu Bakr radhiallahu ‘anhu atau ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu, maka kita semua tidak akan mampu. Tentu saja, perbandingan iman para sahabat dengan iman kita sangat jauh berbeda. Jangan sampai kita yang tidak pernah bersedekah sama sekali, lalu secara mendadak bersedekah dengan sejumlah harta yang sangat besar. Sebagaimana seseorang yang tidak pernah mendirikan shalat malam, lalu bangun pada malam hari untuk mendirikan shalat selama berjam-jam, kemudian besok malamnya tidak menunaikannya. Namun, hendaknya dia memulai berlatih bersedekah dengan bertahap pelan-pelan. Sebagaimana seseorang yang bangun di malam hari hendak mendirikan shalat tahajud, maka hendaknya dia mulai pelan-pelan dengan mendirikan beberapa rakaat dalam beberapa menit, kemudian dilanjutkan pada hari berkutnya.
Para salaf terdahulu pun berlatih ketika mengamalkan hal tersebut. Kebiasaan para salaf yang kita kenal begitu giatnya mereka beribadah, tentunya diawali dengan latihan terlebih dahulu untuk mengamalkan hal tersebut. Mereka juga mengalami tahapan-tahapan yang sulit. Pelan-pelan hingga iman mereka meningkat semakin tinggi hingga mereka mampu melakukan hal yang berada di luar nalar manusia. Kita tidak menuntut harus seperti mereka, tidak. Akan tetapi, selayaknya bagi kita untuk berusaha meniru dan mencontoh mereka, yaitu orang-orang salaf yang saleh. Sebagaimana dikatakan,
فتَشبَّهوا إنْ لمْ تَكونوا مِثلَهُم/ إنّ التّشَبُّهَ بالكِرامِ فَلاحُ
“Tirulah mereka, meskipun kalian tidak mampu seperti mereka, sesungguhnya meniru mereka merupakan suatu kemuliaan dan kemenangan.” ([33])
Jadi, bersedekahlah dan jangan memuji orang lain. Apabila kebiasaan orang bersedekah dengan sebuah nominal tertentu, maka bersedekahlah dengan nominal yang lebih dari itu. Di antara contoh bersedekah adalah dengan membeli dagangan teman tanpa menawar. Sepandai apa pun seseorang menawar dagangan, seandainya dia membeli dagangan temannya, janganlah dia menawar. Berapapun harga yang telah diberikan, hendaknya dia membayarnya. Apabila ada kembalian dari harga tersebut, bisa diterima dan diambil untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa terhina. Maka dari itu, jangan lupa untuk bersedekah, sesungguhnya di dalam riwayat Muslim,dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,
وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
“Sedekah adalah bukti (tanda keimanan).”([34])
- Menikah
Menikah adalah pintu rezeki. Banyak dijumpai para pemuda yang dahulu sebelum menikah berbadan kurus dan lemah. Namun, setelah menikah badannya menjadi gemuk dan kekar, dan bahkan sebagian mereka ada yang memiliki rumah. Allah ﷻ berfirman,
وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Bukan seorang suami, orang tua atau orang lain yang akan memberikan kecukupuan kepada orang yang telah membina rumah tangga. Namun, Allah ﷻ yang akan memberikan mereka kecukupan, karena Allah ﷻ Maha luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.
Seorang gadis sebelum menikah hanya memiliki sekedar rezeki yang diberikan kepadanya, tetapi ketika dia menikah dengan seorang pemuda, maka Allah ﷻ menambahkan rezekinya dengan pernikahan tersebut. Begitu juga dengan seorang pemuda, dimana sebelum menikah hanya memiliki rezeki sekedar apa yang dibutuhkannya, tetapi ketika menikah dan menjadi suami, maka Allah ﷻ menambahkan rezekinya lebih banyak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, karena Allah ﷻ Maha mengetahui kebutuhan hamba-Nya.
Terkadang bagi orang yang telah menikah, sebelum memiliki anak pun, rezeki yang diterima hanya sedikit. Namun, ketika memiliki satu anak, Allah ﷻ menambahkan rezekinya, lalu ketika memiliki dua anak, Allah ﷻ menambahkan lagi rezekinya, semakin bertambah anaknya, Allah ﷻ semakin menambahkan rezeki kepadanya. Karena, sejatinya Allah ﷻ telah menjamin rezeki bagi masing-masing anak tersebut. Allah ﷻ berfirman kepada orang-orang musyrikin,
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 151)
Artinya masing-masing memiliki jatah rezeki. Sebagaimana kita memiliki jatah rezeki, begitu juga dengan anak-anak kita, mereka memiliki jatah rezeki sendiri.
Sejatinya menikah itu menambah rezeki. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
الْتَمِسُوا الْغِنَى فِي الْبَاهِ
“Carilah kekayaan di dalam pernikahan.” ([35])
Bahkan, beliau radhiallahu ‘anhu juga berkata,
عَجِبْتُ لِرَجُلٍ لَا يَطْلُبُ الْغِنَى بِالْبَاءَةِ وَاللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ فِيْ كِتَابِهِ (إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ)
“Aku heran dengan seorang lelaki tidak mencari kekayaan dengan pernikahan. Padahal Allah ﷻ berfirman di dalam kitab-Nya, ‘Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya’.” ([36])
Jadi, para pemuda yang masih jomblo lagi menderita, baik menderita batin dan fisik, apabila ingin berubah rezekinya, hendaknya bersegera untuk menikah. Kelihatannya sulit untuk memulainya, tetapi hendaknya dia berusaha, meminta pertolongan kepada Allah ﷻ dan mengamalkannya. Bagi teman-temannya yang memiliki kelebihan harta, hendaknya membantu mereka dengan memberikan zakat atau menyisihkan hartanya kepada mereka sebagai mahar atau walimah di dalam pernikahannya. Walimah tidak harus dilakukan di gedung yang mewah, apabila melakukan walimah di rumah pun, itu tidak menjadi masalah baginya. Intinya, menikah adalah pintu rezeki, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُ: الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ التَّعَفُّفَ
“Ada tiga golongan wajib bagi Allah untuk menolongnya : orang yang berperang di jalan Allah, orang yang hendak melunasi hutangnya, orang yang menikah hendak menjaga kehormatannya.” ([37])
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa di antara orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah ﷻ adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya. Dia ingin menjaga pandangannya, tidak ingin berzina, tidak ingin melakukan onani dan dia hanya ingin melampiaskan hasratnya kepada yang halal, yaitu dengan menikah, niscaya Allah ﷻ akan membantunya, dan wajib bagi Allah ﷻ untuk membantunya. Maka dari itu, hendaknya setiap orang berusaha mencari rezeki dengan menikah.
Adapun hadits yang berkisah tentang seseorang yang mengeluhkan kemiskinan yang dihadapinya dan ingin mendapatkan rezeki, lalu datang kepada Nabi ﷺ, lalu beliau ﷺ memerintahkan untuk menikah. Setelah menikah masih saja keadaannya miskin, lalu dia datang lagi kepada Nabi ﷺ. Beliau ﷺ pun memerintahkannya untuk menikah lagi. Dia pun menikah lagi dan memiliki dua istri. Namun, keadaannya tidak mengubahnya dari kemiskinan, lalu dia mendatangi Nabi ﷺ. Setelah itu, beliau ﷺ memerintahkan untuk menikah lagi, hingga dia memiliki istri ketiga. Namun, keadannya tak kunjung mengubahnya. Dia pun datang lagi kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau ﷺ pun memerintahkan untuk menikah lagi. Akhirnya, dia memiliki empat istri dan dia menjadi kaya. Hadits tersebut adalah hadits palsu([38]).
- Menjauhkan diri dari penghilang keberkahan
Di antara penghalang keberkahan di dalam rezeki adalah riba. Allah ﷻ berfirman,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Allah ﷻ menghilangkan keberkahan rezeki, disebabkan oleh riba. Orang yang melakukan praktek riba mampu menjadi kaya, tetapi sejatinya hartanya tidak berkah.
Terkadang seseorang mendapatkan rezeki, tetapi bukan rezeki yang thayyib (baik). Bahkan, hal itu menjadi rezeki yang bermasalah. Barang kali dia memiliki rumah yang mewah dan harta yang banyak. Akan tetapi, ada anggota keluarganya yang sakit-sakitan, anak-anaknya nakal, istrinya selingkuh. Seandainya dia tidak mendapatkan masalah di dunia, maka dia akan mendapatkan masalah di akhirat kelak. Oleh karenanya, wajib bagi setiap orang untuk menjauhi hal tersebut. Di antara contohnya adalah berdagang dengan banyak mengumbar sumpah. Di dalam hadits Nabi ﷺ bersabda,
الْيَمِينُ الْكَاذِبَةُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْكَسْبِ
“Sumpah palsu itu melariskan dagangan, menghilangkan keberkahan.” ([39])
Banyak orang yang berjualan, tetapi di dalam transaksinya mengobral sumpah hanya untuk melariskan dagangannya. Mereka nekat untuk berbohong dengan beralasan mendapat keuntungan yang sedikit. Padahal, dengan alasan tersebut, jika pembelinya percaya, maka dia dapat meraup untung yang sangat besar. Mereka nekat berdusta dengan merayu para pembeli bahwa barang dagangannya adalah barang yang bagus, tetapi sebenarnya barang tersebut banyak sekali cacatnya. Sungguh benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi ﷺ bahwa sumpah palsu di dalam berdagang mampu melariskan dagangan. Namun, sejatinya hal itu menghilang keberkahan.
Maka dari itu, janganlah seseorang berpikir -yang penting- memiliki harta dan aset yang banyak. Namun, hendaknya yang dicari adalah harta yang banyak dan juga berkah. Bukan banyak harta, tetapi tidak berkah. Justru, jika dia memiliki harta yang sedikit, namun berkah lebih baik dari pada memiliki harta yang banyak, tetapi tidak berkah.
Terkadang kita mendapati sebagian orang yang tidak terlalu kaya dan kehidupannya hanya biasa saja. Akan tetapi, ketika dia butuh mobil, maka dengan mudahnya dia mendapatkan mobil tersebut, ketika dia ingin melaksanakan umrah, dia mampu menunaikannya, meskipun dengan fasilitas yang biasa saja, dia dimudahkan di dalam silraturahim terhadap orang tuanya, dia banyak mendapatkan waktu untuk membaca Al-Quran atau dia bisa dengan mudah mengadakan pengajian ataupun majelis dzikir di rumahnya. Meskipun hartanya tidak banyak, namun banyak keberkahan di dalam kehidupannya. Hal itu lebih baik dibandingkan dengan kehidupan orang yang mungkin diberikan kelebihan berupa rumah yang besar dan mewah, tetapi sepi dan dijauhkan dari mengingat Allah ﷻ ataupun silaturahim di dalamnya, dan bahkan dia dibebankan dengan bengkaknya pajak rumahnya yang besar tersebut.
Memiliki harta banyak dan fasilitas yang mewah, tetapi tidak ada keberkahan sama sekali, itu bukanlah hal yang tidak diinginkan. Harta banyak, tetapi tidak berkah, hanya memberatkan dan menambah hisab pada hari kiamat dan merepotkan pemiliknya di akhirat kelak. Adapun jika hartanya berkah, justru akan meringankan bebannya di akhirat dan seandainya dihisab, maka akan banyak pahala dan memberatkan timbangan amalnya.
- Berdoa kepada Allah ﷻ
Berdoa kepada Allah ﷻ adalah hal yang tidak remeh dan hendaknya setiap orang yang beriman tidak pernah meremehkan doa. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ، وَعِمَادُ الدِّينِ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Doa adalah senjata bagi orang yang beriman.” ([40])
Imam Asy-Syafi’i ﷺ berkata,
أتهْزَأُ بِالدُّعاءِ وَتَزْدَرِيهِ … وَما يُدْرِيكَ ما صَنَعَ القَضَاءُ
“Apakah kau mengejek doa dan meremehkannya,
Dan kau tidak tahu keajaiban yang dilakukan oleh ketetapan (doa).”([41])
Hendaknya seseorang bangun pada malam hari, mendirikan shalat dan mengangkat kedua tangan, berdoa kepada Allah ﷻ, menangis, mengeluhkan kehidupannya di hadapan-Nya, meminta agar Allah ﷻ menjaga kehormatannya agar tidak terhinakan di mata orang lain dan hanya menghinakan diri semata di hadapan Allah ﷻ. Apabila Allah ﷻ mengabulkan doanya dan menghendaki rezeki kepadanya, maka Allah ﷻ cukup berfirman كُنْ‘Jadilah’ فَيَكُنْ ‘maka, terjadilah’. Selain itu, hendaknya dia mengajari istri, anak-anak dan anggota keluarganya untuk berdoa. Begitu pula, dengan doa dari kedua orang tua agar mendoakannya agar terhindar dari kesulitan. Karena, sejatinya seseorang juga membutuhkan doa yang tulus dari kedua orang tuanya.
Sejatinya Allah ﷻ senantiasa turun ke langit dunia di setiap sepertiga malam yang terakhir. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ,
إِذَا مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ، أَوْ ثُلُثَاهُ، يَنْزِلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لَهُ؟ حَتَّى يَنْفَجِرَ الصُّبْحُ
“Jika telah lewat setengah malam atau sepertiganya, maka Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia, lalu berfirman, ‘Apakah ada yang meminta, maka akan diberi? Apakah ada yang berdoa, maka akan dikabulkan? Apakah ada yang memohon ampunan, maka diampuni dosanya?’ hingga terbit (waktu) subuh.”([42])
Tentunya kita mengetahui bahwa rezeki itu ada di tangan Allah ﷻ. Allah ﷻ tidak menjadikan semua orang kaya, sebagaimana Allah ﷻ juga tidak menjadikan semua orang miskin. Allah ﷻ telah menentukan jatah rezeki bagi manusia dan menentukan kadar rezekinya masing-masing. Allah ﷻ berfirman,
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ
“Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasi baginya.” (QS. Al-‘Ankabut: 62)
Sebesar apa pun atau sekecil apa pun seseorang menerima rezeki, hendaknya dia tetap berbaik sangka kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 60)
Artinya Allah ﷻ Maha mendengar apa yang dikeluhkan oleh makhluk-Nya, hingga jeritan hewan-hewan yang kelaparan. Allah ﷻ Maha mendengar, meskipun hewan tersebut berada di dasar lautan yang paling dalam, meskipun hewan tersebut berada di lorong bumi yang paling dalam, Allah ﷻ Maha mengetahui dan Maha mendengar. Oleh sebab itulah, Allah ﷻ menutup ayatnya dengan وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ‘Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui’.
Allah ﷻ mengetahui hamba-Nya yang tertimpa kesulitan dan Allah mengetahui hamba-Nya sedang berdoa. Allah ﷻ memberikan rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kebutuhannya yang lebih baik untuk hamba-Nya. Tidak semua orang diberikan rezeki yang banyak, tetapi tidak lebih baik baginya, karena dia tidak bertambah takwa kepada Allah ﷻ, dan bahkan dia bertambah lupa kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَمِنْهُمْ مَنْ عاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا آتاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh.” Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling, dan selalu menentang (kebenaran).” (QS. At-Taubah: 75-76)
Betapa banyak orang yang berangan-angan, seandainya diberikan kelancaran di dalam rezekinya, maka mereka akan menghajikan kedua orang tuanya. Akan tetapi, ketika Allah ﷻ memberikan kelebihan rezeki dan harta, mereka menjadi lupa dan kikir. Betapa banyak orang yang berangan-angan, seandainya transaksi dagangnya lancar dan sukses, maka dia akan bertambah giat dalam beribadah dan bermajelis ilmu. Akan tetapi, ketika Allah ﷻ melancarkan urusan dagangannya, mereka menjadi malas, dan bahkan menjauh dari majelis ilmu.
Jadi, banyak yang berangan-angan jika mendapat banyak harta, maka dia akan menjadi pribadi yang lebih baik. Justru, yang terjadi adalah kebalikannya. Maka dari itulah, sejatinya Allah ﷻ memberikan rezeki yang sesuai dan pantas bagi hamba-hamba-Nya dan selayaknya mereka tidak berburuk sangka kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشاءُ إِنَّهُ بِعِبادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 27)
Allah ﷻ Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dengan sangat terperinci dan memberikan sesuatu sesuai dengan kadar yang mereka butuhkan. Betapa orang yang dahulunya tawadu’, tetapi berubah menjadi sombong. Betapa banyak orang yang tadinya memiliki tabiat rendah hati, tetapi ketika naik jabatan berubah menjadi angkuh. Betapa banyak orang yang biasa-biasa saja dalam hidupnya, tetapi ketika dia membeli motor atau mobil baru, berubah menjadi sombong dan tidak bisa menjaga diri. Maka dari itu, hendaknya setiap muslim berusaha mencari rezeki -dan Allah ﷻ telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya kunci-kunci dalam mencari rezeki-. Apa pun yang Allah ﷻ berikan kepadanya, hendaknya dia senantiasa berbaik sangka kepada Allah ﷻ.
Janganlah seseorang membandingkan dengan kehidupan orang yang diberikan banyak harta dan kekayaan, tetapi tidak bertakwa kepada Allah, maka sejatinya itu adalah bentuk istidraj. Allah ﷻ memberikan kepadanya dunia, tetapi mereka bertambah lalai dan semakin jauh dari Allah ﷻ. Hendaknya dia merenungkan kisah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, ketika bertemu Nabi ﷺ. Suatu hari Nabi ﷺ ketika menghajr istri-istri beliau, maka beliau pergi ke Al-Masyrubah -suatu tempat yang sedikit tinggi menyerupai kamar yang ukurannya kecil-, lalu ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu menemui beliau di tempat tersebut, sedangkan beliau ﷺ dalam keadaan berbaring di atas tikar yang dianyam dari daun-daun kurma. Tikar tersebut meninggalkan bekas di perut Nabi ﷺ. ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat isi kamar tersebut, sedangkan di dalamnya tidak ada apa pun, kecuali beberapa kulit saja yang tergantung. Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada Nabi ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ، فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ قَدْ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا، وَهُمْ لاَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ
“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar memberikan kelapangan harta kepada umatmu. Sungguh Persia dan Romawi telah diberikan (harta) kenikmatan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah .”
Mendengar hal itu, Nabi ﷺ bersabda masih dalam keadaan berbaring,
أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الخَطَّابِ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Apakah kau ragu, wahai ‘Umar, mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kenikmatan mereka di kehidupan dunia ini.” ([43])
Jadi, berapa -banyak atau sedikit- pun yang Allah ﷻ berikan kepada kita, hendaknya kita senantiasa berbaik sangka kepada Allah ﷻ.
footnote:
____
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 20/162
([2]) HR. Abu Daud no. 1547, Ibnu Majah no. 3354 dan dihasankan oleh Al-Albani
([3]) HR. Ahmad no. 8052, sanadnya sahih dengan syarat Muslim, diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari no. 678 di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan disahihkan oleh Al-Albani
([5]) HR. Ahmad no. 26602 dan Ibnu Majah no. 925 dan disahihkan oleh Al-Albani
([6]) HR. Ibnu Majah no. 898, Abu Daud no. 850, Tirmizi no. 284 dan disahihkan oleh Al-Albani
([7]) HR. Ibnu Hibban no. 4032 sanadnya sahih dengan syarat Al-Bukhari menurut Al-Arnauth dan disahihkan oleh Al-Albani
([8]) sikap merasa cukup dengan apa yang didapat serta menghindarkan diri dari sifat tidak puas
([11]) Syarhus-Sunnah Li Al-Baghawi no. 4112 14/304
([12]) Hilyatul Auliya’ 10/26 disahihkan oleh Al-Albani di Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2086 1/420
([13]) Hilyatul Auliya’ 7/90 dan 8/246 disahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Albani di Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5232 1/929
([16]) Secara umum, para ahli tafsir dalam menjelaskan makna takwa adalah
اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ عَذَابِ اللَّهِ وِقَايَةً
“Jadikanlah penghalang antara kalian dengan azab Allah.” (Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 3/363)
([17]) Lihat: At-Tahriir Wa At-Tanwiir, Li Ibnu ‘Asyur, 28/312
([18]) HR. Ibnu Majah no. 3818 dan disahihkan oleh Al-Albani
([20]) HR. Bukhari no. 2 di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan Al-Hakim no. 7249 dengan syarat Muslim
([22]) HR. Ahmad no. 205, sanadnya sahih menurut Al-Hakim, Tirmizi mengatakan hadits hasan sahih.
([23]) Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab 2/496 dan 2/502
([24]) Shahih At-Targhib wa At-Tarhib 2/64
([25]) Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab 2/496 dan 2/502
([27]) HR. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak no. 4165
فَكَانَ آدَمُ حَرَّاثًا، وَنُوْحٌ نَجَّارًا، وَكَذَلِكَ زَكَرِيَّا، وَإِدْرِيْسُ خَيَّاطًا، وَكَذَلِكَ لُقْمَان، وَدَاوُد زَرَّادًا، وَإِبْرَاهِيْمُ زَرَّاعًا، وَكَذَلِكَ لُوْط، وَصَالِحٌ تَاجِرًا، ومُوسَى وَشُعَيْب وَمُحَمّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم رُعَاةً
“Nabi Adam u adalah seorang yang bercocok tanam, nabi Nuh u adalah tukang kayu, begitu juga dengan nabi Zakariya u, nabi Idris u adalah seorang penjahit, begitu juga Luqman, nabi Daud u adalah pembuat baju besi, nabi Ibrahim u adalah seorang petani, begitu juga dengan nabi Lut u, nabi Salih u adalah seorang pedagang, nabi Musa u, Syu’aib u dan Muhammad r adalah penggembala.” (Kasyful Musykil karya Ibnul Jauzi 3/578)
([28]) HR. Ahmad no. 3669 dan Tirmizi no. 810 , hadits hasan sahih menurut Al-Albani
([33]) Mir’atu Az-Zaman 21/397
([35]) Tafsir Ath-Thabari 19/166 dan buku-buku tafsir yang lain.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
الْتَمِسُوا الْغِنَى فِي النِّكَاحِ
“Carilah kekayaan di dalam pernikahan.” (Tafsir Ath-Thabari 19/166 dan buku-buku tafsir yang lain)
([36]) Kasyful Khafa’ karya Al-‘Ajluni 1/178.
([37]) HR. Ahmad no. 7416 dan Ibnu Majah no. 2518, hadits hasan menurut Al-Albani
([38]) Redaksi hadits tersebut adalah,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو إِلَيْهِ الْفَاقَةَ، فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ
“Seseorang datang kepada Nabi r mengeluhkan kefakirannya, maka beliau r menyuruhnya untuk menikah.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi no.257 (2/233). Dia berkata, Ibnu Al-Husain Al-Qaththan mengabarkan kepada kami, dia berkata, ‘Abdul Baqi bin Qani’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Muhammad bin Ahmad bin Nashr At-Tirmizi mengabarkan kepada kami, dia berkata, Ibrahim bin Al-Mundzir mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id bin Muhammad (maula Bani Hasyim) mengabarkan kepada kami, dia berkata, Muhammad bin Al-Munkadir mengabarkan kepada kami, dari Jabir berkata dan meriwayatkan hadits tersebut.
Sanad hadits ini dha’if jiddan, disebabkan oleh Sa’id bin Muhammad (maula Bani Hasyim). Abu Hatim mengatakan (لَيْسَ حَدِيْثُهُ بِشَئْ) ‘tidak ada apa-apanya’ artinya hadits tersebut sangat lemah, sedangkan Ibnu Hibban mengatakan, (لَا يَجُوْزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ) ‘tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut’. Adapun Adz-Dzahabi menggolongkannya di dalam hadits-hadits mungkar. (Lihat: Mizanul I’tidal 2/156)
Selain itu, disebutkan pula dengan redaksi hadits sebagai berikut,
أَنَّ رَجُلاً شَكَى إِلَى النَّبِيّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْفَقْرَ، فَقَالَ: عَلَيْكَ بِالْبَاءَةِ
“Sesungguhnya ada seseorang mengeluhkan kefakiran kepada Nabi r, maka beliau r bersabda, ‘hendaklah menikah’.” (Diriwayatkan oleh Ats-Tsa’alabi dari Ibnu ‘Ajlan)
Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini mu’dhal artinya hadits yang gugur dua orang atau lebih di dalam sanadnya secara berturut-turut. Selain itu, status sanad kepada Ibnu ‘Ajlan tidak diketahui. (Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 3401 7/411)
([39]) HR. Ahmad no. 7293, Al-Baihaqi no. 10409 di dalam As-Sunan Al-Kubra dan Ibnu Hibban no. 4096. Al-Bukhari meriwayatkan dengan redaksi lain,
الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu melariskan dagangan, menghapuskan keberkahan.” (HR. Bukhari no. 2087)
([40]) HR. Al-Hakim no. 1812 di dalam Al-Mustadrak, hadits sahih.
([41]) Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i hal.2
([43]) Lihat redaksi lengkap hadits di dalam kitab Sahih Bukhari 3/133 no. 2468.