Futur
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Hadirin yang dirahmati oleh Allah, alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita kembali bisa dikumpulkan oleh Allah dalam rangka saling mengingatkan dan saling menasihati agar kita bisa bersabar dalam menjalani kehidupan ini dalam ketaatan kepada Allah ﷻ. Shalawat serta salam kembali tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad ﷺ dan juga para Sahabat beliau serta kerabatnya tanpa terkecuali.
Pada kali ini kita akan membahas tentang problem futur atau kemalasan dalam beribadah. Dan ini adalah problem yang kita hadapi bersama, seseorang yang beribadah kepada Allah suatu saat pasti ia akan mengalami futur dan malas dalam beribadah. Hal ini bukan hanya menimpa orang-orang yang baru hijrah, melainkan juga dialami oleh orang-orang yang telah lama hijrah dan telah belajar adakalanya ia mengalami masa-masa futur dalam beribadah. Bahkan juga kita dapati dalam hadits bahwasanya sebagian Sahabat Nabi juga mengalami hal tersebut yang insya Allah nanti akan kita sebutkan dalilnya. Oleh karena itu futur ini adalah problem yang dialami oleh semua orang, disebutkan dalam suatu pepatah,
دَوَامُ الْحَالِ مِنَ الْمُحَالِ
“Untuk bisa terus menerus dalam satu kondisi adalah suatu keadaan yang mustahil”
Nabi ﷺ bersabda dalam haditsnya,
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا
“Istiqamahlah kalian walaupun memang kalian tidak akan mampu”. ([1])
Memang ada saatnya seseorang jatuh dalam kondisi futur. Oleh karena itu yang perlu dibahas apa yang perlu kita lakukan dan bagaimana kiatnya ketika berada dalam keadaan futur dan malas tersebut. Sebagian orang ada yang rajin dan kadang-kadang futur, sebaliknya ada orang yang lebih sering malas dan adakalanya rajin. Maka orang yang rajin namun adakalanya malas maka itu adalah hal yang wajar, dan bagaimana kita menghadapi keadaan tersebut agar kita selamat di dunia dan di akhirat.
Jika seseorang sadar bahwasanya dia sedang futur maka hendaknya ia segera mengobatinya. Yang menjadi masalah jika seseorang tidak sadar bahwa ia sedang terkena penyakit futur, ia menganggap itu sebagai hal yang biasa, sehingga akhirnya penyakitnya semakin kronis dan semakin sulit untuk diobati.
Nabi ﷺ telah mengisyaratkan hal ini dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits Abdullah bin Amr bin Ash dari Nabi ﷺ bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي، فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَقَدْ هَلَكَ
“Sesungguhnya tiap amalan ada masa semangat dan di masa semangat ada masa futur. Barang siapa yang tatkala di masa futurnya ia tetap kembali kepada sunahku maka ia beruntung. Namun barang siapa yang masa futurnya bukan kepada sunahku maka ia binasa”.([2])
مِن رَحمةِ اللهِ تعالى بالمسلمينَ أنْ جعَلَ لهم هذا الدِّينَ يُسْرًا، وقد حثَّنا نبيُّنا صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على الاقتصادِ في العبادةِ، مع الإخلاصِ فيها والتَّسديدِ والمُقارَبةِ، ونهانَا عن التَّشدُّدِ والغُلوِّ، وعن الرِّياءِ والسُّمعةِ بالأعمالِ.
وفي هذا الحديثِ يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: “إنَّ لكلِّ شَيءٍ”، أي: جميعِ الأشياءِ والأمورِ؛ كالعمَلِ والعِبادةِ والاجتهادِ، والحبِّ والكُرْهِ، وغيرِ ذلك، له، “شِرَّةً”، أي: نشاطًا وشِدَّةً وحِرْصًا ورغبةً في أوَّلِه، “ولكلِّ شِرَّةٍ فَترةٌ”، أي: ضعفٌ وخمولٌ وسكونٌ في آخِرِه، فالعابدُ يُبالِغُ في العبادةِ أوَّلًا، ثمَّ تَسكُنُ شِرَّتُه وتَفتُرُ عَزيمتُه؛ لذا أمَرَ بهذا: “فمَن كان فَترتُه”، أي: فمَن كانت فَترةُ خُمولِه وضَعفِه، “إلى سُنَّتي فقد اهْتَدى”، وسُنَّةُ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم هي الاقتصادُ والتَّوسُّطُ، مع المُداومةِ والإخلاصِ للهِ، وعدَمِ الرِّياءِ والسُّمعةِ، “ومَن كانت إلى غيرِ ذلك فقد هلَكَ”؛ لأنَّ مَن سلَكَ غيرَ هَدْيِه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فهو مِن الهالكينَ.
وفي الحَديثِ: حثٌّ على لُزومِ السُّنَّةِ .
Dalam riwayat yang lain :
إن للإسلام شرة وإن لكل شرة فترة، فإن [كان] صاحبهما سدد وقارب فارجوه، وإن أشير إليه بالأصابع فلا ترجوه
(Dinilai shahih oleh Al-Albani di As-Shahihah no 2850)
Hadits ini menunjukkan bahwa adakalanya kita semangat beribadah. Ada suatu masa di mana orang senang sedekah maka bersedekahlah, adakalanya masa di mana orang semangat untuk shalat malam maka shalatlah. Nanti ada suatu masa di mana orang itu futur dan malas dan hal ini bisa menimpa siapa saja. Maka ketika dimasa malas seperti ini kuncinya adalah jangan ia sampai meninggalkan yang wajib, jangan sampai ia meninggalkannya. Mungkin di masa malasnya ini ia meninggalkan shalat malam nya atau meninggalkan shalat rawatibnya atau mungkin saja ia meninggalkan puasa sunah akan tetapi orang yang seperti ini di mana masa malasnya ia tetap mempertahankan yang wajib-wajib maka suatu saat ia akan kembali mampu melakukan yang sunah-sunah. Oleh karena itu memang setiap orang ada masa semangatnya dan ada masa malasnya.
Nabi juga bersabda :
إنَّ الإيمانَ لَيَخْلَقُ في جَوْفِ أحدِكُمْ كَما يَخلَقُ الثّوبُ ، فاسْألُوا اللهَ تعالَى : أنْ يُجَدِّدَ الإيمانَ في قُلوبِكمْ
الراوي : عبدالله بن عمرو | المحدث : الألباني | المصدر : صحيح الجامع
الصفحة أو الرقم: 1590 | خلاصة حكم المحدث : صحيح
الإيمانُ يَزيدُ بالطاعاتِ ويَنْقُصُ بالمَعاصي، وعلى المُؤمِنِ أنْ يَحرِصَ على تجديدِ إيمانِه وزِيادتِه، كما يُرشِدُ إليه هذا الحديثُ، حيثُ يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: “إنَّ الإيمانَ لَيَخْلَقُ في جَوْفِ أحدِكم”، أي: يَبْلَى ويَضْعُفُ في قَلْبِ المُسْلِمِ، ويكونُ ذلك بسَببِ الفُتور في العِبادةِ أو ارتكابِ المعاصي وانغِماسِ النَّفسِ في بَعضِ شَهواتِها، “كما يَخْلَقُ الثَّوبُ”، أي: مِثْلَ الثَّوْبِ الجَديدِ الذي يَبْلى بطُولِ استخدامِهِ؛ “فاسْأَلوا اللهَ تعالى” بالدُّعاءِ والأعْمالِ الصَّالحةِ والقِيامِ بالفرائضِ وأعمال التطوُّعِ التي تَعمُرُ القَلبَ بالإيمانِ، والصَّدقاتِ والنفقةِ على المحتاجِينَ، والتَّفكُّرِ في آياتِ اللهِ الشرعيَّةِ والكونيَّةِ، وكَثرةِ الذِّكرِ والاستفغارِ ولُزومِ مَجالِسِ الذِّكرِ والعِلمِ، كما في الأثَرِ الذي ذَكَره ابنُ أبي شَيبةَ عن مُعاذِ بنِ جبلٍ رضِيَ اللهُ عنه، قال: «اجلسْ بنا نُؤمِنْ ساعةً»، يعني: نَذكُر اللهَ، “أنْ يُجَدِّدَ الإيمانَ في قُلوبِكم”، وتجديدُ الإيمانِ أنْ يعودَ إلى ما كان عليه ويَزيدَ، حَتَّى لَا يكونَ في القُلوب وَلَهٌ لغَيرِهِ وَلَا رَغْبَةٌ فِي سواهُ.
Hal ini sebagaimana telah saya telah singgung di awal dan Imam Muslim meriwayatkan tentang kisah Hanzhalah Al-Usayyidiy dan beliau termasuk di antara para penulis wahyu, pernah suatu hari beliau bertemu dengan Abu Bakar dan beliau berkata,
نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَا تَقُولُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَوَاللهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ، حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «وَمَا ذَاكَ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ، عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا كَثِيرًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً» ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Hanzhalah telah terjatuh kepada kemunafikan” lalu Abu Bakar berkata, “Subhanallah, apakah itu yang engkau katakan?” lalu Hanzhalah melanjutkan, “Jikalau kita bersama Rasulullah ﷺ di mana beliau mengingatkan kita akan surga dan neraka seakan-akan seperti di hadapan mata, namun ketika kita pulang dari majelis Rasulullah ﷺ dan kita bertemu dengan istri-istri kita, anak-anak kita dan kebun-kebun maka kita akan lupa banyak hal (di majelis). Lalu Abu Bakar pun berkata, “ Demi Allah, sesungguhnya aku pun mendapati hal seperti itu, maka kami pun pergi dan masuk menemui Rasulullah ﷺ lalu aku (Hanzhalah) berkata, “Hanzhalah telah terjatuh kepada kemunafikan, wahai Rasulullah” lalu Rasulullah ﷺ pun bertanya, “Mengapa demikian?” aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ketika kami di majlis engkau dan engkau mengingatkan kami akan surga dan neraka maka seakan-akan seperti ada di hadapan mata , namun ketika kami bertemu dengan istri-istri kami, anak-anak kami dan kebun-kebun maka kita akan lupa banyak hal (di majlis). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Zat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya keadaan kalian terus menerus sebagaimana keadaan kalian ketika di sisiku dan dalam keadaan mengingat Allah niscaya malaikat akan berjabat tangan dengan kalian di tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian, akan tetapi ada saatnya wahai Hanzhalah” Nabi ﷺ mengulanginya tiga kali. ([3])
Oleh karena itu futur pasti dialami oleh setiap orang, bahkan juga dialami oleh para sahabat Nabi ﷺ, namun bagaimana cara yang dilakukan hamba jika mengalami futur tersebut. Nabi ﷺ memang mengatakan ada saatnya kita semangat dan ada saatnya kita bercanda, ada saatnya kita bersama keluarga dan ada saatnya kita rileks. Akan tetapi hendaknya tidak begitu seterusnya dan harus ada saatnya kita semangat kembali. Dan problem ini pasti dialami oleh kita semua, namun yang berbahaya adalah jika futur tersebut berkepanjangan maka inilah yang menjadi masalah besar, yakni ketika di masa futur kita tidak berada di atas Sunah dan melewatinya dengan cara yang salah. Di antara tanda-tanda seseorang menghadapi futur dengan cara yang salah adalah ketika hati hamba menjadi keras dan jika hati menjadi keras maka kita akan sulit terenyuh dan sulit untuk menangis ketika mendengarkan bacaan Quran maka ini tandanya bahwa hati kita sedang bermasalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Utsman bin Affan,
لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُكُمْ مَا شَبِعْتْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزّْ وَجَلَّ
“Jika hati kalian bersih niscaya kalian tidak akan merasa kenyang dengan Kalam Allah” ([4])
Namun kita sendiri merasakan bahwa hanya dengan membaca satu halaman atau dua halaman namun sudah malas. Bahkan kita seakan membaca dengan penuh rasa berat padahal itu merupakan asupan dan obat bagi hati kita agar menjadi tenteram. Akan tetapi kenyataannya hati kita keras sehingga berat untuk membaca ayat-ayat Allah.
Di antara tanda-tanda futur adalah merasa berat untuk melakukan ibadah secara umum, ingin shalat dhuha namun terasa berat, terlebih lagi shalat malam padahal sudah meletakkan alarm namun kita matikan alarm tersebut dan terasa berat untuk shalat malam maka ini sudah tertimpa futur dan dihadapi dengan cara yang salah sehingga malas beribadah. Apapun yang ingin dilakukan menjadi malas, ingin puasa sunah namun terasa malas, ingin shalat malam malas, ingin shalat dhuha malas, ingin sedekah namun ragu-ragu dan rasa malas tersebut dihadapi dengan cara yang salah sehingga muncullah “taswif”, ini adalah istilah dalam Bahasa Arab yakni mengundur-undur ibadah, nanti saja saya beribadah. Ingin baca Al-Quran lalu ia undur nanti, jikalau yang lain ingin bersedekah lalu ia bilang nanti saya akan beribadah dan selalu menunda-nunda amalan saleh dan itu menunjukkan bahwa hati kita sedang bermasalah.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kita akan membahas alasan mengapa kita futur dan bagaimana cara kita mengatasi futur tersebut. Sebelumnya ada beberapa kaidah yang perlu kita ketahui terkait futur :
Pertama, manusia pasti terjerumus ke dalam maksiat, bedanya hanyalah orang tersebut banyak bermaksiat atau sedikit bermaksiat namun ini adalah sesuatu yang pasti, oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda,
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti akan melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang-orang yang bertobat”. ([5])
Beliau ﷺ juga bersabda,
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا
“Istiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu”, siapapun orangnya maka tidak akan mampu karena kita bukan para Nabi maka sekeras apapun kita berusaha untuk beriman dan taat namun pasti suatu saat akan terjerumus kepada maksiat hanya yang berbeda adalah tingkat banyak dan sedikitnya. Jika seseorang sesekali terjerumus kepada maksiat lalu ia kembali lagi maka ini insya Allah merupakan orang yang baik. Adapun jika seseorang terlalu banya terjerumus kepada maksiat maka ini tidak baik, karena setiap manusia pastilah ia melakukan kesalahan, inilah yang pertama.
Kedua, kita harus sadar bahwasanya hati ini sangatlah mudah untuk berubah-ubah, sebagaimana dikatakan dalam pepatah Bahasa Arab:
سُمِّيَ الْقَلْبُ قَلْبًا لِتَقَلُّبِهِ
“Hati dinamakan ‘Qalb’ karena ia mudah terbolak-balik”, terkadang begini terkadang begitu dan kita bisa merasakan hal tersebut. Adakalanya kita ikhlas dan adakalanya kita riya’, terkadang kita sabar dan terkadang tidak sabar, terkadang kita husnuzhan terkadang kita suuzhan, terkadang kita memaafkan terkadang kita dendam, betapa sering hati ini berubah-ubah. Bahkan di pagi hari kita ikhlas namun sore harinya kita riya’, atau di pagi harinya kita memaafkan namun di sore harinya kita mendendam. Memang betapa seringnya hati ini berubah-ubah, Nabi ﷺ bersabda,
لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَسْرَعُ تَقَلُّبًا مِنَ الْقِدْرِ إِذَا اسْتَجْمَعَتْ غَلَيَانًا
“Sungguh hati anak Adam lebih cepat terbolak-balik daripada panci yang bergoyang karena mendidih”. ([6])
Maka ketika kita telah mengetahui bahwa hati ini mudah untuk berubah-ubah maka kita ketahui bahwasanya hati itu mudah untuk futur, hari ini semangat besok sudah malas, minggu ini semangat minggu depan sudah futur maka ini adalah berbahaya. Hal ini juga merupakan isyarat bahwa kondisi hati memang bisa berubah-ubah. Oleh karena itu janganlah seseorang terlalu percaya diri akan kondisi hatinya pada saat ini, karena ia bisa saja berubah pada kondisi yang lain dan hendaknya seseorang senantiasa memperhatikan hatinya.
Di antara kaidah yang agung dalam Aqidah Ahlussunah bahwasanya
الإِيْمَانُ يَزِيْدُ وَيَنقُصُ
“Iman itu bisa naik dan bisa turun”, oleh karena itu tidak ada orang yang imannya senantiasa stabil dan lurus kecuali para malaikat dan para nabi. Adapun manusia biasa terkadang imannya naik dan terkadang imannya turun. Iman itu bisa naik dengan ketaatan dan bisa turun dengan kemaksiatan sehingga orang yang terjerumus dalam banyak kemaksiatan maka imannya akan terus menurun dan menurun, jika imannya telah menurun maka ia akan tertimpa futur yang luar biasa. Rasa malas akan dialami orang yang banyak maksiat apakah maksiat yang ia lakukan dengan pendengarannya ataukah maksiat yang ia lakukan dengan penglihatannya ataukah maksiat yang ia lakukan dengan lisannya akan tetapi kita semua merasakan bahwasanya iman terkadang naik dan terkadang turun. Oleh karena itu ketika iman sedang turun maka kita harus waspada dan jangan biarkan iman tersebut terus turun dan enjoy dengan kemaksiatan tersebut, inilah poin-poin yang harus diketahui sehingga kita mengetahui bahwa seseorang itu amat mudah untuk terjatuh kepada futur.
Adapun cara yang harus ditempuh agar mengurangi futur dan kalaulah kita tertimpa futur maka kita akan bisa segera memperbaiki diri:
Pertama, beramal saleh sesuai dengan kemampuan dan jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga nantinya akan berhenti beramal, akan tetapi hendaknya beramal sedikit dan semampunya namun berkesinambungan karena jika seseorang beramal dengan berkesinambungan maka ia akan terhindar dari futur. Hal ini banyak terjadi, seperti orang yang baru berhijrah lalu ia terlalu bersemangat namun akhirnya terjungkal, tidak berapa lama kemudian ia tidak lagi beramal, beberapa tahun kemudian dia tidak pernah terlihat lagi, beberapa tahun kemudian tidak terdengar lagi ia berdakwah, beberapa tahun lagi kita tidak dengar lagi ia bersedekah, beberapa tahun lagi ia tidak terlihat lagi di majelis-majelis ilmu. Hal tersebut dikarenakan ia bersemangat terlalu berlebihan namun imannya belum bisa sinkron dengan semangat dan amalnya, semangatnya tinggi namun akhirnya mogok tiba-tiba, oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَلَّ
“Lakukanlah dari amalan yang kalian mampu untuk melakukannya, demi Allah, Allah tidak akan bosan (menerima amal) hingga kalian sendiri yang bosan. Sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang berkesinambungan walaupun sedikit”. ([7])
Kiranya kita semua di sini tidak akan bisa membaca Al-Quran sebanyak 7 juz tiap hari atau 5 juz tiap harinya dan kenyataannya keadaan kita tidak sebagaimana anak-anak di pondok pesantren. Adapun di pesantren maka itu wajar, adapun kita masing-masing banyak memiliki kegiatan, bapak-bapak sekalian maupun ibu-ibu sekalian maka ada kesibukan dan pekerjaan lainnya. Maka seandainya ada seseorang yang hanya bisa membaca setengah juz tiap harinya maka silakan lakukan tidak mengapa dan jangan dipaksakan bahwasanya saya harus membaca tiga juz tiap harinya. Lalu ia baca tiga juz tersebut tiap harinya namun akhirnya ia berhenti di tempat dan tidak melanjutkan bacaan Al-Quran nya lalu ia beralih membaca hal-hal lainnya yang tidak berguna dan yang seperti ini banyak terjadi.
Dalam suatu hadits disebutkan,
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ، فَقَالَ: مَا هَذَا الحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
Nabi ﷺ pernah masuk ke masjid pada suatu hari lalu beliau melihat ada tali yang terbentang antara tiang masjid dengan tiang masjid lainnya. Lalu Nabi ﷺ bertanya: “Tali apakah ini?” lalu dijawab: “Ini adalah tali milik Zainab, jika ia lelah (dalam shalatnya) maka ia berpegang dengan tali tersebut” lalu Nabi ﷺ bersabda, ”Janganlah seperti itu, lepaskan tali tersebut dan hendaknya tiap orang shalat sesuai keadaan semangatnya, jika ia lelah hendaknya ia shalat dalam keadaan duduk”. ([8])
Maka hendaknya seseorang tidak memaksakan dirinya, ini adalah shalat sunah yang diizinkan untuk shalat dalam keadaan duduk maka jika seseorang lelah maka hendaknya ia duduk dan jangan memaksakan diri sampai bergantung kepada tali. Oleh karena itu ketika ada orang yang datang kepada Nabi ﷺ dan mereka semua bercita-cita ingin beramal yang banyak, mereka berkata,
قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: “أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي”
Salah seorang mereka berkata, “Adapun saya ingin shalat malam selamanya dan tidak tidur”. Yang lainnya berkata:” Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak berbuka”. Yang lainnya berkata, “Aku akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya”. Lalu datanglah Rasulullah ﷺ dan bersabda, “Kalian yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur dan aku menikahi wanita, barangsiapa yang benci dengan Sunahku maka bukan bagian dari (golongan)ku”. ([9])
Maka Nabi ﷺ dalam hadits memberikan contoh ibadah yang baik yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Adapun biografi para Sahabat dan para Salafus Shaleh dimana ibadah mereka begitu kuat dan begitu hebat maka mereka adalah orang-orang dengan tingkat keimanan yang sudah tinggi maka kita tidak akan bisa langsung meniru mereka. Namun bisa kita mencontoh mereka perlahan demi perlahan, dan perlu tahapan untuk sampai tingkat tersebut. Misalnya saja ada Sahabat yang shalat di dalam shalatnya tersebut ia bisa membaca 30 juz maka kita tidak bisa seperti ini dalam kondisi iman yang masih lemah. Islam adalah agama yang logis dan bisa mengatur porsinya masing-masing. Oleh karena itu dalam hadits yang masyhur tentang kisah antara sahabat Abu Darda dan Salman Al-Farisiy maka ketika Salman datang dan Abu Darda tidak sedang berada di rumal dan dilihat oleh Salman bahwasanya istri Abu Darda tidak rapi maka Salman bertanya kemanakah suamimu? Lalu Ummu Darda menjawab, “Sesungguhnya saudaramu Abu Darda tidak memiliki hajat terhadap dunia”. Lalu Abu Darda pun datang dan membuatkan makanan untuk Salman dan Abu Darda sedang puasa maka Salman berkata, “Saya tidak akan makan hingga engkau makan” lalu Abu Darda menjawab, “Sesungguhnya aku berpuasa” maka Salman kembali berkata: “Berbukalah” dan akhirnya mereka pun makan bersama. Lalu di malam hari ternyata Abu Darda bangun di sepertiga awal malam ingin shalat malam, lalu kata Salman, “Tidurlah dahulu” lalu di pertengahan malam Abu Darda kembali bangun, lalu kata Salman, “Tidurlah”. Maka ketika sampai pada sepertiga malam yang akhir lalu Salman berkata, “Bangunlah shalat sekarang” lalu mereka berdua pun shalat lalu Salman menasihati Abu Darda dan berkata,
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “صَدَقَ سَلْمَانُ”
“Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atas dirimu, engkau pun memiliki hak atas dirimu, tamumu pun memiliki hak atas dirimu, istrimu memiliki hak atas dirimu maka berikanlah masing-masing haknya” lalu Abu Darda mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut lalu Nabi ﷺ bersabda: “Salman telah berkata benar”([10]).
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa jika kita beribadah maka kita harus melihat porsinya juga agar amalan tersebut bisa berlanjut secara kontinyu karena jika terlalu berat maka tidak akan mampu dan tidak bisa berlanjut. Oleh karena itu hendaknya kita memberikan porsi ibadah yang sesuai dengan kemampuan kita walaupun sedikit demi sedikit. Apakah itu dalam shalat dalam sedekah atau dalam amalan apapun. Adapun orang yang memaksakan misalnya dengan cara shalat dhuha delapan rakaat, barangkali ia bisa melakukannya selama seminggu namun pada minggu kedua ia mulai lelah sehingga satu rakaat dhuha pun tidak ia lakukan, mengapa ini bisa terjadi karena ia tidak kuat beribadah seperti itu. Orang lain misalnya yang berkeinginan sedekah 5 juta tiap harinya maka tidak lama kemudian ia akan berhenti dan tidak melanjutkannya. Nabi ﷺ tidak memerintahkan yang seperti ini, yang beliau perintahkan,
عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ
“Lakukanlah yang kalian mampu dari amalan-amalan”. ([11])
Jika kita telah terbiasa dan sudah terlatih dan telah sinkron antara iman dan amalan maka tidak mengapa untuk menaikkan kuantitas dan kualitas dari amalan tersebut. Mari kita lihat bagaimana Salafus Shalih ibadah mereka luar biasa, seperti Abbad bin Bisyr yang terkena anak panah di kakinya dan mengeluarkan darah ketika shalatnya namun ia tetap melanjutkan shalatnya. Lalu datang anak panah kedua namun ia tetap melanjutkan shalatnya. Kemudian datang lagi anak panah yang ketiga namun ia tidak bergeming dan melanjutkan shalatnya, lalu ia ditanyakan mengapa ia tidak memutus shalatnya maka ia pun menjawab bahwa ia tengah membaca Surat Al-Kahfi dan tidak ingin memutus shalatnya. Maka keadaan kita tidak sama dengan mereka, kita bisa terganggu hanya dengan seekor semut. Oleh karena itu seseorang jika ingin sampai derajat yang tinggi namun harus melalui tahapan-tahapannya dan jika seseorang tidak melalui tahapan akhirnya akan sering futur. Orang yang baru hijrah lalu ia membuat kajian di rumahnya setiap hari, ternyata ia dapati ini hukumnya haram, yang itu juga haram, ternyata haram semua maka ia akan futur setelah itu dan berpikiran bahwa kajian membuat hidup susah. Jalan-jalan tidak boleh, membeli ini pun tidak boleh maka akan bubar kajian tersebut dan ia akan tertimpa futur karena iman kita belum kuat oleh karena itu kita harus perlahan dan bertahap dalam menempuhnya. Jika seseorang terlalu bersemangat maka akan demikian namun perlu diketahui bahwa ini bukanlah anjuran untuk bermalas-malasan akan tetapi hendaknya perlahan dan semua ditempuh sesuai tahapan-tahapannya agar tidak berhenti. Oleh karena itu agar kita tidak futur hendaknya beribadah sesuai dengan kemampuan. Jika kita melihat orang lain yang giat beribadah maka kita jangan dengki kepada orang tersebut akan tetapi doakan orang tersebut dengan kebaikan dan mengakui bahwasanya kita belum bisa sampai pada tingkat tersebut, walaupun kita sangat ingin seperti orang tersebut. Jangan kita terlalu bersemangat dan ingin seperti orang lain namun akhirnya futur dan terputus di tengah jalan.
Nabi ﷺ pernah bersabda,
“هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ” قَالَهَا ثَلَاثًا
“Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan”, Nabi ﷺ mengucapkannya tiga kali. ([12])
Kedua : “التعاهد بالإيمان” yakni memperhatikan kondisi iman kita. Abu Darda h berkata,
إِنَّ مِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَتَعَاهَدَ إِيمَانَهُ وَمَا نَقَصَ مِنْهُ، وَمِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَمُزْدَادٌ هُوَ أَمْ مُنْتَقِصٌ، وَإِنَّ مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ أَنْ يَعْلَمَ نَزَغَاتِ الشَّيْطَانِ أَنَّى تَأْتِيهِ
“Sesungguhnya di antara tanda kefaqihan seseorang ia memperhatikan kondisi imannya ketika berkurang, dan di antara tanda kefaqihan seseorang ia mengetahui ketika imannya sedang naik dan ketika sedang berkurang, dan di antara tanda kefaqihan seseorang ia mengetahui kapan godaan setan datang kepadanya”. ([13])
Ini sangat penting untuk diketahui oleh seorang hamba kapan imannya sedang naik dan kapan imannya sedang turun sehingga ia bisa mengendalikan hal tersebut. Contoh ia datang ke pengajian lalu ia merasakan imannya sedang naik maka itu bagus dan dapat merasakannya. Di kali yang lain ia pergi bersama teman-temannya lalu merasakan imannya turun maka hal itu adalah tidak baik perbuatan tersebut. Bahkan sebagaimana dalam riwayat tersebut hamba yang memiliki kefaqihan ketika ia mengetahui kapan godaan setan datang dan dari arah mana ia menggoda dan dari sisi mana iman tersebut turun. Sebenarnya Allah telah memberitahukan hal tersebut akan tetapi kita sering mengindahkannya.
Suatu hari di Melbourne ada seseorang yang bertanya dan ia pernah diundang untuk berbuka puasa bersama teman-temannya dan teman-temannya tersebut dahulu mereka biasa mabuk-mabukan. Biasanya setelah berbuka puasa mereka juga akan melanjutkan dengan mabuk-mabukan, lalu ia bertanya kepada seorang ustadz dan orang ini sebenarnya sudah menyadari hal tersebut bahwa jika ia datang ke tempat teman-teman tersebut maka ia akan ikut mabuk bersama mereka.
Seseorang apabila mengetahui jika ia pergi ke suatu tempat maka imannya akan turun maka janganlah ia pergi ke tempat tersebut. Seseorang jika mengetahui jika ia bertemu dengan si Fulanah maka akan terjatuh kepada yang haram maka jangan ia bertemu dengannya. Maka bisa mengetahui kapan saatnya setan menggoda merupakan tanda-tanda kefaqihan seseorang. Setan adalah makhluk yang cerdas dan ia mengetahui cara menggoda manusia, ia mengetahui bahwa Fulan bisa digoda dari jalan ini, ia pun mengetahui bahwa Fulanah bisa digoda dari jalan itu, Ibu itu bisa digoda dari jalan yang lain, sedangkan Ibu yang ini bisa digoda dari jalan yang lainnya, setan benar-benar mengetahui seseorang bisa digoda dari jalan apa sehingga ia pun menggoda dari jalan tersebut. Demikian pula lelaki ada yang digoda dengan wanita ia tidak bisa namun ia tergoda dengan jabatan. Orang yang lain ada yang digoda dengan jabatan dan uang haram maka ia tidak akan tergoda namun ia tergoda dengan wanita dan bertekuk lutut, setan sudah mengetahui hal tersebut dan telah berpengalaman dalam hal ini.
Oleh karena itu kita semua terutama yang baru hijrah hendaknya waspada karena setan tidak suka dengan hijrahnya hamba dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah namun setan tidak akan putus asa. Ia akan berusaha untuk mengembalikan kita kepada masa lalu kita, oleh karena itu jika kita mengetahui ada hal-hal yang bisa mengembalikan kita kepada masa lalu yang buruk tersebut maka kita harus waspada karena iman kita lemah dan kita tidak ingin jika hidayah yang Allah berikan tersebut menjadi hilang dan terjatuh kepada kegelapan di masa lalu. Sebagian orang jika ia membuka sosial media maka imannya turun maka janganlah ia terjun kepada hal tersebut, seperti orang yang dahulunya memiliki teman lawan jenis dan masing-masing telah menikah namun tetap berusaha mencari tahu kabar tentang teman lawan jenis tersebut atau ia membaca akun-akun orang lain yang akhirnya bisa membuat iman menjadi turun, maka semua hal ini yang bisa membuat iman menjadi turun maka janganlah sekali-kali kita mencobanya dan jikalau kita terjerumus ke dalamnya maka hendaknya ia segera untuk beristigfar. Oleh karena itu sangat penting bagi seseorang untuk mengetahui kapan imannya naik dan kapan imannya turun dan dari mana ia terjatuh digoda setan. Sebagian orang digoda dari suatu godaan ia bisa sabar namun tidak sabar jika dihadapkan dengan godaan musik sehingga ia menggerakkan kepalanya dan bersenandung.
Ketiga : Memilih teman yang benar. Hal ini sering saya ingatkan karena teman bisa mengubah mindset seseorang, teman juga bisa mengubah pola hidup seseorang, teman bisa mengubah cara berbicara kita, orang yang tadinya tawadhu’ bisa menjadi sombong, begitu pula sebaliknya orang yang tadinya sombong bisa menjadi tawadhu’. Teman yang baik bisa mengubah orang yang tadinya pelit menjadi dermawan, sebaliknya orang yang tadinya dermawan bisa menjadi pelit dengan pengaruh temannya, maka teman ini sangat penting untuk dipilah-pilih. Memiliki banyak teman dan kenal dengan banyak orang hal tersebut tidaklah mengapa namun untuk memilih menjadi sahabat maka kita harus pilah-pilih, tidak semua orang kita jadikan sebagai sahabat dekat kita. Kita harus memiliki filter dan kita harus memiliki sifat selektif karena teman itu sangat mempengaruhi pola pikir kita, oleh karena itu kita harus waspada. Ada orang yang bergaul dengan orang-orang kaya padahal ia miskin maka suatu saat ia akan terpengaruh dan gaya bicaranya tinggi sebagaimana orang-orang kaya padahal ia miskin dan ini terjadi, hal ini adalah gara-gara salah dalam pergaulan. Adakalanya orang kaya yang bergaul dengan orang-orang miskin nan sederhana maka orang ini bisa turun kesombongannya. Di antara penyesalan yang diucapkan oleh orang-orang yang masuk neraka Jahanam adalah penyesalan karena salah dalam bergaul, Allah ﷻ berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا * يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا * لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Hari dimana orang yang zhalim menggigit kedua tangannya (sebagai bentuk penyesalan), ia berkata, Seandainya saja aku mengambil jalan bersama Rasul. Celakalah aku karena telah menjadikan Fulan sebagai teman dekat, sungguh ia telah menyesatkanku dari mengingat Allah. Ia telah menyesatkanku dari peringatan setelah datang kepadaku dan syetan memang meninggalkan manusia (setelah tersesat)” (QS.Al-Furqan:25-28)
Maka ada golongan manusia yang seperti ini yang senantiasa dalam keadaan lalai, seperti orang yang begitu kecanduan dengan sepak bola yang hari-harinya hanya dihabiskan untuk itu dan membicarakan itu dan ia tidak pernah berhenti dari hal tersebut dan waktunya habis untuk itu. Begitu pula ibu-ibu yang hari-harinya hanya membicarakan tentang fashion, meskipun kita memiliki banyak uang namun tidak sepatutnya kita senantiasa sibuk dengan hal tersebut. Oleh karena itu jangan sampai kita salah bergaul sehingga menyebabkan kita berubah. Orang yang bergaul dengan orang-orang yang suka ghibah maka ia pun akan menjadi demikian. Persahabatan akan menghasilkan sinkronisasi sebagaimana dikatakan dalam perumpamaan,
الصَّاحِبُ سَاحِبٌ
“Seorang sahabat itu bisa menarik”, jika sahabat tersebut tidak berubah menjadi seperti kita maka kita yang akan berubah menjadi seperti dia, pasti terjadi sinkronisasi antara sahabat dan penyesuaian dan adaptasi antara mereka, maka kita harus hati-hati agar tidak salah dalam bergaul. Oleh karena itu Nabi ﷺ dahulu diperintahkan untuk bergaul dengan orang-orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Sabarkanlah dirimu (wahai Muhammad) bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka pada waktu pagi dan petang yang mereka mengharapkan wajah Allah dan janganlah engkau palingkan penglihatanmu dari mereka karena engkau mengharapkan perhiasan dunia…” (QS Al-Kahfi:28)
Oleh karena itu hendaknya kita bergaul dengan orang-orang yang mengingatkan akan akhirat. Tidak mengapa jika kita bergaul dengan orang-orang dari golongan menengah ke atas, namun hendaknya juga kita bergaul dengan orang-orang miskin agar kita bisa menyeimbangkan diri kita dan tidak lupa diri bahwa dunia ini tidak selama-lamanya. Jangan kita lupa bahwa dunia ini akan pergi dan dengan bergaul dengan orang-orang miskin maka kita akan bersyukur dan ingat akhirat serta ingat kepada Allah dan perlu diingat agar berhati-hati dalam bergaul. Oleh karena itu bagi orang-orang yang baru berhijrah hendaknya ia berhati-hati terhadap komunitas lamanya yang dahulu, sebagaimana dalam kisah orang yang membunuh sembilan puluh sembilan nyawa lalu ia bertanya kepada ahli ibadah dan bertanya apakah bisa bertobat lalu dijawab bahwa tidak ada tobat baginya dan akhirnya ahli ibadah tersebut pun dibunuh sehingga lengkap ia telah membunuh seratus nyawa. Lalu ia bertanya lagi dan ditunjukkan kepada seorang ahli ilmu lalu bertanya apakah ia bisa bertobat lalu dijawab bahwa ia masih bisa bertobat maka dijawab oleh sang alim bahwa si pembunuh masih bisa bertobat namun sang alim mengarahkan kepadanya agar ia meninggalkan kampungnya menuju kampung yang berisi orang-orang baik agar bisa beribadah di sana. Ketika di tengah jalan ternyata ia keburu meninggal lalu datanglah malaikat rahmat dan malaikat azab untuk mengambil jiwa si pembunuh tersebut dan diukur ternyata ia lebih dekat kepada negeri tujuan ia hijrah dan ia pun dimasukkan ke dalam surga([14]).
Hadits tersebut merupakan isyarat bahwa orang yang benar-benar bertobat dan berhijrah maka hendaknya meninggalkan komunitas yang lama. Adapun orang yang berhijrah namun masih bergaul dengan teman-teman lamanya yang suka joget atau teman-temannya yang suka bernyanyi atau teman-temannya ketika hidup glamor maka akan sulit baginya untuk bertobat. Suatu saat ia bisa kembali lagi kepada kehidupan lamanya, dan orang-orang yang tengah berhijrah ia sungguh dalam pantauan setan agar kembali disesatkan. Oleh karena itu orang-orang yang hijrah hendaknya ia serius dan ia mencari teman-teman yang baru yang baik dalam bergaul dan menemaninya beribadah yang berada dalam kebaikan dengan izin Allah ia akan mendapatkan kenikmatan yang lebih daripada yang ia rasakan ketika bermaksiat. Adapun orang-orang yang masih ragu dalam hijrahnya dan masih bergaul dengan teman-teman lamanya maka ia bisa saja kembali lagi. Jika ada yang bertanya apakah harus putus sama sekali dengan teman-teman lamanya tersebut maka ia tidak perlu memutus total hubungan tersebut namun hanya bergaul sekedarnya saja maka itu tetap diperbolehkan. Namun jika mereka mengganggu dan mengajak kepada maksiat maka kita harus meninggalkan mereka karena Allah ﷻ. Jika tidak maka suatu saat kita akan kembali lagi kepada kehidupan lama.
Ada sebagian orang yang sebelumnya berada dalam dunia artis dan dalam dunia ketenaran. Lalu ia hijrah maka orang seperti ini adakalanya ia berpikir untuk kembali ke dunia lamanya dimana ia menjadi terkenal dan disanjung oleh orang banyak, maka yang seperti ini harus dibuang ke belakang jika ingin benar-benar hijrah. Adapun jika seseorang hijrah namun ia tetap masih ingin tampil dan disanjung oleh orang banyak maka hijrah yang seperti ini masih kurang sempurna. Jikalau kita ingin kelezatan dalam bersahabat dan kelezatan dalam hijrah maka hendaknya tinggalkan itu semua. Sungguh amat disayangkan jika ada sebagian orang yang ia telah hijrah namun masih terngiang-ngiang dengan ketenaran, adakalanya ia tetap tampil apakah ia sendiri atau dengan istrinya maka kita cukup bersedih atas hal tersebut. Oleh karena itu seseorang jika ia telah hijrah maka ia haruslah hijrah dengan serius, cukup mengucapkan salam kepada teman-teman lamanya maka itu tidaklah mengapa akan tetapi hendaknya jangan menjalin hubungan terlalu intens dengan mereka, karena hati hamba lemah dan seseorang rawan untuk kembali lagi. Suatu ketika ada seseorang yang ia telah meninggalkan dunia musik lalu ada yang mengatakan bahwasanya hukum musik itu adalah boleh, bagaimanakah ini? Maka hendaknya janganlah kembali lagi karena seseorang yang tadinya telah dijauhkan dari musik hakikatnya ia telah berada dalam kenikmatan dengan mendengarkan Al-Quran dan majelis-majelis ilmu lalu ternyata ingin dirusak lagi dengan kembali lagi karena untuk membersihkan diri dari musik itu teramat sulit. Adakalanya seorang Ustadz yang dahulu ia mendengarkan musik jika ia mendengarkannya adakalanya ia menikmati karena sulitnya untuk berlepas diri dari racun tersebut, oleh karena itu kita harus serius dari hijrah ini agar terhindar dari futur.
Keempat : Jangan meremehkan dosa-dosa kecil, seorang penyair pernah berkata,
خَــــــلِّ الذُّنُــــــوْبَ كَبِـــــــــيْرَهَـــــــــــا وَصَغِــــــــــــــيْرَهَـــــــــــــــــا ذَاكَ التُّـــــــــــــقَى* وَاحْـــــــــــــــــــذَرْ كَــــــــــمَاشٍ فَــوْقَ أَرْضِ شَــــــــــــــــوْقٍ يَــــــــــحْذَرُ مَــــــــــــــــا يَرَى
لَا تَــــــــــــحْقِــــــــــــرَنَّ صَـــــــــــــغِيْرَةً إنَّ الْجِــــــــــــــــــبَالَ مِــــــــــــنَ الْحَـــــــــــــصَى*…..
“Tinggalkanlah semua dosa-dosa baik dosa besar maupun dosa kecil itulah ketakawaan*Dan waspadalah sebagaimana orang yang berjalan pada daerah yang berduri dimana ia waspada akan yang ia lihat.
Janganlah engkau meremehkan dosa kecil karena sesungguhnya gunung itu terdiri dari kerikil-kerikil*….”
Oleh karena itu seseorang hendaknya waspada adakalanya seseorang itu futur karena ia terjerumus terlebih dahulu ke dalam dosa-dosa kecil. Misalnya saja mengumbar pandangan secara hukum syar’i itu adalah dosa kecil namun orang yang sering mengumbar pandangan maka suatu saat ia akan terbiasa, jika ia telah terbiasa dengan dosa kecil tersebut maka akan timbul kemalasan pada dirinya. Contoh lainnya seseorang yang suka menonton bioskop maka pada hal tersebut terdapat dosa walaupun memang dosa kecil, jika ini terbiasakan maka akan membias pada hati kita karena di dalamnya ada wanita yang cantik jelita, ada juga lelaki yang tampan akhirnya ia membandingkan dengan suaminya dan suami pun membandingkan wanita dengan istrinya lalu menimpali bahwasanya filmnya bagus karena memang artis-artisnya cantik dan rupawan maka ini adalah dosa kecil namun terbias dalam hati yang bisa menimbulkan futur dan kemalasan. Seorang Salaf pernah berkata: “Aku terhalangi dari shalat malam karena dosa yang pernah aku kerjakan”([15]). Begitu pula keadaan kita yang malas untuk shalat malam, juga malas untuk membaca Al-Quran hal ini semua karena hati kita telah dimasuki oleh maksiat-maksiat walaupun itu memang dosa-dosa kecil, oleh karena itu seseorang jika belum bisa meninggalkannya paling tidak ia harus menguranginya sedikit demi sedikit. Kalaulah ia belum bisa meninggalkannya hendaknya ia tetap terus mengucapkan istighfar, “Astagfirullah…astaghfirullah….”. Saya sampaikan hal ini karena dahulu saya pun pernah mengalami hal ini, dahulu pun saya masih bermain musik namun tidak bisa meninggalkannya sekaligus dan berat sekali untuk meninggalkannya, akan tetapi dilalui secara bertahap karena telah terlanjur merasuk ke dalam hati. Akan tetapi tetap saya berusaha terus-menerus untuk meninggalkan sehingga bisa meninggalkannya secara total akan tetapi betapa sering setan itu menggoda. Adakalanya di dalam mimpi saya bermain gitar, adakalanya setan datang sembari mengingatkan lirik-liriknya, ternyata masih hafal. Meninggalkan maksiat tersebut secara total memang tidak mudah jika kita hendak bicara secara realistis, barangkali di antara hadirin ada yang masih bergelimang dengan dosanya maka harus berusaha untuk meninggalkan, jika belum bisa meninggalkan secara total paling tidak harus ada keinginan untuk meninggalkan hal tersebut karena jika tidak demikian maka kita akan mengalami futur yang semakin berat dan kemalasan yang bertambah parah karena kita bergelimang dengan dosa-dosa tersebut walaupun itu dosa-dosa kecil. Kita tidak berbicara tentang dosa-dosa besar seperti zina, minum khamar dan semacamnya akan tetapi ini tentang dosa-dosa kecil dan kenyataannya ia memiliki pengaruh terhadap hati seorang hamba dan kepada ibadah seorang hamba dan ini adalah hal yang pasti tidak dapat tidak. Maka ini adalah hal-hal yang bisa membantu kita agar terhindar dari futur dan jika kita terjerumus maka kita lagi-lagi perbanyak istigfar dengan mengucapkan: “Astaghfirullah….Astaghfirullah…” karena memang betapa sering kita lalai dan terjerumus kepada maksiat namun jika kita meminta ampun kepada Allah niscaya Dia akan menerima tobat kita.
Kelima : Jangan membuang-buang waktu. Nabi ﷺ telah mengingatkan dalam haditsnya,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
“Ada dua nikmat di mana banyak manusia tertipu dalam kedua nikmat tersebut: nikmat sehat dan waktu luang”. ([16])
Waktu ini sudah sepatutnya untuk kita manfaatkan sebaik-baiknya mumpung kita masih sehat. Maksud dari memanfaatkan waktu bukan maksudnya kita harus senantiasa shalat, zikir dan ibadah-ibadah, bukan demikian namun hendaknya waktu kita jangan sampai terbuang-buang, kita bersenang-senang dengan pasangan atau dengan anak-anak atau dengan orang tua atau dengan teman-teman yang baik dalam rangka mendekatkan tali ukhuwah maka itu adalah bagus yang intinya semua waktu tersebut bermanfaat, apakah diisi dengan baca Al-Quran atau membuatkan makanan untuk suami atau mengarahkan pembantu dan tetangga kita, intinya waktu tersebut tidak terbuang, ini adalah di antara hal yang membuat kita tidak futur. Oleh karena perlu ditekankan bahwa ibadah tidak hanya berkutat pada shalat, baca Al-Quran dan semacamnya akan tetapi senyum dengan suami, mengurus anak-anak, mengunjungi orang tua, menanyakan kabar-kabar kerabat sungguh amat banyak kegiatan manfaat yang bisa kita kerjakan. Jika kita ingin membaca Al-Quran dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore niscaya kita tidak akan mampu untuk melakukannya, yang bisa melakukan hal-hal seperti ini hanyalah malaikat, sebagaimana Allah sifati ibadah mereka:
يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
“Mereka senantiasa bertasbih malam dan siang tanpa futur sedikitpun”. (QS Al-Anbiya ayat 20)
Pada ayat yang lain Allah ﷻ juga menyebutkan bahwa mereka tidak pernah bosan dalam ibadah, Allah berfirman:
فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْأَمُونَ
“…Maka malaikat-malaikat yang berada di sisi Rabbmu senantiasa bertasbih pada malam dan pagi hari tanpa pernah bosan” (QS Fushilat ayat 38).
Oleh karena jika kita tertimpa dengan kebosanan maka hendaknya diisi dengan kegiatan yang lain intinya merupakan hal yang bermanfaat karena hal ini bisa membantu kita untuk melawan futur. Sebagian orang bingung waktunya terlalu banyak dan ia ingin menghabiskan waktunya akhir ia mengisinya dengan maksiat atau hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya sementara waktu terus berjalan dan umur semakin berkurang, wajah semakin keriput dan seterusnya. Oleh karenanya janganlah kita membuang-buang waktu.
Keenam : Memiliki rutinitas harian yang tidak ditinggalkan apapun yang terjadi. Kita tidak perlu menentukan banyak perbuatan namun yang terpenting adalah jangan kita sampai meninggalkan rutinitas harian tersebut. Misalnya zikir pagi-petang maka kita harus tentukan bahwa zikir pagi-petang ini tidak boleh ditinggalkan, barangkali ada yang mengeluh bahwa suatu ketika saya lupa hingga magrib belum zikir maka tidak mengapa hendaknya ia tetap membaca zikir pagi-petang terebut. Adakalanya seseorang tertidur setelah Subuh sehingga belum zikir pagi-petang ternyata sudah jam 7 pagi maka tidak mengapa baginya untuk membaca zikir pagi-petang, walaupun memang seharusnya zikir pagi dibaca setelah Subuh sebelum terbit matahari namun tidak mengapa untuk meng-qadha zikir pagi tersebut setelah terbit matahari, begitu pula zikir petang sepatutnya dibaca pada waktu setelah Asar sebelum waktu Magrib namun jika terlupa maka tidak mengapa untuk membaca zikir tersebut setelah matahari terbenam karena ini merupakan wirid harian yang sepatutnya tidak kita tinggalkan. Kita harus memiliki target dalam membaca Al-Quran misalnya targetkan saja satu halaman setiap hari tidak perlu banyak-banyak langsung target satu juz atau dua juz atau sampai membuat grup baca berjuz-juz. Intinya buatlah target sendiri yang harus dibaca setiap hari dan dicek setiap hari. Misal yang lain membuat target satu lembar mushaf untuk dibaca, jikalau ini tidak bisa maka ini sungguh mengecewakan karena nyatanya kita sanggup membaca bacaan di internet berjam-jam, bolak-balik melihat barang-barang dagangan kita kuat maka sungguh disayangkan jika kita tidak mampu membaca satu lembar mushaf. Jikalau sedang haid maka tidak mengapa untuk membaca Al-Quran dengan syarat tidak menyentuhnya karena dalam membaca Al-Quran tersebut terdapat ketenangan dan ketenteraman. Setiap hari Jumat jangan lupa untuk membaca Surat Al-Kahfi karena dalam riwayat disebutkan:
إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Sesungguhnya barang siapa yang membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jumat maka ia akan disinari cahaya selama jarak dua Jumat”. ([17])
Tidak perlu banyak ibadah namun kita lakukan sebisanya, shalat malam pun tidak perlu banyak rakaat setidaknya satu rakaat jika bisa namun yang terpenting adalah rutin dilakukan seraya mendoakan orang tua dan anak-anak kita.
Ketujuh : Banyak berdoa kepada Allah agar kita dikokohkan hatinya dalam istiqamah dan di antara doa yang paling bagus adalah yang diajarkan oleh Nabi ﷺ,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, kuatkanlah hatiku di atas agamamu”. ([18])
Selain itu doa yang paling agung adalah doa dalam shalat kita,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Berilah kami petunjuk kepada jalan yang lurus”.( QS Al-Fatihah:5).
Doa ini merupakan doa yang paling agung bahkan shalat kita tidak sah jika tidak membacanya hanya saja banyak di antara kita ketika membacanya tidak merenungkannya, inilah yang menjadi masalah. Maksud dari ayat ini adalah “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada jalan yang lurus dan jika aku telah berada di jalan yang lurus maka kokohkanlah aku di atasnya” inilah maksud inti dari ayat tersebut. Akan tetapi sering kali kita membaca ayat ini hanya sekedar lewat begitu saja, bahkan mungkin saja kita untuk membacanya ketika sedang pergi ke pasar karena kita telah sangat menghafal ayat ini, namun mari kita terus mengingat bahwasanya jika kita mengucapkan,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Maka hendaknya kita serius dalam merenungkan maknanya dalam rangka meminta petunjuk kepada Allah ﷻ.
Diantara doa
للهم إني أعوذ بك من العجز والكسل
اللهُمَّ فَإِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ، وَالْهَرَمِ، وَالْمَأْثَمِ، وَالْمَغْرَمِ
Kedelapan : Untuk menghilangkan kemalasan jangan lupa dzikir pagi petang dan juga dzikir sebelum tidur.
Kesembilan : mengingat kematian
Kesepuluh : membaca fadoil a’mal
Sekian saja semoga Allah merahmati kita semua dan menganugerahkan istiqamah hingga bertemu dengan Allah dan bisa dimasukkan ke dalam surga-Nya. Jika kita mendapatkan kawan kita jatuh dalam kesalahan maka hendaknya diingatkan dan didatangi untuk dinasihati dengan baik bukan dengan cara menjatuhkan, mohon maaf atas segala kekurangan dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua.
Footnote:
__________
([1]) HR Ahmad no 22378 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Arnauth.
([2]) HR Ahmad no 6764 dan Syaikh Al-Arnauth: shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.
([4]) HR Ahmad dalam Fadha`il Shahabat no 775 dan Hilyatul- Awliya: 7/ 300.
([5]) HR Ad-Darimi no 2769 dan Ibnu Majah no 4251 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
([6]) HR Ahmad no 23816 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Arnauth dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunah no 385 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dan ini adalah lafazh Ibnu Abi ‘Ashim.
([11]) HR Al-Bukhari no 5861 dan Muslim no 782, dan ini adalah lafaz Muslim.
([13]) Syarah Ushul I’tiqad Ahlis-Sunah karya Imam Al-Lalakaiy no 1710.
([15]) Ini adalah perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri:
حُرِمْتُ قِيَامَ اللَّيْلِ خَمْسَةَ أشْهُرٍ بِذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ
“Aku tertahan dari qiyamul-lail selama lima bulan karena dosa yang aku lakukan”(Ihya-Ulumid-Din: 1/362)
([17]) HR Al-Hakim no 3392 dan beliau berkata, sanadnya shahih namun tidak diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim namun Imam Adz-Dzahabi mengomentari, Nu’aim memiliki riwayat-riwayat munkar. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Sa’ide bin Manshur dalam Sunan mereka secara mauquf”, An-Nasa`i meriwayatkan secara marfu’ dan mauquf lalu berkata: “Riwayat mauquf lebih shahih”, dan riwayat ini pun memiliki syahid dari riwayat Ibnu Umar dalam Tafsir Mardawaih (At-Talkhishul-Habir 2/ 175).
([18]) HR Ahmad no 12107 dan At-Tirmidzi No. 2140 dan Imam At-Tirmidzi berkata, hadits hasan, dan Syaikh Al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad berkata, “Sanadnya kuat sesuai syarat Imam Muslim”.