Khutbah Jumat – Allah Al-Lathif
Khutbah Pertama
إن الحمد لله، نحمدُه ونستعينُه ونستغفرُه وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ من شرورِ أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهدِه الله فلا مضلَّ له، ومن يضلِلْ فلا هادي له، وأشهدُ أنْ لا إله إلا الله وحده لا شريكَ له، وأشهدُ أن محمداً عبده ورسوله. لا نبي معده.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
فإن أصدق الحديث كتابُ الله، وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم، وشرَّ الأمورِ محدثاتُها، وكلَّ محدثة بدعةٌ، وكلَّ بدعة ضلالةٌ، وكلَّ ضلالة في النار.
معاشر المسلمين، أًوصيكم ونفسي بتقوى الله، فقد فاز المتقون
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghitungnya[1] maka dia akan masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)[2]
Dari hadits ini, dituntut bagi kita untuk mengenal nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala, memahami kandungan dari makna nama-nama tersebut, dan mengamalkan konsekwensi dari nama-nama tersebut. Di antara pengamalan dari nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut adalah dengan berdoa dengan menggunakan nama-nama tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (180)
“Dan Allah memiliki Asma’ Al-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya nama-nama tersebut itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 180)
Dan konsekwensi dari berdoa dengan nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut adalah kita harus memahami apa kandungan dari makna tersebut, sehingga kita bisa tepat membawakan nama Allah Subhanahu wa ta’ala tatkala kita bermunajat kepadaNya.
Di antara dari sekian banyak nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala adalah اللَّطِيْفٌ (Al-Lathif), yang artinya adalah Maha Halus atau Maha Lembut. Nama Al-Lathif ini Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan di dalam Alquran sebanyak enam kali. Sebagian para ulama menjelaskan makna dari Al-Lathif yang di antaranya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dan diikuti oleh Syaikh Abudrrahman bin Nashir As-Sa’di, bahwa makna Al-Lathif berputar pada emapt makna,
- Al-Lathif maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala adalah yang mengetahui segala perkara-perkara yang samar, tersembunyi, dan perkara-perkara yang pelik.
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16)
“(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.” (QS. Luqman : 16)
Dari ayat ini, apapun yang kita lakukan, sekecil apapun itu pasti diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini juga dikarenakan bahwa sebuah kaidah dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala disebutkan,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14)
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk : 14)
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan seluruh yang ada di alam semesta ini dan tidak ada satupun yang ada di alam semesta ini sekecil apapun kecuali itu juga adalah ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jangankan kita berbicara tentang manusia, hewan-hewan pun ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang hewan-hewan,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (6)
“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dan Dia (Allah) mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya[3]. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud : 6)
Demikian pula dengan tumbuh-tumbuhan, itu juga adalah ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (59)
“Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am : 59)
Kalau Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui seluk-beluk hewan dan tumbuhan dengan perinciannya padahal mereka bukanlah mukallaf (yang dibebani dengan syariat), maka bagaimana lagi dengan manusia? Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala adalah yang menciptakan kita. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (8) وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (9)
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad : 8-9)
Maka jika Allah Subhanahu wa ta’ala yang mencipatakan mata kita, maka pasti Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang kita lihat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ (19)
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS. Ghafir : 19)
Demikian pula dengan lisan kita, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tahu tentang apa yang kita ucapkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf : 18)
Maka jika Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan kita, maka tentu hati kita pun diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala tahu apa yang ada dan yang berputar di dalam hait kita, apakah itu riya’, apakah ada suma’ah, apakah ada sombong dan angkuh, atau tawadhu, apakah ada husnudzan, apakah niatnya baik atau buruk, semua itu diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena Dia adalah Al-Lathif, yang Maha mengetahu perkara-perkara yang pelik, samar dan perkara-perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang.
- Al-Lathif maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan kemaslahatan dunia dan agama kepada seorang hamba dengan cara-cara yang tidak disadari oleh seorang hamba (dengan cara yang halus atau lembut).
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang mampu mendatangkan kemaslahatan dunia bagi seorang hamba. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 2-3)
Semakin seseorang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka Allah semakin Lathif kepadanya. Sesungguhnya rezeki kita itu terbagi menjadi dua model, pertama adalah rezeki yang telah disangkakan seperti gaji atau pendapatan tiap bulan yang telah diketahui jumlahnya; kedua adalah rezeki yang tidak disangka, yaitu rezeki yang datang tanpa disangka sehingga membuat rezeki yang dimiliki jauh lebih banyak jumlahnya daripada rezeki yang telah disangka (diketahui), dan ini smeua dari Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Lathif.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala juga mendatangkan kemaslahatan agama kepada seseorang dengan caara yang halus dan tidak disangka-sangka oleh sang hamba. Contohnya adalah seseorang awam yang tiba-tiba berteman dengan orang salih, kemudian tanpa direncakana dia dibawa ke majelis ilmu, sehingga akhirnya dari situ kemudian datang hidayah kepadanya; atau seorang istri yang menikah dengan orang salih, kemudian dari situ Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada sang istri. Intinya banyak cara-cara yang tidak disadari oleh seorang hamba bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan maslahat agama kepadanya. Oleh karernanya tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nikmat agama yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada istri-istri Nabi, Allah menutup firmannya dengan menyebut namanya Al-Lathif. Allah Subhanahu wa ta’ala memulai dengan firmannya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29) يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30) وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا (31) يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا (32) وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33) وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا (34)
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu. Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ahzab : 28-34)
Sungguh kenikmatan yang luar biasa yang didapatkan oleh para istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan aturan kepada mereka (istri-istri Nabi) demi kemaslahatan mereka. Tentunya nasihat yang Allah sebutkan dalam ayat ini juga berlaku bagi para wanita pada umumnya, hanya saja banyak para wanita yang tidak menyadari hal ini. Allah Subhanahu wa ta’ala melarang para wanita berkata-kata lembut dan mendayu-dayu dalam berbicara kepada laki-laki lain, Allah Subhanahu wa ta’ala melarang para wanita untuk keluar dari rumah-rumah mereka, ini semua adalah kemasalahan dari Allah untuk para wanita. Akan tetapi banyak apra wanita yang menyangka bahwa kemasalahatan mereka adalah dengan cara keluar dan meninggalkan rumah mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk membca Alquran dan mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka menyangka bahwa kemaslahatan mereka ada pada tontonan di televisi dengan program-program yang tidak berguna. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Lathif yang menginginkan kebaikan bagi mereka, namun mereka tidak mau.
Ma’asyiral muslimin, oleh karenanya ketahuilah bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kemaslahatan dunia dan agama kepada hamba-hambaNya yang Dia kehendaki.
- Al-Lathif maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menjauhkan dari seorang hamba dari keburukan-keburukan dengan cara yang tidak disadari oleh sang hamba.
Betapa sering seorang hamba terhindar dari keburukan, namun dia tidak sadar bahwa itu adalah kebaikan bagi dirinya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Betapa banyak seseorang yang ingin melakukan sesuatu, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala palingkan dia dari hal tersebut, contohnya adalah betapa banyak orang yang sangat ingin menang dalam pilkada, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memenangkannya karena dia tidak tahu bahwa bisa jadi jika terpilih dia terjerumus ke dalam hal-hal yang haram dan mungkin tidak mampu untuk menjalankan amanah Allah Subhanahu wa ta’ala dan negara. Betapa banyak pula seseorang yang masuk dalam dunia perdagangan kemudian hanya rugi yang didapatkan, dia tidak tahu bahwa Allah tidak memberikan untung dalam perdagangannya karena jika untung dia akan sombong dan menjadi angkuh dan terjerumus dalam berbagai macam kemaksiatan, sehingga Allah menjadikannya rugi agar menghidarkannya dari itu semua. Bahkan mungkin ada seseorang yang meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala keberhasilan, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memeberikan keberhasilan itu karena Allah ingin jauhkan dia dari berbagai macam keburukan. Lihatlah bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala memalingkan keburukan dari Nabi Musa ‘alaihissalam dan ibunya dengan cara yang halus serta tidak disadari oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan ibunya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى (36) وَلَقَدْ مَنَنَّا عَلَيْكَ مَرَّةً أُخْرَى (37) إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى (38) أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي (39) إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَنْ يَكْفُلُهُ فَرَجَعْنَاكَ إِلَى أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا فَلَبِثْتَ سِنِينَ فِي أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلَى قَدَرٍ يَا مُوسَى (40) وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِي (41)
“Dia (Allah) berfirman, “Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu, wahai Musa! Dan sungguh, Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan yang lain (sebelum ini), (yaitu) ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu sesuatu yang diilhamkan, (yaitu), letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia ke sungai (Nil), maka biarlah (arus) sungai itu membawanya ke tepi, dia akan diambil oleh (Fir‘aun) musuh-Ku dan musuhnya. Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Yaitu) ketika saudara perempuanmu berjalan, lalu dia berkata (kepada keluarga Fir‘aun), ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati. Dan engkau pernah membunuh seseorang, lalu Kami selamatkan engkau dari kesulitan (yang besar) dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan (yang berat); lalu engkau tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian engkau, wahai Musa, datang menurut waktu yang ditetapkan, dan Aku telah memilihmu (menjadi rasul) untuk diri-Ku.” (QS. Thaha : 36-41)
Lihatlah bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala mewahyukan sesuatu yang amat berat bagi ibu Nabi Musa ‘alaihissalam, akan tetapi itu semua demi kemaslahatan mereka berdua. Jika sekiranya Nabi Musa ‘alaihissalam dan ibunya masih di rumahnya, maka bisa jadi para tentara Fir’aun telah menangkap dan menyiksa mereka, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi Nabi Musa ‘alaihissalam dan ibunya dengan cara-cara yang yang mereka tidak sadari. Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki rencan lain dari apa yang Dia wahyukan tatkala itu.
Oleh karenanya betapa sering kita diajuhkan dari keburukan, namun kita tidak menyadari. Saya memiliki seorang kawan yang hendak bepergian dengan pesawat, akan tetapi Allah buat dijalan menjadi macet sehingga dia terlambat sampai ke bandara, dan akhirnya dia ketinggalan pesawat. Akan tetapi sesaat kemudian diberitakan bahwa pesawat yang seharusnya dia tumpangi meledak di udara. Ada pula seseorang yang terlambat untuk pulang kerumahnya karena pesawat yang dia tumpangi mengalami delay keberangkatan selama dua jam. Ternyata dalam dua jam delay itu, rumahnya dibobol pencuri. Kemudian dia berkata bahwa jika sekiranya pesawatnya tidak delay, maka dia bisa menyelamatkan rumahnya yang dibobol pencuri. Maka seseorang kemudian mengingatkannya, bahwa sesungguhnya dia tidak tahu bahwa apakah jika dia berada di sana pencuri tersebut berbuat baik atau buruk kepadanya, karena bisa saja pencuri tersebut membunuh orang yang dia dapati di rumah tersebu. Maka dari sini lebih baik harta itu hilang daripada nyawanya yang hilang. Dia tidak tahu bahwa dengan delaynya pesawat yang dia tumpangi adalah cara Allah Subhanahu wa ta’ala memalingkan dirinya dari keburukan.
- Al-Lathif maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat seorang hamba dengan cara-cara yang samar dan tidak disadar oleh sang hamba tersebut.
Contoh yang nyata dari makna ini adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Yusuf ‘alaihissalam diakhir kisahnya berkata kepada ayahnya,
يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُمْ مِنَ الْبَدْوِ مِنْ بَعْدِ أَنْ نَزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (100)
“Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku. Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Yusuf : 100)
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menyadari bahwa dari setiap kejadian yang dia alami itu pelan tapi pasti mengantarkannya kepada derajat yang lebih tinggi. Ketahuilah bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam dihadapkan pada perkara-perkara yang beliau benci, beliau dibunag ke dalam sumur oleh kakak-kakaknya, kemudian dijadikan budak dan dijual dengan harga yang murah, dijadikan pembantu, digoda oleh wanita, dipenjara dengan masa yang lama, akan tetapi ini semua dialami dengan tujuan kebahagiaan bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Dan tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menginginkan merubah keburukan yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengirim mimpi kepada sang raja yang akhrinya menjadikan Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjadi menteri di negeri Mesir. Lihatlah bahwa musibah demi musibah ternyata berhujung pada kebahagiaan.
Betapa sering seseorang ditimpa dengan musibah di dunia, akan tetapi dia tidak sadar bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sedang meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Maka betapapun kita meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk dijauhkan dari perkara yang tidak kita sukai namun Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengangkat hal tersebut, maka ketahuilah bahwa justru dengan Allah fas membiarkan perkara tersebut menimpa diri kita adalah cara Allah Subhanahu wa ta’ala menaikkan derajat kita di sisiNya.
أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من ذنب وخطيئة فأستغفره إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، أللهم صلي عليه وعل أله وأصحابه وإخوانه
Ma’asyiral Muslimin,
Tatkala kita mengetahui makna Al-Lathif (Allah Maha Lembut atau Allah Maha Halus), maka ada beberapa faidah yang bisa kita ambil,
- Kita hendaknya berhati-hati dalam bersikap, melihat, berucap, mendengar, merenungkan (apa yang ada di dalam hati), karena semuanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau hewan dan tumbuhan Allah tahu dengan detil tentang mereka, maka bagaimana lagi dengan kita sebagai manusia.
- Kita hendaknya menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kita hendanyaknya menyadari bahwa tuhan kita adalah Al-Lathif yang sering memberikan kepada kita kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak sangka. Dan terlalu banyak serta sering dari kemaslahatan tersebut yang tidak disadari, bahkan keburukan-keburukan yang dialami mengandung banyak hikmah dan kebaikan yang kita dapatkan.
- Kita hendaknya berusaha berdoa dengan nama Allah Al-Lathif tersebut. Di antaranya adalah seseorang berdoa, ‘يَا لَطِيْف أُلْطُفْ بِيْ’ (Ya Lathif, berikap lembutlah kepadaku), seraya meminta kepadaNya untuk didatangkan kebaikan-kebaikan dan dijauhkan dari keburukan yang tanpa disadari.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[1] Maksudnya adalah menghafalnya dan mengamalkannya.
[2] HR. Bukhari no. 2736 dan HR. Muslim no. 2677
[3] Sebagian Ahli Tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat penyimpanannya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui tentang di rahim mana hewan tersebut berada sebelum kemudian hewan tersebut lahir ke muka bumi.