Jangan Berdebat Ketika Melaksanakan Haji…!!
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Haji merupakan ibadah yang seringnya dilakukan secara berjamaáh dan berombongan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwasanya yang namanya rombongan adalah kumpulan dari berbagai macam model manusia dengan strata yang berbeda-beda dan tingkat intelektual yang berbeda, demikian juga usia yang berbeda-beda serta pengkontrolan tingkat emosional yang bervariasi. Ini semua merupakan potensi untuk munculnya perbedaan pandangan dan pendapat. Disamping itu perjalanan haji yang berat dan melelahkan serta membutuhkan waktu yang lama juga semakin memperbesar potensi untuk berselisih.
Karenanya Allah menurunkan ayat khusus untuk melarang perdebatan dalam pelaksanaan haji. Allah berfirman :
وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” (QS Al-Baqoroh : 197)
Diantara makna “dilarang berjidal/berdebat” menurut para salaf adalah, “Janganlah engkau mendebat kawanmu hingga membuatnya marah”, “janganlah engkau mengangkat suaramu di hadapan kawanmu”, “janganlah engkau mencaci saudaramu”, “jangan timbulkan permusuhan”, (lihat Tafsir at-Thobari 3/477-482 dan Zaadul Masiir 1/165, dan ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Ábbas, Thowuus, Átoo’, Íkrimah, An-Nakhoí, Qotadah dan Ad-Dhohhaak, dan inilah pendapat mayoritas ulama (lihat al-Majmuu’, An-Nawawi 7/140, yang dipilih oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 3/277)
Bahkan sebagian ulama mengatakan termasuk larangan berdebat dalam permasalahan fikih haji, jika ternyata menimbulkan sengketa (Lihat Tafsir surat al-Baqoroh, al-Útsaimin 2/414). Hal ini karena perdebatan hanyalah menimbulkan keburukan dan permusuhan diantara jamaah haji.
As-Sa’di rahimahullah berkata :
وَالْمَقْصُوْدُ مِنَ الْحَجِّ، الذُّلُّ وَالاِنْكِسَارُ للهِ، وَالتَّقَرُّبُ إِلَيْهِ بِمَا أَمْكَنَ مِنَ الْقُرُبَاتِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُقَارَفَةِ السَّيِّئَاتِ، فَإِنَّهُ بِذَلِكَ يَكُوْنُ مَبْرُوْرًا، وَالْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ، وَهَذِهِ الأَشْيَاءُ وَإِنْ كَانَتْ مَمْنُوْعَةً فِي كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ، فَإِنَّهَا يَتَغَلَّظُ الْمَنْعُ عَنْهَا فِي الْحَجِّ
“Tujuan dari haji adalah merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah, mendekatkan diri kepadaNya semaksimal mungkin dengan kebajikan-kebajikan, serta membersihkan diri dari melakukan hal-hal yang buruk. Dengan demikian maka jadilah haji mabur, dan haji mabrur tidak ada balasan yang setimpal kecuali surga. Meskipun perkara-perkara ini (diantaranya perdebatan) dilarang di setiap tempat dan waktu akan tetapi lebih terlarang lagi tatkala haji” (Taisiir al-Kariim ar-Rahmaan hal 92)
Karenanya seseorang tatkala berhaji -terutama tatkala berihram- hendaknya menjauhkan dirinya dari ego dan keakuan yang merupakan sebab utama berjidal serta berusaha merendahkan dan menghinakan diri dihadapan Allah, diantaranya mengalah karena Allah.
Ingatlah sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“Aku menjamin istana di pinggiran surge bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia yang benar” (HR Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 273)
Meskipun pada umumnya “jamaáh haji Indonesia” terkenal sabar dan tidak emosian dibandingkan jamaáh-jamaáh haji dari manca negara yang lainnya akan tetapi hendaknya tetapi hendaknya para jamaáh haji Indonesia tetap waspada dan selalu menghindarkan diri dari perdebatan. Karena jika telah timbul perdebatan dan permusuhan maka hal ini sangat merusak suasana hati tatkala berhaji. Haji menjadi tidak khusyu’ dan tidak tentram. Apalagi bermusuhan dengan kawan satu rombongan, satu kloter, satu group, satu kamar, terlebih lagi bertengkar dengan istri atau suami.
Orang yang menahan dirinya untuk tidak berdebat, sehingga selamat dari permusuhan dan pertikaian tatkala haji, maka sungguh merupakan tamu Allah yang berakhlak mulia. Jangan sampai seseorang tidak sabar lantas berdebat dan bertikai tatkala haji akhirnya “ke-mabruran” hajinya yang menjadi tumbal, sirna karena emosi sesaat. Semoga Allah senantiasa membimbing para jamaah haji pada akhlak yang mulia. ([1])
([1]) Namun larangan berdebat tatkala haji bukan berarti menghalangi kita untuk menasihati kawan/saudara kita tatkala melakukan kesalahan. Kita tetap boleh menasihati atau meluruskan saudara kita yang salah namun dengan cara yang santun dan berusaha dengan sebisa mungkin tanpa ada perdebatan. Demikian juga kita tetap boleh berdiskusi permasalahan ílmiyyah tentang fikih haji atau yang lainnya, namun dengan santun tanpa harus berdebat dan mengangkat suara.
Allah berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS An-Nahl : 125)
Jika ternyata lawan bicara kita mulai mengangkat suara maka hendaknya kita segera tinggalkan diskusi tersebut demi menjaga “ke-mabruran” haji kita.
Artikel ini penggalan dari Buku Bekal Haji dan Umrah Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.