Ikhlash dalam Haji
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Sesungguhnya ibadah haji yang diterima oleh Allah adalah yang ditunaikan dengan keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi.
Sebesar apapun pengorbanan seseorang dalam beribadah, sebanyak apapun biaya yang telah ia keluarkan, seletih apapun yang ia kerjakan, namun jika tidak dibangun di atas keikhlasan maka ibadahnya tidak akan diterima.
Lihatlah seorang mujahid yang berjuang di jalan Allah, yang telah mengorbankan hartanya, bahkan nyawanya ia korbankan. Namun jika ia tidak berjihad karena Allah maka ia akan disiksa pada hari kiamat kelak.
Maka demikian pula haji. Orang yang berhaji memiliki potensi besar untuk memamerkan ibadah hajinya. Karenanya tatkala Nabi berjahi beliau berkata :
اللَّهُمَّ هَذِهِ حَجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ
“Ya Allah ini adalah haji yang tidak ada riyaa’ padanya dan tidak juga sumáh” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 2617)
Riyaa’yaitu ingin dilihat oleh orang lain, dan sumáh adalah ingin didengar oleh orang lain. Nabi tidak pernah menyatakan ini dalam ibadah-ibadah lain, yang ini adalah isyarat bahwa ibadah haji rawan untuk dipamerkan, rawan untuk terkontaminasi dengan riyaa’dan sumáh. Betapa banyak orang sepulang haji jika tidak dipanggil “Pak Haji”maka iapun marah dan tersinggung.
Berikut ini diantara bentuk-bentuk kegiatan yang bisa merusak keikhlasan seseorang dalam berhaji.
- Berhaji dengan niat “pencitraan”apalagi di musim-musim politik dan pemilu. Sehingga perlu mempersiapkan team suksesi yang siap merekam dan mempublish kegiataannya selama berhaji.
- Berhaji karena malu dibilang oleh tetangga, “Sudah kaya raya, kok tidak haji-haji”, sehingga akhirnya ia berhaji hanya agar tidak dicemooh oleh tetangga
- Berhaji dengan travel yang mahal -dan ini tentunya tidak mengapa- akan tetapi sambil berniat memamerkan kekayaannya dan kesombongannya bisa berhaji dengan travel yang mahal
- Berhaji sambil selfi-an melulu, lalu hasil selfi nya dipublish di medsos, dijadikan sebagai status profile, atau dijadikan foto yang dipajang di ruang tamu.
Semua kegiatan yang rawan bisa mengotori niat seseorang tatkala berhaji hendaknya dijauhi.
Ketahuilah anda tidak mungkin menjadi haji mabrur kecuali jika anda ikhlash kepada Allah, kecuali jika anda berhaji hanya karena mengharap keridhoan dan ampunan Allah.
Nabi bersabda
«مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
“Barangsiapa yang berhaji karena Allāh dan dia tidak melakukan rafats([1]) dan tidak melakukan kemaksiatan tatkala sedang berhaji maka dia akan kembali sebagaimana hari dia dilahirkan dari perut ibunya.” (HR Al-Bukhari No. 1521 dan Muslim No. 1350)
Rasulullah memasang 3 syarat dalam hadits ini untuk meraih haji mabrur, (1) ikhlas karena Allah, (2) tidak melakukan rafats, dan (3) tidak bermaksiat. Perhatikanlah bahwa sayarat pertama adalah “ikhlash”
Bukankah talbiah seorang haji adalah :
لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ
“Yaa Allah aku memenuhi panggilanMu, Ya Allah tidak ada sekutu bagiMu”
Yaitu ia mengikrarkan bahwa tidaklah ia datang berhaji kecuali untuk memenuhi panggilan Allah, tidak ada sekutu bagiNya. Tidak ada niat untuk dipuji, disanjung, diakui, dan dihormati oleh manusia. Maka sungguh merugi seseorang yang telah mengeluarkan biaya yang banyak, meninggalkan pekerjaannya, bahkan meninggalkan keluarganya dan kampung halamannya, berletih-letih di Mina, di padang Arofah, di Muzdalifah, dan al-Masjidil Harom, namun ternyata niatnya bukan karena Allah. Maka semuanya akan sirna, hilang sia-sia, hanya keletihan yang ia dapatkan, dan siksaan mengancamnya di akhirat.
([1]) Rafats yaitu jimak dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Seseorang yang sedang berihram dilarang untuk melakukan jimak dan juga berkata-kata mesra atau melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan rangsangan. Adapun setelah bertahallul dari ihram maka tidak mengapa. Akan datang penjelasannya lebih detail insya Allah.
Artikel ini penggalan dari Buku Bekal Haji dan Umrah Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________