Apakah berkumur wajib ketika mandi junub?
Berkumur-kumur dalam mandi junub hukumnya sunnah muakkadah sehingga jika seseorang meninggalkannya mandinya tetap sah, berkata An-Nawawi:
الْوُضُوءُ وَالْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ سُنَنٌ فِي الْغُسْلِ فَإِنْ تَرَكَ الثَّلَاثَةَ صَحَّ غُسْلُهُ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ فَإِنْ تَرَكَ الْوُضُوءَ وَالْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ فَقَدْ أَسَاءَ وَيَسْتَأْنِفُ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَغَيْرُهُ سَمَّاهُ مُسِيئًا لِتَرْكِ هَذِهِ السُّنَنِ فَإِنَّهَا مُؤَكَّدَةٌ فتاركها مسئ لَا مَحَالَةَ قَالُوا وَهَذِهِ إسَاءَةٌ بِمَعْنَى الْكَرَاهَةِ لَا بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ
“wudhu, madhmadhoh, istinsyaq adalah sunnah-sunnah mandi junub, maka jika seseorang meninggalkan tiga perkara tersebut maka mandinya tetap sah. Berkata Asy-Syafi’i dalam kitab al-Mukhtashar: jika seseorang meninggalkan wudhu, madhmadhoh, dan istinsyaq maka dia telah melakukan perbuatan buruk, dan hendaknya ia mengulangi madhmadhoh dan istinsyaqnya. Berkata Al-Qadhy Husain dan selainnya: beliau menamakannya dengan orang yang telah melakukan perbubatan buruk karena meninggakan sunnah-sunnah ini, karena sesungguhnya ketiganya hukumnya sunnah muakkadah dan orang orang yang meninggalkannya pasti telah melakukan perbuatan buruk. Mereka berkata: dan ini adalah perbuatan buruk yang bermakna makruh bukan haram.” ([1])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 2/197
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, yang sebagian besar telah dibahas dalam masalah berkumur ketika berwudhu. Disebutkan oleh an-Nawawi bahwa terdapat empat pendapat dalam masalah berkumur dalam mandi wajib:
Pertama: madhmadhoh dan istinsyaq keduanya hukumnya sunnah ketika berwudhu maupun mandi. Dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’I, dan dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir dari al-Hasan al-Bashry, Az-Zuhry, al-Hakam, Qotadah, Rabi’ah, Yahya bin Sa’id al-Anshory, Malik, al-Awza’i, al-Laits, dan merupakan riwayat dari ‘Atho dan Ahmad.
Kedua: keduanya wajib ketika berwudhu dan mandi dan merupakan syarat sahnya wadhu dan mandi. Dan ini adalah madzhab Abu Laila, Hammad, Ishaq, dan pendapat yang masyhur dari Ahmad dan riwayat dari Atho.
Ketiga: keduanya wajib ketika berwudhu dan tidak wajib ketika mandi. Dan ini adalah perkataan Abu Hanifah, murid-muridnya, dan Sufyan Ats-Tsauri.
Keempat: istinsyaq wajib ketika berwudhu dan mandi, adapun madhmadahoh tidak wajib. Ini adalah madzhab Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Dawud, dan riwayat imam Ahmad. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir. Al-Majmu’ Syarhul Muhdzdzab 1/363
Salah satu sebab perselisihannya adalah apakah yang berada didalam hidung atau mulut termasuk wajah? Dan ini sudah dijelaskan dalam bab wudhu. Dan juga terdapat beberapa riwayat yang secara khusus membahas berkumur ketika mandi, diantaranya riwayat dari Abu Hurairah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «جَعَلَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ لِلْجُنُبِ ثَلَاثًا فَرِيضَةً».
“sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan madhmadhoh dan istinsyaq tiga kali bagi orang yang junub sebagai sesuatu yang wajib.” HR. Ad-Daruquthny dalam sunannya no. 409, namun dikatakan oleh beliau bahwa ini hadits yang batil, karena hadits ini hanya diriwayatkan oleh Barokah.
Dan juga terdapat riwayat dari Ibnu Abbas ketika ditanya tentang seseorang yang ketika mandi junub lupa untuk madhmadhoh dan istinsyaq kemudian ia shalat, beliaupun menjawab:
«إِنْ كَانَ مِنْ جَنَابَةٍ أَعَادَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ وَاسْتَأْنَفَ الصَّلَاةَ».
“jika disebabkan karena janabah maka baginya untuk mengulang madhmadhoh dan istinsyaq dan mengulangi shalatnya.” HR. Ad-Daruquthny no. 411
Begitu juga terdapat lafaz yang lain dari Ibnu Abbas (mungkin ini salah satu yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah):
«يُعِيدُ فِي الْجَنَابَةِ وَلَا يُعِيدُ فِي الْوُضُوءِ»
“mengulangi untuk janabah dan tidak mengulangi untuk wudhu.” HR. Ad-Daruquthny no. 412
Namun semuanya diriwayatkan oleh Aisyah binti ‘Ajrad, dan dikatakan oleh Ad-Daruquthny bahwasanya tidak bisa berhujjah dengan riwayatnya, beliau berkata:
عَائِشَةُ بِنْتُ عَجْرَدٍ لَا تَقُومُ بِهَا حُجَّةٌ
“Aisyah binti ‘Ajrad tidak bisa tegak hujjah dengannya.” Sunan ad-Daruquthny 1/207