Segeralah Memperoleh Predikat “Tamu Allah”
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Seorang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji maka hendaknya dia segera melaksanakan ibadah haji. Dia berusaha menyempurnakan rukun Islām yang lima.
Sungguh indah seorang yang bertemu dengan Allāh dan ternyata dia telah menyempurnakan rukun Islām yang lima. Dia sudah bersyahadat, dia sudah shalāt, dia sudah zakat, dia sudah puasa dan dia juga sudah berhaji.
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيْضُ وَتَضِلُّ الضَالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ
“Barangsiapa ingin berhaji maka bersegeralah, karena sesungguhnya bisa jadi seorang itu sakit, bisa jadi tunggangannya yang dia gunakan untuk berhaji ternyata hilang (tidak bisa dia gunakan lagi artinya ada halangan), bisa jadi ada kebutuhan yang datang (sehingga dia tidak bisa berhaji).” (HR Ibnu Majah No. 2874 dan dishahihkan oleh Al-Albani namun dilemahkan oleh sebagian ulama)
Maka, seseorang bila sudah mempunyai uang, segera dia daftar, dia berazam kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kalau dia tunda-tunda dia tidak tahu dikemudian hari mungkin dia sakit, mungkin dia meninggal dunia, mungkin dia punya kebutuhan yang lain.
Bisa jadi tiba-tiba dia dihadapkan dengan kondisi-kondisi yang sulit sehingga akhirnya uangnya harus dia gunakan untuk memenuhi kondisi-kondisi tersebut sehingga tidak bisa berhaji. Seseorang tidak tahu apa yang akan datang dan terjadi di esok hari. Maka jika dia memiliki kemampuan hendaknya dia bersegera berhaji memenuhi panggilan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, menjadi tamu-tamu Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Terlebih lagi sebagian daerah di negeri kita daftar tunggunya hingga 20 tahun lebih. Bahkan di sebagian negara Islam daftar tunggunya hingga 40 tahun. Bisa jadi seseorang mendaftar untuk haji, tatkala namanya keluar dia telah lebih dahulu dipanggil Allah. Akan tetapi barangsiapa yang sudah mendaftarkan dirinya semoga ia tetap memperoleh pahala haji, karena dia sudah berusaha.
Memang para ulamā berbeda pendapat tentang apakah kewajiban haji itu kewajiban عَلَى الْفَوْرِ (harus segera dilakukan) ataukah عَلَى التَّرَاخِي (bisa ditunda)?
Jumhūr ulamā berpendapat bahwasanya kewajiban haji itu harus segera, berbeda dengan pendapat ulamā Syāfi’iyah yang mengatakan عَلَى التَّرَاخِي (bisa ditunda) tidak mengapa.
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhūr ulamā bahwasanya kewajiban haji itu harus segera dilakukan. Artinya jika seseorang mampu untuk berhaji telah memiliki kemampuan fisiknya kuat dan uangnya juga ada.
Maka hendaknya dia segera melaksanakan ibadah haji dan dia tidak menunda-nundanya. Karena dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi dikemudian hari -sebagaimana telah disebutkan dalam hadits di atas-.
Lagi pula secara logis bahwasanya namanya perintah harusnya segera kita laksanakan. Oleh karenanya, Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberi hukuman kepada Iblīs tatkala disuruh sujud kepada Ādam dia menolak. Kenapa ?, Karena dia harus segera bersujud kepada Ādam. Tatkala dia menolak untuk segera sujud kepada Adam, maka Allāh tidak memberi kesempatan bagi dia (Iblīs) untuk sujud di lain waktu, maka Allāh menghukum Iblīs yang menolak untuk bersujud kepada Ādam tatkala itu.
Dalam masalah ini ada khilaf diantara para ulamā dalam pembahasan usul fiqih, apakah hukum asal kewajiban -secara umum- itu harus segera dilakukan (sampai ada dalil yang menunjukan boeh ditunda), ataukah hukum asalnya bisa ditunda (sampai ada dalil yang menyatakan harus segera)?
Pendapat yang kuat bahwasanya segala perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla harus segera dilaksanakan kecuali ada dalīl yang menunjukan bahwasanya perintah tersebut memiliki kelonggaran waktu. Namun kalau tidak ada dalīl yang menunjukan kelonggaran waktu maka kembali kepada hukum asal bahwasanya kewajiban harus segera dilakukan, diantaranya adalah ibadah haji.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata, “Kalian berhaji kapan saja boleh,” tidak ada dalīl seperti itu. Kemudian jika seandainya haji boleh ditunda-tunda, maka tidak ada dalil yang menunjukan sejauh mana boleh ditunda?, apakah 10 tahun?, 20 tahun? 30 tahun?, dan ini mengkonsekuensikan jika seseorang tidak melaksanakan haji karena dia berencana 30 tahun berikutnya baru berhaji dan ternyata 10 tahun kemudian dia keburu meninggal maka dia tidak berdosa.!
Yang benar bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala menyuruh haji dan tatkala Allāh menyuruh haji maka seorang harus segera berhaji.
Maksudnya apa? Ini adalah dalīl kalau ada seorang telah memiliki kemampuan fisik maupun uang namun dia menunda-nunda pelaksanaan ibadah haji maka dia berdosa dengan penundaannya tersebut. Maka tidak benar perkataan seorang, “Saya nanti berhaji bila sudah berumur 50 tahun, nanti saja kalau saya sudah pensiun baru saya berhaji,” tidak boleh.
Kalau dia sudah punya uang, sudah punya kemampuan maka langsung dia wajib untuk mendaftar. Kalau dia tidak mendaftar maka penundaannya itu adalah bentuk berdosa kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Lihatlah semangat seorang sahabat wanita Asmaa’ binti ‘Umais yang tatkala berhaji ia melahirkan putranya di Dzulhlaifah yang bernama Muhammad bin Abi Bakar As-Shiddiiq. Tentu dia tahu dia akan melahirkan, dan setelah melahirkan dia akan mengalami kondisi yang berat untuk berhaji, apalagi safar dari Madinah ke Mekah kurang lebih 500 km, dan susahnya merawat sang putra, akan tetapi itu semua tidak menjadikannya untuk menunda hajinya hingga tahun depan !! ([1])
([1]) Haji -menurut pendapat yang kuat- disyari’atkan pada tahun 9 Hijriyah, karena ayat tentang diwajibkannya haji yaitu firman Allah
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Dan wajib bagi manusia untuk berhaji kepada Allāh bagi yang mampu” (QS Ali Imron : 97) turun di ‘aamul wufud (tahun 9 Hijriyyah) yaitu tahun dimana Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerima para tamu, sehingga pada tahun tersebut Nabi memerintahkan Abu Bakar untuk berhaji, sementara Nabi sendiri baru berhaji tahun depannya yaitu tahun 10 Hijriyah. Ada beberapa sebab yang menjadikan nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak berhaji pada tahun 9 Hijriyyah tapi hajinya pada tahun 10 Hijriyyah. Diantaranya :
⑴ Karena banyaknya utusan (wufud/tamu-tamu) datang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pada tahun 9 Hijriyyah, sehingga tahun 9 Hijriyyah dikenal dengan amul wufud (tahun untuk menerima utusan-utusan/tamu-tamu).
Dan banyak kaum Muslimin yang datang dari berbagai penjuru datang menemui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ingin belajar agama. Bahkan ada juga yang mungkin belum Islām ingin mengenal islām.
Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam menetap tahun 9 Hijriyyah tersebut untuk menerima tamu-tamu, untuk mengajarkan islām kepada mereka. Dan tentu Rasūlullāh wajib untuk menyampaikan dakwah untuk mengajarkan islām kepada kaum Muslimin, dan beliau mendahulukan untuk menerima tamu-tamu dan mendahulukan untuk mengajarkan islām atau bahkan ada yang ingin mengenal islām, sehingga Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berhaji pada tahun berikutnya.
⑵ Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ingin kalau beliau berhaji murni untuk kaum Muslimin. Karena jika Nabi berhaji sementara masih ada kaum musyrikin yang berhaji maka bisa jadi terjadi kerancuan, padahal Nabi ingin menjadikan hajinya sebagai teladan. Sehingga beliau berkata, ”Ambillah dariku tata cara manasik haji kalian”. Dan tahun 9 Hijriyyah masih ada orang-orang musyrikin yang berhaji. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak ingin beliau berhaji dengan orang-orang musyrikin (beliau ingin berhaji dengan kaum muslimin saja).
Kita tahu bahwasanya dahulu orang musyrikin berhaji, mereka melakukan kesyirikan dan kebid’ahan, diantaranya talbiyah mereka bermuatan kesyirikan, diantara mereka ada yang thowaf telanjang, dan diantara mereka (kaum Quraisy) wuqufnya di Muzdalifah dan bukan di Arofah. Tentu ini semua bisa mengganggu konsentrasi kaum muslimin untuk murni meneladani Nabi dalam berhaji.
Maka pada tahun 9 Hijriyyah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengutus Abū Bakar Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu untuk berhaji terlebih dahulu untuk memberi pengumuman dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam (yaitu memberi pengumuman kepada penduduk kota Mekkah).
أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Setelah tahun ini tidak boleh lagi ada seorang musyrik yang berhaji (setelah tahun 9 Hijriyyah yaitu tahun 10 Hijriyyah) dan tidak boleh lagi ada orang yang telanjang yang thawāf di Ka’bah.” (HR Al-Bukhari No. 369)
Oleh karenanya setelah ada pengumuman ini, baru tahun berikutnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian berhaji bersama kaum muslimin saja. Ini dalīl yang menguatkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diwajibkan haji pada tahun ke 9 Hijriyyah meskipun Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam baru bisa melaksanakannya pada tahun 10 Hijriyyah
Artikel ini penggalan dari Buku Bekal Haji dan Umrah Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.