Meneladani Nabi Dalam Berhaji
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarat kedua diterimanya suatu amal sholih adalah mencontohi Nabi shallallahu áliahi wasalllam. Jika dalam ibadah yang lain saja kita harus mencontohi Nabi apalagi dalam ibadah haji yang banyak ritual dalam ibadah haji yang kurang bisa kita cerna dengan baik hikmah dibalik ritual tersebut. Sebagai contoh, kenapa harus thowaf di ka’bah?, kenapa tidak ditempat yang lainnya?, kenapa juga harus dalam bentuk thowaf berputar-putar?, kenapa harus mencium hajar aswad?, kenapa harus 7 putaran, kenapa harus melempar jamroh, kenapa harus 7 batu kerikil?, kenapa harus kerikil kecil?, kenapa lelaki tatkala ihrom tidak boleh menutup kepala?, kenapa wanita tidak boleh bercadar dan memakai kaus tangan tatkala ihrom?, dan masih banyak hal-hal lain yang kita tidak bisa mencerna dengan baik hikmah dibaliknya.
Tatkala Umar bin al-Khottoob mencium hajar aswad beliau berkata kepada hajar aswad:
«أَمَا وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ»
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwasanya engkau hanyalah batu, engkau tidak memberi mudhorot dan juga manfaat. Dan kalau bukan karena aku melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam mengusapmu maka aku tidak akan mengusapmu”(HR Al-Bukhari no 1605 dan Muslim no 1270)
Dalam riwayat yang lain :
وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Kalau bukan karena aku telah melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam menciummu maka aku tidak akan menciummu”(HR Al-Bukhari no 1579)
Ibnu Hajar berkata :
وَفِي قَوْلِ عُمَرَ هَذَا التَّسْلِيمُ لِلشَّارِعِ فِي أُمُورِ الدِّينِ وَحُسْنُ الِاتِّبَاعِ فِيمَا لَمْ يَكْشِفْ عَنْ مَعَانِيهَا وَهُوَ قَاعِدَةٌ عَظِيمَةٌ فِي اتِّبَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَفْعَلُهُ وَلَوْ لَمْ يَعْلَمِ الْحِكْمَةَ فِيهِ
“Pada perkataan Umar tersebut menunjukan pemasrahan/penerimaan secara sempurna terhadap syari’at para perkara-perkara agama, dan sikap yang baik dalam meneladani Nabi pada perkara-perkara yang tidak diketahui maknanya. Dan ini adalah kaidah yang agung dalam meneladani Nabi shallallahu ‘alaih wasallam pada perkara-perakara yang dilakukan oleh Nabi meskipun tidak diketahui apa hikmahnya” (Fathul Baari 3/463)
Oleh karena itu, saat Mu’āwiyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu thawaf, beliau menyentuh 4 rukun seluruhnya. Perbuatan beliau ditegur oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā.
وَكَانَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الأَرْكَانَ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: إِنَّهُ لاَ يُسْتَلَمُ هَذَانِ الرُّكْنَانِ، فَقَالَ: «لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ البَيْتِ مَهْجُورًا»
“Dulu Mu’awiyah mengusap seluruh rukun (sudut), maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menegurnya, “Sesungguhnya tidak ada yang disentuh kecuali dua sudut.” Mu’awiyah berkata, “Tidak ada sesuatu pun dari bagian Ka’bah yang ditinggalkan.” (HR Al-Bukhari no. 1608)
Dalam riwayat Ahmad,
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: صَدَقْتَ
Maka Ibnu Ábbas berkata, “Sungguh bagi kalian ada teladan yang baik pada Rasulullah”. Maka Mu’awiyah berkata صدقتَ “Engkau benar (wahai Ibnu ‘Abbas).” (HR Ahmad no. 1877 dengan sanad yang shahih, lihat Fathul Baari 3/474)
Akhirnya Mu’āwiyah hanya mengusap 2 bagian saja yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad karena dua rukun yang lain (yaitu dua rukun syaamiyain) tidaklah asli. Imam Asy-Syafi’i berkata :
بِأَنَّا لَمْ نَدَّعِ اسْتِلَامَهُمَا هَجْرًا للبيت وَكَيْفَ يَهْجُرُهُ وَهُوَ يَطُوفُ بِهِ وَلَكِنَّا نَتَّبِعُ السُّنَّةَ فِعْلًا أَوْ تَرْكًا وَلَوْ كَانَ تَرْكُ استلامهما هجرا لَهما لَكَانَ تَرْكُ اسْتِلَامِ مَا بَيْنَ الْأَرْكَانِ هَجْرًا لَهَا وَلَا قَائِلَ بِهِ
“Sesungguhnya kami tidaklah mengusap kedua rukun (syaamiyain) bukan karena meninggalkan Ka’bah. Bagaimana seseorang dikatakan meninggalkan ka’bah sementara ia sedang thawaf mengelilingi ka’bah. Akan tetapi kami hanyalah mengikuti Sunnah, baik yang dikerjakan maupun yang ditinggalkan (dan sunnahnya adalah meninggalkan mengusap dua rukun yang lain-pen). Seandainya tidak mengusap dua rukun syaamiyain adalah bentuk meninggalkan kedua rukun, maka tidak mengusap seluruh dinding ka’bah yang ada diantara rukun-rukun tersebut juga merupakan bentuk meninggalkannya, dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian.” (Fathul Baari 3/474-475)
Maka meneladani Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam setiap langkah dan gerakan adalah dituntut, dan tidak boleh ditentang dengan pendapat, analogi, dan qias.
Jabir bin Ábdillah berkata
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمِي عَلَى رَاحِلَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ، وَيَقُولُ: «لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ»
“Aku melihat Nabi shallallahu álaihi wasallam di atas ontanya pada hari Nahar melempar Jamroh dan beliau berkata, “Hendaknya kalian mengambil tata cara manasik kalian, sesungguhnya aku tidak tahu bisa jadi aku tidak lagi berhaji setelah hajiku ini” (HR Muslim no 1297)
An-Nawawi berkata :
وَهَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ عَظِيمٌ فِي مَنَاسِكِ الْحَجِّ وَهُوَ نَحْوُ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَعَلِي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ) فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى تَوْدِيعِهِمْ وَإِعْلَامِهِمْ بِقُرْبِ وَفَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَثِّهِمْ عَلَى الِاعْتِنَاءِ بِالْأَخْذِ عَنْهُ
“Hadits ini adalah landasan yang agung dalam manasik haji, dan ini seperti sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam sholat, “Sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat”. Dan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam, “Bisa jadi aku tidak berhaji lagi setelah hajiku ini”memberi isyarat bahwa beliau menyampaikan perpisahan kepada para sahabat dan pemberitahuan kepada mereka akan dekatnya ajal beliau shallallahu álaihi wasallam dan motivasi beliau terhadap mereka agar perhatian dalam mengambil manasik dari beliau” (al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 9/45).
Jabir bin Ábdillah radhiallahu ánhumaa -yang meriwayatkan hadits terpanjang dan terlengkap tentang tata cara haji Nabi- berkata :
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَثَ تِسْعَ سِنِينَ لَمْ يَحُجَّ، ثُمَّ أَذَّنَ فِي النَّاسِ فِي الْعَاشِرَةِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجٌّ، فَقَدِمَ الْمَدِينَةَ بَشَرٌ كَثِيرٌ، كُلُّهُمْ يَلْتَمِسُ أَنْ يَأْتَمَّ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَعْمَلَ مِثْلَ عَمَلِهِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam menetap (di Madinah) selama 9 tahun dan beliau tidak berhaji. Lalu beliau mengumumkan kepada manusia pada tahun ke 10 bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam akan berhaji. Maka banyak orang yang datang ke Madinah, semuanya ingin mencontohi Rasulullah shallallahu álaih wasallam dan beramal seperti amal beliau”(HR Muslim no 1218)
Maka kitapun berusaha mengikuti para sahabat yang berusaha meneladani Nabi shallallahu áliahi wasallam sebisa mungkin, semaksimal mungkin. Dan hendaknya tidak perlu mengada-ngada dan membuat amalan-amalan yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu álaih wasallam.
Inti dari beribadah adalah menjalankan perintah Allah, dan Allah ingin agar kita beribadah mencontohi ibadah RasulNya, bukan kita beribadah menuruti hasrat kita.
Artikel ini penggalan dari Buku Bekal Haji dan Umrah Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.