مَا جَاءَ فِي النُّشْرَةِ
An-Nusyrah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Syarah
An-Nusyrah secara bahasa berasal dari kata نَشَرَ yang maknanya kembali pada makna الفَتْحُ (membuka) ([1]), dan artinya juga adalah البَسْطُ (membuka) ([2]). Lawan kata dari النَّشْرُ adalah الطَّيُّ (melipat) ([3])
Adapun An-Nusyrah secara istilah adalah,
حَلُّ السِّحْرِ عَنِ الْمَسْحُوْرِ
“Melepaskan (menghilangkan) sihir dari orang yang terkena sihir” ([4])
Dari kata البَسْط (menguraikan), yaitu penyihir yang sebelumnya melipat jampi-jampinya yang kemudian dibuka atau dilepas dengan nusyrah. Kata An-Nusyrah diambil dari hadits yang menceritakan tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena sihir dari seorang Yahudi, maka ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata kepada beliau,
أَفَلَا أَيْ تَنَشَّرْتَ؟
“Apakah engkau sudah terlepas dari sihir?” (HR. Bukhari no. 5765)
Ini adalah pengertian Nusyrah dari sisi bahasa dan terminologi.
Nusyrah memiliki dua model([5]).
Model yang pertama adalah nusyrah dengan cara yang syar’i, yaitu dengan menggunakan ruqyah syar’iyah, obat-obatan, dan doa-doa yang dibolehkan. Pengobatan dengan model pertama dibolehkan bahkan dianjurkan.
Model yang kedua adalah nusyrah dengan sihir (sihir dihilangkan dengan sihir).
Metode kedua ini ada beberapa model :
Pertama : Orang yang tersihir datang kepada penyihir, lalu sang penyihir dengan bantuan syaitan mengabarkan kepada orang yang tersihir bahwa buhul-buhul sihir terletak di lokasi tertentu, lalu orang yang tersihirpun mengambil buhul tersebut dan merusaknya
Kedua : Penyihir yang pergi sendiri ke lokasi buhul dan merusak buhul tersebut
Ketiga : Penyihir memerintahkan orang yang disihir untuk melakukan beberapa perkara, seperti menyembelih kambing, atau sapi, atau ayam, dan yang semisalnya, dan ketika menyembelih hendaknya menyebut nama penyihir, atau nama jin tertentu, atau tanpa menyebut nama Allah.
Keempat : Penyihir menuliskan jampi-jampi atau membuatkan jimat bagi orang yang tersihir agar memakai jimat tersebut untuk melawan sihir yang menimpanya([6]).
Untuk metode yang kedua ini terdapat khilaf di kalangan para ulama, ada yang mengharamkan dan ada yang menghukumi mubah (boleh). Para ulama yang mengharamkan di antarnya adalah para ulama Hanbali seperti Ibnu Taimiyah, ([7]) Ibnul Qayyim([8]), dan para ulama Hanbali zaman sekarang yaitu Syaikh Bin Baz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan Ibnu Jibrin rahimahumullah. Demikian juga ini adalah pendapat madzhab Maliki ([9]), dan madzhab Syafi’i([10]) mengharamkan nusyrah dengan sihir.
Para ulama yang membolehkan adalah mayoritas (jumhur) ulama Hanbali (diantaranya : Ibnu Qudamah([11]), Al-Mardawi, Ibnu Muflih, Ibnu Najar, dan Al-Buhuti, dan tidak terlalu jauh jika dikatakan bahwa ini pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali, karena ini yang dinyatakan di dalam Muntaha dan Ar-Roudh Al-Murbi’ dan itu juga yang ditetapkan dalam Ghoyah Al-Muntaha. ([12]) ([13])). Adapun dari kalangan ulama Syafi’iyah yang membolehkan adalah Al-Muzani.
Para ulama yang membolehkan membagi alasan bolehnya karena dua hal, pertama boleh karena bermanfaat sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, kedua boleh karena darurat.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri memilih pendapat bahwa nusyrah dengan sihir hukumnya haram.
Matan
Dari Jabir bin Abdillah, di berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ النُّشْرَةِ؟ فَقَالَ: هِيَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَان
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang An-Nusyrah. Maka beliau berkata, ‘An-Nusyrah itu dari perbuatan syaithan.” (HR. Ahmad)
Dan Abu Daud berkata bahwa Imam Ahmad ditanya tentang nusyrah, maka Imam Ahmad berkata,
ابْنُ مَسْعُوْدٍ يَكْرَهُ هَذَا كُلَّهُ
“Ibnu Mas’ud membenci itu semua.”([14])
Syarah
Dalam hadits ini, nusyrah ditulis dengan النُّشْرَة, yaitu terdapat alif lam yang disebut sebagai ال لِلْعَهْدِ (alif lam lil ‘ahd), yaitu menunjukkan bahwa nusyrah yang dimaksud adalah nusyrah yang telah ada di benak (pengetahuan) seseorang tanpa harus diungkapkan lagi. Artinya nusyrah yang dimaksud bukanlah seluruh nusyrah, akan tetapi nusyrah yang sering dilakukan di zaman jahiliyah yaitu nusyrah dengan sihir yang merupakan kesyirikan. Sehingga ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang nusyroh tersebut maka beliau langsung menjawab,
هِيَ مِنْ عَمَلِ الشّيْطَان
“An-Nusyrah itu dari perbuatan syaithan.”
Oleh karenanya yang dimaksud dalam hadits ini adalah nusyrah yang yang ada di dalam benak mereka yaitu nusyrah di zaman jahiliah yang dilakukan dengan mendatangi tukang sihir untuk melepaskan sihir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa nusyrah yang semacam ini adalah di antara perbuatan syaithan, ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan nusyrah dengan sihir.
Adapun jika yang ditanyakan adalh nusyrah dengan cara ruqyah, maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab demikian. ‘Auf bin Malik berkata,
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Kami dahulu melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ya Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang itu (ruqyah)?’ Beliau menjawab, ‘Paparkan (peragakan) ruqyah kalian itu di hadapanku. Ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.”([15])
Matan
Dan dalam Shahih Al-Bukhari dari Qatadah radhiallahu ‘anhu mengatakan,
قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ المُسَيِّبِ: رَجُلٌ بِهِ طِبٌّ، أَوْ: يُؤَخَّذُ عَنِ امْرَأَتِهِ، أَيُحَلُّ عَنْهُ أَوْ يُنَشَّرُ؟ قَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا يُرِيدُونَ بِهِ الإِصْلاَحَ، فَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَلَمْ يُنْهَ عَنْهُ
“Aku bertanya kepada Ibnu Al-Musayyab, ‘Ada seseorang yang terkena sihir atau diguna-gunai sehingga tidak dapat menggauli istrinya. apakah boleh disembuhkan dengan nusyrah, atau dengan cara lain?’ Ia menjawab, ‘Tidak mengapa dengan nusyrah, karena yang mereka inginkan hanyalah kebaikan untuk menolak mudharat. Sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu tidaklah dilarang’.” (HR. Bukhari)
Syarah
Hadits ini dijadikan oleh jumhur ulama Hanabilah bahwasanya nusyrah boleh karena niatnya baik dan bermanfaat, dan dibolehkan oleh Ibnul Musayyab salah seorang dari tabi’in. Dan hadits ini seakan-akan menunjukkan bahwa Ibnul Musayyab membolehkan nusyrah secara mutlaq meskipun dengan menggunakan sihir.
Matan
Dan diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan,
لَا يَحِلُّ السِّحْرَ إِلَّا سَاحِرٌ
“Tidak ada yang dapat menghilangkan pengaruh sihir kecuali tukang sihir.”
Syarah
Perkataan Hasan Al-Bashri mengisyaratkan bahwa nusyrah itu haram, karena tidak ada yang dapat menghilangkan pengaruh sihir kecuali seorang penyihir, sedangkan kita telah diharamkan untuk mendatangi penyihir.
Matan
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
وَالنَّشْرَةُ: حَلُّ السِّحْرِ عَنْ الْمَسْحُورِ، وَهِيَ نَوْعَانِ: حَلُّ سِحْرٍ بِسِحْرٍ مِثْلَهُ، وَهُوَ الَّذِي مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ؛ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ قَوْلُ الْحَسَنِ، فَيَتَقَرَّبُ النَّاشِرُ وِالْمُنْتَشِرُ إِلَى الشَّيْطَانِ بِمَا يُحِبُّ، فَيُبْطِلُ عَمَلَهُ عَنْ الْمَسْحُورِ، وَالثَّانِي: النَّشْرَةُ بِالرُّقْيَةِ وَالتَّعَوُّذَاتِ وَالدَّعَوَاتِ وَالْأَدْوِيَةِ الْمُبَاحَةِ، فَهَذَا جَائِزٌ
“Nusyrah ialah penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam, Pertama, menghilangkan sihir dengan sihir pula, dan inilah yang termasuk perbuatan syaithan. Dan pendapat Al-Hasan tersebut dapat dimasukkan ke dalam jenis ini, karena orang yang menyembuhkan dan orang yang disembuhkan mengadakan pendekatan kepada syaithan dengan apa yang disukai oleh syaithan, sehingga dengan demikian perbuatan syaithan itu gagal memberi pengaruh terhadap orang yang terkena sihir itu. Kedua, penyembuhan dengan menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awudz, obat-obatan dan doa-doa yang diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh).” ([16])
Syarah
Ini adalah kesimpulan yang indah dari Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya nusyrah itu ada dua macam sebagaimana telah kita sebutkan, yaitu jika dengan ruqyah maka dibolehkan, dan jika dengan sihir maka tidak dibolehkan.
Khilaf-khilaf yang terjadi di kalangan para ulama tentang Nusyrah
- Khilaf ulama tentang nusyrah menggunakan sihir.
Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa nusyrah dengan menggunakan sihir, terdapat dua pendapat.
- Pendapat Pertama : Hukumnya Haram
Dalil yang dibawakan oleh para ulama yang mengatakan bahwa nusyrah dengan sihir adalah haram, di antaranya adalah,
Dalil Pertama : Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النُّشْرَةِ فَقَالَ: هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai nusyrah, kemudian beliau menjawab: ‘Itu termasuk perbuatan setan’.”([17])
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperinci tentang nusyrah, akan tetapi yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nusyrah yang ma’ruf dikerjakan yaitu dengan sihir. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan secara mutlak.
Dalil Kedua : Nusyrah melazimkan beberapa hal yaitu,
Pertama, mendatangi dukun atau penyihir.
Kedua, melazimkan untuk membenarkan perkataan dukun atau penyihir. Dan sebagaimana telah kita sebutkan pada bab sebelumnya bahwa membenarkan perkataan dukun atau penyihir adalah kekufuran.
Ketiga, merupakan bentuk berobat yang haram. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.”([18])
Keempat, melazimkan dukun penyihir diberi tempat (membuka praktik).
- Pendapat Kedua : Hukumnya mubah (boleh)
Di antara dalil yang dibawakan para ulama yang berpendapat bahwa nusyrah dengan sihir itu boleh yaitu,
Pertama : Hal ini adalah darurat.
Dan hal ini dibolehkan sebagaimana sebuah kaidah,
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kondisi darurat membolehkan hal yang dilarang.”
Hal ini sebagaimana dibolehkannya memakan babi atau bangkai jika berada dalam kondisi darurat.
Kedua : Sifat tawaqqufnya Imam Ahmad([19])
Imam Ahmad tidak dengan tegas mengharamkan dan tidak tegas pula membolehkan. Al-Atsrom berkata :
سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ يَزْعُمُ أَنَّهُ يَحُلُّ السِّحْرَ، فَقَالَ: قَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ النَّاسِ. قِيلَ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: إنَّهُ يَجْعَلُ الطِّنْجِيرَ مَاءً، وَيَغِيبُ فِيهِ، وَيَعْمَلُ كَذَا، فَنَفَضَ يَدَهُ كَالْمُنْكِرِ، وَقَالَ: مَا أَدْرِي مَا هَذَا؟ قِيلَ لَهُ: فَتَرَى أَنْ يُؤْتَى مِثْلُ هَذَا يَحُلُّ السِّحْرَ؟ فَقَالَ: مَا أَدْرِي مَا هَذَا؟
“Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya tentang seseorang yang mengaku ia bisa mengilangkan sihir. Maka Imam Ahmad berkat, “Sebagian ulama telah memberikan keringanan akan hal ini”. Lalu dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya ia meletakan air di periuk lalu air tersebut lenyap di periuk tersebut, dan ia melakukan ini dan itu”. Maka Imam Ahmad pun mengebaskan tangannya seperti seseorang yang mengingkari, dan beliau berkata, “Aku tidak tahu apa ini?”. Lalu dikatakan kepada beliau, “Apakah menurutmu orang seperti ini didatangi untuk menghilangkan sihir?”, beliau berkata, “Aku tidak tahu apa ini” ([20])
Perhatikan, perbuatan orang tersebut jelas merupakan sihir dimana air bisa lenyap di tempayan, namun ketika Imam Ahmad ditanya lagi bahwa apakah boleh mendatangi orang yang seperti itu, beliau juga mengatakan tidak tahu. Padahal perkara tersebut seperti halnya sihir. Maka dari sini sebagian ulama Hanbali mengambil kesimpulan bahwa Imam Ahmad sendiri tidak mengharamkan nusyrah dengan sihir, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu dibolehkan.
Ketiga : Kisah ‘Aisyah disihir.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha memiliki budak mudabbar, yaitu budak yang bisa merdeka jika tuannya meninggal dunia. Karena budak ini ingin segera bebas, maka diapun menyihir ‘Aisyah radhiallahu ‘anha agar meninggal dunia. Setelah disihir, ‘Aisyah kemudian sakit. Setelah itu saudara-saudara ‘Aisyah bertemu dengan seseorang dari Sindi (India/Pakistan), kemudian menceritakan kondisi ‘Aisyah. Maka orang dari Sindi tersebut mengatakan bahwa wanita yang diceritakan (‘Aisyah) sedang tersihir, dan yang menyihirnya adalah budaknya. Maka disampaikanlah perkataan orang Sindi tersebut kepada ‘Aisyah. Maka ‘Aisyah pun memanggil budak tersebut dan berkata, “Apakah engkau menyihirku?” Budak tersebut menjawab, “Ya”. ‘Aisyah kemudian bertanya, “Kenapa engkau melakukan itu?” Budak itu menjawab, “Aku ingin segera merdeka (bebas)”. Maka akhirnya ‘Aisyah menyuruh saudaranya untuk menjual budak tersebut kepada orang Arab Badui yang bisa bersikap buruk terhadap para budak. Setelah kejadian itu, ‘Aisyah akhirnya berdoa kepada Allah meminta kesembuhan, dan bersabar. Suatu hari ‘Aisyah bermimpi bahwa dia disuruh mandi dengan air dari tiga sumur, maka akhirnya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mandi dengan air dari tiga sumur dan akhirnya sembuh. Dari kisah ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak mengingkari perkataan orang Sindi tersebut, padahal orang Sindi tersebut adalah penyihir dengan dalil dia mengetahui bahwa yang menyihir ‘Aisyah adalah budaknya, sementara tidak ada orang yang memberitahukan hal tersebut kepadanya. Maka dari kisah ini, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha membenarkan perkataan penyihir tersebut.
Pendapat yang terkuat diantara kedua pendapat di atas -wallahu a’lam- adalah pendapat minoritas ulama yang mengatakan bahwa nusyrah itu haram. Alasannya adalah dalil yang dibawakan oleh para ulama yang mengharamkan sangat kuat. Di antara dalil mereka yang paling kuat adalah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Nusyroh termasuk perbuatan syaitan”. Tidak ada yang bisa melawan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan tidak mungkin yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ruqyah syar’i, akan tetapi yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nusyrah dengan sihir. Selain itu melakukan nusyrah dengan sihir melazimkan perkara-perkara kekufuran.
Adapun pendapat-pendapat yang membolehkan nusyrah dengan sihir, maka kita bisa membantah dengan jawaban sebagai perikut,
Adapun pernyataan mereka bahwa nusyroh dengan sihir dibolehkan karena darurat maka bisa dibantah dari beberapa sisi :
Pertama : Para ulama berselisih pendapat tentang hukum “berobat”. Sebagian berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah (disyari’atkan), dan sebagian lagi berpendapat bahwa hukumnya adalah mubah, dan pendapat ketiga yaitu “tidak berobat” lebih baik. Namun tidak ada ulama yang menyatakan bahwa hukum asal “Berobat” adalah wajib. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa ulama sepakat bahwa hukum asal berobat adalah tidak wajiab. Jika perkaranya demikian maka tidak ada kata “darurat” untuk melakukan sihir dalam rangka berobat.
Kedua : Suatu perkara yang haram boleh dilakukan dengan dalil “darurat” jika perkara tersebut pasti bisa menghilangkan kedaruratan tersebut. Hal ini sebagaimana seseorang yang kepalaran dan jika tidak makan ia akan meninggal dunia, sementara tidak ada makanan yang lain kecuali bangkai, maka ketika itu boleh ia makan bangkai karena darurat. Hal ini dibolehkan karena bangkai yang dimakan bisa dipastikan menghilangkan kondisi daruratnya tersebut (rasa laparnya).
Adapun nusyrah dengan sihir maka tidak memenuhi kriteria ini karena belum tentu berhasil. Bahkan betapa banyak orang yang tersihir pergi ke dukun ternyata tetap saja meninggal
Ketiga : Nusyrah dengan sihir tidak bisa dikatakan sebagai hal yang darurat, karena masih ada alternatif lain untuk menghilangkan sihir, yaitu dengan ruqyah yang syar’i.
Adapun pendalilan mereka dengan sikap tawaqqufnya Imam Ahmad, maka bisa dibantah dari empat sisi.
Pertama : Imam Ahmad justru condong kepada pengingkaran. Karena dalam riwayat yang dibawakan oleh Al-Atsram, Imam Ahmad menolak dengan tangannya, ([21]) dan ini merupakan bentuk bahwa Imam Ahmad condong kepada pengingkaran.
Kedua : Terdapat atsar yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad tidak menyukainya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang meruqyah dengan cara orang yang meruqyah berbicara dengan jin. Orang ini tidak sharih melakukan sihir, hanya saja dia memiliki anak buah jin, dan meminta bantuan jin tersebut untuk menghilangkan pengaruh sihir. Maka Imam Ahmad mengatakan,
وَلاَ أُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَهُ وَتَرْكُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ
“Dan saya tidak suka siapa pun melakukannya, dan meninggalkannya lebih aku sukai.”([22])
Jika yang tidak menggunakan sihir saja tidak disukai oleh Imam Ahmad, maka bagaimana lagi dengan yang menggunakan sihir.
Ketiga : Kalaupun asalnya Imam Ahmad mengatakan bahwa nusyrah dengan sihir itu boleh, maka kita katakan bahwa perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kuat. Dan bukanlah yang demikian itu merendahkan imam Ahmad, bahkan itulah bentuk penghormatan kita kepada imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala, yang mana beliau mengajarkan kepada murud-muridnya untuk tidak menentang dalil dengan perkataannya.
Keempat : Imam yang lain juga ada yang mengharamkan, dan tidak mungkin perkataan imam Ahmad kita jadikan dalil untuk menolak perkataan imam yang lain, sedangkan pendapat sahabat saja, jika ada sahabat yang lain menyelisihinya, tidak bisa dijadikan hujjah, akan tetapi harus dilihat dari-dalil yang ada mana salah satu dari pendapat mereka yang paling kuat dan lebih dekat kepada dalil. Sebagaimana yang telah dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh.
Adapun pendalilan mereka dengan kisah Aíyah, maka bisa dibantah dari tiga sisi.
Pertama : Ketika ‘Aisyah mendapatkan informasi tersebut (dari lelaki Sindi) maka ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak langsung membenarkan, akan tetapi terlebih dahulu melakukan pengecekan dengan bertanya kepada budaknya. Ini menunjukan bahwa Aisyah tidak serta merta membenarkan perkataan dukun. Hal ini sebagaimana jika ada seorang kafir memberi informasi maka kita silahkan mengecek terlebih dahulu, jika benar informasinya maka tidak mengapa kita membenarkannya. Kita membenarkannya bukan karena dia sebagai orang kafir, akan tetapi karena setelah melakukan pengecekan.
Kedua : ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tidak minta untuk dinusyrah oleh laki-laki dari Sindi tersebut. Akan tetapi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bersabar dan terus berdoa hingga Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kesembuhan melalui mimpi.
Ketiga : Tidak ada dalil tegas bahwa lelaki Sindi tersebut adalah penyihir, melainkan bisa jadi orang Sindi tersebut hanya menebak berdasarkan pengalaman. Akan tetapi bantahan ketiga agak lemah.
Maka dari sini kita ketahui bahwasanya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah yang dipilih oleh ulama-ulama kontemporer seperti Syaikh bin Baz. Syaikh Al-‘Utsaimin, dan Syaikh Jibrin rahimahumullah.
Apa Yang Harus Dilakukan Jika Terkena Sihir?
- Berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Lihatlah kisah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berdoa kepada Allah meminta kesembuhan. Dan ingatlah bahwa doa adalah yang utama dan paling kuat daripada ruqyah.
- Melakukan Ruqyah syar’i
Seseorang yang terkena sihir bisa melakukan ruqyah dengan ayat-ayat di dalam Alquran seperti Al-Mu’awwidzatain; surah Al-Fatihah; atau surah Al-Baqarah yang kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah Al-Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh berkah, dan dengan tidak membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir.”([23])
Dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.”([24])
Kemudian seseorang juga bisa meruqyah dengan membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan sihir sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para salaf. Di antaranya adalah ayat yang bercerita tentang kisah Nabi Musa ‘alaihissalam yang melawan Fir’aun, yaitu firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَى مَا جِئْتُمْ بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ، وَيُحِقُّ اللَّهُ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
“Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: “Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya”. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengukuhkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” (QS. Yunus : 81-82)
فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 118)
إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” (QS. Thaha : 69)
Pendapat yang benar terkait masalah ruqyah adalah pendapat yang mengatakan bahwa ruqyah lebih condong kepada pengobatan. Maka boleh seseorang meruqyah dengan cara apa pun selama yang dilakukan tersebut tidaklah haram. Oleh karenanya tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ruqyah pada zaman jahiliyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Paparkan (peragakan) ruqyah kalian itu di hadapanku. Ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.”([25])
Dan yang perlu diperhatikan tatkala meruqyah adalah hindari bicara terlalu banyak dengan jin. Cukup membaca ayat-ayat hingga dia keluar. Karena kita tidak tahu bagaimana akhlak mereka apakah mereka jujur atau suka berbohong, dan terkadang cerita mereka dicampur dengan kedustaan.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________________
([1]) Lihat Mu’jam Maqooyyis Al-Lughoh, Ibnu Faaris 5/430
([2]) Lihat Lisaan al-Árob, Ibnu Mandzuur 5/208
([3]) Lihat Jamharot al-Lughoh, Ibnu Duraid al-Azdi 2/735
([4]) Lihat I’laam al-Muwaqqiín, Ibnul Qoyiim 4/301
([5]) Lihat I’laam al-Muwaqqiín, Ibnul Qoyiim 4/301
([6]) Lihat an-Nusyroh, Abdul Ádzim Aba Bathein hal 22-24
([7]) Lihat Majmu’ Al-Fatwa, Ibnu Taimiyyah, 10/352
([8]) Lihat I’laam al-Muwaqqiín, Ibnul Qoyiim 4/301
([9]) Ad-Dardir Al-Maliki berkata:
لَا يَسْتَطِيعُ عَاقِلٌ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ أَنْ يَقُولَ فِيهِ أَنَّهُ لَيْسَ بِكُفْرٍ وَأَمَّا إبْطَالُهُ، فَإِنْ كَانَ بِسِحْرٍ مِثْلِهِ فَكَذَلِكَ وَإِلَّا فَلَا
“Orang yang berakal dan beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan mampu untuk mengatakan bahwa sihir bukan termasuk kekufuran. Adapun menghilangkan sihir, maka jika dengan sihir pula semisalnya, maka hukumnya juka kekufuran. Namun jika tidak dengan sihir, maka tidak mengapa” (As-Syarhu Al-Kabir Ma’a Hasyiyah Ad-Dasuqi, Karya Ad-Dardir, 4/302).
([10]) Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi’i berkata :
فَالنُّشْرَةُ الَّتِي هِيَ مِنْ السِّحْرِ مُحَرَّمَةٌ وَإِنْ كَانَتْ لِقَصْدِ حَلِّهِ بِخِلَافِ النُّشْرَةِ الَّتِي لَيْسَتْ مِنْ السِّحْرِ فَإِنَّهَا مُبَاحَةٌ كَمَا بَيَّنَهَا الْأَئِمَّةُ وَذَكَرُوا لَهَا كَيْفِيَّاتٍ
“Adapun Nusyroh yang dilakukan dengan cara sihir, maka yang demikian adalah haram meskipun bertujuan untuk menghilangkan sihir itu. Berbeda dengan nusyroh yang bukan dengan sihir, maka yang demikian adalah mubah sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh para imam, dan mereka menyebutkan tata caranya” (Tuhfah Al Muhtaj, Ibnu Hajar, 9/62. Dan yang semakna dikatakan oleh Ad-Dimyathi dalam kitab I’anah At-Tholibin, 4/138).
([11]) Lihat I’laam al-Muwaqqiín, Ibnul Qoyiim 4/301
([12]) Ghoyah Al-Muntaha, Al-Karmi, 2/506
([13]) Ibnu Najjar Al-Futuhi berkata :
وَيَجُوزُ الْحَلُّ بِسِحْرٍ ضَرُورَةً
“Dan boleh menghilangkan sihir dengan sihir juga dalam kondisi darurat” (Muntaha Al-Irodat, 5/175)
([14]) Kata يكره biasanya menunjukkan ungkapan haram, sehingga maknanya adalah Ibnu Mas’ud mengharamkan nusyrah.
([16]) I’laam al-Muwaqqiín án Rabbil áalamiin, Ibnul Qoyiim 4/301
([19]) Al-Furu’, Wa Tashhih Al-Furu’, Ibnu Muflih, Al-Mardawi, 10/209
([20]) Al-Mughni, Ibnu Qudamah 9/32
([21]) Dan Al-Atsarom sendiri mengatakan: “Seperti orang yang mengingkari”. Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 9/32