بَابُ مِنَ الشَّرْكِ النَّذْرُ لِغَيْرِ اللهِ تَعَالَى
TERMASUK KEYSIRIKAN BERNADZAR UNTUK SELAIN ALLAH
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Nadzar secara syar’i digunakan dalam dua pemaknaan :
Pertama : Nadzar dengan makna umum yaitu bermakna ibadah dan ketaaatan. Sebagaimana firman Allah :
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ
“Mereka menunaikan nadzar mereka” (QS Al-Insaan : 7)
Qotadah menjelaskan kandungan ayat ini dengan berkata :
بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَغَيْرِهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ
“Mereka menunaikan apa yang diwajibkan oleh Allah atas mereka, baik sholat, zakat, puasa, haji, umroh, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya” ([1])
Sebagaimana juga penafsiran sebagian salaf (yaitu Sufyan Ats-Tsauri) terhadap firman Allah
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Dan hendaknya mereka menunaikan nadzar mereka” (QS Al-Hajj : 29)
Yaitu nadzar haji. Setiap orang yang melaksanakan haji, wajib untuk melakukan amal yang diwajibkan di dalamnya, seperti thowaf antara shofa dan marwa, wuquf di Arofah, mabit di Muzdalifah, melempar jamarot dan semua yang mereka diperintahkan dalam haji([2])
Kedua : Nadzar dengan makna khusus (yang ini merupakan topik pembahasan kita), yaitu :
أَنْ يُوْجِبَ [المرْءُ] عَلَى نَفْسِهِ قُرْبَةً لَمْ يُوْجِبْهَا الشَّرْعُ عَلَيْهِ
“Seseorang mewajibkan atas dirinya suatu ibadah yang tidak diwajibkan syari’at atasnya” ([3]) At-Thobari berkata :
يَعْنِي بِالنَّذْرِ: مَا أَوْجَبُهُ الْمَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ تَبَرُّرًا فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَتَقَرُّبًا بِهِ إِلَيْهِ، مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ عَمَلِ خَيْرٍ
“Yang dimaksud dengan nadzar adalah apa yang seseorang wajibkan atas dirinya sendiri dalam rangka melakukan kebaikan dalam ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, baik sedekah maupun amal kebajikan” ([4])
Jenis-jenis Nadzar :
Nadzar secara umum terbagi menjadi dua sebagai berikut :
Pertama : Nadzar kepada Allah. Adapun nadzar kepada Allah ada tiga jenis :
1, Nadzar ketaatan, yang mana wajib untuk ditunaikan, jika tidak ditunaikan maka harus membayar kaffaroh sumpah. Karena nadzar pada hakikatnya adalah sumpah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا النَّذْرُ يَمِيْنٌ كَفَّارَتُهَا كَفَّارَةُ يَمِيْنٍ
“Nadzar itu adalah sumpah. kaffaroh nadzar adalah kaffaroh sumpah” ([5])
Nadzar ketaatan sendiri terbagi menjadi dua :
* Nadzar muqoyyad yaitu nazar yang dilaksanakan dengan syarat memperoleh nikmat atau terhalang dari kemudorotan. Seperti perkataan seseorang, “Kalau saya sembuh maka saya bernadzar untuk bersedekah ini dan itu”, “Kalau saya lulus atau naik pangkat maka saya akan beribadah ini dan itu.”. Nadzar inilah yang dikatakan dilarang oleh Nabi.
Dari Ibnu Umar
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّذْرِ، وَقَالَ: «إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau melarang nadzar. Beliau berkata, “Sesungguhnya nadzar tidak mendatangkan kebaikan, hanya saja nadzar dikeluarkan dari orang yang pelit” ([6])
Ibnu Umar berkata :
أَوَلَمْ يُنْهَوْا عَنِ النَّذْرِ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِالنَّذْرِ مِنَ البَخِيلِ»
“Apakah mereka belum dilarang dari bernadzar?, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya nadzar tidaklah memajukan dan tidak pula memundurkan sesuatupun, akan tetapi dikeluarkan dari orang yang pelit” ([7])
Dari Abu Huroiroh Nabi bersabda :
لَا تَنْذِرُوا، فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah kalian bernadzar, karena sesungguhnya nadzar tidaklah mempengaruhi (mengubah) taqdir sama sekali, dan hanya saja nadzar dikeluarkan dari orang yang bakhil” ([8])
Nadzar muqoyyad dari sisi pernyataan nadzarnya maka hukumnya adalah makruh. Adapun jika seseorang telah terlanjur bernadzar dengan nadzar muqoyyad maka menunaikan nadzarnya tersebut adalah wajib, karena sama halnya dengan menunaikan sumpah kepada Allah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
* Nadzar mutlaq, yaitu mewajibkan diri untuk beramal sholih tanpa mempersyaratkan apapun. Nabi bersabda :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barang siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaknya ia taat kepadaNya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat keapdaNya maka janganlah ia bermaksiat kepadaNya” ([9])
Nadzar kemaksiatan, namun ditujukan kepada Allah. Seperti seseorang yang bernadzar untuk memutuskan silaturahmi namun nadzarnya ditujukan kepada Allah, artinya ia bersumpah atas nama Allah. Atau sebagaimana hadits yang telah lalu, tentang seseorang yang hendak menyembelih di Buwanah. Jika seandainya di Buwanah pernah terjadi perayaan kesyirikan lantas ia bernadzar untuk menyembelih di tempat tersebut karena Allah, maka nadzarnya adalah nadzar maksiat.
2. Nadzar dengan perkara yang tidak ia miliki. nadzar maksiat dan nadzar dengan perkara yang tidak ia miliki tidak boleh ditunaikan, akan tetapi tetap wajib membayar kaffaroh sumpah dilihat dari sisi nadzar tersebut seperti sumpah yang ia tujukan kepada Allah -sebagaimana telah lalu pembahasannya
Kedua : Nadzar Syirik yaitu nadzar yang ditujukan kepada selain Allah. Seperti seseorang yang bernadzar kepada kuburan atau bernadzar kepada Jibril, kepada Nabi dan yang semisalnya dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka. Hal Ini tentu merupakan kesyirikan, karena nadzar adalah ibadah, dan ibadah jika ditujukan kepada selain Allah yaitu kepada salah satu makhlukNya maka itulah kesyirikan.
Namun nadzar syirik tidak boleh ditunaikan dan tidak perlu bayar kaffaroh, berbeda dengan nadzar maksiat yang sama-sama tidak boleh ditunaikan, hanya saja harus bayar kaffaroh sumpah, karena nadzarnya ditujukan kepada Allah. Adapun nadzar syirik maka tidak ada kehormatannya sama sekali karena ditujukan kepada selain Allah. Adapun yang harus dilakukan hanyalah bertaubat kepada Allah, karena nadzarnya sama sekali tidak sah.
Asy-Syarbini berkata :
وَأَمَّا الْمَنْذُورُ لِلْمُشَاهَدِ الَّذِي يَبِيتُ عَلَى قَبْرِ وَلِيٍّ أَوْ نَحْوِهِ، فَإِنْ قَصَدَ النَّاذِرُ بِذَلِكَ التَّنْوِيرَ عَلَى مَنْ يَسْكُنُ الْبُقْعَةَ أَوْ يَتَرَدَّدُ إلَيْهَا فَهُوَ نَوْعُ قُرْبَةٍ وَحُكْمُهُ مَا ذَكَرَ أَيْ الصِّحَّةُ وَإِنْ قَصَدَ بِهِ الْإِيقَادَ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ مَعَ قَصْدِ التَّنْوِيرِ فَلَا، وَإِنْ قَصَدَ بِهِ وَهُوَ الْغَالِبُ مِنْ الْعَامَّةِ تَعْظِيمَ الْبُقْعَةِ أَوْ الْقَبْرِ، أَوْ التَّقَرُّبَ إلَى مَنْ دُفِنَ فِيهَا، أَوْ نُسِبَتْ إلَيْهِ، فَهَذَا نَذْرٌ بَاطِلٌ غَيْرُ مُنْعَقِدٍ، فَإِنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ لِهَذِهِ الْأَمَاكِنِ خُصُوصِيَّاتٍ لِأَنْفُسِهِمْ وَيَرَوْنَ أَنَّ النَّذْرَ لَهَا مِمَّا يَنْدَفِعُ بِهِ الْبَلَاءُ
“Adapun nadzar (untuk penerangan) pada orang yang bermalam di kubur wali atau yang semisalnya, maka jika yang bernadzar maksudnya adalah untuk memberi penerangan pada orang yang menempati tempat tersebut maka ini adalah bentuk kedekatan kepada Allah, dan hukumnya adalah sah. Dan jika tujuannya adalah untuk menerangi kuburan -meski disertai tujuan untuk penerangan- maka tidak boleh. Jika tujuannya adalah untuk pengagungan terhadap tempat atau kuburan tersebut atau untuk mendekatkan diri kepada penghuni kuburan atau kepada yang dinisbahkan kepada kuburan tersebut –dan inilah yang dominan pada masyarakat– maka ini adalah nadzar yang batil dan tidak sah. Mereka meyakini bahwasanya tempat-tempat ini memiliki keistimewaan untuk diri mereka dan mereka memandang bahwa nadzar di tempat-tempat ini akan mengilangkan bencana” ([10])
Asy-Syaikh Qosim -dari madzhab Hanafi- berkata :
وَأَمَّا النَّذْرُ الَّذِي يُنْذِرُهُ أَكْثَرُ الْعَوَامّ عَلَى مَا هُوَ مُشَاهَدٌ كَأَنْ يَكُونَ لِإِنْسَانٍ غَائِبٌ أَوْ مَرِيضٌ، أَوْ لَهُ حَاجَةٌ ضَرُورِيَّةٌ فَيَأْتِي بَعْضَ الصُّلَحَاءِ فَيَجْعَلُ سُتْرَةً عَلَى رَأْسِهِ فَيَقُولُ يَا سَيِّدِي فُلَانٌ إنْ رُدَّ غَائِبِي، أَوْ عُوفِيَ مَرِيضِي أَوْ قُضِيَتْ حَاجَتِي فَلَكَ مِنْ الذَّهَبِ كَذَا، أَوْ مِنْ الْفِضَّةِ كَذَا، أَوْ مِنْ الطَّعَامِ كَذَا، أَوْ مِنْ الْمَاءِ كَذَا، أَوْ مِنْ الشَّمْعِ كَذَا، أَوْ مِنْ الزَّيْتِ كَذَا فَهَذَا النَّذْرُ بَاطِلٌ بِالْإِجْمَاعِ لِوُجُوهٍ مِنْهَا أَنَّهُ نَذْرُ مَخْلُوقٍ وَالنَّذْرُ لِلْمَخْلُوقِ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ عِبَادَةٌ وَالْعِبَادَةُ لَا تَكُونُ لِلْمَخْلُوقِ وَمِنْهَا أَنَّ الْمَنْذُورَ لَهُ مَيِّتٌ وَالْمَيِّتُ لَا يَمْلِكُ وَمِنْهَا إنْ ظَنَّ أَنَّ الْمَيِّتَ يَتَصَرَّفُ فِي الْأُمُورِ دُونَ اللَّهِ تَعَالَى وَاعْتِقَادُهُ ذَلِكَ كُفْرٌ
“Dan adapun nadzar yang dilakukan oleh mayoritas orang-orang awam sebagaimana kenyataan yang disaksikan, seperti ada orang yang mencari orang yang hilang, atau ada yang sakit atau ia memiliki kebutuhan yang darurat, lalu iapun pergi ke sebagian orang shalih (yang sudah meninggal -pen) lalu ia meletakan sutrah (semacam penutup) di atas kepalanya lalu ia berkata, “Wahai tuanku fulan, kalau orang yang hilang kembali, atau orang yang sakit sembuh, atau kebutuhanku terpenuhi maka aku akan memberikan kepadamu emas atau perak atau makanan atau lilin atau minyak demikian dan demikian. Maka ini adalah nadzar yang batil dengan ijmak karena beberapa sebab. Diantaranya karena ini adalah nadzar kepada makhluk, dan nadzar kepada makhluk tidak boleh, karena nadzar adalah ibadah dan ibadah tidak boleh ditujukan kepada makhluk. Diantaranya karena orang sholih yang ditujukan nadzar kepadanya adalah mayat, dan mayat tidaklah memiliki apa-apa, diantaranya juga jika ia menyangka bahwa mayat bisa mengatur urusan selain Allah, maka keyakinan ini adalah kekufuran” ([11])
Ibnu Katsir berkata -tentang peristiwa-peristiwa tahun 704 :
رَاحَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ إِلَى مَسْجِدِ النَّارَنْجِ، وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ وَمَعَهُمْ حَجَّارُونَ بِقَطْعِ صَخْرَةٍ كَانَتْ هُنَاكَ بِنَهْرِ قَلُوطٍ – تُزَارُ وَيُنْذَرُ لَهَا – فَقَطَعَهَا، وَأَرَاحَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا وَمِنَ الشِّرْكِ بِهَا، فَأَزَاحَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ شُبْهَةً كَانَ شَرُّهَا عَظِيمًا، وَبِهَذَا وَأَمْثَالِهِ حَسَدُوهُ وَأَبْرَزُوا لَهُ الْعَدَاوَةَ
“Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah ke mesjid An-Naaronj, dan beliau memerintahkan para sahabat beliau -dan bersama mereka ada para tukang batu- untuk memotong batu yang ada di sungai Qoluth, yang batu tersebut diziarohi dan diberikan nadzar kepadanya. Maka beliapun memotong batu tersebut dan mengamankan kaum muslimin dari batu tersebut dan dari kesyirikan terhadap batu tersebut. Beliau menghilangkan dari kaum muslimin syubhat yang sangat besar bahayanya. Gara-gara hal ini dan yang semisalnya akhirnya merekapun hasad terhadap Ibnu Taimiyyah dan menunjukkan permusuhan kepada beliau” ([12])
Lihatlah Ibnu Katsir mensifati perbuatan bernadzar yang ditujukan kepada batu sebagai kesyirikan.
As-Suwaidi berkata :
بَقِيَ عِنْدَنَا صُوْرَةٌ أُخْرَى عَلَيْهَا مَدَارُ النَّاسِ فِي هَذَا الزَّمَانِ، وَهُوَ النَّذْرُ لِغَيْرِ اللهِ، كَالنَّذْرِ لإِبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ أَوْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوِ النَّذْرُ لِلْأَمْوَاتِ الصَّالِحِيْنَ، فَقَدْ جَرَتْ هَذِهِ الْعَادَةُ الْخَبِيْثَةُ فِي هَذَا الْوَقْتِ مِنْ نَذْرِ الطَّعَامِ وَالشُّمُوْعِ وَالْقَرَابِيْنَ لِأَهْلِ الْقُبُوْرِ مِنَ الأَمْوَاتِ….
لَوْ نَذَرَ لِلْأَنِبْيَاءِ أَوْ لِلْأَوْلِيَاءِ أَوْ لِلْمَلاَئِكَةِ فَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ مَنْ يَعْلَمُ ذَلِكَ وَيَتَنَبَّهُ أَنَّهُ مِنْ شِرْكِ الاِعْتِقَادِ، لِأَنَّ النَّاذِرَ لَمْ يَنْذُرْ هَذَا النَّذْرَ إِلاَّ لِاِعْتِقَادِهِ فِي الْمَنْذُوْرِ لَهُ أَنَّهُ يَضُرُّ وَيَنْفَعُ وَيُعْطِي وَيَمْنَعُ إِمَّا بِطَبْعِهِ وَإِمَّا بِقُوَّةِ السَّبَبِيَّةِ فِيْهِ
“Tinggal satu bentuk yang tersisa yang masyarakat terfokus kepadanya di zaman ini. Yaitu bernadzar kepada selain Allah. Seperti nadzar kepada Ibrahim al-Kholil, kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau kepada mayat-mayat orang-orang shalih. Dan sungguh telah berjalan tradisi yang buruk ini di zaman ini berupa memberikan makanan, lilin, dan kurban kepada para penghuni kuburan.
Kalau ia bernadzar kepada para nabi atau kepada para wali atau para malaikat maka tidak ada perselisihan diantara orang yang mengetahui hal ini dan mengerti bahwasanya hal ini merupakan syirik dalam aqidah. Karena orang yang bernadzar tidaklah ia bernadzar dengan nadzar tersebut kecuali karena keyakinannya tentang yang ditujukan kepadanya nadzar bahwa ia bisa memberi kemudorotan dan kemanfaatan, bisa memberi dan mencegah, apakah karena tabi’atnya sudah demikian atau karena begitu kuatnya sebab padanya” ([13])
Berikut adalah fatwa dari para ulama Mesir tentang nadzar kepada selain Allah :
النَّذْرُ لِأَصْحَابِ الأَضْرِحَةِ وَالأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَاطِلٌ بِالإِجْمَاعِ لِأَنَّهُ نَذْرٌ لِمَخْلُوْقٍ وَهُوَ غَيْرُ جَائِزٍ لِأَنَّ النَّذْرَ عِبَادَةٌ وَهِيَ لاَ تَكُوْنُ لِمَخْلُوْقٍ أَبَدًا وَلِأَنَّ الْمَنْذُوْرَ لَهُ مَيِّتٌ وَالْمَيِّتُ لاَ يَمْلِكُ. إِذَا ظَنَّ النَّاذِرُ أَنَّ الْمَيِّتَ يَتَصَرَّفُ فِى الأُمُوْرِ دُوْنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاعْتَقَدَهُ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا
“Nadzar kepada pemilik-pemilik adrihah (bangunan di atas kuburan, yaitu kepada para mayat -pen), kepada para wali dan kaum sholih adalah perkara yang batil dengan ijmak ulama. Karena itu adalah nadzar kepada makhluk, dan hal ini tidak diperbolehkan. Nadzar adalah ibadah, dan selamanya ibadah tidak boleh untuk makhluk. Dan yang ditujukan nadzar kepadanya adalah mayat, padahal mayat tidak memiliki apa-apa. Jika yang bernadzar meyakini bahwasanya mayat bisa berbuat/mengatur perkara-perkara selain Allah dan meyakini hal ini maka ini merupakan kekufuran” ([14])
Perhatian :
Nadzar pada hakikatnya bukanlah sebab untuk mendatangkan kebaikan. Jangankan nadzar syirik, bahkan nadzar ketaatan kepada Allah pun tidak bisa mendatangkan kebaikan, dan tidak bisa mengubah kondisi. Ibnu Taimiyyah berkata :
فَإِذَا كَانَ النَّذْرُ لَا يَأْتِي بِخَيْرِ فَكَيْفَ بِالنَّذْرِ لِلْمَخْلُوقِ
“Jika nadzar (kepada Allah) tidaklah mendatangkan kebaikan, bagaimana lagi dengan nadzar kepada makhluk” ([15])
Beliau juga berkata :
فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّذْرَ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الأَسْبَابِ الْجَالِبَةِ لِلْخَيْرِ، أَوْ الدَّافِعَةِ لِشَرٍّ أَصْلًا، وَإِنَّمَا يُوَافِقُ الْقَدَرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa nadzar tidaklah mendatangkan kebaikan, karena nadzar pada asalnya memang bukanlah termasuk sebab yang bisa mendatangkan kebaikan atau menolak kemudorotan. Nadzar itu hanya menepati taqdir” ([16])
Beliau berkata ;
“Barangsiapa yang menyangka bahwa nadzar kepada makhluk mendatangkan kebaikan atau menolak kemudorotan maka ia termasuk orang yang tersesat, seperti orang-orang yang menyangka bahwa menyembah makhluk mendatangkan kemanfaatan bagi mereka dan menolak kemudorotan dari mereka. Lihatlah kaum musyrikin, para syaitan telah menjelma dan berbicara kepada mereka. Terkadang syaitan menerbangkan mereka di udara atau mengabarkan kepada mereka sebagian perkara gaib. Terkadang syaitan mendatangkan nafkah, makanan, baju, atau yang lainnya, sebagaimana hal ini terjadi pada para penyembah berhala dari kalangan Arab dan selain Arab. Dan yang semisal ini banyak terjadi di zaman ini dan juga di zaman yang lain. Terjadi pada orang-orang yang sesat, para ahlul bid’ah, yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah yaitu dengan beribadah kepada selain Allah atau dengan ibadah yang tidak disyari’atkan oleh Allah” ([17])
Beliau juga berkata, “Engkau melihat orang-orang yang bercerita bahwa mereka berada dalam kesusahan, lalu merekapun bernadzar kemudian nadzar-nadzar tersebut menghilangkan kesulitan mereka. Mereka ini lebih parah atau paling tidak mereka seperti orang-orang yang menyangka bahwa mereka berdoa di sisi kuburan atau selainnya lalu kebutuhan merekapun terpenuhi.
Dan mereka yang bernadzar, salah seorang dari mereka berkata, “Aku sakit, lalu aku bernadzar”. Yang lain berkata, “Orang-orang menyerangku maka aku bernadzar”, “Aku tertahan maka aku bernadzar”, ”Aku ditimpa kemisikinan maka aku bernadzar”. Telah tertanam dalam diri mereka bahwasanya nadzar-nadzar ini adalah sebab untuk mendatangkan kebutuhan mereka dan menolak apa yang mereka kawatirkan. Padahal Nabi -yang benar dan dibenarkan- telah mengabarkan bahwa nadzar ketaatan kepada Allah bukanlah sebab yang mendatangkan kebaikan apalagi nadzar maksiat” ([18])
Pada bab ini penulis menyebutkan 3 dalil.
Dalil Pertama dan Dalil Kedua :
Firman Allah ﷻ :
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menepati nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 7).
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
“Dan apapun yang kalian nafkahkan, dan apapun yang kalian nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270).
Pada bab ini penulis (Asy-Syaikh Muhamad bin Abdil Wahhab rahimahullah) membawakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah untuk menekankan bahwa bernadzar kepada selain Allah adalah kesyirikan. Diantaranya adalah firman Allah pada surat Al-Insaan : 7. Sisi pendalilannya adalah Allah memuji orang-orang yang menunaikan nadzar mereka, dan tidaklah Allah memuji kecuali pada ketaatan. Ini menunjukkan bahwa menunaikan nadzar adalah ketaatan dan ibadah.
Demikian juga penulis berdalil dengan firman Allah surat Al-Baqoroh : 270. Sisi pendalilannya adalah penyebutan bahwa Allah mengetahui apapun yang dinadzarkan oleh para hamba. Dan pengkabaran Allah bahwasanya Allah mengetahui artinya Allah akan memberi balasan, dan tidaklah Allah memberi balasan kecuali pada ketaatan, yang ini menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah.
Dalam ayat yang lain bahkan lebih tegas Allah memerintahkan untuk menunaikan nadzar dan bukan hanya sekedar memuji. Allah berfirman :
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Dan hendaknya mereka menunaikan nadzar mereka” (QS Al-Hajj : 29)
Dalil Ketiga :
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dari Aisyah radhiallahuanha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
((مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللهَ فَلاَ يَعْصِهِ))
“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka ia wajib mentaatinya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah maka ia tidak boleh bermaksiat kepada-Nya (dengan melaksanakan nadzarnya itu).”
Diantara dalil bahwa nadzar adalah ibadah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menunaikan nadzar bagi orang yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah.
Dalil yang lain yang menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah
عَنْ كَرْدَمِ بْنِ سُفْيَانَ، أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَذْرٍ نُذِرَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَلِوَثَنٍ أَوْ لِنُصُبٍ؟ ” قَالَ: لَا، وَلَكِنْ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قَالَ: ” فَأَوْفِ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَا جَعَلْتَ لَهُ، انْحَرْ عَلَى بُوَانَةَ، وَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Dari Kardam bin Sufyan bahwasanya beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nadzar yang pernah beliau nadzarkan tatkala masih jahiliyah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata keapdanya, “Apakah untuk berhala atau untuk patung?” Ia berkata, “Tidak, akan tetapi untuk Allah”. Nabi berkata, “Tunaikanlah karena Allah nadzarmu yang telah kau jadikan untuk Allah, sembelihlah di Buwanah, dan tunaikanlah nadzarmu” ([19]) .
Dalam hadits ini jelas Nabi bertanya tentang kepada siapakah nadzar itu ditujukan, apakah kepada Allah ataukah kepada berhala. Hal Ini menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah, ada yang bertujuan untuk Allah dan ada pula yang bertujuan untuk selain Allah.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menekankan wajibnya ikhlas dalam bernadzar dengan sabdanya :
إِنَّمَا النَّذْرُ مَا ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Sesungguhnya nadzar hanyalah apa yang diharapkan untuk mencari wajah Allah”([20])
Kandungan bab ini:
- Menunaikan nadzar adalah wajib.
- Apabila sudah menjadi ketetapan bahwa nadzar itu ibadah kepada Allah, maka menujukannya kepada selain Allah adalah syirik.
- Dilarang melaksanakan nadzar yang maksiat.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_________________
Footnote:
([1]) Tafsiir Al-Qurthubi 19/127
([2]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 5/417-418
([3]) At-Tahdziib fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i karya al-Baghowi 8/150
([5]) Lihat As-Shahihah No. 2860
([10]) Mughni al-Muhtaaj 6/256
([11]) Al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz Ad-Daqoiq hal 2/320-321
([12]) Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/46
([13]) Al-‘Iqd Ats-Tsamin hal 218-220, sebagaimana dinukil oleh penulis “Juhud As-Syafi’iyyah” hal 500-501
([14]) Fatawa Daar al-Iftaa’ al-Mishriyah 6/198
([15]) Majmuu’ Al-Fataawaa 1/81
([16]) Iqtidoo As-Sirooth al-Mustaqiim 2/231
([17]) Majmuu’ Al-Fataawaa 1/81-82
([18]) Iqtidoo As-Sirooth al-Mustaqiim 2/231-232
([19]) HR Ahmad No. 15456 dan dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad
([20]) HR Ahmad No. 6714 dan Abu Daud No. 2192, dan dihasankan oleh Al-Albani (lihat juga as-Shahihah No. 2859) dan dihasankan juga oleh para pentahqiq al-Musnad