Istikamah
Oleh DR. Firandan Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas suatu perkara yang sangat penting. Pembahasan ini bukan hanya penting bagi para pembaca sekalian, akan tetapi juga penting penulis dan setiap muslim lainnya. Pembahasan tersebut adalah istikamah, di mana perkara tersebut disebut oleh para ulama sebagai suatu karamah terbesar. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Taimiyah RH dalam perkataannya,
أَعْظَمُ الْكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ
“Karamah yang paling agung adalah senantiasa istikamah.” ([1])
Alasan dikatakan demikian karena perjuangan untuk bisa berada di atas kebenaran secara terus menerus (istikamah) lebih berat dari perjuangan mencari kebenaran itu sendiri. Maka sangat disayangkan, kenyataannya banyak orang yang hanya memberikan fokusnya untuk mencari kebenaran, namun lalai dalam mempertahankan diri mereka untuk tetap pada kebaikan tersebut. Padahal porsi fokus untuk mempertahankan kebaikan idealnya lebih besar daripada mencari kebenaran itu sendiri.
Begitu pentingnya istikamah, sampai Allah ﷻ memerintahkannya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ ﴾
“Maka tetaplah engkau (Muhammad di jalan yang benar).” (QS. Hud: 112)
Istikamah juga merupakan salah satu wasiat penting Nabi Muhammad ﷺ kepada sahabatnya. Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu ucapan dalam Islam yang tidak akan kutanyakan lagi kepada selainmu”. Nabi Muhammad ﷺ pun bersabda,
قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Ucapkanlah, ‘Aku beriman’, lalu istikamahlah.” ([2])
Ini menunjukkan bahwa istikamah adalah perkara yang besar dalam syariat.
Kenyataan yang terjadi pun menguatkan hal ini, di mana keberhasilan itu dilihat di akhir. Jika saja seseorang bermula dengan kebenaran, namun ternyata dia tidak bisa mempertahankan kebenaran tersebut hingga berakhir pada penyimpangan, maka permulaannya yang benar tersebut menjadi percuma. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana dia bisa bertahan di atas kebenaran tersebut hingga akhir. Untuk mencapai itu, dia dituntut untuk istikamah.
Pembahasan istikamah juga menjadi sangat penting, terlebih lagi di zaman ini. Sebab sebagaimana kita saksikan, betapa banyak godaan-godaan yang dapat memalingkan seseorang dari jalan istikamah, baik dari sisi syahwat maupun syubhat. Segala sumber kesesatan dan penyesatan tersebar begitu bebasnya, sehingga memalingkan seseorang dari jalan yang lurus. Bahkan, bisa dikatakan bahwa puncak merebaknya syahwat dan syubhat adalah di zaman ini. Dengan adanya internet dan media komunikasi yang canggih, di mana siapa pun dapat bersuara dan berekspresi, sehingga syahwat dan syubhat dengan berbagai macam modelnya tersebar dengan begitu kuatnya. Akhirnya, terjadilah yang terjadi, siapa saja dengan mudahnya bisa terjatuh dan tenggelam dalam syahwat dan syubhat tersebut. Jika di zaman dahulu istikamah itu sangat dibutuhkan sementara syubhat dan syahwat sedikit tersebar, maka bagaimana lagi dengan zaman yang syubhat dan syahwat tersebar dengan bebasnya? Oleh karena itu, kebutuhan kita terhadap istikamah menjadi sangat besar di zaman sekarang ini.
Dari sini, dapat dipahami bahwa pembahasan istikamah ini sangatlah penting bagi siapa pun. Siapa pun di antara kita tentu memiliki godaannya masing-masing, sehingga istikamah itu dibutuhkan oleh masing-masing kita. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang bisa istikamah di zaman seperti ini terutama anak muda yang senantiasa salat lima waktu di masjid, bisa menjaga pandangannya dari hal-hal yang haram untuk dipandang, bisa menjaga lisannya dari kata-kata yang haram, dan bentuk ketakwaan lainnya, maka dia telah mendapatkan karamah yang sesungguhnya, merekalah di antara wali-wali Allah ﷻ sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah RH di atas.
Istikamah
Istikamah artinya tegar di atas jalan Allah ﷻ. Inilah permohonan yang selalu kita panjatkan kepada Allah ﷻ di setiap salat kita, yaitu,
﴿ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Para ulama menjelaskan doa di atas mengandung beberapa kemungkinan:
Pertama, bagi orang yang tersesat, doa ini adalah permohonan jalan yang lurus. Seakan seseorang berdoa, “Ya Allah, jika aku belum tahu jalan yang lurus maka tunjukkanlah”.
Kedua, bagi orang yang telah berada di jalan yang lurus, doa ini adalah permohonan istikamah. Seakan seseorang berdoa, “Ya Allah, jika aku sudah berada di jalan yang lurus maka berikanlah aku istikamah”. Ini sama halnya dengan firman Allah ﷻ yang memerintahkan orang-orang yang telah beriman untuk beriman. Allah ﷻ berfirman,
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya.” (QS. An-Nisa’: 136)
Ketiga, bagi orang telah istikamah, doa ini adalah permohonan untuk dibukakan pintu-pintu kebaikan. Seakan seseorang berdoa, “Ya Allah, jika aku telah istikamah maka bukakanlah bagiku pintu-pintu kebaikan yang lain yang belum aku ketahui”.
Doa ini merupakan doa yang sangat penting. Bagaimana tidak, setiap kita sangat butuh terhadap istikamah dalam berbagai hal, seperti istikamah dalam beribadah, berdakwah, berbakti pada orang tua, bersedekah, tidak riya, tidak hasad dan yang lainnya. Karenanya, tidak heran jika Allah ﷻ memerintahkan kita untuk memanjatkan doa ini minimal tujuh belas kali di setiap harinya.
Jalan kebenaran hanya satu dan jalan kesesatan banyak
Selain menjadi suatu hal yang dibutuhkan oleh setiap manusia, istikamah juga memang suatu perkara yang berat untuk dipertahankan. Sebagaimana telah penulis isyaratkan di awal bahwa menuju suatu kebenaran adalah hal yang berat, namun bertahan di atas kebenaran tersebut adalah hal yang lebih berat lagi.
Mengapa demikian? Karena jalan kebenaran hanya satu, adapun jalan-jalan yang membuat seseorang tergelincir dari kebenaran sangat banyak, sehingga sangat sulit seseorang bisa senantiasa istikamah pada kebenaran. Hal ini Allah ﷻ banyak isyaratkan dalam firman-firman-Nya. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ,
﴿ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ﴾
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)
Pada ayat ini Allah ﷻ sebutkan kata صِرَاطِي (jalan-Ku) dalam bentuk tunggal, dan kata السُّبُلَ (jalan-jalan yang lain) dalam bentuk plural. Ini adalah isyarat bahwa jalan kebenaran itu satu, adapun jalan-jalan kesesatan banyak.
Begitu juga pada firman Allah ﷻ dalam menyebutkan perkataan Nabi Ibrahim AS kepada ayahnya,
﴿ يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا ﴾
“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 43)
Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,
﴿ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Dalam hadis, Nabi Muhammad ﷺ pun menjelaskan tentang hal ini. Di antaranya adalah:
Pertama, hadis Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا. ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ – قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ – عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ “، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Rasulullah ﷺ membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’. Kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kanan dan kiri garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak yang bercabang). Pada setiap jalan ada setan yang mengajak kepada jalan itu’. Kemudian beliau membaca firman Allah ﷻ (yang artinya), “Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153) ([3])
Kedua, hadis An-Nawas bin Sam’an RADHIALLAHU ‘ANHU, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ، فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا، وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ: حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ: كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنِ فَوْقَ الصِّرَاطِ: وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ
“Allah memberikan perumpamaan berupa jalan yang lurus. Kemudian di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Dan pada kedua dinding itu terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar. Kemudian di atas setiap pintu terdapat tabir penutup yang terjulur. Dan di atas pintu jalan terdapat penyeru yang berkata, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath dan janganlah kalian ke kanan dan ke kiri.’ Dan ada juga penyeru yang menyeru dari atas shirath, jika ada seseorang hendak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu tersebut, maka ia berkata, ‘Celakalah kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk ke dalamnya’. Ash-Shirath itu adalah Islam. Kedua dinding itu merupakan batasan-batasan Allah ﷻ. Sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ. Dan adapun penyeru di depan shirath itu adalah Kitabullah (Al-Qur`an). Sedangkan penyeru dari atas shirath adalah penasihat Allah (naluri) yang terdapat pada setiap kalbu seorang mukmin.” ([4])
Hal menarik dari hadis di atas adalah Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa pintu-pintu jalan menuju hal yang haram sangat banyak, bahkan terbuka lebar, sangat mudah bagi seseorang untuk masuk ke dalamnya. Namun, barang siapa yang telah masuk ke dalamnya, maka akan sangat sulit baginya untuk keluar. Hal ini karena seruan dari pintu-pintu tersebut sangat kuat.
Sungguh benar, jika diterapkan di zaman ini maka bisa kita katakan bahwa pintu-pintu yang Nabi Muhammad ﷺ misalkan di atas seperti internet, sebab di sana terdapat berbagai macam maksiat berupa syubhat dan syahwat yang siapa saja dapat mengaksesnya dengan mudah. Begitu seseorang telah masuk, maka ia akan terjebak sehingga sangat sulit baginya untuk keluar. Imbasnya, ia pun terjauhkan dari jalan-jalan menuju Allah ﷻ.
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanyalah satu, adapun jalan keburukan sangat banyak dan bervariasi.
Perlu diperhatikan, tidak heran jika seseorang yang menempuh jalan yang lurus akan merasa bosan, sebab kesehariannya akan berlalu dengan monoton. Berbeda halnya dengan jalan maksiat, sangat bermacam-macam dan bervariasi. Perasaan seperti ini perlu untuk kita waspadai. Jangan sampai kita merasa tidak sabar, sehingga berbelok pada jalan-jalan yang bervariasi tersebut dan akhirnya terjebak.
Begitu juga perlu untuk diperhatikan, ketika menempuh jalan yang lurus, hendaknya kita tidak tergesa-gesa. Hendaknya kita berjalan dengan perlahan, sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Janganlah seperti sebagian orang yang baru hijrah, mereka sangat tergesa-gesa dalam berjalan. Segala bentuk ketaatan akan mereka lakukan, padahal pada asalnya jiwa mereka belum mampu melakukan semua itu. Akhirnya ketika gagal atau merasa tidak mampu, mereka pun futur dan akhirnya kembali ke jalan maksiat yang dahulu mereka lalui sebelum hijrah.
Kiat-kiat Untuk Istikamah
Pertama: Berdoa
Tentu ini adalah kiat yang paling penting dan paling utama, sebab keselamatan hanyalah di tangan Allah ﷻ semata.
Ketahuilah, iman yang kita miliki adalah karunia Allah ﷻ. Jika Allah ﷻ berkehendak maka Allah ﷻ akan cabut iman kita, dan itu sangatlah mudah. Maka Seseorang hendaknya tidak terlalu percaya diri atas imannya, sehingga lalai dalam berdoa meminta keselamatan atas imannya. Terlebih di zaman ini, zaman tersebarnya berbagai fitnah, syubhat dan syahwat di mana-mana. Tentu berdoa meminta keselamatan atas iman merupakan perkara yang sangat genting. Karenanya, Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾
“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 21)
Allah ﷻ juga berfirman tentang Nabi Muhammad ﷺ,
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا، وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا، إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami (QS. Al-Isra’: 73-75)
Allah ﷻ menjelaskan jika Allah ﷻ tidak mengukuhkan Nabi Muhammad ﷺ, tentu beliau ﷺ akan sedikit condong kepada kaum kafir Quraisy. Ini menunjukkan betapa kuat rayuan dan manisnya perkataan mereka, sehingga seorang Nabi Muhammad ﷺ pun tidak bisa selamat kecuali diselamatkan Allah ﷻ.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
وَاللَّهِ لَوْلاَ اللَّهُ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا
“Demi Allah, kalau bukan karena Allah tidak mungkin kita akan mendapatkan petunjuk, tidak mungkin kita akan bersedekah dan tidak mungkin kita akan mendirikan salat.”([5])
Ada banyak doa yang berkaitan dengan permintaan istikamah. Di antaranya adalah:
- Membaca firman Allah ﷻ,
﴿ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)
- Membaca doa yang di ajarkan Nabi Muhammad ﷺ,
يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang maha membolak-balikkan hati manusia kukuhkanlah hatiku di atas agamamu.” ([6])
Doa ini merupakan di antara doa-doa yang paling sering Nabi Muhammad ﷺ panjatkan. Sampai-sampai suatu ketika salah satu istri Nabi Muhammad ﷺ menanyakan perihal tersebut. Nabi Muhammad ﷺ lalu menjawab,
إِنَّ القُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati-hati di antara dua jemari Allah ﷻ. Allah ﷻ akan membolak-balikkannya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.” ([7])
Abu Musa al-Asy’ari mengatakan hati disebut sebagai qalbu (dalam bahasa arab artinya berbolak-balik) karena ia mudah sekali berbolak-balik dan berubah.([8])
Dan benar, keadaan hati tidak hanya berdiam pada satu kondisi, namun ia selalu berubah-ubah. Seorang yang tadinya ikhlas menjadi riya’, seorang yang tadinya penyabar menjadi pemarah, seorang yang tadinya tawaduk menjadi sombong, dan seterusnya. Banyak faktor yang menjadikan hati berubah-ubah. Karenanya, tanpa pertolongan Allah ﷻ tentu hati kita tidak akan bisa istikamah di atas kebenaran, terlebih di zaman sekarang ini yang begitu maraknya fitnah tersebar di mana-mana.
- Membaca zikir pagi dan petang.
Pada zikir pagi dan petang terdapat doa-doa yang bisa membuat kita istikamah, seperti zikir permohonan agar selamat dari penglihatan dan pendengaran yang haram,
اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah selamatkanlah tubuhku dari penyakit dan yang tidak aku inginkan Ya Allah selamatkanlah pendengaranku Ya Allah selamatkanlah penglihatanku tiada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali engkau ya Allah Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kekafiran dan kefakiran Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur tiada Ilah yang berhak disembah kecuali engkau.”([9])
Begitu juga dengan zikir memohon perlindungan dari keburukan jiwa dan setan,
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلَأرْضِ رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ
“Ya Allah yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata Pencipta langit dan bumi Rabb segala sesuatu dan yang merajainya aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali engkau Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku dan dari keburukan setan serta seruannya kepada kesyirikan.” ([10])
Zikir ini mengandung permohonan yang sangat agung, yaitu selain memohon perlindungan keburukan yang berasal dari luar yaitu setan yang selalu menggoda, juga memohon perlindungan dari keburukan yang berasal dari jiwa itu sendiri.
Kedua: memperbanyak ibadah khalawat (bersendirian bersama Allah ﷻ)
Ibadah khalawat adalah ibadah yang sangat agung. Bagaimana tidak, ia adalah pembeda antara munafik dan mukmin yang ikhlas.
Allah ﷻ sebutkan di antara ciri orang munafik adalah mereka beribadah hanya untuk dilihat oleh orang lain, sehingga jika tidak terlihat mereka pun malas-malasan. Allah ﷻ berfirman,
﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat isya` dan salat subuh.”([11])
Mengapa demikian? Karena pada waktu-waktu tersebut adalah waktu yang gelap, sehingga salat mereka tidak dilihat oleh manusia. Berbeda halnya dengan salat zuhur, asar, dan magrib, salat mereka bisa dilihat oleh manusia.
Adapun orang-orang mukmin yang tulus nan ikhlas, pada kondisi apa pun, dilihat atau tidak dilihat oleh manusia, mereka tetap beribadah kepada Allah ﷻ. Bahkan, beribadah dalam kondisi sendiri tanpa diketahui oleh siapa pun, hanya dia dan Allah ﷻ yang tahu merupakan ciri utama mereka.
Dari sini, tidak heran jika syariat menyatakan bahwa ibadah khalawat adalah ibadah yang sangat agung. Sebagai contoh adalah salat malam, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkannya sebagai salat yang paling agung setelah salat wajib. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ
“Salat yang paling utama setelah salat yang fardu adalah salat di waktu tengah malam.” ([12])
Hal ini karena untuk melakukannya butuh terhadap keikhlasan yang ekstradhiallahu ‘anhu, sebab ketika mengerjakannya tidak satu pun yang tahu kecuali dirinya dan Allah ﷻ saja. Maka tentu orang yang bisa mengerjakannya adalah orang-orang yang ikhlas.
Begitu juga, salat malam merupakan salah satu ibadah yang pertama kali Nabi Muhammad ﷺ serukan ketika berdakwah di kota Madinah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, salatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” ([13])
Selain itu, salat malam pada dasarnya adalah ibadah yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, terutama seorang dai. Hal ini karena salat malam dapat mengukuhkan iman seseorang untuk berhadapan dengan hantaman berbagai fitnah dakwah di siang hari. Karenanya, para ulama menamakan surah Al-Muzammil sebagai Zaad ad-Da’iyah (bekal dai), sebab surah Al-Muzammil berisikan tentang syariat salat malam.
Ibadah khalawat juga ternyata memberikan imbas pahala yang sangat besar bagi para pelakunya.
Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa 2 di antara 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah ﷻ di hari kiamat adalah orang-orang yang mengerjakan ibadah khalawat. Pertama adalah,
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan seorang mengingat dan menyebut nama Allah dalam kesunyian kemudian kedua matanya menangis.”
Kedua,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seseorang yang bersedekah kemudian ia sembunyikan sedekah tersebut, sehingga tangan kirinya tidak tahu menahu terhadap apa yang diinfakkan tangan kanannya.” ([14])
Orang yang telah terbiasa mengerjakan ibadah-ibadah khalawat, maka ia akan semakin ikhlas dan jauh dari sifat riya.
Ketahuilah, ikhlas merupakan hal yang dapat memudahkan untuk istikamah dan dijauhkan dari jalan-jalan keburukan. Semakin seorang hamba ikhlas, semakin mudah baginya untuk istikamah. Dalilnya adalah di dalam Al-Qur’an Allah ﷻ sebutkan bahwasanya Nabi Yusuf AS diselamatkan oleh Allah ﷻ karena Nabi Yusuf AS adalah hamba yang ikhlas. Allah ﷻ berfirman,
﴿ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ ﴾
“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)
Pada sebagian qiraah ayat ini dibaca dengan الْمُخْلِصِينَ, sehingga maknanya adalah Allah ﷻ menyelamatkan Nabi Yusuf AS dari berbagai keburukan karena beliau AS adalah orang yang ikhlas.
Inilah poin yang ingin penulis sampaikan, bahwasanya seseorang jika ingin meraih istikamah hendaknya ia berusaha untuk ikhlas dalam beribadah. Dan di antara jalan yang memudahkan seseorang untuk ikhlas adalah memperbanyak melakukan ibadah khalawat.
Ketiga: merenungkan tentang pahala istikamah
Istikamah merupakan ibadah tersendiri. Karenanya, Allah ﷻ siapkan ganjaran khusus bagi orang-orang yang istikamah, di antaranya adalah diberikannya husnulkhatimah. Allah ﷻ berfirman,
﴿ إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka tetap istikamah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. (QS. Al-Ahqaf: 13)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ juga berfirman,
﴿ إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian istikamah, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. Fussilat: 30)
Para ulama menjelaskan bahwa ayat di atas sedang menjelaskan tentang kondisi sakratulmaut. Saat itu setiap hamba akan merasa sedih dan khawatir, sebab ia akan terpisahkan dari orang-orang yang dicintai yaitu anak, istri, ayah, ibu, dan yang lainnya. Selain itu, yang membuat ia semakin sedih adalah ia tersadarkan bahwa ternyata dirinya tidak bisa lagi melakukan amal ibadah yang tentu sangat bermanfaat baginya di akhirat kelak. ([15])
Ibnu Taimiyah RH menjelaskan setan dan iblis benar-benar akan mengerahkan segala kekuatannya untuk menggoda hamba saat di penghujung hayatnya, sehingga terjatuh dalam suulkhatimah. ([16])
Bagi orang-orang yang istikamah, kondisi di atas tidak akan mereka alami. Sebab Allah ﷻ akan datangkan malaikat guna menenangkan sekaligus memberi kabar gembira kepada mereka. Allah ﷻ berfirman tentang perkataan malaikat kepada orang-orang yang istikamah,
﴿ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ﴾
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta.” (QS. Fussilat: 31)
Dengan merenungkan ganjaran-ganjaran pahala bagi orang yang istikamah seperti hal di atas, seseorang dapat termotivasi untuk meneguhkan hatinya untuk istikamah dan juga bertahan dari godaan-godaan yang menimpanya.
Keempat: memperbanyak amalan sunah
Setan jika hendak merusak ibadah seorang hamba, sebelum pada ibadah wajib ia akan sibuk merusak ibadah-ibadah sunah dahulu. Namun, jika ia tidak memiliki ibadah-ibadah sunah, tanpa terhalang setan pun langsung merusak ibadah-ibadah wajib, sehingga terjatuhlah ia pada dosa.
Oleh karenanya, ibadah sunah dikatakan sebagai benteng bagi ibadah wajib. Semakin banyak ibadah sunah yang dikerjakan, maka semakin kokoh benteng tersebut, sehingga setan pun kesulitan merusak ibadah wajibnya.
Terlebih lagi jika hamba terbiasa meninggalkan perkara-perkara mubah, maka benteng penjagaan terhadap ibadah wajibnya tentu lebih kokoh lagi. Hal ini karena sebelum masuk kepada ibadah wajib, setan akan terhalang oleh dua benteng yaitu benteng ibadah sunah dan benteng meninggalkan perkara mubah.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah ﷻ berfirman,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya.” ([17])
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَلِسَانَهُ الَّذِي يَنْطِقُ بِهِ
“Dan Aku akan membimbingnya ketika lisannya berucap.” ([18])
Hadis di atas menerangkan bahwa ibadah-ibadah sunah yang senantiasa dilakukan oleh seorang hamba akan mendatangkan kecintaan Allah ﷻ padanya dan juga penjagaan sekaligus bimbingan Allah ﷻ. Inilah jalan istikamah yang sesungguhnya.
Kelima: berteman dengan orang-orang saleh
Teman memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian seseorang. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تبتاعَ مِنْهُ وإِمَّا أَن تجدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يَحْرِقَ ثيابَكَ وإِمَّا أنْ تجدَ مِنْهُ ريحًا خبيثةً
“Perumpamaan teman dekat yang baik dan teman dekat yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Seorang penjual minyak wangi terkadang mengoleskan wanginya kepada kamu dan terkadang kamu membelinya sebagian atau kamu dapat mencium semerbak harumnya minyak wangi itu. Sementara tukang pandai besi adakalanya ia membakar pakaian kamu ataupun kamu akan menciumi baunya yang tidak sedap.” ([19])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang akan sesuai kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” ([20])
Tidak tanggung-tanggung, teman pun bisa ikut serta dalam menentukan nasib seseorang di akhirat kelak. Seperti firman Allah yang menjelaskan tentang orang yang tidak bisa istikamah karena salah dalam bergaul. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا ٢٧ يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ٢٨ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا ٢٨ ﴾
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, ‘Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia’.” (QS. Al-Furqan: 28-29)
Teman yang saleh adalah sarana penting bagi seseorang untuk bisa istikamah, sebab dengannya seseorang bisa saling mengingatkan dan juga saling menguatkan dalam menghadapi fitnah-fitnah kehidupan. Jangan sampai kita termasuk dalam bagian orang-orang yang menyesal di hari kiamat karena salah dalam memilih teman.
Karena begitu pentingnya teman yang saleh, Allah ﷻ pun memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk sabar terhadap orang-orang yang saleh. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴾
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap rida-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Keenam: Menjauhi segala sebab-sebab yang mengantarkan kepada maksiat
Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata, “Di antara kecerdasan seseorang adalah dia mengetahui imannya sedang naik ataukah turun.” ([21])
Hidayah adalah perkara yang sangat berharga. Jika Allah ﷻ telah menganugerahkannya kepada kita, hendaknya kita menjaganya. Jangan sampai kita coba-coba membuka pintu-pintu maksiat, sebab perkaranya sangat mengkhawatirkan, sekali terjerumus maka akan sulit untuk kembali pada jalan hidayah.
Jauhilah sarana-sarana yang bisa mengantarkan diri kita kepada maksiat. Cukupkanlah diri kita dengan perkara-perkara yang halal, sebagaimana doa Nabi Muhammad ﷺ,
اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan dari yang Engkau haramkan dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu.” ([22])
Jika saja kita memiliki teman-teman yang bisa membuat kita kembali kepada maksiat atau bahkan menjerumuskan pada maksiat yang belum pernah kita terjatuh padanya, hendaknya kita jauhi mereka. Janganlah kita berspekulasi dengan hidayah yang telah Allah ﷻ berikan kepada kita. Betapa banyak orang-orang yang akhirnya kembali pada masa lalunya yang gelap dengan maksiat karena faktor teman yang mengajak, padahal sebelumnya Allah ﷻ telah memberikan mereka hidayah.
Ingatlah sabda Nabi Muhammad ﷺ yang memperingatkan hal ini,
وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ
“Celakalah kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk ke dalamnya.” ([23])
Ketujuh: istikamah dengan cara yang Allah ﷻ perintahkan
Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴾
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud: 112)
Cara untuk istikamah telah di ajarkan oleh syariat Islam. Maka janganlah seseorang istikamah dengan cara-cara yang bidah, khurafat, atau yang lainnya. Seperti yang dilakukan sebagian orang, dengan alasan istikamah akhirnya mereka menelantarkan kewajiban mereka dalam mencari nafkah untuk keluarga mereka.
Perlu untuk dipahami bahwa perintah istikamah bukan berarti perintah untuk selalu melakukan ibadah secara terus-menerus tanpa memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Karenanya, jika melihat kondisi salaf dahulu mereka adalah orang-orang yang sangat istikamah. Namun, mereka tidak selalu melakukan ibadah secara terus-menerus sehingga meninggalkan pekerjaan atau kewajiban-kewajiban lain yang harus dikerjakan.
Lihatlah Umar bin Khattab RADHIALLAHU ‘ANHU, dahulu beliau bergantian dengan sahabatnya dalam menuntut ilmu. Sehari Umar menuntut ilmu sedang sahabatnya berdagang, dan sehari berikutnya bergantian Umar yang berdagang dan sahabatnya yang menuntut ilmu. Namun, di setiap malamnya mereka saling bertemu guna menyampaikan ilmu yang mereka dapatkan. ([24])
Ini menunjukkan bahwa setiap waktu harus di isi dengan kegiatan sesuai dengan porsinya masing-masing. Ada waktunya untuk bekerja dan ada pula waktu untuk beribadah. Dan ini tidak mengeluarkan seseorang dari jalan istikamah. Sebab makna istikamah adalah berusaha untuk selalu berjalan di atas kebenaran, buka perintah untuk selalu beribadah secara terus-menerus.
Kedelapan: memperbanyak istigfar kepada Allah ﷻ
Tidak dipahami bahwa istikamah berarti tidak pernah berdosa. Jika demikian halnya, maka tidak satu pun orang yang mampu istikamah kecuali Nabi Muhammad ﷺ. Namun, istikamah adalah berusaha untuk selalu berada di jalan yang lurus, walau terkadang terjatuh pada dosa. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
اسْتَقِيمُوا، وَلَنْ تُحْصُوا
“Istikamahlah dan kalian tidak akan mampu.”([25])
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَيَسِّرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدَّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memberatkan diri dalam agama ini kecuali sikapnya tersebut akan mengalahkan dia. Maka berusahalah untuk melakukan perbuatan dengan benar, mendekatlah kepada kesempurnaan, berilah kabar gembiradhiallahu ‘anhu, dan manfaatkanlah kesempatan pada pagi hari, sore hari dan sebagian waktu malam.” ([26])
Hadis ini menunjukkan bahwa kita dituntut untuk tepat di atas kebenaran secara sempurna. Namun, ini adalah suatu hal yang naif bagi sebagian orang. Karenanya, Nabi Muhammad ﷺ berikan solusi kepada mereka yaitu perintah untuk mendekat kepada kebenaran walau kiranya belum tepat dan sempurna.
Ketika telah berusaha menjalankan 2 hal di atas yaitu tepat atau mendekat pada kebenaran, suatu saat pasti kita akan melakukan kesalahan. Sikap yang harus dilakukan adalah beristigfar kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
﴿ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ ﴾
“Karena itu istikamahlah kalian (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang yang menyekutukan-(Nya), (QS. Fussilat: 6)
Selain beristigfar hal yang perlu dilakukan adalah memperbanyak amalan-amalan kebaikan. Hal ini karena amalan-amalan tersebut bisa menghapus dosa. Nabi Muhammad ﷺ bersabda kepada Mu’adz bin Jabal RADHIALLAHU ‘ANHU,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan dosa maka ikut sertakanlah dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan dosamu. Serta bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” ([27])
Jadi, poin yang ingin penulis sampaikan adalah istikamah bukan berarti selalu taat dan tidak pernah salah. Setiap manusia pasti akan melakukan kesalahan. Oleh karenanya para ulama mengatakan,
إِذَا أُعْطِيَ شَكَرَ، وَإِذَا ابتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَ أَذْنَبَ استَغْفَرَ
“jika diberi kenikmatan oleh Allah ﷻ dia bersyukur, jika diuji dia bersabar, dan jika berdosa dia memohon ampun.”([28])
Selama kita berada pada lingkup 3 perkara ini maka kita orang yang bahagia.
Kesembilan: menjaga lisan
Dalam hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ، وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Iman seorang hamba tidak akan lurus hingga lurus hatinya dan hati tidak bakalan lurus hingga lurus lisannya dan seseorang tidak bakalan masuk surga jika tetangganya terganggu oleh keburukannya.”([29])
Hadis di atas menerangkan dengan jelas bahwa istikamah sangat berkaitan dengan lisan. Artinya ucapan sangat mempengaruhi istikamah seseorang. Semakin ia menjaga lisannya, maka ia akan semakin mudah istikamah.
Begitu pula dengan tulisan, sebab tulisan merupakan ungkapan dari lisan. Terlebih di zaman ini, zaman di mana setiap orang mudah untuk berbicara dan berkomentar. Maka hendaknya kita hati-hati dalam mengungkapkan sesuatu, baik itu dengan lisan maupun tulisan. Jika sekiranya kita mengungkapkan sesuatu hendaknya kita berpikir sejenak, apakah hal tersebut bermanfaat atau tidak. Jika bermanfaat, maka katakanlah. Jika tidak, maka hendaknya diam. Sebab hal tersebut akan mempengaruhi istikamah kita. Allah ﷻ berfirman,
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Footnote:
_______
([1]) Lihat: Al-Mustadrak ‘Ala Majmu’ al-Fatawa (1/153).
([2]) HR. Ahmad No. 15416, dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([3]) HR. Ahmad No. 4142, dan dinyatakan hasan oleh al-Arnauth.
([4]) HR. Ahmad No. 17634, dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([5]) HR. Bukhari No. 4104 dan Muslim No. 1802.
([6]) HR. At-Tirmizi No. 2140, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([7]) HR. At-Tirmizi No. 2140, dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([8]) Musnad Ibnu al-Ja’ad No. 1450.
([9]) HR. Ahmad No. 20430, dan dinyatakan hasan oleh al-Arnauth.
([10]) HR. Ahmad No. 51 dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([13]) HR. Ibnu Majah No. 3251, dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([14]) HR. Bukhari No. 1423 dan Muslim No. 1031.
([15]) Lihat: Tafsir as-Sa’di (780).
([16]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (4/255).
([18]) HR. Ath-Thabrani No. 7833.
([19]) HR. Bukhari No. 5534 dan Muslim No. 2628.
([20]) HR. Ahmad No. 8417 dan dinyatakan hasan oleh al-Arnauth.
([21]) Lihat: Mukhtashar Tarikh Dimasyq (20/35).
([22]) HR. At-Tirmidzi No. 3563, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([23]) HR. Ahmad No. 17634, dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([24]) Lihat: Shahih al-Bukhari (1/29).
([25]) HR. Ibnu Majah No. 227.
([26]) HR. An-Nasai No. 5034 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([27]) HR. Ahmad 21354, dan dinyatakan hasan oleh al-Arnauth
([28]) Lihat: Ushul ad-Din al-Islami Ma’a al-Qawa’id al-Arba’ (14)
([29]) HR. Ahmad No. 13048 dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.