“مَا جَاءَ فِي ال “لَوْ
Hukum Mengucapkan “Seandainya”
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Kata لَوْ “Seandainya” dalam bahasa Arab memiliki banyak fungsi di antaranya,
Fungsi pertama : لِلاِمتِنَاعِ yaitu untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Contoh : Firman Allah ﷻ,
لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
“Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya’ : 22)
Kita tahu bahwasanya di langit dan di bumi tidak ada Tuhan selain Allah ﷻ oleh karenanya kita dapati langit dan bumi dalam kondisi tidak rusak.
Fungsi kedua : لِلتَّقْلِيلِ yaitu untuk mengungkapkan sesuatu yang sedikit.
Contoh : Hadist Nabi ﷺ yang mengisahkan tentang seorang sahabat yang ingin melamar wanita untuk dinikahi, beliau ﷻ bersabda kepadanya,
الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ
“Carilah mahar meskipun (seandainya) hanya sebuah cincin besi”([1])
Fungsi ketiga : لِلْحَضِّ yaitu untuk mengungkapkan anjuran atau motivasi.
Contoh : Ucapan seseorang, لَوْ تَعمَلُ فِي شَركَةِ كَذَا لَكَانَ كَذَا “Seandainya engkau mau bekerja di perusahan ini maka tentu akan demikian…”
Fungsi keempat : لِلتَّمَنّي yaitu untuk mengungkapkan angan-angan.
Contoh : Firman Allah ﷻ yang mengisahkan tentang penyesalan orang-orang ketika sudah di akhirat,
اَوْ تَقُوْلَ لَوْ اَنَّ اللّٰهَ هَدٰىنِيْ لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ* اَوْ تَقُوْلَ حِيْنَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ اَنَّ لِيْ كَرَّةً فَاَكُوْنَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Atau (agar jangan) ada yang berkata, ‘Seandainya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa, atau (agar jangan) ada yang berkata ketika melihat azab, ‘Seandainya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik’. (QS. Az-Zumar : 57-58)
Ini adalah beberapa contoh fungsi لو ditinjau dari bahasa dan masih ada fungsi yang lain.
Matan
Firman Allah ﷻ ,
يَقُوْلُوْنَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هٰهُنَا ۗ قُلْ لَّوْ كُنْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِيْنَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ اِلٰى مَضَاجِعِهِمْ ۚ
Mereka berkata, “Seandainya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah (Muhammad), “Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” (QS. Ali-Imran : 154)
Syarah
Ayat ini berkaitan tentang Perang Uhud. Tatkala itu Nabi ﷺ mendapat kabar bahwasanya akan datang 3000 pasukan dari musyrikin Arab Quraisy ingin menyerang kota Madinah. Maka Nabi ﷺ berdiskusi bersama penduduk kota Madinah terutama para pembesarnya di antaranya adalah berdiskusi dengan Abdullah bin Ubay bin salul tokohnya orang munafik.
Dalam diskusi tersebut ternyata menghasilkan dua pendapat. Pendapat kalangan senior mengatakan bahwa dalam Perang Uhud ini sebaiknya pasukan muslimin tidak perlu keluar ke Uhud. Sebaiknya mereka menunggu di dalam kota Madinah karena dengan menunggu akan memudahkan kaum muslimin menyerang mereka. Hal ini sangat menguntungkan bagi mereka karena mereka menguasai medan pertempuran dan memudahkan mereka karena mereka lebih tahu tentang lorong-lorong kota Madinah. Selain itu anak-anak dan para wanita bisa ikut berperang melempar dan memanah musuh-musuh yang ada di bawah. Ini adalah pendapat para senior diantaranya pendapat Rasulullah ﷺ, pendapat Abu Bakar, Umar dan pendapatnya Abdullah bin Ubay bin Salul tokoh orang munafik.
Pendapat kedua adalah pendapat anak-anak muda mereka mengatakan bahwa dahulu sewaktu masih musyrik mereka bukanlah jago kandang mereka datangi musuh-musuh dan mereka lawan, namun kenapa setelah Islam justru jago kandang? mereka mengatakan seharusnya kita tidak menunggu orang kafir Quraisy datang tapi kita keluar dan kita sambut mereka. Singkat cerita pada akhirnya Nabi mengalah dan memilih pendapatan anak-anak muda. Berangkatlah mereka menuju Uhud untuk berperang dan terjadilah suatu kesalahan sehingga terjadilah apa yang terjadi berakibat banyaknya pasukan kaum muslimin yang meninggal dunia. Sekitar 72 orang mati syahid tatkala itu.([2])
Saat itulah orang-orang munafik atau orang-orang yang terpengaruh dengan mereka mengatakan,
لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هٰهُنَا
“Seandainya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.”
Syeikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di dalam tafsir ayat ini beliau mengatakan bahwa ini adalah bentuk protes mereka terhadap takdir Allah karena Allah sudah menakdirkan mereka untuk mati sebagai syuhada’. Beliau juga mengatakan bahwa yang demikian itu merupakan bentuk tasfiih yaitu menganggap bodoh pendapat Rasulullah dan merupakan bentuk ujub dari mereka. seakan-akan mereka mengatakan, “Seandainya kita yang mengatur strategi niscaya kita tidak akan kalah”.([3])
Matan
firman Allah ﷻ,
اَلَّذِيْنَ قَالُوْا لِاِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوْا لَوْ اَطَاعُوْنَا مَا قُتِلُوْا ۗ قُلْ فَادْرَءُوْا عَنْ اَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka takut pergi berperang: “Seandainya mereka mengikuti kita tentulah mereka sudah terbunuh. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali Imran: 168).
Syarah
Dalam kesempatan yang sama orang-orang munafik mengatakan kepada sesama mereka yang tidak ikut berperang dengan perkataan yang disebutkan dalam ayat di atas. Tatkala itu sekitar 1000 orang pasukan dari kaum muslimin berangkat menuju perang Uhud dan 300 orang di antaranya mundur, mereka adalah orang-orang munafik. Ternyata banyak dari kaum muslimin yang gugur dalam medan pertempuran tersebut sehingga orang-orang munafik berkata kepada sesama mereka,
لَوْ اَطَاعُوْنَا مَا قُتِلُوْا
“Seandainya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.”
Mereka juga berkata bahwa Muhammad ﷺ lebih mendahulukan pendapat para bocah dan mengabaikan pendapat mereka([4]). Maka ucapan mereka yang merupakan bentuk protes terhadap syariat ini dibantah oleh Allah,
قُلْ فَادْرَءُوْا عَنْ اَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Katakanlah, “Cegahlah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang yang benar.”
Mereka tidak akan pernah bisa lari dari kematian karena kematian sudah ditakdirkan oleh Allah ﷻ . Kata seorang penyair,
“مَن لَم يَمُتْ بِالسَيفٍ مَاتَ بِغَيرِه … تَعَدَّدَتِ الأَسْبَابُ وَالمَوتُ وَاحِد”
“Barangsiapa yang tidak mati terkena pedang maka akan mati dengan sebab lainnya…sebab-sebab kematian itu bermacam-macam namun kematian tetaplah satu”.([5])
Ada yang meninggal karena perang, ada yang meninggal karena sakit ada pula yang meninggal karena virus dan banyak sebab lainnya yang dapat mengantarkan seseorang kepada kematian.
Hukum menggunakan لو “Seandainya” dalam ucapan sehari-hari
- Haram dalam dua hal, yaitu :
Pertama : Apabila digunakan sebagai bentuk protes terhadap takdir Allah ﷻ sebagaimana yang telah dijelaskan pada Firman Allah ﷻ dalam surat Ali Imran ayat 154.
Kedua : Apabila digunakan sebagai bentuk protes terhadap syariat sebagaimana yang telah dijelaskan pada Firman Allah ﷻ dalam surat Ali Imran ayat 168.
- Mubah (Boleh) yaitu pada keadaan selain dua kondisi haram yang telah disebutkan.
Contoh :
- Sabda Nabi ﷻ tentang siwak,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu.”([6])
- Sabda Nabi ﷺ tentang paman beliau yang masuk neraka,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia berada di permukaan neraka. Seandainya bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.”([7])
- Sabda Nabi ﷺ tentang haji,
لَوِ استَقْبَلْتُ مِنْ أَمرِي مَا استَدْبَرْتُ لَمَا سُقتُ الهَدْيَ وَلجَعَلتُهَا عُمْرَةً
“Seandainya aku masih di awal perjalananku dan belum terlanjur, niscaya aku tidak membawa hewan sembelihan (Al Hadyu) dan aku jadikan ihramku ini sebagai ihram umrah terlebih dahulu ( sehingga menjadi haji tamattu’)“.([8])
- Sabda Nabi ﷺ kepada Aisyah radhiyallahu anha tentang bangunan ka’bah,
لَولاَ حَدَاثَةُ عَهدِ قَومِكِ باِلكُفرِ لَنَقَضتُ الكَعبَةَ، وَلجعَلتُهَا على أَساسِ إِبراهِيم، فَإِن قُرَيشاً حِينَ بَنَت البَيتَ استَقصَرتُ، وَلَجعلتُ لهَا خلفاً
“Seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekufurannya niscaya aku memugar bangunan Ka’bah, dan aku kembalikan sesuai pondasi yang dibuat oleh nabi Ibrahim, karena sejatinya pada saat quraisy memugar Ka’bah, mereka kekurangan biaya, dan niscaya aku buatkan pula pintu keluarnya.”([9])
Intinya ucapan “seandainya” yang diperbolehkan adalah selain dua kondisi haram seperti yang telah dijelaskan. Adapun ucapan “seandainya” yang berkaitan tentang rencana di masa depan dan bukan untuk protes terhadap takdir Allah maka diperbolehkan. Seperti ucapan “seandainya” bila bertujuan untuk memberikan motivasi semisal, “Seandainya kau sekolah di sana nanti kau bakalan jadi begini” Ini bukanlah berbicara atau menerka perkara gaib tetapi berbicara sunnatullah bahwa orang biasanya kerja di sana, bisa sekolah di sana, biasanya begini dan seterusnya. Jadi tidak semua perkataan “Seandainya” dihukumi haram.
Matan
Sabda Nabi ﷺ ,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Orang mukmin yang tangguh lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mukmin yang lemah dan pada keduanya terdapat kebaikan. Upayakanlah segala yang bermanfaat bagimu, dengan tetap meminta pertolongan dari Allah dan jangan pernah merasa lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu maka jangan pernah berkata, “Seandainya aku berbuat demikian niscaya kejadiannya akan demikian dan demikian”. Namun ucapkanlah, “Ini adalah takdir Allah dan apapun yang Allah kehendaki pastilah terjadi”, karena sejatinya ucapan ” seandainya” hanyalah membuka pintu godaan setan.” ([10])
Berdasarkan hadist ini, kita tahu bahwa kondisi manusia dalam beramal atau bekerja terbagi menjadi tiga kondisi :
Pertama : Kondisi sebelum beramal
syariat memerintahkan seorang sebelum beramal agar semangat dalam meraih manfaat baik manfaat yang sifatnya ukhrawi atau duniawi. Adapun setan memotivasi manusia untuk bermalas-malasan, tidak berikhtiar dan membuang-buang waktu dan kesempatan.
Kedua : Kondisi ketika beramal
Ketika sedang beramal syariat memerintahkan untuk meminta pertolongan kepada Allah yaitu dengan bertawakal kepada-Nya dan berikhtiar. Adapun setan dia menyuruh agar kita perhatian fokus kepada usaha dan melupakan Allah. Menjadikan kita hanya fokus kepada materi dan lupa untuk berdoa. Menjadikan kita berpikir seakan-akan keberhasilan ditangan kita padahal semuanya dari Allah.
Ketiga : Kondisi setelah beramal
Ketika selesai beramal terdapat dua kemungkinan apakah berhasil sesuai dengan keinginan atau tidak berhasil. Jika berhasil maka syariat memerintahkan untuk bersyukur kepada Allah dan menyandarkan keberhasilan kepada kepada Allah tidak ujub. Adapun setan ketika seseorang berhasil dalam usahanya dia menyuruh agar menyandarkan keberhasilan kepada kepada diri sendiri atau kepada sebab yang lain selain Allah agar ujub dan lupa bersyukur. Jika orang tersebut tidak berhasil dalam usahanya maka syariat memerintahkan seseorang untuk mengucapkan “Qodarullah wa ma syaa’a fa’ala” Allah telah menakdirkan ini semua maka hendaknya berhusnudzon kepada-Nya. Di antara cara berhusnudzon dalam kondisi ini adalah dengan mengingat betapa banyak orang diberi keberhasilan lupa diri, betapa banyak orang diberi keberhasilan lantas ujub, betapa banyak orang diberi keberhasilan dan kenikmatan justru mengantarkan mereka kepada neraka jahanam, betapa banyak orang diberi musibah kemudian dia ingat kepada Allah, dia kembali kepada Allah kemudian berintrospeksi dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri. Adapun setan mengajarinya untuk mengucapkan “seandainya” agar dia bertambah sedih kemudian su’udzan kepada Allah, protes kepada takdir Allah dan agar hatinya terikat kepada sebab dan bukan kepada Allah.
Kandungan bab ini:
- Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran.
- Larangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.
- Alasannya, karena kata tersebut (seandainya /andaikata) akan membuka pintu perbuatan syetan.
- Petunjuk Rasulullah ﷺ (ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah] supaya mengucapkan ucapan yang baik [dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah).
- Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat (untuk di dunia dan di akhirat) dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.
- Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) HR. Bukhori No. 5871 dan Muslim No. 1425
([2]) Lihat : Tarikh At-Thobari 2/602
([3]) lihat : Tafsir As-Sa’di hal. 153
([4]) Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 2/160.
([5]) Penyair tersebut adalah Ibnu Nabatah As-Sa’di (Wafayatul A’yan 3/193)
([6]) HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahihnya No. 140 dan dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Gholil 1/109.
([7]) HR. Bukhari No. 3883 dan Muslim No. 209.