بَابُ تَفْسِيْرِ التَّوْحِيْدِ وَشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
PENJELASAN TENTANG MAKNA TAUHID DAN SYAHADAT “LA ILAHA ILLALLAH”
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Bab ini merupakan bab yang sangat penting, karena seluruh bab-bab sebelumnya dibangun di atas bab ini. Keutamaan tauhid bisa menggugurkan dosa-dosa, dan bahwasanya memurnikan tauhid bisa memasukkan seorang ke surga tanpa hisab, ini semua hanya bisa diraih jika mengamalkan tauhid dengan maknanya yang benar.
Karena banyak orang yang salah paham tentang makna tauhid, atau hanya membatasi makna tauhid pada tauhid ar-rububiyah saja –sebagaimana akan datang penjelasannya-
Disini penulis menyebutkan khusus (yaitu : Syahadat Laa ilaaha illallah) setelah umum (yaitu : Tauhid). Yang dimaksud dengan “tauhid” adalah umum mencakup tiga macam tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam rububiahNya, uluhiyahNya, dan asma’ wa sifaatNya. Adapun “Syahadat Laa ilaah illallahu” maka lebih kepada makna tauhid al-uluhiyah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallahu) secara umum maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata. Kalimat ini terdiri atas 4 kata :
Pertama : لاَ (tidak ada), merupakan an-Nafiyah li al-jins, yang fungsinya adalah menafikan (meniadakan) seluruh jenis ilah (tuhan yang disembah)
Kedua : إِلَهَ (sesembahan). Lafal ilaah dalam bahasa arab artinya مَعْبُوْدُ ma’buud (yang disembah), karena إِلَهَ dalam timbangan فِعَال yang artinya مَفْعُوْل, jadi إِلَهَ maknanya adalah مَأْلُوْه, seperti كِتَابٌ yang maknanya مَكْتُوْبٌ.
Karenanya dalam qiroah ibnu Abbas : وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ (Dia meninggalkanmu dan penyembahan terhadapmu –wahai Fir’aun-), Ibnu ‘Abbas berkata وَإِلَاهَتَكَ maknanya adalah عِبَادَتَك”Peribadatan kepadamu”, beliau juga berkata إِنَّمَا كَانَ فِرْعَوْنُ يُعْبَدُ وَلَا يَعْبُدُ “Fir’aun itu disembah dan ia tidak menyembah” ([1])
Ibnu Jarir At-Thobari (wafat tahun 310 H) berkata :
“Adapun tafsir firman Allah «اللَّهِ» maka sesuai dengan maknaya yang diriwayatkan kepada kami dari Abdullah bin Abbas الَّذِي يَأْلَهُهُ كُلُّ شَيْءٍ، وَيَعْبُدُهُ كُلُّ خَلْقٍ “Yang dituhankan oleh segala sesuatu dan dibadahi oleh seluruh makhluk”….Ibnu Abbas berkata :
«اللَّهُ ذُو الْأُلُوهِيَّةِ وَالْمَعْبُودِيَّةِ عَلَى خَلْقِهِ أَجْمَعِينَ»
“Allah adalah pemilik pertuhanan dan peribadatan atas seluruh makhlukNya”…
Kalau ada yang bertanya apakah yang menunjukkan bahwa الْأُلُوهِيَّةَ adalah الْعِبَادَةُ dan bahwasanya الْإِلَهَ adalah الْمَعْبُودُ?. Jawabannya tidak ada khilaf dan pertentangan di kalangan Arab tentang benarnya seorang yang mensifati “seseorang yang sedang beribadah dan memohon kepada Allah” dengan perkataannya تَأَلَّهَ فُلَانٌ بِالصِّحَّةِ “Si fulan beribadah kepada Allah dan memohon kesehatan kepada Allah” ([2])
Ketiga : إِلاَّ adalah huruf al-istitsnaa’ (pengecualian)
Keempat : اللهُ nama Allah Azza wa Jalla, dan maknanya adalah “Yang disembah” sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir At-Thobari.
Para ulama mentaqdirkan khobar laa an-nafiyah li al-jins dalam kalimat ini dengan بِحَقٍّ (yang hak/benar), sehingga makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ adalah لاَ إِلَهَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah).
Dari sini jelaslah kesalahan para ulama Asya’iroh tatkala menafsirkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله dengan لاَ قَادِرَ عَلَى الاِخْتِرَاعِ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada yang mampu untuk menciptakan kecuali Allah), sehingga menurut mereka إِلَهَ maknanya adalah آلِهُ karena فِعَالٌ terkadang maknanya مَفْعُوْلٌ dan terkadang maknanya فَاعِلٌ, sehingga mereka menafsirkan kalimat laa ilaah illallahu dengan rububiyah Allah dan bukan uluhiyahNya.
Al-Baghdadi berkata :
واختَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي مَعْنَى الإِلَهِ: فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّهُ مُشْتَقٌّ مِنَ الإِلهِيَّةِ، وَهِيَ: قُدْرَتُهُ عَلَى اخْتِرَاع ِالأَعْيَانِ، وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي الْحَسَنِ الأَشْعَرْيِ
“Dan para ulama kami berselisih tentang makna al-ilaah. Diantara mereka yang menyatakan bahwa al-ilaah adalah musytaq diambil dari al-Ilahiyah, yaitu “KekuasaanNya untuk menciptakan benda-benda” dan ini adalah pendapat Abul Hasan Al-Asy’ari” ([3])
Ar-Raazi tatkala menyebutkan pendapat-pendapat tentang makna asal makna kata “Allah” ia berkata :
القَوْلُ السَّابِعُ: الإِلَهُ مَنْ لَهُ الإِلَهِيَّةُ، وَهِيَ الْقُدْرَةُ عَلَى الاِخْتِرَاعِ
“Pendapat ketujuh : Al-Ilaah adalah yang memiliki al-Ilahiyah yaitu kemampuan untuk mencipta” ([4])
Dari sini jelas bahwa mereka hanya menafsirkan kalimat at-tauhid dengan tauhid ar-rububiyah, sehingga hal ini tanpa disadari membuka pintu-pintu kesyirikan pada tauhid al-uluhiyah. Sehingga masyarakat menyangka yang namanya kesyirikan adalah jika hanya meyakini ada pencipta selain Allah, adapun jika menyerahkan sebagian bentuk peribadatan kepada selain Allah seperti menyembelih kepada selain Allah, atau berdoa dan beristigotsah kepada selain Allah maka itu semua bukanlah kesyirikan. Dan inilah yang tersebar di masyarakat.
Tauhid menurut firqoh-firqoh yang menyimpang
Pertama : Tauhid menurut Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah mentauhidkan Allah dari segala yang menyamainya, yang hal ini melazimkan harus menolak seluruh sifat. Karena sifat Allah yang paling utama adalah wujudNya azali. Jika kita menetapkan sifat-sifat bagi Allah, sementara sifat-sifat tersebut juga adalah azali (qodim), maka melazimkan kita menetapkan syarikat-syarikat bagi Allah. Al-Qodhi Abdul Jabbar berkata :
أَنَّهُ تَعَالَى لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَسْتَحِقَّ هَذِهِ الصِّفَاتِ لِمَعَانٍ قَدِيْمَةٍ، وَالأَصْلُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ تَعَالَى لَوْ كَانَ يَسْتَحِقُّ هَذِهِ الصِّفَاتِ لِمَعَانٍ قَدِيْمَةٍ؛ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ الْقَدِيْمَ إِنَّمَا يُخَالِفُ مُخَالِفَهُ بِكَوْنِهِ قَدِيْماً، … وَذَلِكَ يُوْجِبُ أَنْ تَكُوْنَ هَذِهِ الْمَعَانِي مِثْلاً للهِ تَعَالَى
“Bahwasanya Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat ini karena mengandung makna-makna (sifat-sifat) yang qodim (azali). Karena asalnya jika Allah disifati dengan sifat-sifat ini karena makna-makna yang azali, padahal telah diketahui bahwasanya Allah (yang azali) hanyalah menyelisihi yang lain karena sifatnya yang azali… hal ini mewajibkan makna-makna ini menjadi tandingan (semisal) dengan Allah” ([5])
Bantahannya dari beberapa sisi :
- Sifat utama Tuhan bukanlah terbatas hanya pada keazaliannya, tapi semua sifat yang tidak bisa dimiliki oleh selainNya. Seperti pencipta alam, maha mengetahui segala sesuatu, maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesembahan yang maha esa ([6])
- Tidak ada masalah jika berbilang keazalian jika yang dimaksud bukanlah berbilang dzat pencipta. Adapun dzat azali, dan sifat-sifat dzat tersebut juga azali maka tidak mengapa ([7])
- Syubhat ini dibangun di atas pengkhayalan bahwa ada suatu dzat yang bisa tegak tanpa sifat (dzat mujarrodah). Padahal dzat tanpa sifat pada hakikatnya tidak ada wujudnya, apalagi memiliki sifat khusus azali ([8]). Jadi keazalian bukanlah sifat terkhusus dzat mujarrodah akan tetapi salah satu sifat khusus dzat yang bersifat. ([9])
- Demikian pula tatkala kita menetapkan sifat-sifat yang azali bukan berarti sifat-sifat tersebut azali tanpa dzat, karena sifat tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi sifat-sifat tersebut azali bersama dzatnya. ([10])
Kedua : Tauhid menurut Ahlul Kalam (Asya’iroh)
Sebagaimana telah lalu bahwa para ulama Asya’iroh menafsirkan tauhid hanya kepada makna rububiyah Allah dengan mengabaikan makna al-uluhiyah.
Asy-Syahristani berkata :
وَأَمَّا التَّوْحِيْدُ فَقَدْ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ، وَجَمِيْعُ الصِّفَاتِيَّةِ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَاحِدٌ فِي ذَاتِهِ لاَ قَسِيْمَ لَهُ، وَوَاحِدٌ فِي صِفَاتِهِ الأَزَلِيَّةِ لاَ نَظِيْرَ لَهُ، وَوَاحِدٌ فِي أَفْعَالِهِ لاَ شَرْيْكَ لَهُ
“Adapun tauhid maka Ahlus Sunnah dan seluruh para penetap sifat berkata : Sesungguhnya Allah esa pada dzatnya tidak terbagi-bagi, esa dalam sifat-sfiatnya yang azali maka tidak ada yang menyerupaiNya, dan esa dalam perbuatan-perbuatanNya tidak ada syarikat bagiNya” ([11])
Al-Bayjuri menjelaskan makna tauhid di atas dengan berkata :
أَمَّا وِحْدَةُ الذَّاتِ بِمَعْنَى عَدَمِ التَّرْكِيْبِ مِنْ أَجْزَاءٍ….وَوِحْدَةُ الصِّفَاتِ بِمَعْنَى عَدَمِ تَعَدُّدِهَا مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ كَقُدْرَتَيْنِ فَأَكْثَرَ مَثَلاً…وَأَمَّا وِحْدَةُ الأَفْعَالِ بِمَعْنَى أَنَّهُ لاَ تَأْثِيْرَ لِغَيْرِهِ سُبْحَانَهُ فِي فِعْلٍ مِنَ الأَفْعَالِ
“Adapun esanya dzat maknanya dzat tersebut tidaklah tersusun dari bagian-bagian … Dan keesaan sifat maknanya sifat-sifat tersebut tidaklah berbilang dari satu jenis yang sama seperti dua qudroh atau lebih misalnya… Adapun keesaan perbuatan maksudnya adalah tidak ada selain Allah yang memberi pengaruh dalam satu perbuatanpun dari perbuatan-perbuatan Allah” ([12])
Tauhid al-Af’aal itulah tauhid ar-rububiyah, adapun tauhid al-uluhiyah maka terabaikan sama sekali. Hal inilah yang menjadikan sebagian orang terjerumus dalam kesyirikan yang nyata, namun mereka tidak merasa terjerumus dalam kesyirikan selama tidak meyakini ada yang mencipta selain Allah.
Ketiga : Tauhid menurut sufiyah
Sebagian mereka membagi tauhid menjadi tiga :
والتوحيد على ثَلَاثَة وُجُوه، الْوَجْه الأول تَوْحِيد الْعَامَّة الَّذِي يَصح بالشواهد وَالْوَجْه الثَّانِي تَوْحِيد الْخَاصَّة وَهُوَ الَّذِي يثبت بالحقائق وَالْوَجْه الثَّالِث تَوْحِيد قَائِم بالقدم وَهُوَ تَوْحِيد خَاصَّة الْخَاصَّة. فَأَما التَّوْحِيد الأول فَهُوَ شَهَادَة أَن {لَا إِلَه إِلَّا الله} وَحده لَا شريك لَهُ … هَذَا تَوْحِيد الْعَامَّة الَّذِي يَصح بالشواهد والشواهد هِيَ الرسَالَة
وَأما التَّوْحِيد الثَّانِي …هُوَ إِسْقَاط الْأَسْبَاب الظَّاهِرَة والصعود عَن منازعات الْعُقُول وَعَن التَّعَلُّق بالشواهد، وَهُوَ أَن لَا تشهد فِي التَّوْحِيد دَلِيلا وَلَا فِي التَّوَكُّل سَببا وَلَا للنجاة وَسِيلَة …. وَأما التَّوْحِيد الثَّالِث فَهُوَ تَوْحِيد اختصه الْحق لنَفسِهِ واستحقه بِقَدرِهِ وألاح مِنْهُ لائحا إِلَى أسرار طَائِفَة من صفوته وأخرسهم عَن نَعته وأعجزهم عَن بثه
“Tauhid ada tiga, yang pertama tauhid orang awam yang sah dengan bukti-bukti. Yang kedua adalah tauhid orang-orang khusus yaitu tauhid yang tegak dengan hakikat-hakikat. Yang ketiga adalah tauhid yang tegak pada Allah, inilah tauhid orang-orang khusus dari yang khusus.
Adapun tauhid yang pertama adalah persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata tiada sekutu bagiNya… ini adalah tauhidnya orang awam yang sah dengan adanya bukti-bukti, dan bukti-bukti tersebut adalah risalah kenabian.
Adapun tauhid yang kedua… yaitu menggugurkan sebab-sebab yang dzahir dan suci dari pertentangan akal dan dari ketergantungan dengan bukti-bukti. Yaitu engkau tidak melihat adanya dalil dalam tauhid, dan tidak melihat adanya sebab dalam bertawakkal, dan tidak melihat adanya sarana dalam keselamatan…
Adapun tauhid yang ketiga adalah tauhid yang Allah mengkhususkannya untuk diriNya sendiri dan hanya Allah yang berhak memilikinya dengan keagunganNya. Lalu Allah menampakkan secercah darinya kepada sekelompok orang yang merupakan pilihan Allah dan Allah menjadikan mereka bisu tidak mampu menjelaskannya dan tidak mempu menyebarkannya” ([13])
Ibnu Abil ‘Iz mengomentari pembagian di atas :
وَإِذَا عُرِفَ أَنَّ تَوْحِيدَ الْإِلَهِيَّةِ هُوَ التَّوْحِيدُ الَّذِي أُرْسِلَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأُنْزِلَتْ بِهِ الْكُتُبُ …فَلَا يُلْتَفتُ إِلَى قَوْلِ مَنْ قَسَّمَ التَّوْحِيدَ إِلَى ثَلَاثَةِ أَنْوَاعٍ، وَجَعَلَ هَذَا النَّوْعَ تَوْحِيدَ الْعَامَّةِ….فَإِنَّ أَكْمَلَ النَّاسِ تَوْحِيدًا الْأَنْبِيَاءُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ، وَالْمُرْسَلُونَ … وَأَكْمَلُهُمْ تَوْحِيدًا الخَلِيلَانِ: مُحَمَّدٌ وَإِبْرَاهِيمُ، صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا وَسَلَامُهُ،…فَهَذَا تَوْحِيدُ خَاصَّةِ الْخَاصَّةِ، الَّذِي مَنْ رَغِبَ عَنْهُ فَهُوَ مِنْ أَسْفَهِ السُّفَهَاءِ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ} {إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ}
“Dan jika telah diktehui bahwasanya tauhid al-uluhiyah dialah tauhid yang para rasul diutus dengannya dan kitab-kitab diturunkan dengannya… maka tidak usah peduli kepada pendapat orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam, dan menjadikan tauhid ini (tauhid al-uluhiyah) sebagai tauhidnya orang awam… karena manusia yang paling sempurna tauhidnya adalah para nabi dan para rasul… dan yang paling sempurna dari mereka adalah dua kekasih Allah Ibrahim dan Muhammad shallallahu ‘alahimaa wasallam…
Dan inilah (tauhid al-uluhiyah) adalah orang super khusus (spesial di sisi Allah), yang siapa yang tidak tertarik dengan tauhid ini maka dialah orang terbodoh. Allah berfirman :
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (QS Al-Baqarah : 130-131) ([14])
Keempat : Tauhid Al-Ittihadiyah (penganut wihdatul wujud)
Mereka meyakini bahwa apa yang terlihat seluruhnya adalah Tuhan. Hakikat keyakinan mereka adalah semua yang wujud hakikatnya adalah esa (satu) hanya saja dzatnya berbilang dan banyak ditinjau dari sifat-sifatnya dan nama-namanya, tidak ada berbilang padanya kecuali hanya perbedaan tinjauan (hanya nisbi saja). Ibnu ‘Arobi berkata :
فَسُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَ الأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُهَا
“Maha suci Allah yang menampakkan segala sesuatu dan Dialah dzat segala sesuatu tersebut” ([15])
Jadi di sisi mereka hakikat tauhid adalah tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya, antara pencipta dan makhluk. Seluruh yang wujud adalah satu dan azali, hanya saja penampakannya dan pemunculannya yang berbeda-beda.
Sehingga akhirnya Ibnu Arobi menyatakan bahwa Fir’aun telah benar tatkala mengaku sebagai Tuhan yang tertinggi, karena Fir’aun itu sendiri merupakan penampakan Tuhan. ([16])
Kelima : Tauhid menurut Takfiriyin dan Harokiyin
Mereka menafsirkan laa ilaaha illallahu dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ اللهُ “Tidak ada hakim kecuali Allah”. Mereka menganggap inilah yang diperjuangkan para nabi dan rasul, inilah sebab pertikaian dan pertempuran antara para nabi dan kaumnya.
Sayyid Quthub berkata :
لقد كانوا يعرفون من لغتهم معنى: «إله» ومعنى: «لا إله إلا الله» كانوا يعرفون أن الألوهية تعني الحاكمية العليا. وكانوا يعرفون أن توحيد الألوهية وإفراد الله- سبحانه- بها، معناه نزع السلطان الذي يزاوله الكهان ومشيخة القبائل والأمراء والحكام، ورده كله إلى الله….
كانوا يعلمون أن: «لا إله إلا الله» ثورة على السلطان الأرضي، الذي يغتصب أولى خصائص الألوهية، وثورة على الأوضاع التي تقوم على قاعدة من هذا الاغتصاب وخروج على السلطات التي تحكم بشريعة من عندها لم يأذن بها الله
“Sesungguhnya mereka (bangsa Arab -pen) telah mengetahui berdasarkan bahasa mereka bahwasanya makna “ilah” dan makna “laa ilaaha ilallahu’, mereka mengetahui makna al-uluhiyah adalah al-Hakimiyah al-Ulya (hukum yang tertinggi). Mereka mengetahui bahwasanya tauhid al-uluhiyah dan pengesaan Allah dengan tauhid tersebut adalah mencabut kekuasaan yang dikuasai oleh para tokoh adat, para pemimpin kabilah, para penguasa, para presiden, lalu mengembalikan hukum tersebut seluruhnya kepada Allah…
Mereka mengetahui bahwasanya “laa ilaaha illallahu” adalah pemberontakan terhadap penguasa bumi yang telah merampas sifat terspesial ketuhanan. Revolusi terhadap kondisi yang dibangun di atas landasan perampasan tersebut, serta memberontak terhadap kekuasaan-kekuasaan yang berhukum dengan syari’at mereka sendiri yang tidak diizinkan oleh Allah”([17])
Tentu pernyataan Sayyid Quthub rahimahullah tidak benar, karena pernyataan beliau menyelisihi kesepakatan ahli tafsir dan ahli al-lughoh (bahasa) tentang laa ilaahha illallahu.
Penafsiran yang salah ini mengakibatkan banyak penyimpangan, antara lain :
- Banyak harokiyin yang tidak peduli dengan praktik-praktik kesyirikan di alam semesta ini, karena menurut mereka itu bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah menegakan hukum Allah dalam pemerintahan.
- Banyak diantara mereka yang mudah terjerumus dalam praktik pengkafiran pemerintah dan penguasa karena para penguasa telah merampas hak ketuhanan yang paling terpenting yaitu masalah hukum
- Banyak harokiyin yang memandang sebelah mata kepada para da’i yang menyeru kepada tauhid al-uluhiyah dan memberantas praktik-praktik kesyirikan.
Padahal betapa banyak para nabi yang dalam dakwah mereka tidak membicarakan kekuasaan. Sebagai contoh Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Huud, Nabi Shalih, Nabi Luuth, Nabi Ibrahim, dan Nabi Syu’aib. Sama sekali Allah tidak menyebutkan bahwa mereka memberontak terhadap penguasa yang ada tatkala itu.
Bukannya maskudnya bahwa hukum boleh kepada selain Allah, tentu saja hukum harus milik Allah, akan tetapi menjadikan hal ini adalah perkara utama bahkan yang paling utama dengan mengeyampingkan makna tauhid al-uluhiyah yang sesungguhnya maka inilah yang berbahaya yang menyimpang dari tujuan utama para nabi dan rasul.
Dalam bab ini penulis membawakan 5 dalil.
Dalil Pertama :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al Isra’: 57).
Sisi pendalilan dari ayat ini adalah ternyata mereka yang disembah selain Allah merupakan hamba-hamba Allah yang shalih, dan sifat-sifat hamba-hamba yang shalih tersebut adalah mereka saling berlomba untuk mencari al-washilah (kedekatan) kepada Allah, dan mereka hanya berharap dan takut kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah hamba yang beribadah dan bertauhid kepada Allah tidak menyembah kepada selain Allah, dan inilah tafsir tauhid. Jika meraka beribadah maka tidak pantas untuk diibadahi.
Dari sini kita mengetahui kesalahan sebagian orang yang menyangka bahwa kesyirikan kaum jahiliyah dahulu hanya berkaitan dengan penyembahan terhadap patung-patung kosong semata. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa sesembahan-sesembahan mereka adalah hamba-hamba Allah yang shalih. Ternyata patung-patung yang mereka sembah adalah simbol-simbol dari orang-orang shalih. Adapun kalau yang disembah hanyalah sekedar batu atau pohon yang bukan merupakan simbol orang shalih atau malaikat maka tidak masuk dalam ayat ini. (Akan datang penjelasan lebih detail pada bab yang akan datang insya Allah)
Dalil Kedua :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ، إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya: “sesungguhnya aku membebaskan diri dari apa yang kalian sembah, kecuali (Allah) Dzat yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukkan (kepada jalan kebenaran).” (QS. Az Zukhruf: 26-27).
Sisi pendalilan dari ayat ini mengandung an-nafyu (penafian) dan al-itsbaat (penetapan), persis sebagaimana yang dikandung oleh kalimat laa ilaaha ilallaah.
Penafian pada firman Allah إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ(sesungguhnya aku membebaskan diri dari apa yang kalian sembah), dan penetapan pada firman Allah إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي “kecuali (Allah) Dzat yang telah menciptakan aku”. Inilah tafsir Laa ilaaha illallahu yang melazimkan harus berlepas diri dan membenci kesyirikan. Dan perkataan Ibrahim ‘alaihis salam “kecuali Allah yang telah menciptakan aku” adalah untuk mengingatkan kepada bapak dan kaumnya bahwasanya yang berhak untuk disembah adalah yang menciptakan.
Diantara faidah ayat ini :
- Ayah Nabi Ibrahim adalah seorang musyrik, dan ini berdasarkan nas dalam al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ahli sejarah yang menyatakan bahwa Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim tapi paman beliau, karena dalam bahasa Arab al-Ab (ayah) terkadang maksudnya adalah al-‘amm (paman). Dan ayah Ibrahim namanya adalah Tarikh. Ini adalah pendapat yang lemah yang bertentangan dengan dzahir ayat. Kita tidak bisa membawa lafal al-Abb (ayah) kepada makna al-‘Amm (paman) kecuali dengan dalil. Adapun hanya berdalil dengan pernyataan sebagian ahli sejarah yang tidak dibangun dengan sanad yang jelas maka ini merupakan kesalahan.
- Ini juga dalil bahwa tauhid melazimkan sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Harus ada kebencian terhadap kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Adapun sikap berlemah lembut kepada mereka adalah dalam rangka untuk mendakwahi mereka. Hal ini bertentangan dengan perkataan sebagian da’i, “Aku mencintai Yahudi dan nashrani, akan tetapi aku membenci kesyirikan mereka”.
- Ayat ini menunjukkan bahwa kaum Ibrahim juga menyembah Allah selain menyembah berhala-berhala mereka. Karena al-istisnaa’ (pengecualian) dalam ayat ini asalnya adalah istitsnaa’ muttasil (yang bersambung). Dan ini adalah pendapat Qotadah rahimahullah. Beliau berkata
كَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ اللَّهَ رَبُّنَا … فَلَمْ يَبْرَأْ مِنْ رَبِّهِ
“Mereka (kaum Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya Allah adalah Robb kami”…, maka Ibrahim-pun tidak berbaro’ah (berlepas diri) dari Robbnya” ([18]). Dan inilah pendapat yang lebih dipilih oleh Al-Qurthubi([19])
Dalil Ketiga
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertaruhkan pula) Al Masih putera Maryam; padahal mereka itu tiada lain hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan, tiada sembahan yang haq selain Dia. Maha suci Allah dari perbuatan syirik mereka.” (QS. At Taubah: 31)
الأَحْبَارُ adalah jamak dari الحَبْرُyang artinya adalah seorang yang alim, adapun الرُّهْبَانُ adalah jamak dariالرَّاهِبُ yang artinya ahli ibadah (orang shalih). Mereka ahlul kitab (Yahudi dan Nashoro) menjadikan orang-orang alim dan orang-orang shalih diantara mereka sebagai arbab (Tuhan-Tuhan) selain Allah dengan cara mentaati mereka pada pengharaman apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya pada penghalalan apa yang diharamkan oleh Allah. Dan firman Allah أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ (Robb-Robb selain Allah), karena hak at-tasyri’ (pembuatan syari’at) berkaitan dengan rububiyah Allah. Sisi pendalilan ayat ini bahwasanya makna tauhid adalah tidak boleh ta’at kecuali hanya kepada Allah, adapun taat kepada orang alim atau orang shalih dalam penghalalan dan pengharaman maka ini merupakan kesyirikan. Insya Allah akan datang bab khusus yang menjelaskan permasalahan ini
Dalil Keempat :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Di antara sebagian manusia ada yang menjadikan tuhan-tuhan tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman lebih besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165).
Ada dua pendapat di kalangan ahli tafsir tentang firman Allah يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ (mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagamana mereka mencintai Allah).
Pertama : Mereka (kaum musyrikin) mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagaimana kecintaan kaum mukminin kepada Allah.
Kedua : Mereka (kaum musyrikin) mencintai tandingan-tandingan tersebut sebagaimana kecintaan mereka (kaum musyrikin) terhadap Allah.
Dan tafsiran kedua lebih benar karena di akhir ayat Allah berfirman وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِلَّهِ (dan orang-orang yang beriman kecintaan mereka kepada Allah lebih besar) yaitu daripada kecintaan kaum musyrikin kepada Allah, karena kaum musyrikin membagi cintanya adapun orang-orang yang beriman memurnikan cinta mereka kepada Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa tafsir tauhid adalah tidak boleh mencintai selain Allah dengan bentuk cinta ibadah, yaitu cinta yang disertai dengan ketundukan, perendahan diri, dan pengagungan terhadap yang dicintai. Insya Allah akan datang penjelasan khusus tentang ayat ini pada bab tersendiri
Dalil Kelima :
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barangsiapa yang mengucapkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah kepada Allah”
Sabda Nabi “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaha illallahu dan mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah kepada Allah”
Kata “dan” dalam bahasa Arab asalnya menunjukkan adanya ‘al-mughooyaroh’ (perbedaan) antara yang sebelum kata “dan” dengan yang sesudah kata “dan”. Dari sini dipahami bahwasanya sabda Nabi “mengucapkan laa ilaaha illallahu” tidak sama dengan sabda beliau “mengingkari sesembahan selain Allah”. Bahwasanya “mengingkari sesembahan selain Allah” adalah syarat tambahan atau merupakan konsekuensi yang lazim terhadap laa ilaaha illallahu.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa “dan” dalam hadits bukan untuk al-mughoyaroh (pembedaan) akan tetapi untuk penafsiran atau penyebutan yang khusus setelah umum. Karena “mengingkari sesembahan selain Allah” adalah merupakan bagian dari “laa ilaaha illallahu” hanya saja lebih khusus dari laa ilaaha ilallahu
Penulis -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah- mengomentari hadits ini dengan berkata :
فلم يجعل مجرد التلفظ بها عاصما للدم والمال، بل ولا معرفة معناها مع لفظها، بل ولا الإقرار بذلك، بل ولا كونه لا يدعو إلا الله وحده لا شريك له، بل لا يحرم ماله ولا دمه حتى يضيف إلى ذلك الكفر بما يعبد من دون الله، فإن شك أو توقف لم يحرم ماله ولا دمه. فتبين بذلك أنه لا بد من اعتقاد وجوب عبادة الله وحده لا شريك له، ومن الإقرار بذلك اعتقادا ونطقا، ولا بد من القيام بعبودية الله وحده طاعة لله وانقيادا، ولا بد من البراءة مما ينافي ذلك عقلا وقولا وفعلا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjadikan hanya sekedar melafalkan laa ilaaha illallahu terjaga darah dan harta, bahkan tidak juga sekedar mengerti maknanya disertai lafalnya, bahkan tidak juga pengakuan terhadapnya, bahkan tidak cukup dia menyeru kepada Allah semata tiada sekutu bagiNya, bahkan tidak akan haram harta dan darahnya hingga ia tambahkan kepada itu semua sikap kufur kepada yang disembah selain Allah. Jika ia ragu atau berhenti (dalam mengkafirkan tersebut) maka tidaklah haram harta dan darahnya. Maka dengan ini jelas bahwa harus ada keyakinan wajib untuk beribadah kepada Allah semata, pengakuan terhadapnya dengan keyakinan dan ucapan, harus menjalankan peribadatan kepada Allah semata sebagai bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah, dan harus berlepas diri dari perkara-perkara yang menafikannya baik secara akal, maupun perkataan, dan perbuatan”
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata mengomentari perkataan penulis di atas :
ولا يتم ذلك إلا بمحبة القائمين بتوحيد الله وموالاتهم ونصرتهم، وبغض أهل الكفر والشرك ومعاداتهم، لا تغني في هذا المقام الألفاظ المجردة، ولا الدعاوى الخالية من الحقيقة، بل لا بد أن يتطابق العلم والاعتقاد والقول والعمل، فإن هذه الأشياء متلازمة متى تخلف واحد منها تخلفت البقية والله أعلم
“Dan ini semua tidak akan terlaksana kecuali dengan mencintai orang-orang yang menegakkan tauhid dan berloyal kepada mereka dan menolong mereka, serta membenci pelaku kekufuran dan kesyirikan dan memusuhi mereka. Dan ini semua tidak cukup hanya dengan sekedar perkataan, tidak juga dengan pengakuan/propaganda yang kosong dari kenyataan. Akan tetapi ilmu dan keyakinan harus selaras dengan perkataan dan perbuatan, karena perkara-perkara ini saling terikat, kapan ada yang tertinggal maka sisanyapun terluputkan” (Al-Qoul As-Sadid hal 40)
Dari sini jelaslah kebatilan orang-orang yang berkata, “Kami tidak berbuat kesyirikan, akan tetapi mereka para penyembah kuburan, penyembah al-Husain adalah saudara-saudara kita, mereka bersalah namun mereka tidaklah kafir”. Atau yang lebih parah dari ini yaitu perkataan kaum liberal para da’i pluralisme, “Semua agama mengajak kepada kebaikan. Kami muslim dan bukan Yahudi dan bukan pula Nashrani, akan tetapi mereka tidaklah kafir, mereka bersalah, akan tetapi mereka juga menyeru kepada kebaikan”. Yang lebih parah lagi pernyataan mereka, “Agama itu hanyalah budaya dan sarana menuju kepada kebaikan, maka siapa yang baik akhlaknya dan apapun agamanya maka dia di atas kebenaran”. Ini semua adalah perkataan yang menggugurkan syahadat seseorang.
Keterangan tentang bab ini akan dipaparkan pada bab-bab berikutnya.
Adapun kandungan bab ini menyangkut masalah yang paling besar dan paling mendasar, yaitu pembahasan tentang makna tauhid dan syahadat.
Masalah tersebut telah diterangkan dalam bab ini dengan beberapa hal yang cukup jelas, antara lain:
- Ayat dalam surat Al Isra’. Diterangkan dalam ayat ini sanggahan terhadap orang-orang musyrik, yang memohon kepada orang-orang yang shaleh, oleh karena itu, ayat ini mengandung suatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu adalah syirik besar.
- Ayat dalam surat At taubah. Diterangkan dalam ayat ini bahwa orang-orang ahli kitab telah menjadikan orang-orang alim dan pendeta- pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan dijelaskan pula bahwa mereka hanya diperintahkan untuk menyembah kepada satu sesembahan, dan menurut penafsiran yang sebenarnya mereka itu hanya diperintahkan untuk taat kepadanya dalam hal-hal yang tidak bermaksiat kepada Allah, dan tidak berdo’a kepadanya.
- Kata-kata Nabi Ibrahim u kepada orang-orang kafir: “sesungguhnya saya berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali (saya hanya menyembah) Dzat yang menciptakanku”.
Di sini beliau mengecualikan Allah dari segala sesembahan.
Pembebasan (dari segala sembahan yang batil) dan pernyataan setia (kepada sembahan yang haq, yaitu: Allah) adalah makna yang sebenarnya dari syahadat “La Ilaha Illallah”.
Allah ﷻ berfirman
“Dan Nabi Ibrahim menjadikan kalimat syahadat ini kalimat yang kekal pada keturunannya, agar mereka ini kembali (kepada jalan yang benar).” (QS. Az Zukhruf: 28). - Ayat dalam surat Al Baqarah yang berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak akan bisa keluar dari neraka”. (QS. Al Baqarah: 167).
Disebutkan dalam ayat tersebut, bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, meskipun demikian kecintaan mereka ini belum bisa memasukkan mereka ke dalam agama Islam.
Lalu bagaimana dengan mereka yang cintanya kepada sesembahan selain Allah itu lebih besar dari cintanya kepada Allah?
Lalu bagaimana lagi orang-orang yang cuma hanya mencintai sesembahan selain Allah, dan tidak mencintai Allah? - Sabda Rasulullah ﷺ :
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barangsiapa yang mengucapkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, adapun perhitungannya terserah kepada Allah”.
Ini adalah termasuk hal yang penting sekali yang menjelaskan pengertian لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Sebab apa yang dijadikan Rasulullah sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat itu dengan lisan atau memahami arti dan lafadznya, atau mengetahui akan kebenarannya, bahkan bukan pula karena tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya, akan tetapi harus disertai dengan tidak adanya penyembahan kecuali hanya kepada-Nya.
Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.
Betapa besar dan pentingnya penjelasan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang termuat dalam hadits ini([20]), dan betapa jelasnya keterangan yang dikemukakannya, dan kuatnya argumentasi yang diajukan bagi orang-orang yang menentangnya.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
____________
Footnote:
([2]) Tafsir At-Thobari 1/121-122 dengan sedikit ringkasan
([4]) Syarh Al-Asmaa’ Al-Husnaa hal 124
([5]) Syarh al-Ushuul al-Khomsah hal 195
([6]) Lihat : Dar’u at-Ta’aarudh 5/46 dan Ar-Risalah At-Tadmuriyah, beserta syarahnya Al-Ajwibah Al-Mardhiyah hal 218
([7]) Lihat Dar’u at-Ta’arudh 3/18
([8]) Lihat Majmu’ al-Fataawa 5/326 dan 10/157
([9]) Lihat Ar-Risalah At-Tadmuriyah, beserta syarahnya Al-Ajwibah Al-Mardhiyah hal 219
([10]) Lihat Minhaj As-Sunnah an-Nabawiyah 2/130-131
([11]) Al-Milal wa An-Nihal 1/42
([12]) Syarh Jauharat At-Tauhid hal 98-99
([13]) Manazil As-Saairin, Abu Isma’il Al-Harowi hal 135-136
([14]) Syarah al-Aqidah at-Tohawiyah 50-51
([15]) Lihat muqoddimah pentahqiq kitab Fusus al-Hikam hal 24-25 dan penjelasan Ibnu Taimiyah tentang madzhab mereka di Majmu’ Al-Fatawa 2/124
([16]) Lihat Fusus al-Hikam 210-211
([17]) Fi zhilaal al-Qur’an 2/1005
([18]) Tafsir At-Thobary 20/576
([19]) Lihat tafsir al-Qurthubi 16/76
([20]) Sungguh benar pernyataan penulis, betapa banyak orang yang mengulang-ngulang berdzikir laa ilaaha illallahu akan tetapi melakukan praktik-praktik kesyirikan karena mereka tidak paham akan kesyirikan. Jika mereka tidak paham akan makna kesyirikan lantas bagaimana lagi mau diharapkan mereka akan berlepas diri dan mengingkari kesyirikan?