Cinta Dunia Takut Mati
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang suatu penyakit yang sangat berbahaya, yaitu penyakit al-wahn. Apa itu al-wahn? Secara umum al-wahn artinya adalah kelemahan. Namun, apakah makna al-wahn secara syariat? Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan,
حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Cinta dunia dan takut mati.”[1]
Penyakit al–wahn ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya yang shahih, dari Tsauban, ia berkata,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Hampir-hampir umat-umat (kafir) menyeru untuk menguasai kalian (umat Islam) sebagaimana mereka memperebutkan makanan yang berada di dalam piring’. Seorang laki-laki berkata, ‘Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Sungguh, benar-benar Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian al-wahn’. Seseorang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu al-wahn?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati.”[2]
Pada hadits ini, Nabi Muhammad ﷺ mengumpamakan kaum muslimin kelak terlihat seperti santapan oleh orang-orang kafir. Kaum muslimin seperti memiliki sesuatu yang di mana orang-orang kafir menjadi ingin berebut mengambil hal tersebut, dari sisi mana saja yang mereka kehendaki.
Apakah kondisi ini telah terjadi atau belum? Sebagian ulama memandang bahwa hal ini telah terjadi, bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi satu kali, namun bisa berulang-ulang. Di antara kisah yang disebutkan oleh para ulama sebagai contoh adalah kisah kaum Tar-tar, kisah runtuhnya Andalusia, dan bahkan sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang ini di mana orang-orang kafir sudah terlihat mulai menguasai kaum muslimin. Mungkin kita melihat bahwa kondisi-kondisi tersebut tidak sama persis, namun kita katakan bahwa hadits tersebut bisa saja sudah terjadi atau belum terjadi.
Kemudian, para sahabat dalam hadits ini yang mendengar sabda Nabi Muhammad ﷺ, mereka bertanya tentang apakah jumlah kaum muslimin ketika itu sedikit atau banyak. Ternyata, Nabi Muhammad ﷺ menepis hal tersebut, jumlah kaum muslimin saat itu ternyata lebih banyak, hanya saja kaum muslimin seperti buih di lautan yang banyak namun tidak bisa berbuat apa-apa, sangat mudah diatur dan sangat mudah untuk dihancurkan. Kemudian, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwasanya rasa takut orang-orang kafir terhadap kaum muslimin akan hilang, padahal seharusnya orang-orang kafir itu gentar terhadap kaum muslimin[3]. Ternyata, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan sebab lain yang menyebabkan kaum muslimin akan diserang dan didominasi oleh orang kafir, yaitu karena cinta dunia dan takut mati telah menguasai hati kaum muslimin.
Hadits yang telah kita sebutkan di atas semisal dengan hadits lain, di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli secara cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, rida dengan bercocok tanam,[4] dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.”[5]
Dari sini, menjadi semakin jelas bagi kita bahwa di antara penyakit hati yang berbahaya, yang menyebabkan lemahnya kaum muslimin sehingga mudah dikuasai oleh orang-orang kafir adalah al-wahn, yaitu sikap cinta dunia dan takut akan kematian.
Maka dari itu, kita akan membahas tentang mana dari rasa takut yang boleh dan tidak boleh terkait kematian, dan mana berharap yang boleh dan tidak boleh terkait kematian. Hal ini perlu untuk kita ketahui karena takut akan kematian merupakan suatu hal yang merupakan wajar. Namun, ada pembahasan di mana seseorang boleh atau tidak boleh takut dengan kematian, dan pembahasan di mana seseorang boleh atau tidak boleh berharap dengan kematian.
Takut Mati
Takut akan kematian, sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa ada yang boleh dan ada yang tidak boleh.
- Yang dibolehkan
Sebagaimana telah kita singgung, takut mati adalah sesuatu yang wajar. Namun, takut terhadap kematian yang dibolehkan adalah sebagaimana yang datang dalam hadits, di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda kepada Aisyah i,
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ أَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ؟ فَكُلُّنَا نَكْرَهُ الْمَوْتَ، فَقَالَ: لَيْسَ كَذَلِكِ، وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ، أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، فَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَسَخَطِهِ، كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ
“Barang siapa senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya. Barang siapa yang benci berjumpa dengan Allah, maka Allah pun benci berjumpa dengannya.” Lalu aku (Aisyah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah itu maksudnya juga benci kepada kematian, padahal setiap kita membenci (takut) kematian?’ Beliau bersabda, ‘Bukan begitu, tetapi seorang mukmin apabila telah diberi kabar gembira dengan rahmat dan ampunan Allah, ia senang berjumpa dengan Allah dan Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan sesungguhnya orang kafir apabila telah diberi kabar dengan siksa Allah dan marah-Nya, maka ia benci berjumpa dengan Allah dan Allah pun benci berjumpa dengannya’.”[6]
Hadits ini menjelaskan bahwa takut mati adalah sesuatu yang wajar. Jangankan kematian, sakit pun tidak ada di antara kita yang menginginkannya. Oleh karenanya, takut terhadap kematian adalah sesuatu yang wajar dan tidak tercela, karena Aisyah i sendiri mengatakan bahwa ia takut dengan kematian, namun Nabi Muhammad ﷺ tidak mengingkarinya.
- Yang tidak dibolehkan
Takut mati yang tidak dibolehkan adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban h yang telah kita sebutkan, yaitu al-wahn ‘cinta dunia dan takut mati’. Para ulama menyamakan antara takut mati dengan cinta dunia. Sebab kecintaan seseorang yang berlebihan terhadap dunia, tidak ingin kenikmatan dunia beserta kelezatannya hilang, sehingga dia takut untuk mati. Inilah rasa takut terhadap kematian yang tidak diperbolehkan.
Dari sini kita juga bisa mengetahui bahwa tidak takut mati karena tidak cinta dengan dunia adalah suatu perkara yang terpuji. Jika seseorang tidak ingin mati karena cinta kepada akhirat, sehingga ia pun suka dan ingin banyak beramal saleh, maka sangat dianjurkan, karena yang dilarang adalah tidak ingin mati karena cinta kepada dunia.
Pertanyaan terbesar dari kedua penjelasan di atas adalah, ketakutan kita saat ini terhadap kematian itu didasari karena apa? Apakah karena takut tabi’i (yang wajar) atau karena takut yang disebabkan terlalu cinta dengan dunia? Inilah kemudian yang harus kita tanyakan pada diri kita masing-masing.
Kapan meminta kematian dianjurkan dan tidak dianjurkan?
Keinginan untuk mati (meninggal) bisa dua kemungkinan, yaitu dianjurkan dan tidak dianjurkan. Kapan hal tersebut berlaku? Maka pembahasannya sebagai berikut:
- Dianjurkan meminta kematian
Ada dua kondisi di mana seseorang dianjurkan untuk meminta untuk segera diwafatkan, yaitu jika takut fitnah menimpa agama dan jika ingin mati syahid.
Pertama: Jika takut fitnah menimpa agamanya
Jika seseorang takut fitnah menimpa agamanya, maka ia boleh untuk meminta kematian. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam doa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ المُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ المَسَاكِينِ، وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu hamba-hamba-Mu, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu.”[7]
Demikian pula seperti yang diucapkan oleh Maryam,
﴿يٰلَيۡتَنِي مِتُّ قَبۡلَ هَذَا وَكُنتُ نَسۡيًا مَّنسِيًّا﴾
“Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi orang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Para ulama menafsirkan perkataan Maryam ini merupakan bentuk bolehnya meminta kematian karena khawatir fitnah akan menimpa agamanya.[8] Maryam adalah seorang wanita salihah yang ketika itu sedang mengandung tanpa suami, maka ia khawatir terkena fitnah sehingga akhirnya mengucapkan perkataan ini.
Hal ini juga seperti yang dialami oleh Imam al-Bukhari ﷺ. Ketika beliau dituduh oleh masyarakat Naisabur bahwa beliau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia pun berdoa kepada Allah ﷻ meminta kematian karena ingin selamat dari fitnah agama tersebut, dan Allah ﷻ pun mengabulkan doanya, dan ia pun meninggal dunia.
Kedua: Jika ingin mati syahid
Seseorang yang ingin mati karena mati syahid, maka hal ini dianjurkan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barang siapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan.”[9]
Nabi Muhammad ﷺ juga telah bersabda,
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ، بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur.”[10]
Dua dalil ini menunjukkan bahwasanya meminta kematian karena ingin mati syahid adalah hal yang dianjurkan dari Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karenanya, dahulu banyak dari para sahabat yang meminta untuk mati syahid. Di antaranya seperti Umar bin Khattab h, di mana ia berdoa,
اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ، وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ya Allah berilah aku mati syahid dijalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu ﷺ.”[11]
Akhirnya Umar bin Khattab h pun meninggal karena di bunuh dan mati di kota Madinah. Demikian pula seperti salah seorang sahabat Akhram al-Asadiy h ketika perang Dzi Qard, ketika itu Salamah al-Akwa’ h memegang tali kekang kudanya seraya mengingatkannya untuk berhati-hati terbunuh oleh musuh, maka Akhram h pun berkata,
يَا سَلَمَةُ، إِنْ كُنْتَ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتَعْلَمُ أَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، فَلَا تَحُلْ بَيْنِي وَبَيْنَ الشَّهَادَةِ
“Wahai Salamah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kiamat, serta kamu yakin bahwa surga dan neraka itu sesuatu yang benar, maka janganlah kamu menghalangiku untuk memperoleh syahid.”
Maka benar saja, Akhram h pun kemudian mati syahid.[12]
Demikian pula kisah Abdullah bin Jahsy h, di mana ia berdoa agar ia bertemu dengan musuh yang paling beringas sehingga mengoyak tubuhnya dan menebas hidung dan telinganya. Benar saja bahwa Abdullah bin Jahsy h pun kemudian mati syahid dalam perang Uhud.[13]
Demikian pula seperti sahabat Anas bin Nadhr h, di mana ia sampai berkata,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَجِدُ رِيحَ الْجَنَّةِ دُونَ أُحُدٍ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, telah kudapatkan bau surga dikaki gunung Uhud.”
Lalu ia pun menyerang habis-habisan sampai terbunuh.[14]
Demikian pula kisah seorang sahabat ketika dimotivasi oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk bersegera menuju surga Allah ﷻ yang luasnya seluas langit dan bumi. Sahabat itu, ketika itu sedang memegang kurma, maka ia pun membuang sisa kurma yang ia pegang, dan ia pun maju ke medan pertempuran, hingga akhirnya ia pun syahid.[15]
- Tidak dianjurkan meminta kematian
Seseorang tidak dianjurkan untuk ingin segera meninggal atau meminta kematian apabila sebabnya dikarenakan ia tidak sabar dengan kesulitan dunia. Secara kasat mata, hal ini mirip dengan bentuk putus asa. Oleh karenanya, dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ
“Janganlah salah seorang dari kalian berangan-angan untuk mati karena musibah (penderitaan) yang menimpanya.”[16]
Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang lain bahwasanya apabila seseorang telah meninggal dunia, maka amalannya akan terputus[17], sehingga peluang untuk ia meraih tabungan pahala yang banyak di akhirat semakin berkurang. Maka, jangan kemudian seseorang berharap meninggal karena musibah atau penderitaan yang dialaminya, karena bisa jadi dengan dia masih hidup maka akan semakin bertambah amal kebajikannya, dan Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”[18]
Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, seseorang tidak diperbolehkan untuk meminta kematian. Bukankah kita memiliki cita-cita yang banyak? Bukankah kita masih ingin memiliki pahala yang banyak? Lihatlah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Thalhah bin Ubadillah h, di mana ia bermimpi melihat orang yang meninggal tidak dengan mati syahid lebih dahulu masuk surga daripada orang yang mati syahid. Ketika ia menanyakan perihal mimpinya kepada Rasulullah ﷺ, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,
مِنْ أَيِّ ذَلِكَ تَعْجَبُونَ؟ أَلَيْسَ قَدْ مَكَثَ هَذَا بَعْدَهُ سَنَةً؟ وَأَدْرَكَ رَمَضَانَ فَصَامَ، وَصَلَّى كَذَا وَكَذَا مِنْ سَجْدَةٍ فِي السَّنَةِ؟ فَمَا بَيْنَهُمَا أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Perkara yang mana yang membuat kalian heran? Bukankah orang ini (meninggal tanpa mati syahid) hidup setahun setelahnya? Bukankah ia mendapatkan bulan Ramadan dan berpuasa? Ia juga telah mengerjakan shalat ini dan itu dengan beberapa sujud dalam setahun? Maka sungguh sangat jauh perbedaan antara keduanya (dalam kebajikan), bagaikan antara langit dan bumi.”[19]
Maka, bisa jadi ketika kita masih hidup kita bisa lebih banyak beramal saleh. Ingatlah, Allah ﷻ mengisyaratkan bahwa banyak dari orang yang hendak meninggal dunia itu masih ingin hidup agar ia bisa kembali bisa beramal.
Namun, jika sekiranya seseorang benar-benar tidak bisa menahan beratnya penderitaannya, dan mengharuskan ia meminta kematian, maka hendaknya ia mencukupkan diri dengan berdoa,
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku, dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.”[20]
Berdoa dengan doa ini dibolehkan, namun sebisa mungkin kita tidak perlu meminta hal tersebut, karena bisa jadi kita bisa mendapatkan pahala yang sangat besar dari musibah yang menimpa kita.
Penyakit al-wahn, cinta dunia dan takut mati
Pembahasan penyakit al-wahn ini, yaitu penyakit cinta dunia sehingga takut akan kematian ini bisa kita bagi menjadi dua pembahasan, yaitu sebab-sebab seseorang bisa cinta dunia dan kiat-kiat agar terhindar dari cinta dunia.
Sebab-sebab cinta dunia
Di antara sebab-sebab seseorang bisa cinta kepada dunia antara lain:
- Terlalu sibuk dengan dunia yang menggiurkan sehingga lalai dari akhirat
Allah ﷻ telah berfirman dalam Al-Qur’an,
﴿أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ﴾
“Bermegah-megah telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takatsur: 1)
Sikap sebagian orang yang berbangga-bangga, saling banyak-banyakan dengan yang lainnya, akhirnya membuatnya lupa dengan akhirat dan menjadi cinta dengan dunia. Nabi Muhammad ﷺ juga pernah bersabda,
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ -وَفِيْ رِوَايَةٍ: مِنْ ذَهَبٍ- لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit (dalam riwayat yang lain: dua bukit emas[21]), niscaya ia akan mencari untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu puas kecuali jika telah dipenuhi dengan tanah, dan Allah menerima tobat siapa saja yang bertaubat.”[22]
Demikianlah, ketika seseorang terlalu sibuk dengan dunia sehingga menjadikannya lalai dengan akhirat, mau tidak mau dunia itu pun akan masuk ke dalam hatinya, karena dunia itu sendiri asalnya adalah manis dan indah[23].
Jangankan berbicara tentang orang yang sejak awal memang niatnya telah dipenuhi dengan dunia, seorang dai pun yang berkecimpung dalam bidang agama, terkadang niat awalnya adalah akhirat, namun ketika dunia telah dibukakan baginya, ia pun terjebak, dan itu sangat mungkin terjadi. Bahkan hal yang seperti ini terjadi pada sebagian sahabat. Bukankah Allah ﷻ telah mengisahkan sebagian para sahabat dalam perang Uhud yang mereka keluar tanpa niat dunia sama sekali? Namun ketika Allah ﷻ tampakkan dunia, ternyata dari sebagian sahabat berubah niatnya kepada dunia. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
﴿وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kalian, ketika kalian membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai. Di antara kalian ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kalian ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kalian dari mereka untuk menguji kalian, dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kalian. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 152)
Kejadian yang terjadi pada para sahabat ini tentunya bukan bahan celaan bagi mereka, karena mereka sendiri telah dimaafkan oleh Allah ﷻ. Justru, kisah tersebut harusnya menjadi pelajaran bagi kita, karena dunia dengan segala perhiasannya bisa menggoda siapa saja, meskipun ia seorang ulama, kiai, dai, dan bahkan orang saleh. Oleh karena itu, hendaknya setiap kita selalu waspada dan selalu berdoa kepada Allah ﷻ agar tidak terjebak dalam fitnah dunia.
Di antara doa yang bisa kita panjatkan adalah sebagaimana doa yang Nabi Muhammad ﷺ ajarkan,
للّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah dalam urusan agama kami, dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai impian terbesar dan tidak pula puncak dari pengetahuan kami.”[24]
Janganlah kita merasa percaya diri bisa selamat dari fitnah dunia ini, jangan merasa kita bisa ikhlas terus, karena sungguh kita sudah banyak melihat orang-orang yang berkecimpung dalam urusan agama pun masih terjebak dengan dunia, di mana mereka saling ribut karena perkara dunia.
- Hidup terlalu mewah
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab h, di mana ia berkata,
إِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ
“Waspadalah dari hidup bermewah-mewahan.”[25]
Kita tentu tidak dilarang untuk hidup dengan senang dan bahagia, namun yang dilarang adalah terus-terusan hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Dengan sikap terus-terusan hidup dalam kesenangan dan kemewahan, maka hati kita bisa menjadi cinta kepada dunia.
Hati kita ini lemah. Ketika kita selalu memakai kendaraan yang paling bagus, selalu memakai pakaian yang paling mahal, selalu inginnya makan di restoran yang mahal, maka mau tidak mau kita akan terbiasa dengan nikmat dunia dan susah untuk meninggalkannya. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ، إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Sesungguhnya kesederhanaan adalah bagian dari iman, kesederhanaan adalah bagian dari iman.”[26]
Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, yang beliau ﷺ pernah berjalan tanpa sendal, beliau ﷺ juga biasa naik unta atau kuda namun lebih sering naik begol atau himar yang merupakan kendaraan paling murah. Nabi Muhammad ﷺ tentu mampu untuk naik kuda atau unta, namun beliau ﷺ sengaja melakukan tersebut agar dunia tidak masuk ke dalam hatinya.
Demikianlah, penulis mengingatkan hal ini kepada kita semua, termasuk diri penulis secara pribadi bahwa ketika kita diberi nikmat oleh Allah ﷻ, bukan berarti kita boleh terus-menerus hidup mewah. Meskipun memiliki uang, sesekali kita hendaknya makan di warung pinggir jalan, sesekali hendaknya naik pesawat atau kereta yang ekonomi, dan yang lainnya. Kita boleh menampakkan nikmat Allah ﷻ yang ada pada diri kita, tapi ingatlah bahwa sebagai seorang muslim kita diperintahkan untuk tawadhu.
Ingatlah bahwa ketika kita terbiasa hidup mewah, maka kematian akan menjadi hal yang berat bagi kita, karena kita akan sedih meninggalkan segala kemewahan kita di dunia. Jika demikian, dunia telah masuk ke dalam hati-hati kita, dan ini merupakan musibah.
- Selalu memandang orang yang di atas
Di antara hal yang menjadikan kita cinta kepada dunia adalah karena terlalu sering melihat orang di atas kita. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda mengingatkan kita,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih baik dan membuat kalian tidak mengufuri nikmat Allah.”[27]
Selalu melihat orang yang lebih daripada kita membuat kita tidak pernah puas atas nikmat Allah ﷻ kepada kita, sehingga kita tidak akan berhenti mengejar dunia. Maka, dengan hadits ini Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada kita untuk melihat ke bawah dalam perkara dunia.
Nasihat ini penulis lebih tekankan kepada para wanita dan para istri pada umumnya. Janganlah kalian terlalu sering melihat orang yang lebih daripada kalian, karena yang demikian akan menjadikan kalian tidak bersyukur atas pemberian suami kalian. Kalian pasti ingin memiliki seperti apa yang dimiliki oleh orang-orang yang lebih kaya daripada kalian. Oleh karenanya, kurangi bergaul dengan orang kaya, karena pergaulan dengan mereka tentu akan memberikan pengaruh pada hati kita. Maka, waspadalah, hidup ini hanya sebentar, jangan biarkan dunia masuk ke dalam hati kita.
Kiat-kiat agar tidak cinta dunia
Di antara kiat-kita agar seseorang tidak cinta dengan dunia antara lain:
- Selalu mengingat kematian
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda tentang orang yang cerdas,
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ
“(yaitu) orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya untuk setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.”[28]
Ketika kita selalu mengingat kematian, maka fokus kita akan selalu ke akhirat dan kita akan mudah ikhlas dalam beramal. Kemudian, orang yang sudah sering mengingat akhirat, maka ia pun akan diberikan sifat qana’ah oleh Allah ﷻ, ia akan semangat beribadah, dan ia akan segera bertaubat ketika berbuat dosa.
- Selalu bermuhasabah
Di antara kiat agar kita tidak cinta dunia adalah dengan sering bermuhasabah, terutama ketika shalat malam. Dari sini, perlu untuk kita menyisihkan sedikit waktu tidur kita untuk shalat malam, lalu bermuhasabah dengan kehidupan kita. Dengan begitu, kita akan sadar bahwa kehidupan kita di dunia hanya sebentar, dan kita akan sadar telah banyak melakukan dosa, sehingga kita pun tidak menjadi cinta dengan dunia.
Tentunya, dari sini kita juga harus sadar bagaimana pentingnya memperbanyak ibadah kepada Allah ﷻ, karena banyak beribadah akan menyadarkan kita dari banyaknya jeratan dunia.
- Selalu meniatkan segala perkara untuk akhirat
Segala perkara yang kita lakukan, hendaknya selalu kita niatkan untuk akhirat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barang siapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barang siapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”[29]
Orang yang selalu meniatkan segala hal di dalam hidupnya untuk Allah ﷻ, maka Allah ﷻ akan menjadikan qana’ah dalam hatinya, menjadikan segala urusannya, dan akan mendatangkan kepadanya dunia. Namun, bagi orang yang niatnya adalah dunia, bahkan mungkin ia membungkus niat dunianya dengan perkara akhirat, maka Allah ﷻ akan mencerai-beraikan urusannya, dan menjadikannya sangat takut dengan yang namanya kefakiran sehingga selalu merasa kurang.
Oleh karena itu, ingatlah bahwa kita semua ini bisa saja dipanggil oleh Allah ﷻ dengan tiba-tiba. Apa yang kita miliki tidak akan bisa menambah umur kita meskipun hanya satu detik. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلَّا لَيُنبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ﴾
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 1-4)
Jangan teperdaya dengan harta kita, jangan teperdaya dengan kesehatan kita, kehidupan dunia ini hanya sebentar saja. Allah ﷻ berfirman,
﴿اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid: 20)
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita semua menjadi hamba-hamba-Nya yang hatinya tidak terpikat dengan dunia, tapi menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih bekal akhirat yang sebanyak-banyaknya.
______
[1] HR. Abu Daud No. 4297, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah No. 5369 dan ash-Shahihah No. 958.
[2] HR. Abu Dadu No. 4297, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah No. 5369 dan ash-Shahihah No. 958.
[3] Hal ini merupakan ciri khusus Nabi Muhammad ﷺ. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
“Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumku; (di antaranya) Aku ditolong dengan rasa takut yang Allah lemparkan kepada musuh-musuhku meskipun perjalanan masih sejauh satu bulan perjalanan.” (HR. Bukhari No. 335)
Hal ini tentunya merupakan bentuk pertolongan yang sangat besar dari Allah ﷻ. Ketika ada rasa gentar di dalam hati musuh terhadap kaum muslimin, tentunya ini menjadi nikmat yang luar biasa, karena ketika seseorang sudah takut, maka ia tentu tidak bisa berbuat apa-apa lagi meskipun segala sebab-sebab kekuatan dimilikinya.
Seharusnya, pertolongan Allah ﷻ ini berlanjut bagi kaum muslimin setelah Nabi Muhammad ﷺ selama mereka masih berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Namun, ketika kaum muslimin meninggalkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan kemaksiatan merajalela, maka kekhususan ini akan dicabut oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, ini menunjukkan bahwa hukum asal adalah orang-orang kafir takut terhadap kaum muslim. Hanya saja, ketika kaum muslimin telah ditimpa penyakit al-wahn, maka Allah ﷻ pun mencabut rasa takut musuh-musuh kaum muslimin dari dalam diri mereka.
[4] Kedua ini merupakan bentuk ungkapan bagi orang yang hanya memikirkan dunia semata.
[5] HR. Abu Daud No. 3462, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 11.
[6] HR. Muslim No. 2684.
[7] HR. At-Tirmidzi No. 3233, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam azh-Zhilal No. 388.
[8] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (5/223).
[9] HR. Muslim No. 1910.
[10] HR. Muslim No. 1909.
[11] HR. Bukhari No. 1890.
[12] HR. Muslim No. 1807.
[13] Lihat: Hilyah al-Auliya’ (1/108).
[14] Lihat: Musnad Imam Ahmad No. 13658, Syu’aib al-Arnauth menyatakan dalam ta’liqnya bahwa sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim.
[15] Lihat: Shahih Muslim No. 1091.
[16] HR. Bukhari No. 6351.
[17] Lihat: Shahih Muslim No. 1631.
[18] HR. At-Tirmidzi No. 2329, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 1836.
[19] HR. Ibnu Majah No. 3925, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
[20] HR. Bukhari No. 6351.
[21] HR. Al-Bazzar no. 4433
[22] HR. Bukhari no. 6463 dan HR. Muslim no. 1048
[23] Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah memperhatikan apa yang kalian kerjakan, karena itu takutlah terhadap dunia dan takutlah terhadap wanita.” (HR. Muslim No. 2742).
[24] HR. At-Tirmidzi No. 3502, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam Takhrij al-Kalam ath-Thayyib (16/225) dan al-Misykah No. 2429.
[25] HR. Muslim No. 2069.
[26] HR. Abu Daud No. 4161, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
[27] HR. Muslim No. 2963.
[28] HR. Ibnu Majah No. 4259, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani.
[29] HR. Ibnu Majah No. 4105, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ash-Shahihah No. 950.