قول الله تعالى: أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Merasa Aman Dari Makar Allah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
Bab ini merupakan kelanjutan dari bab tentang takut kepada Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini membawakan dua penyakit yang sangat berbahaya, yaitu merasa aman dari makar Allah dan putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ibadah dibangun di atas rasa Al-Khauf (takut) dan Ar-Raja’ (berharap). Jika di dalam diri seseorang kurang sikap khaufnya, maka dia akan terjerumus dalam penyakit merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun sebaliknya, jika sikap raja’ dalam diri seseorang kurang, maka dia akan terjerumus kepada putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Kedua sikap ini, yaitu merasa aman dari makar Allah dan berputus asa dari rahmat Allah merupakan dosa besar. Maka seorang mukmin harus berusaha menumbuhkan dalam hatinya Al-Khauf dan Ar-Raja’. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang para Nabi dan orang-orang saleh,
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Maka Kami kabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’ : 90)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar : 9)
Oleh karenanya mukmin yang sejati adalah seorang mukmin yang menggabungkan antara Al-Khauf dan Ar-Raja’.
Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa secara umum antara rasa takut dan rasa harap kepada Allah Subhanahu wa ta’ala harus seimbang, akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa jika dalam kondisi seseorang terjerumus dalam kemaksiatan maka dia harus menguatkan rasa khauf agar dia bisa kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan jika seseorang dalam kondisi hendak meninggal dunia maka hendaknya dia menguatkan sisi raja’, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”([1])
Maka dalam kondisi seseorang hendak meninggal dunia dia harus menguatkan rasa raja’. Namun dalam kondisi biasa, seseorang harus menyeimbangkan antara khauf dan raja’.
Kita telah membahas sedikit tentang Ar-Raja’([2]) pada bab sebelumnya. Lalu seperti apa Ar-Raja’ yang disyariatkan? الرَّجَاءُ الشَّرْعِيُّ (Raja’ yang disyariatkan) memiliki dua syarat:
- Raja’ disertai dengan khauf
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, dan juga di awal pembahasan bahwa sikap raja’ harus disertai dengan sikap khauf, karena jika seseorang hanya memiliki sikap raja’ tanpa khauf maka dia akan terjerumus ke dalam dosa besar yaitu merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Raja’ harus disertai dengan amalan
Sikap raja’ di sini maksudnya adalah sikap raja’ yang bukan hanya sekadar berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena jika seseorang yang hanya sekadar berprasangka baik kepada Allah tanpa beramal maka itu namanya Ghurur (tertipu atau teperdaya). ([3]) Oleh karena itu, banyak ayat dalam Alquran dimana Allah Subhanahu wa ta’ala menggandengkan antara raja’ dan amalan. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Demikian pula ayat yang telah kita sebutkan di awal, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar : 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang beriman itu berharap rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala sedang dia berada dalam shalatnya. Ini menunjukkan bahwa raja’nya kepada Allah disertai dengan amal saleh. Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 218)
Maka dari itu, jika ada seseorang yang berharap kepada Allah, memiliki sikap raja’ terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, namun dia tidak beramal maka itu namanya ghurur (teperdaya). Orang-orang yang hanya berharap kepada Allah tanpa beramal, maka dia akan terjerumus kepada maksiat secara berkesinambungan, mereka bersikap tenang karena yakin bahwa Allah Maha Pengampun, akan tetapi kita katakan bahwa seperti inilah sifat teperdaya.
Cara menumbuhkan sikap raja’ dalam hati seseorang
Ada beberapa hal yang akan membantu seseorang memiliki sikap raja’ dalam hatinya, di antaranya:
- Mengenal nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala
Banyak di antara nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wa ta’ala yang bisa membuat kita bersikap raja’ kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. di antaranya adalah Ar-Rahiim dan Ar-Rahman. Lihatlah perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada ayahnya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai ayahku, aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi syaithan.” (QS. Maryam : 45)
Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala itu Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya meskipun hamba-Nya tersebut berbuat dosa atau bahkan pelaku kesyirikan. Ketahuilah bahwa jika seseorang tidak berhenti dari perbuatan dosanya maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan menimpakan azab baginya, padahal asalnya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Maha Penyayang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf : 156)
Dan dalam hadits qudsi Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
“Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-K.”([4])
Maka dengan meyakini bahwa Allah itu Maha Penyayang, maka seseorang bisa menumbuhkan rasa harap yang besar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Di antara nama-nama Allah yang lain Al-Wadud (Yang Maha Mencintai). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
“Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Mencintai.” (QS. Al-Buruj : 14)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menggandengkan antara Al-Ghafur dan Al-Wadud karena ada sebagian orang menyangka bahwa jika telah berbuat salah lalu kemudian diampuni, maka yang Maha Pengampun tidak lagi sayang atau cinta kepada hamba tersebut. Maka ayat ini merupakan dalil bantahan anggapan tersebut, bahwa jika seseorang berbuat dosa lalu kemudian meminta ampun, maka Allah ampuni dan Allah bisa mencintai kembali hamba tersebut. ([5])
Intinya masih banyak nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala yang bisa menumbuhkan sikap raja’ kepada Allah di dalam hati-hati kita, di antaranya Ar-Ra’uf dan Ar-Barr. Akan tetapi hal ini perlu untuk kita pelajari tersendiri agar lebih paham akan kandungan dan makna-maknanya.
- Penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Allah Subhanahu wa ta’ala
Penjelasan-penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Allah Subhanahu wa ta’ala bisa menumbuhkan sikap raja’ dalam hati-hati kita. Di antaranya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
“Sungguh kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya melebihi kasih sayang perempuan itu (ibu) terhadap anaknya.” (Muttafaqun ‘alaih)([6])
Sungguh hadits ini sangat luar biasa yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya, melebihi sayang seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak suuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Di antaranya juga adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka.”([7])
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا، فَقَالَ: اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا، فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: عَبْدِي أَذْنَبَ ذَنْبًا، فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا، فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ، اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
“Dahulu, ada seorang yang telah berbuat dosa. Setelah itu, ia berdoa dan bermunajat: ‘Ya Allah, ampunilah dosaku’, kemudian Allah berfirman: ‘Sesungguhnya hamba-Ku mengaku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa atau memberi siksa karena dosa’. Kemudian orang tersebut berbuat dosa lagi dan ia berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa atau menyiksa hamba-Nya karena dosa’. Kemudian orang tersebut berbuat dosa lagi dan ia berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa atau menyiksa hamba-Nya karena dosa. Oleh karena itu, berbuatlah sekehendakmu, karena Aku pasti akan mengampunimu (jika kamu bertaubat)’.”([8])
Sungguh banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang luasnya rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi sebagaimana kita katakan bahwa jika seseorang hanya memperhatikan dalil-dalil tentang rahmat Allah tanpa memiliki sikap khauf, maka dia akan terjerumus dalam sikap merasa aman dari makar Allah yang merupakan dosa besar. Seseorang yang hanya memperhatikan dalil-dalil tentang rahmat Allah dan mengesampingkan rasa khauf kepada-Nya, maka dia pasti akan tenggelam dalam maksiat dan dosa. Oleh karena itu raja’ harus disertai dengan khauf.
- Penjelasan firman-firman Allah Subhanahu wa ta’ala
Di antara ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala yang bisa menumbuhkan sikap raja’ dalam hati kita yaitu,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (QS. Az-Zumar : 53)
Sebagian ulama ada yang membahas tentang ayat-ayat yang paling memberikan harapan bagi pelaku dosa. Tentunya para ulama khilaf dalam masalah ini, tentang ayat manakah yang paling memberikan harapan yang besar bagi pelaku dosa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa di antara ayat-ayat yang memberikan harapan bagi pelaku dosa adalah ayat tentang utang piutang dalam surah Al-Baqarah yang merupakan ayat terpanjang dalam Alquran. Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apa-bila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
Para ulama seperti As-Suyuthi menjelaskan bahwa jika masalah utang-piutang yang sepele seperti ini Allah perhatikan dengan detail, hal ini tidak lain karena Allah Subhanahu wa ta’ala sayang kepada hamba-hamba-Nya.
Intinya kita harus menumbuhkan sikap raja’ kepada Allah di dalam hati-hati kita, agar kita tidak menjadi orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf : 99)
Syarah
Ayat ini adalah dalil pertama yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sekaligus menjadi judul bab. Dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa orang-orang yang merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala, maka pasti dia adalah orang yang sikap raja’nya tinggi namun sikap khaufnya rendah.
Makar adalah suatu kata yang telah kita pahami bersama, namun kata makar disandarkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari sisi muqabalah (sikap respon), yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala berbuat makar kepada orang yang berbuat makar. Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berbuat makar secara ibtida’an (memulai). Sifat Allah seperti ini banyak disebutkan di dalam Alquran, di antaranya adalah Allah mengejek orang-orang yang mengejek Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ، اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ‘Kami telah beriman’. Tetapi apabila mereka kembali kepada syaithan-syaithan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok’. Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. Al-Baqarah : 14-15)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا، وَأَكِيدُ كَيْدًا
“Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat. Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu.” (QS. Ath-Thariq : 15-16)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang munafik,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa’ : 142)
Di antaranya juga adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang makar, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal : 30)
Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan bahwa Allah itu Al-Maakir (Yang Maha Membuat Makar) karena itu bukan nama Allah. Dan ketahuilah bahwa nama Allah itu memiliki syarat, yaitu terpuji dalam segala kondisi. Adapun sifat “makar” bagi Allah hanya bisa terpuji ketika Allah berbuat makar kepada orang yang berbuat makar. Oleh karena itu sifat makar bagi Allah itu terpuji bersyarat, sehingga tidak pantas untuk dijadikan nama Allah Subhanahu wa ta’ala. ([9])
Makar Allah Subhanahu wa ta’ala merupakan azab-Nya yang disifati bahwa makar tersebut Allah timpakan tanpa orang-orang pembuat makar sadar akan hal itu. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang kaum Nabi Shaleh ‘alaihissalam,
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ، قَالُوا تَقَاسَمُوا بِاللَّهِ لَنُبَيِّتَنَّهُ وَأَهْلَهُ ثُمَّ لَنَقُولَنَّ لِوَلِيِّهِ مَا شَهِدْنَا مَهْلِكَ أَهْلِهِ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ، وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan. Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita pasti akan menyerang dia bersama keluarganya pada malam hari, kemudian kita akan mengatakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kebinasaan keluarganya itu, dan sungguh kita orang yang benar’, Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml : 48-50)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ
“Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari.” (QS. An-Nahl : 26)
Oleh karena itu, ayat-ayat sebelum dari ayat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bab ini berbunyi,
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ، أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ
“Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain?” (QS. Al-A’raf : 97-98)
Ini menunjukkan bahwa makar Allah itu datang tanpa mereka sadari. Hal ini juga menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah pembuat makar terbaik, karena betapa banyak orang yang berusaha membuat makar akan tetapi makar tersebut ketahuan oleh orang lain. Maka dari itu Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan Allah sebaik-baik pembuat tipu daya”. (QS. Ali-‘Imran : 54)
Di antara bentuk makar Allah Subhanahu wa ta’ala adalah الاِسْتِدْرَاجُ istidraaj, yaitu mengulur dan membiarkan pelaku maksiat sehingga tambah parah. Istidraj adalah bentuk hukuman yang banyak orang tidak menyadarinya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (kepada kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf : 182)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan istidraj.”([10])
Orang yang telah terkena istidraj menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sedang berbuat makar kepadanya, sehingga orang tersebut semakin parah dalam kemaksiatannya.
Para ulama menyebutkan beberapa hal tentang alasan mengapa seseorang bisa sampai merasa aman dari makar Allah.
- Terus bermaksiat sementara tidak ada teguran dari Allah
Seseorang yang bermaksiat dan tidak mendapat teguran dari Allah Subhanahu wa ta’ala akan merasa bahwa maksiat yang dia lakukan bukanlah sebuah masalah, sehingga akhirnya dia terus melakukan maksiat yang satu ke maksiat yang lainnya. Terlebih lagi jika dia mendapati rezekinya terus bertambah, maka dia akan semakin merasa bahwa maksiatnya tidak memberikan pengaruh sama sekali, atau paling tidak dia akan menganggap bahwa maksiat itu hanyalah perkara kecil, padahal kita tahu bahwa seberapa pun kecil maksiat seseorang pasti akan memberikan pengaruh.
Seseorang yang tidak mendapat teguran dari maksiatnya, merasa lolos dari kesulitan dan keburukan sementara dia masih terus bermaksiat, maka dia akan merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala, padahal “merasa aman” itu saja sudah merupakan dosa tersendiri.
- Merasa ujub dengan apa yang telah dia lakukan
Terkadang seseorang ujub dengan apa yang telah dia lakukan, dia merasa bahwa apa yang telah dia lakukan adalah hal yang besar, hal yang hebat, atau hal yang menakjubkan, sehingga dia merasa bahwa Allah tidak akan menegur dan mengazabnya, akhirnya dia terjerumus dalam sikap merasa aman dari makar Allah.
Matan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ
“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr : 56)
Syarah
Ini adalah perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang Allah Subhanahu wa ta’ala abadikan dalam surah Al-Hijr, yaitu dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَنَبِّئْهُمْ عَنْ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ إِنَّا مِنْكُمْ وَجِلُونَ، قَالُوا لَا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ، قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَى أَنْ مَسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ، قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْقَانِطِينَ، قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Dan kabarkanlah (Muhammad) kepada mereka tentang tamu Ibrahim (malaikat). Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, ‘Salam’. Dia (Ibrahim) berkata, ‘Kami benar-benar merasa takut kepadamu’. (Mereka) berkata, ‘Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang pandai (Ishak)’. Dia (Ibrahim) berkata, ‘Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kamu memberi (kabar gembira) tersebut?’ (Mereka) menjawab, ‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa’. Dia (Ibrahim) berkata, ‘Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat’.” (QS. Al-Hijr : 51-56)
Ayat ini merupakan dalil akan haramnya berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Ada beberapa sebab mengapa seseorang bisa berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antara sebabnya adalah karena rasa khauf (takut) yang berlebih-lebihan. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa barangsiapa yang hanya beribadah kepada Allah hanya karena takut maka dia seperti orang khawarij([11]). Di antara hal yang membuat seseorang berputus asa dari rahmat Allah adalah karena saking banyaknya dosa yang telah dia lakukan, karena dia merasa dosanya sangat banyak maka dia berputus asa dan menganggap bahwa dia tidak akan diampuni lagi. Di antara hal lain yang membuat seseorang berputus asa dari rahmat Allah adalah karena dia merasa tidak bisa menghadapi ujian-ujian dunia yang diberikan kepadanya. Mungkin ada seseorang yang sudah sampai puluhan kali melamar kerja namun tidak diterima, atau mungkin ada seseorang yang sudah kerja bertahan-tahun namun tidak pernah bisa mencukupi kebutuhannya, akhirnya orang-orang seperti ini putus asa karena tidak bisa meraih dunia dan menganggap bahwa dunia ini sempit baginya, hingga kemudian dia suuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa berhusnuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan meyakini bahwa apa yang Allah tetapkan adalah yang terbaik dengan hikmah-Nya.
Dan sebab putus asa akan rahmat Allah bisa merusak tauhid seseorang adalah: “Karena secara tidak langsung terdapat anggapan bahwa Allah tidak mampu melakukan yang demikian, dan seakan-akan menganggap bahwa Allah bukanlah Dzat yang maha pemurah, pengampun, lagi penyayang”.
Matan
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang dosa-dosa besar, maka beliau menjawab,
الشِّرْكُ بِالله، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ الله، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ الله
“Berbuat syirik kepada Allah, berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.”
Syarah
Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama tentang kesahihannya. Sebagian ulama ada yang menghasankannya seperti Al-Haitami, Al-‘Iraqi, dan yang lainnya. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang mauquf kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Akan tetapi, baik itu yang berbicara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, maka hal itu sama saja. Karena meskipun yang berbicara adalah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, maka dia telah berbicara tentang sesuatu yang gaib yang hukumnya masuk kedalam hukum marfu’. ([12])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini menyebutkan tiga dosa besar, dan di antaranya adalah merasa aman dari makar Allah. Ini menunjukkan bahwa merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala adalah dosa besar.
- Berbuat syirik kepada Allah
Kita telah sama-sama paham bahwa yang namanya berbuat syirik adalah dosa besar, baik dia masuk kategori syirik ashghar, terlebih lagi syirik akbar.
- Berputus asa dari rahmat Allah
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata رَوْحِ untuk menunjukkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. lantas apa perbedaan antara رَوْحِ dengan رَحْمَة? رَحْمَة memiliki makna rahmat Allah yang lebih luas, yaitu mencakup sesuatu yang diharapkan datang dan mencakup kesulitan yang hendak dihilangkan. Adapun رَوْحِ berkaitan dengan rahmat Allah untuk menghilangkan kesulitan yang dia hadapi. Oleh karena itu, berkata Nabi Ya’qub ‘alaihissalam kepada anak-anaknya,
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dalam ayat ini menggunakan kata رَوْحِ untuk menunjukkan bahwa beliau sedang mengalami kesulitan dan mengajarkan anak-anaknya untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah agar Dia menghilangkan kesulitan yang beliau hadapi.
Sebagaimana kita telah jelaskan pula bahwa berputus ada dari rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala merupakan perbuatan dosa besar, dan merupakan sifat orang-orang khawarij.
- Merasa aman dari makar Allah
Perkara ini yang disebutkan oleh penulis, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bab ini. Telah kita sebutkan pula bahwa jangan sampai seseorang merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya kita semua adalah orang-orang yang pernah bermaksiat, maka sejatinya yang kita lakukan setelah itu adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan tidak menunda-nunda. Ketahuilah bahwa orang-orang yang menunda-nunda bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah karena dia merasa aman dari makar Allah, dan juga merasa aman bahwasanya dia tidak akan tertimpa apa-apa.
Sejatinya, tidak adanya perkara buruk yang menimpa seseoranglah yang menjadi penyebab seringnya seseorang merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi tidak bagi orang yang beriman, mereka akan langsung bertaubat kepada Allah jika dia telah berbuat maksiat dan dosa.
Matan
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ، وَالْقَنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
“Dosa yang paling besar adalah: Syirik kepada Allah; Merasa aman dari makar Allah; Putus asa dari rahmat Allah; dan berputus asa dari rahmat Allah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq)
Syarah
Selain hadits ini merupakan dalil tentang bahayanya seseorang merasa aman dari makar Allah, hadits ini juga dalil bahwasanya dalam syariat ada yang namanya dosa besar dan ada pula yang namanya dosa kecil. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa (kecil) yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’ : 31)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang penghuni surga,
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Maha Luas Ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm : 32)
Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala membedakan antara dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.
Definisi dari dosa-dosa besar adalah dosa yang diberi ancaman secara khusus dalam syariat. Adapun bentuk-bentuk ancaman tersebut bermacam-macam, di antaranya diancam dengan neraka Jahannam, atau ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang melakukannya bukan merupakan umat beliau, atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu terlaknat, dan bentuk ancaman lain. Maka segala perbuatan yang mendapat ancaman secara khusus dari Alquran dan Sunnah, maka itu adalah dosa besar. ([13]) Di antara perkara-perkara yang mendapat ancaman khusus adalah seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Barangsiapa yang memiliki dua orang istri kemudian ia condong kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring.”([14])
Ini menunjukkan bahwa tidak berbuat adil kepada istri-istri merupakan dosa besar. Masih banyak lagi perkara-perkara yang mendapat ancaman khusus oleh syariat. Bahkan sebagian ulama telah mengumpulkannya dalam sebuah kitab-kitab mereka tentang perkara-perkara yang termasuk dosa-dosa besar. Adapun yang dimaksud dengan dosa-dosa kecil adalah dosa yang tidak diancam dengan ancaman yang khusus.
Matan
Kandungan bab ini:
- Tafsir tentang ayat dalam surah Al-A’raf
- Tafsir tentang ayat dalam surah Al-Hijr
- Ancaman yang keras bagi orang yang merasa aman dari makar Allah
- Ancaman yang keras bagi orang yang berputus asa dari rahmat Allah
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
____________________
([1]) HR. Muslim no. 2877
([2]) Roja’ (rasa harap) yang ada di dalam hati manusia ada tiga macam:
- Roja’ orang yang melakukan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cahaya Allah ‘Azza wa Jalla, dan dia berharap pahala dari amalannya, Allah ‘Azza wa Jalla menerima amalannya.
- Roja’ orang yang telah melakukan kemaksiatan lalu iapun bertaubat, dan ia berharap ampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla, kemurahanNya, dan rahmatNya.
Dan dua roja’ (Rasa harap) ini adalah roja yang mulia dan disyariatkan.
- Roja’ orang yang tidak beramal dan terus bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini adalah roja yang dusta. (Lihat Madarij As-Salikin, Ibnu Al-Qoyyim, 2/37)
([3]) Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 44-45.
([5]) Lihat Roudhoh Al-Muhibbin, Ibnu Al-Qoyyim, 1/47, Thoriq Al-Hijrotain, Ibnu Al-Qoyyim, 1/233.
Dan di antara dalil terkuat akan hal ini, adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hambanya yang bertaubat dan Allah mencintai hambanya yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqoroh:222)
Dan di dalam ayat ini Allah tidak mengatakan bahwa yang Allah cintai hanya yang bertaubat dan aku ampuni. Akan tetapi Allah mutlakkan cinta Allah untuk semua hambanya yang bertaubat.
([6]) HR. Bukhari no. 5999 dan HR. Muslim no. 2754
Dan sebab wurud hadits ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Umar radhiallahu’anhu:
قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْيِ قَدْ تَحْلُبُ ثَدْيَهَا تَسْقِي، إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ، فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ، فَقَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتُرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ» قُلْنَا: لاَ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ، فَقَالَ: «لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا»
“Pernah suatu kali dihadapkan tawanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ternyata ada wanita dari salah satu tawanan yang sudah mempersiapkan payudaranya untuk menyusui, dan kemudian ia menadapati anak kecil lalu ia mengambilnya, kemudian ia merangkulnya dan menyusuinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami: “Menurut kalian, akankah wanita ini tega melempar anaknya ke adalam api?”, Kami menjawab: “Tidak”, dan ia mampu untuk tidak melemparkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesunggunya Allah lebih penyayang kepada hambanya daripada ibu ini kepada anaknya” (HR. Bukhori, No.5999 dan Muslim, No.2754)
Dalam sebagian riwayat تَبْتَغِي “Ia mencari” (HR Muslim no 2754).
Ibnu Hajar berkata :
وَعُرِفَ مِنْ سِيَاقِهِ أَنَّهَا كَانَتْ فَقَدَتْ صَبِيَّهَا وَتَضَرَّرَتْ بِاجْتِمَاعِ اللَّبَنِ فِي ثَدْيهَا فَكَانَتْ إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا أَرْضَعَتْهُ لِيَخِفَّ عَنْهَا فَلَمَّا وَجَدَتْ صَبِيَّهَا بِعَيْنِهِ أَخَذَتْهُ فَالْتَزَمَتْهُ
“Dan diketahui dari konteks hadits bahwasanya wanita ini kehilangan anaknya, dan ia merasa sakit dengna banyaknya air susunya di payudaranya, maka jika ia menemukan anak kecil iapun menyusuinya untuk mengurangi rasa sakitnya. Ketika ia mendapati anaknya maka iapun mengambilnya dan melaziminya” (Fathul Baari 10/430)
([9]) Lihat lebih terperinci dalam kitab Mukhtashor As-Showaiq Al-Mursalah, Ibnu Al-Qoyyim, 1/307.
([11]) Orang khawarij memiliki sifat suka memutuskan asa dari diri mereka dan asa orang lain, sehingga akhirnya sangat mudah di antara mereka saling mengafirkan satu sama lain.
Dan di antara contohnya sikap berlebihan mereka dalam rasa takut adalah: “keyakinan mereka bahwa siapa saja yang melakukan dosa besar maka dia kafir dan kekal di dalam neraka”.
(Lihat : Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 15/21, Badai’ Al-Fawaid, Ibnu Al-Qoyyim, 3/11, dan dinisbahkan oleh Al-Ghozali kepada Makhul dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, 4/166. Dan perkataan ini dibenarkan oleh ‘ulama-‘ulama Ahlussunnah.)
([12]) Berkata imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani:
وَمِثَالُ المَرْفُوْعِ مِن القَوْلِ، حُكْماً لَا تَصْرِيْحاً: أَنْ يَقُوْلَ الصَّحَابيُّ الَّذِي لَم يَأْخُذْ عَنِ الإِسْرَائِيْلِيَّاتِ- مَا لَا مَجَالَ لِلاجْتِهادِ فيهِ، وَلَا لهُ تعلُّقٌ بِبَيَانِ لُغَةٍ أَوْ شَرْحِ غريبٍ
“Diantara contoh hadits marfu’ (yang sampai kepada nabi) dari hadits qouli (ucapan) secara hukum bukan secara shorih adalah : “Sahabat yang dikenal tidak mengambil dari isroiliyyat (cerita orang terdahulu) berbicara tentang hal-hal yang tidak ada ranah ijtihad di sana, dan tidak ada kaitannya dengan penjelasan bahasa atau penjelasan terhadap kalimat-kalimat yang ghorib (susah dipahami). (Nuzhah An-Nazhor, Ibnu Hajar, 1/132)
([13]) Berkata imam Adz-Dzahabi:
مَن ارْتَكَبَ شَيْئًا مِنْ هَذِه العَظَائِمِ مِمَّا فِيهِ حَدُّ فِي الدُّنْيَا كَالْقَتْلِ وَالزِّنَا وَالسَّرِقَة أَوْ جَاءَ فِيهِ وَعِيد فِي الْآخِرَة من عَذَاب أَو غَضَبٍ أَو تَهْدِيْدٍ أَوْ لَعْنٍ فَاعِلِهِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّنَا مُحَمَّد صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَإِنَّهُ كَبِيرَة وَلَا بُد مِنْ تَسْلِيم أَنَّ بَعْضَ الْكَبَائِر أَكْبَرَ مِنْ بَعْضٍ
“Barang siapa yang menerjang salah satu dari perkara-perkara ini, yang terdapat padanya hukuman di dunia, seperti membunuh, zina, dan mencuri. Atau terdapat dalil yang menyebutkan ancaman di akhirat untuk amalan itu, seperti adzab. Atau dalil mengaitkan amalan itu dengan kemarahan Allah ‘Azza wa Jalla, atau ancaman, atau laknatan untuk pelakunya melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia termasuk dosa besar. Dan kita harus mengakui, bahwa dosa besar itu juga bertingkat-tingkat”. (Al-Kabair, Adz-Dzahabi, 8-9)