مَا جَاءَ فِيْمَنْ لَمْ يَقْنَعْ بِالْحَلفِ بِاللهِ
Orang Yang Tidak Puas Terhadap Sumpah Dengan Nama Allah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Maksud dari bab ini adalah tentang seorang yang tidak mau menerima atau puas dengan sumpah orang lain kepadanya, meskipun orang tersebut telah bersumpah dengan nama Allah. Sikap seperti ini adalah sikap yang mencoreng kemurnian tauhid seseorang. Sikap yang tepat bagi seseorang jika ada orang lain yang telah bersumpah dengan nama Allah, maka dia harus terima sumpah tersebut sebagai bentuk pengagungannya terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun Jika dia tidak menerima sumpah dengan nama Allah tersebut tanpa sebab, maka itu menunjukkan tauhidnya bermasalah dan pengagungannya terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala kurang. ([1])
Oleh karena itu, pembahasan kita pada bab ini adalah tentang bagaimana mencapai pemurnian tauhid. Ketahuilah bahwa tauhid itu seperti baju putih yang bersih dan tidak mau ternodai dengan setitik kotoran apa pun, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin seorang berjalan di atas muka bumi dengan tauhid yang sempurna. Sebagaimana kita ketahui bahwa barangsiapa yang memiliki tauhid yang sempurna, maka dia akan masuk surga tanpa azab dan tanpa hisab. Oleh karena itu seorang hendaknya berusaha menjaga kemurnian tauhidnya sebisa mungkin. Jika seseorang merasa bahwa ada sedikit noda pada tauhidnya, maka hendaknya dia membersihkannya. Di antara hal yang dapat mengotori kemurnian tauhid adalah seorang tidak menerima sumpah orang lain meskipun orang tersebut telah bersumpah dengan nama Allah.
Matan
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَحْلِفُوْا بِآباَئِكُمْ مَنْ حُلِف لَهُ بِالله فَلْيُصَدِّق وَمَنْ حُلِف لَهُ بِالله فَلْيَرْضَ وَمَنْ لَمْ يَرْضَ فَلَيْسَ مِنَ الله
“Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Barangsiapa yang bersumpah dengan nama Allah, hendakya dia jujur. Dan barangsiapa yang diberi sumpah dengan nama Allah hendaknya dia ridha (menerima). Barangsiapa yang tidak ridha menerima sumpah tersebut, maka dia bukan dari Allah.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
Syarah
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini:
- Larangan bersumpah dengan nama nenek moyang
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah sebutkan dalam hadits ini,
لَا تَحْلِفُوْا بِآباَئِكُمْ
“Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian.”
Merupakan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliah dahulu adalah mereka bersumpah dengan nenek moyang mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang, kabilah, atau suku mereka, dan menunjukkan keseriusan mereka dalam bersumpah. ([2]) Akan tetapi kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bersumpah dengan nama nenek moyang, karena bersumpah dengan selain nama Allah adalah syirik.
Para ulama mengatakan bahwa tidak ada mafhum mukhalafah (Pemahaman kebalikan) dalam lafal sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Maksudnya, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata agar janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian, jangan sampai dipahami bahwa boleh bersumpah dengan selain nama nenek moyang. Maka para ulama menegaskan bahwa lafal ini tidak memiliki mafhum mukhalafah, karena dalam kaidah Ushul disebutkan bahwa lafal ini keluar karena kebanyakan terjadi seperti itu sehingga disebutkan secara khusus namun tidak ada mafhum mukhalafahnya. ([3]) Contoh, seperti dalam sebuah hadits,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
“Apabila seekor anjing menjulurkan lidahnya (menjilat) pada bejana salah seorang dari kalian, hendaklah ia menumpahkannya dan mencucinya tujuh kali.”([4])
Maka hadits ini juga jangan dipahami bahwa selain air yang ada di dalam bejana, seperti di gelas, mangkok, piring, dan sebagainya, tidak mengapa airnya tidak ditumpahkan meskipun telah dijilat oleh anjing. Disebutkan bejana karena pada bejanalah sering terjadi hal tersebut, maka bukan berarti tidak disebutkannya selain bejana itu menunjukkan bahwa selain itu tidak mengapa.
Selain itu, lafal larangan bersumpah dengan nama nenek moyang tidak memiliki mahfum mukhalafah karena telah datang riwayat-riwayat lain yang menunjukkan larangan bersumpah dengan nama Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya seperti dalam riwayat,
لَا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، وَلَا بِالطَّوَاغِيتِ
“Janganlah kalian bersumpah dengan (nama) bapak-bapak kalian, dan jangan pula dengan para thagut.”([5])
Ini menunjukkan bahwa bersumpah dengan selain nama bapak-bapak (nenek moyang) juga terlarang. Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan lafal umum,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau berbuat syirik.”([6])
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,
مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah maka bukan bagian dari kami.”([7])
Ini semua menunjukkan bahwa bersumpah dengan selain nama Allah merupakan dosa besar.
Intinya, bersumpah dengan nama selain Allah itu adalah syirik. Disebutkannya tentang dilarang bersumpah dengan nama bapak-bapak (nenek moyang) karena hal tersebut yang sering terjadi di kalangan orang Arab, sehingga disebutkan penyebutannya secara khusus dan tidak ada mafhum mukhalafahnya.
- Jujur ketika bersumpah dengan nama Allah
Jujur ketika bersumpah dengan nama Allah adalah hal yang diperintahkan. Ketika seseorang bersumpah dengan nama Allah namun tidak jujur, maka dia terjerumus dalam dosa besar yang disebut dengan yamin ghamus, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الكَبَائِرُ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَاليَمِينُ الغَمُوسُ
“Dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh, dan bersumpah palsu.”([8])
Yamin ghamus maksudnya adalah bersumpah dengan nama Allah namun dengan sengaja berdusta karena untuk suatu tujuan seperti untuk menang dalam pertikaian, menang dalam sidang, atau untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. ([9]) Maka jika seseorang tahu bahwa dia bersumpah dengan nama Allah tapi berdusta, maka dia terjerumus dalam dosa besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa barangsiapa bersumpah dengan nama Allah hendaknya dia jujur.
- Ridha (menerima) terhadap orang yang bersumpah dengan nama Allah
Poin ketiga ini merupakan inti dari pembahasan kita pada bab ini, yaitu barangsiapa yang seseorang bersumpah kepadanya dengan bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya dia terima (ridha).
Kapan kondisi seseorang harus menerima sumpah dengan nama Allah tersebut? Ada dua kondisi yang disebutkan oleh para ulama yang mensyarah hadits ini:
Pertama, yaitu ketika dalam hal persengketaan di persidangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَالْيَمِينَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Bagi yang menuduh wajib membawa bukti, sedangkan yang dituduh cukup dengan mengingkari (bersumpah).”([10])
Contoh, Si A menuduh si B bahwasanya si B telah mengambil haknya. Maka Hakim berhak meminta kepada Si A untuk menunjukkan bukti bahwa si B telah mengambil haknya. Kalau ternyata si A tidak memiliki bukti, dan si B telah bersumpah bahwa dia tidak mengambilnya, maka si A harus terima sumpah si B. Demikianlah aturan yang berlaku dalam persengketaan di persidangan, kalau penuduh tidak bisa mendatangkan bukti, maka yang dituduh diminta untuk bersumpah. Dan dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
شَاهِدَاكَ أَوْ يَمِينُهُ
“Hendaklah kamu menghadirkan dua saksi, atau dia bersumpah.”([11])
Maka jika si-B bersumpah demi nama Allah bahwa dia tidak mengambil hak si A, maka si-A wajib menerima pengakuan si-B dan tidak boleh menolak karena dia tidak memiliki bukti. Adapun jika si-B bersumpah dengan nama Allah dengan berbohong, maka itu menjadi urusan dia dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah, maka si-A harus menerima sumpah si-B, karena dia tidak memiliki bukti. Namun jika si-A bisa membawakan bukti, maka sumpah si-B dikalahkan dengan bukti.
Kedua, yaitu jika yang bersumpah adalah seorang muslim. Asalnya, seorang muslim bukan pembohong, maka sudah seharusnya seseorang husnuzan (berprasangka baik) kepada yang bersumpah dengan membenarkan sumpahnya. Contoh, kita bertemu dengan orang yang sebelumnya dia tidak pernah dikenal sebagai tukang dusta, dia tidak pernah menipu, dan dia seorang muslim, akan tetapi kemudian dia dituduh mencuri, maka hukum asalnya kita berhusnuzan kepadanya, terlebih lagi apalagi dia sudah bersumpah dengan nama Allah. Maka di antara bentuk pengagungan kita terhadap Allah adalah tidak meragukan sumpahnya. Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَأَى عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَجُلًا يَسْرِقُ، فَقَالَ لَهُ: أَسَرَقْتَ؟ قَالَ: كَلَّا وَاللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ، فَقَالَ عِيسَى: آمَنْتُ بِاللَّهِ، وَكَذَّبْتُ عَيْنِي (وفي مسلم: وَكَذَّبْتُ نَفْسِي)
“Nabi Isa ‘alaihissalam melihat ada seorang sedang mencuri, lalu dia bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu mencuri?’. Orang itu menjawab: ‘Tidak, Demi Allah yang tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia’. Maka Isa berkata: ‘Aku beriman kepada Allah dan aku dustakan (penglihatan) mataku’ (Dalam riwayat muslim: ‘Dan aku dustakan diriku’).”([12])
Lihatlah Nabi Isa ‘alaihissalam, beliau sangat mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. sampai-sampai dia rela mendustakan penglihatan atau dirinya yang jelas-jelas melihat orang tersebut mencuri, namun karena orang tersebut bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak mencuri, maka beliau membenarkan sumpahnya. Mungkin kita melihat bahwa perkara seperti ini merupakan perkara yang aneh, karena asalnya telah jelas bahwa orang tersebut mencuri, akan tetapi para ulama menjelaskan bahwasanya perkara seperti ini hanya dibawakan kepada orang yang dzahirnya diketahui sebagai orang yang baik. Bahkan para ulama mengatakan bahwa mungkin Nabi Isa ‘alaihissalam memberi uzur kepada orang tersebut dengan banyak kemungkinan-kemungkinan.
Maka dari itu, apabila orang yang telah dikenal sebagai pendusta atau tukang tipu, maka meskipun dia bersumpah dengan nama Allah, sumpahnya tidak wajib untuk diterima.
- Orang yang tidak ridha dengan orang yang bersumpah dengan nama Allah, telah melakukan dosa besar
Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam lafal hadits ini adalah,
وَمَنْ لَمْ يَرْضَ فَلَيْسَ مِنَ الله
“Barangsiapa yang tidak ridha menerima sumpah tersebut, maka lepaslah dia dari Allah.”
Para ulama menjelaskan bahwa ungkapan فَلَيْسَ مِنَ الله (bukan dari Allah) dan فَلَيْسَ مِنَّا (bukan dari kami) merupakan kalimat yang menunjukkan bahwa perkara itu adalah dosa besar. oleh karena itu, jika ada orang yang tidak ridha dengan orang yang bersumpah dengan nama Allah, sementara yang bersumpah adalah seorang muslim yang dikenal jujur, maka dia terjerumus dalam dosa besar karena meragukan orang yang bersumpah dengan nama Allah.
Kalau sekiranya orang boleh tidak ridha (tidak menerima) dengan orang yang bersumpah dengan nama Allah, maka dengan nama siapa orang tersebut akan bersumpah? Sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah dosa besar pula. Oleh karena itu, orang yang tidak ridha dengan seseorang yang bersumpah dengan nama Allah telah melakukan dosa besar, dan tauhidnya menjadi tercoreng karena tidak memiliki bentuk pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala.
Matan
Kandungan pada bab ini:
- Larangan untuk bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang
- Diperintahkan kepada orang yang diberi sumpah dengan nama Allah untuk rela menerimanya
- Ancaman bagi orang-orang yang tidak rela menerima sumpah dengan nama Allah
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([1]) Taisir Al-‘Aziziz Al-Hamid, Sulaiman bin ‘Abdillah Alu Syaikh, 1/516
([2]) Syarah Shohih Al-Bukhori, Ibnu Batthol, 6/96
([3]) Lihat Syarh Al-Kaukab Al-Munir, Ibnu Najjar Al-Futuhi, 3/490
([5]) HR. Ahmad no. 20643 dan HR. An-Nasa’i no. 3774
([6]) HR. At-Tirmidzi no. 1535
Sumpah palsu disebut dengan اليَمِينُ الغَمُوسُ “sumpah yang menenggelamkan” karena sumpah tersebut menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa kemudian menenggelamkannya ke dalam neraka (Lihat Fathul Baari 11/555)