يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah ﷻ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Matan
Firman Allah ﷻ:
يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah ﷻ, seperti sangkaan jahiliyah, mereka berkata: “apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, katakanlah: “sungguh urusan itu seluruhnya di Tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154).
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan supaya dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan, dan orang-orang Musyrik laki laki dan orang-orang musyrik perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah, mereka akan mendapat giliran (keburukan) yang amat buruk, dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al Fath: 6).
Ibnul Qayyim dalam menafsirkan ayat yang pertama mengatakan: “Prasangka di sini maksudnya adalah bahwa Allah ﷻ tidak akan memberikan pertolonganNya (kemenangan) kepada Rasul-Nya, dan bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap.”
Dan ditafsirkan pula: “Bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir (ketentuan) dan hikmah (kebijaksanaan) Allah.”
Jadi prasangka di sini ditafsirkan dengan tiga penafsiran:
Pertama: mengingkari adanya hikmah Allah.
Kedua: mengingkari takdir-Nya.
Ketiga: mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah akan disempurnakan dan dimenangkan Allah atas semua agama.
Inilah prasangka buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik yang terdapat dalam surat Al-Fath.
Perbuatan ini disebut dengan prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak layak untuk Allah ﷻ, tidak patut terhadap keagungan dan kebesaran Allah ﷻ, tidak sesuai dengan kebijaksanaanNya, PujiNya, dan janjiNya yang pasti benar.
Oleh karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah ﷻ akan memenangkan kebatilan atas kebenaran, disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau berprasangka bahwa apa yang terjadi ini bukan karena Qadha dan takdir Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam takdir-Nya, yang dengan hikmah-Nya Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira bahwa yang terjadi hanya sekedar kehendak-Nya saja tanpa ada hikmah-Nya, maka inilah prasangka orang orang kafir, yang mana bagi mereka inilah Neraka “Wail”.
Dan kebanyakan manusia melakukan prasangka buruk kepada Allah ﷻ, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri, ataupun dalam hal yang berkenaan dengan orang lain, bahkan tidak ada orang yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang benar-benar mengenal Allah, Asma dan sifat-Nya, dan mengenal kepastian adanya hikmah dan keharusan adanya puji bagi-Nya sebagai konsekwensinya.
Maka orang yang berakal dan yang cinta kepada dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini, dan bertaubatlah kepada Allah, serta memohon maghfirah-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah ﷻ.
Apabila anda selidiki, siapapun orangnya pasti akan anda dapati pada dirinya sikap menyangkal dan mencemoohkan takdir Allah, dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit sangkalannya dan ada juga yang banyak. Dan silahkan periksalah diri anda sendiri, apakah anda bebas dari sikap tersebut?
فَإَنْ تَنْجُ مِنْهَا تَنْجُ مِنْ ذِيْ عَظِيْمَةٍ وَإْلاَّ فَإِنِّيْ لاَ إِخَالَكَ نَاجِيًا
“Jika anda selamat (selamat) dari sikap tersebut, maka anda selamat dari malapetaka yang besar, jika tidak, sungguh aku kira anda tidak akan selamat.”
Syarah:
Pada dua ayat di atas yaitu surat Al-Imron ayat 154 dan surat Al-fath ayat 6 Allah ﷻ menyebutkan tiga penamaan prasangka buruk terhadap Allah ﷻ.
Pertama: prasangka yang tidak benar,
Kedua: prasangka jahiliyah,
Ketiga: prasangka buruk.
Ketiga penamaan ini memiliki makna yang sama yaitu berprasangka kepada Allah dengan persangkaan yang tidak pantas dengan Maha sempurnanya Allah ﷻ. Hal ini dilarang oleh syari’at, kita tidak boleh berperasangka buruk kepada Allah ﷻ dalam segala hal. Dan merupakan bagian dari ibadah adalah berprasangka baik kepada Allah ﷻ.
Pada ayat pertama Allah ﷻ mengatakan bahwa orang munafik berprasangka kepada Allah ﷻ dengan prasangka yang tidak benar. Mereka mengatakan “apakah kami tidak memiliki pengaturan sedikitpun”, maksudnya jika mereka (kaum munafiq) yang mengatur peperangan, maka kaum muslimin tidak akan kalah dalam peperangan (perang uhud). Maka Allah ﷻ menjawab mereka dengan mengatakan bahwa semua keputusan ada di tangan Allah ﷻ.
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan tentang berprasangka buruk kepada Allah ﷻ beliau menjelaskan dengan penjelasan yang sangat panjang yang di nukil oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab tauhid secara singkat. Ibnul Qayyim menjelaskan penjelasan tersebut dalam kitabnya Zaadul ma’aad ketika menyebutkan tentang faedah-faedah dari perang uhud.([1]) Beliau menyebutkan contoh-contoh dari berprasangka buruk kepada Allah ﷻ yang tidak pantas bagi kita untuk melakukan hal-hal tersebut.
Kunci agar seseorang tidak berprasangka buruk kepada Allah ﷻ adalah ia harus meyakini akan Maha sempurnanya Allah ﷻ yaitu Allah ﷻ Maha melihat, Maha mengetahui, Maha mendengar, dan yang lainnya. Dan di antara kesempurnaan Allah ﷻ yang sangat penting untuk diyakini adalah Allah ﷻ Maha hikmah atau bijak. Di dalam Al-Qur’an Allah ﷻ banyak menyebutkan
وَهُوَ العَزِيْزُ الحَكِيْمُ
“Dan Dia Yang Maha perkasa dan Maha bijaksana”([2])
Di antara nama-nama Allah ﷻ adalah الحَكِيْمُ yaitu yang Maha bijak. Tidak mungkin Allah ﷻ menakdirkan sesuatu dalam alam semesta tanpa perhitungan dan tanpa mengetahui tujuan, karena Allah adalah Maha Bijak ([3]) . Seseorang jika telah meyakini hal ini, maka tidak mungkin ia akan berprasangka buruk kepada Allah ﷻ, sebab ia tahu bahwa Allah ﷻ akan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Allah Maha adil dan Maha bijak, jika Allah ﷻ melakukan sesuatu pasti Allah lakukan yang terbaik dan terbenar sebab Allah ﷻ yang mengetahui segalanya.
Terkadang jika terjadi suatu peristiwa kita tidak mengetahui apa hikmah dari peristiwa tersebut. Akan tetapi tetap kita harus meyakini bahwa pasti ada hikmah dibalik peristiwa tersebut, sebab Allah ﷻ adalah Maha bijak, Allah ﷻ memiliki hikmah-hikmah yang tinggi dan sempurna. Oleh karenanya jika kita tidak mengetahui hikmah dari suatu peristiwa, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah ﷻ, karena banyak hal yang kita tidak mengerti, sebab ilmu kita tidak sampai kepada ilmu Allah ﷻ.
Contoh logika yang dapat memberikan pendekatan pemahaman terhadap perbedaan ilmu Allah ﷻ dan ilmu Makhluk. Seorang ayah yang ingin menyunati anaknya yang masih berusia empat tahun, ia akan kesulitan memberikan penjelasan kepada anaknya agar mau di sunat. Jika si ayah menjelaskan kepada anaknya tujuan dan hikmah dari sunat secara ilmiah bahwa sunat itu untuk kesehatan, kemudian sunat itu adalah syari’at islam dan yang lainnya, maka yang terjadi adalah si anak tidak akan mengerti penjelasan tersebut, sebab otak anak belum bisa atau belum sampai untuk bisa memahami hal tersebut. Maka cukup bagi si ayah menjelaskan dengan penjelasan yang sesuai dengan pemahaman anak, misalkan mengatakan kepada si anak, “jika kamu sunat, maka ayah akan memberikan kamu hadiah”. Maka anak akan paham, dan akan menerima untuk di sunat.
Contoh lainnya. Seseorang jika berobat kepada seorang dokter, maka di akhir pemeriksaan ia akan diberikan resep obat oleh dokter yang terkadang tanpa memberikan penjelasan secara detail dari fungsi obat-obat tersebut. Akan tetapi orang tersebut akan tetap menuruti dengan menebus obat-obat tersebut kemudian mengkonsumsinya tanpa memahami dengan jelas fungsi dari obat-obat tersebut. Mengapa demikian? Karena orang ini telah meyakini bahwasanya dokter adalah orang yang pakar dalam bidangnya sehingga ia tidak perlu lagi untuk bertanya tentang fungsi-fungsi dari obat tersebut, bila dijelaskan pun bisa jadi orang ini tidak memahami penjelasan tersebut, sebab otak orang ini tidak bisa atau tidak sampai untuk memahami hal tersebut.
Oleh karenanya jika Allah ﷻ menakdirkan banyak hal, maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.
Bentuk-bentuk berprasangka buruk kepada Allah ﷻ
Disini penulis ingin menyebutkan beberapa contoh dari sikap berprasangka buruk kepada Allah ﷻ yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad. Sebenarnya butuh penjelasan yang lebar untuk menjelaskan contoh-contoh ini, sebab Ibnul Qayyim ketika menjelaskan berprasangka buruk kepada Allah ﷻ, ia membantah seluruh firqah-firqah sesat dari ahlul bid’ah. Akan tetapi disini penulis hanya menyebutkan contoh-contoh tersebut secara ringkas.
Berikut adalah beberapa contoh dari sikap berprasangka buruk kepada Allah yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.([4])
- Menyangka bahwasanya Rasulullah dan kaum muslimin akan kalah.
- Islam akan sirna
- Kesyirikan akan unggul selama-lamanya
Terkadang Allah ﷻ menakdirkan kaum muslimin dalam kekalahan dan penderitaan. Akan tetapi semua takdir ini ada hikmahnya. Pada saatnya nanti kaum muslimin akan jaya, tauhid akan tersebar, maka tidak boleh kita berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.
- Menyangka Allah ﷻ berbuat tanpa tujuan.
Ini merupakan aqidah Asya’iroh([5]) yang mana mereka menafikan Ta’lil Af’alillah yaitu Allah ﷻ berbuat tanpa tujuan.([6]) Keyakinan seperti ini tidaklah benar. Bagaimana mungkin dikatakan Allah ﷻ berbuat tanpa tujuan, sedang Allah ﷻ Maha berilmu, Allah ﷻ menakdirkan, dan Allah ﷻ melakukan semuanya pasti dengan tujuan.
- Menyangka Allah ﷻ tidak akan membangkitkan manusia untuk meminta pertanggung jawaban.
Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk kepada Allah ﷻ. Jika saja seorang bos di sebuah perusahaan di anggap buruk dan tidak beres karena tidak menyelesaikan masalah dibawahannya, tidak menghakimi di antara karyawannya yang bertikai dengan membiarkan begitu saja, tidak menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, maka bagaimana dengan Allah ﷻ yang Maha bijak. Apakah pantas Allah ﷻ melakukan hal seperti itu? Allah ﷻ tidak mungkin menciptakan seluruh manusia kemudian membiarkannya begitu saja tanpa meminta pertanggungjawaban. Pembiaran Allah ﷻ kepada orang-orang zhalim atas perlakuan mereka di dunia tanpa meminta pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat merupakan perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Hal ini seperti prasangka buruknya orang-orang musyrikin kepada Allah ﷻ karena menyangka Allah ﷻ tidak akan membangkitkan manusia kelak di akhirat.
- Tatkala seseorang diberikan kesusahan, maka ia berkata “Mengapa Allah ﷻ membuat saya miskin seperti ini? seharusnya Allah tidak melakukan ini”.
Hal ini adalah perbuatan yang terlarang, sebab termasuk bagian dari perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Bukan berarti jika Allah ﷻ memberikan harta kepada seseorang berarti Allah ﷻ memuliakan orang tersebut([7]). Jika harta adalah ukuran kemuliaan seseorang, berarti Fir’aun dan Namrud adalah orang-orang yang mulia. Para pelaku maksiat yang begitu kaya raya pun juga termasuk orang-orang yang mulia. Oleh karena itu harta bukanlah ukuran kemuliaan seseorang, bahkan bisa jadi seseorang dihinakan oleh Allah ﷻ melalui jalan harta ([8]).
Hal yang semisal juga seperti perkataan seseorang, “Kenapa Allah ﷻ membuat wabah ini? Seharusnya Allah ﷻ tidak berbuat ini”. Kemudian juga perkataan seseorang, “Kenapa Allah ﷻ menciptakan Iblis? Seharusnya Allah ﷻ tidak menciptakan mereka”.
Perkataan-perkataan semisal ini menggambarkan seakan-akan Allah ﷻ tidak memahami sisi yang baik. Kemudian orang yang mengatakan perkataan-perkataan tersebut memahami sisi yang baik. Inilah bentuk prasangka buruk kepada Allah ﷻ.
- Menyangka bahwasanya Allah ﷻ tidak membalas kebaikan seseorang baik dunia maupun di akhirat.
Menyangka hal seperti ini merupakan perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Bukankah Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sungguh Allah ﷻ tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.([9])
Allah ﷻ juga menyebutkan banyak contoh dari kisah-kisah para nabi, yang mana Allah ﷻ menolong dan membantu mereka di dunia sebelum akhirat karena kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Maka jika kita melakukan suatu kebaikan, selain berharap pahala di sisi Allah ﷻ kita juga harus meyakini bahwa Allah ﷻ juga akan menolong dan membantu kita di dunia. Terkadang Allah ﷻ memberi kebaikan dan pertolongan kepada kita di dunia ini dengan cara yang lembut tanpa kita sadari. Jika saja setiap kebaikan dibalas oleh Allah ﷻ secara jelas atau terang-terangan, maka semua orang akan beriman dan berbuat baik. Tapi inilah ketentuan Allah ﷻ, Allah ﷻ menjadikan hal tersebut perkara ghoib yang berkaitan dengan iman. Akan tetapi walaupun ghoib, kita tetap bisa merasakan balasan dari Allah ﷻ dari setiap kebaikan yang kita lakukan, baik cepat atau lambat, bahkan Allah ﷻ terkadang balas satu kebaikan dengan berlipat-lipat.
- Persangkaan seseorang jika Ia meninggalkan sesuatu yang buruk karena Allah ﷻ, maka Allah ﷻ tidak akan menggantinya.
Nabi ﷺ pernah bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya engkau tidak meninggalkan sesuatu karena Allah, melainkan Allah akan menggantikan bagimu dengan yang lebih baik darinya”.([10])
Hal ini menunjukkan bahwasanya seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah ﷻ ia harus berprasangka baik kepada Allah ﷻ, meyakini bahwasanya Allah ﷻ akan ganti sesuatu yang lebih baik dari apa yang ditinggalkannya. Sebab jika ia tidak meyakini hal tersebut, maka ia telah melakukan prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ pernah berkata dalam hadits qudsi:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku sesuai dengan prasangka hambaku kepadaku, hendaknya hambaku berprasangka kepadaku yang ia sukai. Jika ia berprasangka baik kepadaku maka kebaikan baginya, jika ia berprasangka buruk kepadaku maka keburukan baginya.”([11])
- Menyangka bahwa Allah ﷻ akan menolak amalan baik seseorang tanpa sebab.
Ini adalah keyakinan yang salah. Benar amalan kita belum tentu diterima oleh Allah ﷻ, akan tetapi kita harus berprasangka baik kepada Allah ﷻ bahwasanya Allah ﷻ akan menerima amalan baik tersebut. Allah ﷻ berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.([12])
Tidak mungkin jika seseorang telah berusaha untuk melakukan amal shaleh semampunya kemudian Allah ﷻ tolak amalan tersebut tanpa sebab.
- Allah ﷻ tidak menerima taubat orang yang bersungguh-sungguh.
Keyakinan seperti ini akan membuat seseorang akan berputus asa dari rahmat Allah ﷻ, padahal Allah ﷻ berfirman:
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah”([13])
Allah ﷻ melarang untuk berputus asa dari rahmatNya, kemudian kita malah meyakini bahwa Allah ﷻ tidak menerima taubat kita, maka ini adalah bentuk prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Kita harus berprasangka baik kepada Allah ﷻ bahwa Allah akan menerima taubat kita.
- Menyatakan bahwa ayat-ayat sifat di dalam Al-Qur’an dan juga di dalam hadits-hadist zahirnya adalah kufur, syirik, tasybih.
Sebagaimana yang diungkapkan para penolak sifat bahwasanya ayat-ayat sifat yang terdapat pada Al-Qur’an dan pada hadits-hadist Nabi ﷺ haruslah ditakwil. Ungkapan seperti ini termasuk perbuatan prasangka buruk kepada Allah ﷻ, sebab melazimkan bahwasanya Allah ﷻ ingin menyesatkan hamba-hambanya dengan mendatangkan kata-kata yang zahirnya adalah kufur. Bahkan sebagian dari mereka mengungkapkan pada buku-buku mereka bahwasanya ayat-ayat ini adalah syirik, kufur, tasybih dan yang lainnya.
Sungguh mereka tidak beradab sama sekali kepada Allah ﷻ. Apakah mungkin Allah ﷻ tidak bisa mengungkapkan dengan pengungkapan yang baik sehingga manusia dapat memahaminya dengan mudah? Apakah Allah ﷻ tidak mampu mengungkapkan dengan yang terbaik? Mengapa Allah ﷻ tidak menyampaikan bahwasanya firman-firmannya haruslah ditakwil? Apakah kita harus menyangka bahwasanya Allah ﷻ sedang membuat teka-teki sehingga kita perlu mencari kebenaran dengan mentakwil?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas menunjukkan bahwasanya perbuatan para penolak sifat merupakan bentuk berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.
- Berkeyakinan bahwa Allah ﷻ membutuhkan anak atau pasangan dan yang lainnya.
- Berkeyakinan bahwa Allah ﷻ tidak mengetahui hal-hal yang detail.
Keyakinan seperti ini diyakini oleh orang-orang falasifah. Mereka mengatakan bahwasanya Allah ﷻ hanya mengetahui secara global tidak mengetahui secara detail. Keyakinan seperti ini terkadang menimpa kita yang mana seakan-akan kita meyakini bahwasanya Allah ﷻ tidak mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sebab Allah ﷻ membiarkan mereka melakukan kerusakan kemudian tidak mengazab mereka. Sikap seperti ini merupakan bentuk prasangka buruk kepada Allah ﷻ. Seakan-akan Allah tidak tahu dan kita tahu. Kemudian kita ingin mengajari Allah ﷻ bahwasanya seharusnya seperti ini dan seperti itu.
Maha suci Allah ﷻ, Allah ﷻ sungguh mengetahui segalanya, jangankan perbuatan manusia, bahkan daun-daun yang berjatuhan dari rantingnya pun Allah ﷻ tahu. Allah ﷻ berfirman:
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا
“Dia (Allah) mengetahui apa yang di darat dan di laut. tidak ada sehelai daunpun yang gugur uang tidak diketahuiNya.”([14])
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ mengetahui seluruh apa yang terjadi di bumi ini. Perbuatan siapapun, baik muslim, kafir ataupun munafik Allah ﷻ tahu. Oleh karenanya jika kita menyangka bahwa Allah ﷻ tidak tahu apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sehingga kemudian Allah ﷻ tidak bersikap untuk memberi azab kepada mereka di dunia, maka ini adalah bentuk berprasangka buruk kepada Allah ﷻ.
Sebuah kisah tentang biografi seseorang yang termaktub dalam kitab Taarikh Baghdad, yaitu Ubaidillah bin Al-Hasan bin Husoin Al-Ambari salah seorang hakim dari bashroh.
Ubaidillah memiliki seorang budak yang cantik. Di suatu malam ia tidur bersama budaknya tersebut. Di tengah malam, ubaidillah tidak mendapati budaknya tersebut, maka terlintas dibenaknya bahwa ini adalah keburukan, Ubaidillah berprasangka buruk bahwasanya budak tersebut pergi kabur meninggalkan dirinya. Ubaidillah pun beranjak dari tidurnya kemudian mencari budak tersebut dirumahnya. Setibanya disana, maka Ubaidillah mendapati budaknya berada di pojok rumahnya sedang melakukan sholat malam. Kemudian budak tersebut berdoa kepada Allah ﷻ dengan berkata:
اللّهم بِحُبِّكَ لِيْ اغْفِرْلِيْ
“Ya Allah, karena cintamu kepadaku, maka ampunilah aku”.
Maka setelah sholat, Ubaidillah menanyakan perihal doa yang dipanjatkan oleh budaknya dengan berkata, “wahai budakku janganlah engkau berkata demikian, akan tetapi katanlah ‘Ya Rabb, karena cintaku kepadamu maka ampunilah aku’.” Maka budak tersebut menjawab, “Ya Hakim, Allah ﷻ benar-benar mencintaiku, buktinya adalah Allah ﷻ mengeluarkanku dari kesyirikan menuju islam, dan Allah ﷻ cinta kepadaku, buktinya adalah Allah ﷻ membangunkanku untuk melakukan sholat malam”.
Mendengar jawaban dari budaknya, maka Ubaidillah membebaskan budaknya tersebut dengan mengatakan
أَنْتِ حُرٌّ لِوَجْهِ الله
“Engkau aku bebaskan karena Allah ﷻ”.
Ketika dibebaskan maka budak tersebut pun berkata kepada Ubaidillah, “Wahai tuanku, engkau telah menghilangkan dariku dua pahala menjadi satu pahala”. Maksudnya adalah ia mendapatkan dua pahala dari Allah ﷻ, pahala sebagai budak yang ta’at kepada Allah ﷻ dan pahala sebagai budak yang taat kepada tuannya.([15])
Doa yang dipanjatkan budak wanita di atas memang diperselisihkan oleh para ulama. Akan tetapi disini penulis hanya ingin menunjukkan bagaimana budak tersebut berprasangka baik kepada Allah ﷻ. Intinya yang ingin penulis sampaikan adalah bahwasanya budak wanita ini adalah wanita yang shalihah.
Kita tidak bisa memastikan bahwasanya Allah ﷻ cinta kepada kita. Akan tetapi tanda-tanda yang menunjukkan hal tersebut banyak, misalnya seseorang diberi taufik untuk bisa berbakti kepada orang tua di saat banyak orang yang durhaka terhadap orang tuanya, maka ini merupakan tanda bahwa Allah ﷻ cinta kepadanya. Kemudian juga seseorang diberi pemahaman ilmu agama oleh Allah ﷻ di saat banyak orang-orang terlalai dari ilmu, maka ini merupakan tanda bahwasanya Allah ﷻ mencintainya. Kemudian juga orang yang diberi taufik untuk bisa menyisihkan hartanya untuk disedekahkan di saat banyak orang yang pelit untuk bersedekah, maka ini juga merupakan tanda bahwasanya Allah ﷻ cinta kepadanya.
Orang-orang seperti ini boleh bagi mereka untuk berprasangka baik kepada Allah ﷻ bahwasanya Allah ﷻ mencintainya. Adapun untuk memastikan, maka ini perkara lain, banyak para ulama yang tidak membolehkannya.
Matan
Kandungan bab ini:
- Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran.
- Penjelasan tentang ayat dalam surat Al Fath.
- Disebutkan bahwa prasangka buruk itu banyak sekali macamnya.
- Penjelasan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang mengenal Asma’ dan sifat Allah, serta mengenal dirinya sendiri.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Lihat Zaadul Maad: 3/213
([3]) Tafsir As-Sam’ani, 1/65-66, Tafsir Ibnu Katsir, 1/225
([4]) Lihat Zaadul Maad: 3/213
فَثَبَتَ أَنَّ تَعْلِيْلَ أَحْكَامِ اللهِ تَعَالَى بِالْمَصَالِحِ بَاطِلُ
“Maka tetaplah dengan semua ini, bahwa ta’lil perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla dengan mashlahat adalah keyakinan yang bathil (rusak)” (Al-Mahshul, Fakhruddin Ar-Rozi, 5/182)
As-Syihristani berkata :
مَذْهَبُ أَهْلِ الحَقِّ أَنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ العَالَمَ بِمَا فِيْهِ مِنَ الجَوَاهِرِ وَالْأَعْرَاضِ وَأَصْنَافِ الخَلْقِ وَالأَنْوَاعِ، لَا لِعِلَّةٍ حَامِلَةٍ لَهُ عَلَى الفِعْلِ سَوَاءٌ قُدِّرَتْ تِلْكَ العِلَّةُ، نَافِعَةً لَهُ أَوْ غَيْرَ نَافِعَةٍ، إِذْ لَيْسَ يَقْبَلُ النَّفْعَ وَالضَّرَّ، أَوْ قُدِّرَتْ تِلْكَ العِلَّةُ نَافِعَةً لِلْخَلْقِ، إِذْ لَيْسَ يَبْعَثُهُ عَلَى الفِعْلِ بَاعِثٌ فَلَا غَرَضَ لَهُ فِيْ أَفْعَالِهِ وَلَا حَامِلَ بَلْ عِلَّةُ كُلِّ شَيْءٍ صُنْعُهُ ولَا عِلّةَ لِصَنْعِهِ
“Madzhab Ahlu Al-Haq adalah: Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan alam dengan semua yang ada di dalamnya, baik dari jauhar (jism/sesuatu yang dapat dilihat dan disentuh -seperti manusia, pohon, dll. Yaitu semua yang menjadi tempat bagi ‘ardh) dan a’rodh (shifat -seperti sakit, mendengar, dll), dan macam-macam ciptaan, tanpa ada ‘illah (sebab/tujuan/faktor) yang mendorong Allah ‘Azza wa Jalla untuk melakukan hal itu. Sama saja, meskipun dikatakan bahwa ‘illah (pendorong) tersebut itu bermanfaat bagiNya ataupun tidak. Karena Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dzat yang tidak menerima manfaat dan madhorot. Ataupun dianggap bahwa ‘illah itu bermanfaat bagi makhluq, karena tidak ada satupun hal yang mendorong Allah ‘Azza wa Jalla untuk melakukan sesuatu. Maka tidak ada tujuan bagiNya pada perbuatan-perbuatanNya, dan tidak ada pendorong bagiNya untuk melakukan sesuatu. Akan tetapi, illah (sebab) segala sesuatu adalah penciptaanNya, dan tidak ada ‘illah/sebab bagi penciptaanNya” (Nihayah Al-Iqdam, As-Syihristani, 390)
Lalu, bagaimana mereka memaknai shifat Hakim bagi Allah ‘Azza wa Jalla?
Saifuddin Al-Amidi berkata :
إّنَنَا لَا نُنْكِرُ كَوْنَ البَارِى تَعَالَى حَكِيْمًا وَذَلِكَ بِتَحَقُّقِ مَا يُتْقِنُهُ مِنْ صُنْعَتِهِ وَيَخْلُقُهُ عَلَى وِفْقِ عِلْمِهِ بِهِ وَبِإِرَادَتِهِ لَا بِأَنْ يَكُوْنَ لَهُ فِيْمَا يَفْعَلُهُ غَرَضٌ وَمَقْصُوْدٌ وَالْعَبَثُ إِنَّمَا يَكُوْنُ لَازِمًا لَهُ بِانْتِفَاءِ الغَرَضِ عَنْهُ أَنْ لَوْ كَانَ قَابِلًا لِلْفَوَائِدِ وَالاَغْرَاضِ.
“Sesungguhnya kami tidak mengingkari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla itu adalah Dzat yang Hakim. Dan yang demikian (sifat hakim) adalah dengan benar-benar terjadinya ciptaanNya yang sempurna, dan Allah menciptakan semuanya sesuai dengan ilmunya tentangnya dan berdasarkan kehendaknya. Bukan dengan adanya tujuan dari perbuatannya. (Namun perbuatan Allah tanpa tujuan ini tidak bisa dikatakan dengan perbuatan sia-sia karena) yang namanya sia-sia hanya bisa dikatakan padaNya jika Allah memang bisa menerima tujuan dan manfaat lantas tidak melakukan dengan tujuan” (Ghoyatu Al-Marom Fi ‘Ilmi Al-Kalam, Saifuddin Al-Amidi, 223)
Padahal kita tahu, bahwa yang bisa melakukan sesuatu sesuai keinginannya dan ilmunya, tidaklah disebut dengan Hakim dan bijaksana. Bahkan di dalam bahasa arab, kalimat hakim digunakan untuk kalimat yang mengandung makna “pencegahan dari keburukan dan kerusakan”, maka Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan pernah melakukan hal yang buruk, baik pada hukum syariatNya, ataupun ciptaan-ciptaanNya. Karena asal dari kalimat “hakim” adalah “Al-Hukmu” yang bermakna “Al-Man’u”. Bukankah bisa jadi seorang penjahat melakukan sesuatu kejahatan berdasarkan ilmu dan kehendaknya?, apakah penjahat tersebut disebut dengan Hakim?
Sungguh orang yang melakukan sesuatu tanpa tujuan maka jelas disifati dengan perbuatan sia-sia, maka bagaimana hal ini ditujukan kepada Allah, bahwa Allah berbuat dan menciptakan tanpa ada tujuan sama sekali?, bukankah ini perbuatan sia-sia?.
Adapun syubhat-syubhat yang berkaitan dengan hal ini dan bantahannya maka silahkan baca Tesis kami yang diterjemahkan dengan judul “Menjawab Syubhat Para Penolak Sifat Allah” pada sub judul berkaitan tentang sifat al-Hikmah.
([6]) Lihat Majmu’ Alfatawa: 8/37
([7]) Bahkan, bisa jadi Allah buka kenikmatan dunia pada sebagian kaum sebagai bentuk istidroj dan agar mereka semakin sengsara nantinya. Allah berfirman :
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Dan tatkala mereka lupa akan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan untuk mereka semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka secara tiba-tiba. Dan tatkala itu merekapun terdiam putus asa” (Q.S. Al-An’am : 44)
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَأَنَّهُ لَيْسَ كُلُّ مَنْ أُعْطِيَ مَالًا أَوْ دُنْيَا أَوْ رِيَاسَةً كَانَ ذَلِكَ نَافِعًا لَهُ عِنْدَ اللَّهِ، مُنْجِيًا لَهُ مِنْ عَذَابِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ. وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إلَّا مَنْ يُحِبُّ.
“Sesungguhnya tidak semua yang diberikan harta atau dunia, atau kedudukan, bermanfaat baginya di sisi Allah, serta menyelamatkannya dari adzab Allah. Karena Allah memberikan dunia ini kepada yang Allah cintai dan yang tidak Allah cinta. Dan sesungguhnya Allah tidaklah memberi iman kecuali kepada orang yang Dia cintai” (Al-Fatawa Al-Kubro, Ibnu Taimiyyah, 2/420).
([8]) Akan tetapi, seseorang itu bisa dikatakan dimuliakan Allah, jika Allah memberikan kepadanya hidayah mengikuti kebenaran dan istiqomah di atas kebenaran. Jika harta tersebut menjadikannya dekat kepada Allah maka berarti dia dimuliakan oleh Allah, jika tidak maka tidak. Jangankan harta, bahkan seseorang yang memiliki “kesaktian” tidak serta merta berarti dia dimuliakan oleh Allah. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَيُعِدُّونَ مُجَرَّدَ خَرْقِ الْعَادَةِ لِأَحَدِهِمْ بِكَشْفِ يُكْشَفُ لَهُ أَوْ بِتَأْثِيرِ يُوَافِقُ إرَادَتَهُ هُوَ كَرَامَةٌ مِنْ اللَّهِ لَهُ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ إهَانَةٌ وَأَنَّ الْكَرَامَةَ لُزُومُ الِاسْتِقَامَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَمْ يُكْرِمْ عَبْدَهُ بِكَرَامَةِ أَعْظَمَ مِنْ مُوَافَقَتِهِ فِيمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ وَهُوَ طَاعَتُهُ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ وَمُوَالَاةُ أَوْلِيَائِهِ وَمُعَادَاةُ أَعْدَائِهِ
“Dan mereka menganggap bahwa kesaktian salah seorang dari mereka berupa mukasyafah, atau kejadian yang sesuai dengan apa yang dia inginkan, berarti itu adalah karomah dari Allah untuknya, sedangkan ia tidak sadar bahwa yang demikian adalah penghinaan dari Allah untuknya. Dan sesungguhnya karomah adalah senantiasa istiqomah, dan sesungguhnya Allah tidak pernah memuliakan hambanya dengan suatu karomah yang lebih berharga dari Allah memberinya hidayah untuk senantiasa sesuai dengan apa yang Allah cintai dan Allah ridhoi. Yaitu taat kepada Allah dan RasulNya, dan loyal kepada wali-waliNya dan memusuhi musuh-musuh Allah” (Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/29-30)
Maka dapat kita simpulkan, bahwa semua kenikmatan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada hambanya, bisa dikatakan sebagai pemuliaan terhadapnya, jika kenikmatan-kenikmatan itu ia gunakan dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan jika ia tidak gunakan untuk hal itu, maka yang demikian adalah penghinaan Allah ‘Azza wa Jalla untuknya.
([10]) H.R. Ahmad no. 23074, dishahihkan oleh Al-Albani bahwa sanadnya sahih sesuai dengan syarat Muslim Silsilah Al-Ahadis Ash-Shahihah 2/734.