Khutbah Jumat – Agar Tidak Su’ul Khatimah
Khutbah Pertama
إن الحمد لله، نحمدُه ونستعينُه ونستهديه وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ من شرورِ أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهدِه الله فلا مضلَّ له، ومن يضلِلْ فلا هادي له، وأشهدُ أنْ لا إله إلا الله وحده لا شريكَ له، وأشهدُ أن محمداً عبده ورسوله. لا نبي معده.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فإن أصدق الحديث كتابُ الله، وخيرَ الهدى هدى محمد صلى الله عليه وسلم، وشرَّ الأمورِ محدثاتُها، وكلَّ محدثة بدعةٌ، وكلَّ بدعة ضلالةٌ، وكلَّ ضلالة في النار.
معاشر المسلمين، أًوصيكم وإياي بتقوى الله، فقد فاز المتقون
Sesungguhnya setiap diri kita tidak mengetahui kesudahannya. Karena ini adalah rahasia yang Allah tuliskan dalam Lauhul Mahfudz, sehingga tidak seorang pun mengetahuinya. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah menegaskan,
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman : 34)
Seseorang tidak tahu di mana dia akan meninggal dunia, serta dia juga tidak tahu bagaimana model meninggalnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ
“Dan sesungguhnya amalan itu tergantung akhirnya.”[1]
Jika demikian, maka bagaimana mungkin seseorang bisa ujub dan bangga dengan amalan dan ibadah-ibadahnya, sementara dia tidak tahu bagaimana penghujung kesudahan hidupnya, apakah dia meninggal dalam keadaan Husnul khatimah, atau meninggal dalam su’ul khatimah? Terlebih lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيَدْخُلُهَا
“Sungguh ada seseorang dari kalian yang (benar-benar) mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah satu hasta, namun takdir telah ditetapkan baginya hingga ia mengerjakan amal perbuatan ahli neraka dan akhirnya ia pun masuk neraka. Dan ada pula orang yang mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak antara ia dan neraka hanya satu hasta, namun takdir telah ditetapkan baginya hingga kemudian ia mengerjakan amal perbuatan ahli surga dan akhirnya ia pun masuk surga.” (Muttafaqun ‘alaih)[2]
Inilah yang menggelisahkan orang-orang saleh. Mereka tidak pernah merasa tenteram dengan amalan yang mereka lakukan karena tidak tahu bagaimana kesudahan mereka kelak.
Di antara hal-hal yang bisa mengantarkan seseorang agar terhindar dari su’ul khatimah adalah berbuat baik kepada orang lain. Imam Ath-Thabrani dalam kitabnya Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ
“Berbuat baik kepada orang lain akan menghalangi dari kesudahan yang buruk.”[3]
Apa yang dimaksud dengan مَصَارِعَ السُّوءِ? Para ulama ketika membahasa makna ini, mereka membawa kepada dua makna,
Makna pertama adalah su’ul khatimah dalam kondisi bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Tatkala seseorang sedang meninggalkan perintah Allah dan mengerjakan larangan-Nya, nyawanya kemudian dicabut oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Inilah yang dimaksud keadaan مَصَارِعَ السُّوءِ. Walya’udzubillah. Sungguh telah banyak kejadian seperti ini, seseorang meninggal dunia tatkala dia sedang membangkang dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Makna kedua adalah cara meninggal yang tidak biasanya (mengenaskan). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berlindung dari kematian seperti itu. Dalam suatu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَدْمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْغَرَقِ، وَالْحَرَقِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tertimpa reruntuhan, dan aku berlindung kepada-Mu dari jatuh (dari tempat yang tinggi), dan aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam, dan terbakar dan dari pikun. Dan aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai syaithan menggelincirkanku ketika aku akan mati, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan lari dari medan pertempuran, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati karena tersengat binatang berbisa.”[4]
Inilah hal-hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berlindung darinya. Dan para ulama menyebutkan alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari hal-hal tersebut. Sebab yang pertama adalah karena jenis kematian ini adalah kematian yang tidak bagus. Akan tetapi dari keadaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta berlindung darinya, ada beberapa bentuk mati syahid. Di antaranya adalah terbakar, tenggelam, terjatuh. Akan tetapi bagaimanapun juga perkara-perkara ini tidak disukai oleh seseorang, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta berlindung untuk tidak terkena perkara-perkara ini. Namun berbeda dengan mati syahid yang sesungguhnya (mati di medan pertempuran), seseorang berangan-angan untuk mati di medan pertempuran. Bahkan seseorang mencari medan tersebut. Adapun sebab yang kedua adalah meskipun seseorang meninggal dalam keadaan terbakar, terjatuh dan tenggelam, akan tetapi bisa jadi dia belum sempat untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, atau tidak sempat menulis wasiat.
Oleh karenanya inilah di antara perkara-perkara yang disebut dengan مَصَارِعَ السُّوءِ (kematian yang buruk).
Oleh karenanya jika Anda ingin terhindar dari kematian yang buruk, maka perbanyaklah melakukan صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ (Shonai’ul Ma’ruf). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ
“Berbuat baik kepada orang lain akan menghalangi dari kesudahan yang buruk.”[5]
Apa yang dimaksud dengan Shonai’ul ma’ruf? Yaitu perbuatan baik secara umum. Artinya segala perbuatan baik yang bisa seseorang lakukan kepada orang lain, lakukanlah. Hal ini pernah diringkas oleh Khadijah radhiallahu ‘anha tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketakutan ditimpa perkara yang buruk karena didatangi oleh malaikat Jibril. Maka ketika Nabi ketakutan, Khadijah radhiallahu ‘anha berkata,
كَلَّا أَبْشِرْ، فَوَاللهِ، لَا يُخْزِيكَ اللهُ أَبَدًا، وَاللهِ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتُكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Sekali-kali tidak, bergembiralah. Demi Allah Dia tidak akan menghinakanmu selamanya. Demi Allah Subhanahu wa ta’ala engkau adalah orang yang senantiasa menyambung silaturahmi, senantiasa berkata jujur, engkau senantiasa membantu orang lain, suka memberi kepada yang tidak mampu, engkau suka menjamu tamu, dan selalu membela kebenaran.”[6] (HR. Muslim no. 160)
Amalan-amalan yang disebut oleh Khadijah radhiallahu ‘anha inilah yang dimaksud pokok-pokok dari Shonai’ul ma’ruf.
Jika seseorang bisa melakukan amalan-amalan ini, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menghinakan dia di dunia, terlebih lagi ketika dia akan meninggal dunia. Tentunya dia tidak akan dimatikan dalam kondisi Mashori’u as-suu’ (kesudahan yang buruk). Oleh karenanya seseorang berusaha berbuat baik dengan apa yang bisa dia lakukan.
Anda bisa berbuat baik dengan senyuman. Dan Anda juga bisa berbuat baik dengan ucapan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 83)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan pada kata-kata yang baik itu adalah sedekah.”[7]
Maka berkata-kata yang menyenangkan hati orang lain dan tidak menyakitinya, tidak menyindirnya maka itu adalah sedekah. Serta berbuat baiklah dengan tenaga Anda, ide dan pikiran Anda. Bahkan berbuat baiklah dengan harta yang Anda miliki. Dan apa saja kebaikan yang bisa kita lakukan, maka segeralah melakukannya sebelum maut menjemput kita.
Maka barangsiapa yang melakukan demikian, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan menghindarkannya dari Mashori’u as-suu’ (Kesudahan yang buruk).
أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من ذنب وخطيئة فأستغفره إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah Kedua
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلي عليه وعل أله وأصحابه وإخوانه. معاشر المسلمين،
Sebagaimana untuk menghindar dari kematian yang buruk ada jalan yang bisa ditempuh, maka demikian pula menuju kematian yang buruk pun memiliki jalan-jalannya. Di antara hal-hal yang mengantarkan seseorang kepada kematian yang buruk adalah mafhum mukhalafah (kebalikan) dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ
“Berbuat baik kepada orang lain akan menghalangi dari kesudahan yang buruk.”[8]
Maka mafhum mukhalafahnya (kebalikannya) adalah berbuat zalim kepada orang lain akan mengantarkan seseorang kepada kematian yang buruk.
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati agar dalam kehidupannya ini jangan sampai dia meninggal dalam kondisi masih berbuat zalim kepada orang lain. Jika dia telah memiliki kezaliman kepada orang lain, maka hendaknya dia segera meminta maaf kepada orang tersebut sebelum Allah Subhanahu wa ta’ala menakdirkan dia meninggal dalam kematian yang buruk. Maka janganlah menzalimi orang lain, baik dengan mengambil hartanya atau melukai badannya. Bahkan jangan sampai seseorang melukai hati dan perasaan saudaranya, karena di zaman sekarang banyak orang yang berbuat zalim dengan lisan dan tulisannya. Dan ketahuilah bahwa perbuatan zalim bukan hanya mengambil harta orang lain, bukan hanya memukul dan melukai fisiknya. Akan tetapi di antara perbuatan zalim adalah menjatuhkan harga diri orang lain tanpa Haq. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah haram (tidak boleh dilanggar) atas diri kalian.”[9]
Di hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya menyebutkan darah dan harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menggandengkan harga diri seseorang.
Maka di zaman mudahnya media sosial sekarang ini seseorang hendaknya berhati-hati dalam menulis dan menganalisa. Karena bisa jadi analisa tersebut penuh atau tercampur dengan kebohongan, sehingga menimbulkan kebencian bagi yang membacanya tanpa dia sadari. Sehingga akhir hayatnya ditutup dengan musibah yang menimpanya. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menghindarkan kita dari kematian yang buruk, dan semoga Allah menganugerahkan kita dengan Husnul khatimah.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتْ
اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
للَّهمَّ اغفِرْ لنا ما قَدَّمنا وما أَخَّرْنا وما أَسْرَرْنا ومَا أعْلَنْا وما أَسْرفْنا وما أَنتَ أَعْلمُ بِهِ مِنِّا، أنْتَ المُقَدِّمُ، وَأنْتَ المُؤَخِّرُ لا إله إلاَّ أنْتَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
____________________________
[1] HR. Bukhari no. 6607
[2] HR. Bukhari no. 3208 dan HR. Muslim no. 2643
[3] HR. Ath-Thabrani no. 8014, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[4] HR. Abu Daud no. 1552
[5] HR. Ath-Thabrani no. 8014, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[6] HR. Muslim no. 160
[7] HR. Bukhari no. 2989
[8] HR. Ath-Thabrani no. 8014, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[9] HR. Muslim no. 1679