Kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh kisah dalam Al-Quran adalah benar dan nyata. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat..” (QS. Yusuf : 111)
Kisah-kisah tersebut bukanlah dongeng-dongeng orang terdahulu sebagaimana tuduhan orang-orang musyrikin dan juga perkataan sebagian orang liberal. Yang benar adalah bahwa seluruh kisah dalam Al-Quran adalah kisah yang nyata. Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
… فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“…Sampaikanlah kisah-kisah agar mereka berpikir” (QS. Al-A’raf : 176)
Jadi, Kisah-kisah yang dibawakan oleh Allah di dalam alquran agar dapat diambil pelajarannya. Semakin kita berpikir dan merenungkan kisah-kisah tersebut, maka akan semakin banyak pelajaran dan teladan yang bisa kita ambil.
Pada kesempatan kali ini, kita akan menyampaikan tentang kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Nama nabi Sulaiman disebutkan oleh Allah dalam AL-Quran lebih dari 15 kali dan lebih dari lima surat, yang dimana Allah memuji Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam ayat-ayat tersebut, di antaranya Allah berfirman,
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya´qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-An’am : 84)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dipuji karena termasuk orang-orang yang berbuat ihsan. Allah juga memuji Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dalam surah Al-Anbiya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَفَهَّمْناها سُلَيْمان….
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)…” (QS. Al-Anbiya’ : 79)
Pada ayat ini Allah memberikan pemahaman yang kuat kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam lah yang membangun Masjidil Aqsha, salah satu dari tiga masjid spesial dalam dunia Islam yaitu Masjidil Haram, masjidil Aqsha, masjid Nabawi. Secara urutan pembangunan, yang pertama dibangun adalah Masjidil Haram yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kemudian setelah itu Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membangun Masjidil Aqsha([1]), kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun Masjid Nabawi.
Ketiga masjid ini adalah masjid spesial dan tidak boleh disamakan dengan masjid yang lainnya. Karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidak boleh mengadakan perjalanan/safar (untuk mencari keberkahan pada suatu tempat) kecuali menuju ke ketiga masjid: Al-Masjid Al-Haram, masjid Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam, dan masjid Al-Aqsha.” ([2])
Selain dari tiga masjid tersebut tidak boleh seseorang sengaja bersafar untuk mencari keberkahan, misalnya pada Masjid Sunan Ampel, Masjid Demak, atau Masjid Istiqlal. Semua masjid selain tiga masjid tersebut (Al-Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, Masjid Nabawi) semuanya sama, karena yang spesial hanya tiga masjid tersebut dimana pahala shalat dilipat gandakan, Masjidil Haram 100.000 kali lipat, Masjidil Aqsha 500 kali lipat([3]), Masjid nabawi 1000 kali lipat. Salah satu keutamaan shalat di Masjidil Aqsha adalah diampuninya dosa-dosa, dan ini salah satu dari doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam hadits bahwa Rasulullah Shallllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ دَاوُدَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَى بَيْتَ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ خِلَالًا ثَلَاثَةً سَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ فَأُوتِيَهُ وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ فَأُوتِيَهُ وَسَأَلَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حِينَ فَرَغَ مِنْ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَنْ لَا يَأْتِيَهُ أَحَدٌ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فِيهِ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Sesungguhnya, ketika Sulaiman bin Dawud membangun Baitul Maqdis, (ia) meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tiga perkara. (Yaitu), meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar (diberi taufik) dalam memutuskan hukum yang menepati hukum-Nya, lalu dikabulkan; dan meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dianugerahi kerajaan yang tidak patut diberikan kepada seseorang setelahnya, lalu dikabulkan; serta memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bila selesai membangun masjid, agar tidak ada seorang pun yang berkeinginan shalat di situ, kecuali agar dikeluarkan dari kesalahannya, seperti hari kelahirannya.” ([4])
Dalam riwayat lain berbunyi : Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ
“Adapun yang dua, maka telah diberikan. Dan saya berharap, yang ketiga pun dikabulkan).” ([5])
Kita akan membawakan kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam melalui tiga surah dari Alquran.
Pertama: Surah Shad
Allah menyebutkan kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam surah Shad pada ayat ke 30 – 40.
وَوَهَبْنا لِداوُدَ سُلَيْمانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS. Shad : 30)
Nabi Daud ‘alahissalam diberikan anugerah terindah berupa anak yang sangat saleh yaitu Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Nabi Daud memiliki banyak anak, akan tetapi salah satu anugerah terindah bagi Nabi Daud adalah Nabi Sulaiman, sedangkan anugerah terindah bagi kita adalah anak yang saleh, yang mendoakan kita setelah meninggal, taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tuanya. Allah memuji Nabi Sulaiman dengan sebutan نِعْمَ الْعَبْدُ (hamba yang terbaik), dan tidaklah Allah menyebutkan kata tersebut kecuali karena hamba tersebut benar-benar rajin beribadah. Nabi Sulaiman bukan hanya sekedar seorang nabi, melainkan juga seorang raja. Seorang raja biasanya sibuk dengan urusan keduniaan, tapi Nabi Sulaiman ‘alahis salam selain sebagai seorang raja juga sangat rajin beribadah, sehingga Allah memujinya sebagai sebaik-baik hamba, dari kata الْعَبْدُ yang berarti tunduk. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam juga disebutkan sifatnya oleh Allah dengan sebutan أَوَّابٌ yang berati selalu kembali (bertobat) kepada Allah (saat berbuat kesalahan). Setelah Allah memuji dengan menyebutkan sifat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, maka Allah sebutkan contoh bagaimana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam itu kuat ibadahnya dan selalu bertaubat kepada Allah ketika melakukan kesalahan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِناتُ الْجِيادُ (31) فَقالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوارَتْ بِالْحِجابِ
“(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore. Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan” (QS. Shad :31-32)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dihadapkan pertunjukan kuda-kuda pilihan yang disiapkan untuk jihad (perang) di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pertunjukan tersebut membuat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam merasa senang dan terhibur. Tiba matahari tenggelam, Nabi Sulaiman lupa berzikir (zikir petang/ibadah) kepada Allah karena keasyikan menonton pertunjukan kuda-kuda tersebut.
رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ
“Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu” (QS. Shad :33)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pun sadar dan meminta agar kuda-kuda tersebut dikembalikan di hadapannya lalu disembelih kuda-kuda tersebut di kaki dan lehernya lalu dibagi-bagikan kepada fakir miskin([6]), karena telah membuat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam lupa dari berzikir kepada Allah. Sebuah sikap yang luar biasa oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, kuda-kuda yang membuat beliau lupa dari mengingat Allah, akhirnya diikhlaskan dan di infakkan di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Lihatlah betapa kuatnya ibadah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang dibuat lupa sejenak dari mengingat Allah, maka kuda-kuda disembelih. Sedangkan banyak dari kita yang dilalaikan dari urusan dunia bahkan mungkin urusan yang kecil sudah bisa melalaikan (lupa) kita dari mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala. Kisah lain disebutkan bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga pernah diuji oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan melakukan kesalahan. Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan jasad tergeletak di atas kursinya (singgasananya), kemudian ia bertobat” (QS. Shad : 34)
Pada ayat ini, tidak terdapat riwayat yang sahih yang menjelaskan tentang fitnah dan ujian apa yang menimpa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Pada buku-buku tafsir bersanad seperti tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari maupun tafsir Al-Baghawi pun, tidak terdapat riwayat yang sahih.
Pada ayat ini pula para ahli tafsir khilaf tentang maksud dari jasad yang diletakkan di atas singgasana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir antara lain:
Pertama: berpendapat bahwa jasad tersebut adalah Nabi Sulaiman sendiri yang dalam keadaan sakit. ([7])
Kedua: Berpendapat bahwa jasad tersebut adalah anak Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang tidak sempurna (setengah badan) ketika dilahirkan. Adapun tafsir yang kedua didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ: لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِائَةِ امْرَأَةٍ، أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ كُلُّهُنَّ، يَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ، جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ ”
“Sulaiman bin Dawud berkata, ‘Demi Allah, aku akan berkeliling malam ini kepada seratus istri (menggaulinya); atau sembilan puluh sembilan istri, masing-masing istri (akan) melahirkan seorang penunggang kuda yang berjihad fi sabilillah.’ Temannya berkata kepadanya, ‘Insya Allah.’ Tetapi Sulaiman tidak mengucapkannya, maka tidak seorangpun yang melahirkan kecuali seorang saja melahirkan bayi yang jatuh salah satu sisinya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya (Allah), andaikan Nabi Sulaiman Alaihissallam mengucapkan insyaAllah, niscaya (istri-istrinya) seluruhnya (akan melahirkan anak) menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah.” ([8])
Imam al-Bukhari membawakan hadits ini dalam bab Man Thalabal Walad bil Jihad.
Ketiga: berpendapat sebagian yang lain, bahwa jasad yang dimaksud adalah syaithan, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di([9]). Syaithan menguasai singgasana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ketika diuji oleh Allah dan tidak duduk di singgasananya. Pada masa ini syaithan belum tunduk kepada nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Tatkala syaithan menguasai singgasana Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, mereka melakukan berbagai macam ilmu sihir yang membuat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam dituduh sebagai penyihir oleh sebagian penyihir. Sehingga Allah membantah perkataan orang tersebut pada Surah Al-Baqarah ayat 102, Allah berfirman:
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ…
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 102)
Inilah beberapa tafsiran tentang jasad yang diletakkan di atas singgasana nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Tatkala Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menyadari kesalahannya, dan sebagaimana disebutkan bahwa sifat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam adalah Awwaab yang berarti kembali kepada Allah, kemudian beliau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam kemudian memanjatkan doa kepada Allah dengan doa yang sangat agung,
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ia (Sulaiman) berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun setelahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad : 35)
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dianjurkan mengawali doanya kepada Allah dengan beristighfar, mengakui dosa-dosa dan bertawassul dengan istigfar tersebut kepada Allah sebelum menyebutkan doa-doa kita sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala pun mengabulkan doa beliau. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam meminta kerajaan yang spesial yang tidak diberikan pada kerajaan mana pun. Spesial bukan dalam artian luas daerah kekuasaan, melainkan spesial yang dimana angin, hewan, jin dan syaithan ditundukkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam([10]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ
“Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya.” (Qs. Shad : 36)
Disebutkan bahwa sifat angin yang tunduk kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah rukhaa`an (lembut), dan dalam riwayat lain akan disebutkan nanti bahwa sifat angin tersebut bergerak dengan cepat([11]). Angin tersebut dapat bergerak ke arah mana pun yang Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kehendaki. Jika beliau berkehendak angin tersebut bergerak ke arah kanan, kiri, atas maupun bawah, sangat mudah bagi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan tidak pernah karunia ini diberikan kepada seorang pun. Maka jika ada orang yang mengaku mampu mengendalikan angin, maka ketahuilah bahwa itu tidak benar, karena karunia tersebut hanya milik Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ
“Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam.” (QS. Shad : 37)
Penguasaan terhadap jin oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam itu bukan hanya kepada jin yang taat, melainkan juga jin setan([12]). Semua jenis jin ditundukkan oleh Allah untuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, baik jin ahli bangunan dan jin penyelam. Jin-jin tersebut diperintahkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sesuai dengan jenis tugasnya.
وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu. Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.” (QS. Shad : 38-39)
Allah memberikan karunia tersebut kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tanpa ada hisab (perhitungan) baginya, karena Nabi Sulaiman ‘alaihissalam merupakan hamba yang sangat saleh dan berhak masuk surga tanpa hisab. Di dunia Allah telah berikan kemewahan yang luar biasa kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Maka di akhirat pun demikian. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ
“Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shad : 40)
Inilah yang Allah sebutkan dalam surah Shad tentang Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Diantara keistimewaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah menguasai jin-jin. Nabi Sulaiman mampu menguasai jin-jin tersebut karena Allah yang menundukkan tanpa ada ilmu khusus sebagaimana angin tunduk kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tanpa ilmu khusus. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Imam Ahmad dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الجِنِّ تَفَلَّتَ البَارِحَةَ لِيَقْطَعَ عَلَيَّ صَلاَتِي، فَأَمْكَنَنِي اللَّهُ مِنْهُ فَأَخَذْتُهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبُطَهُ عَلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ حَتَّى تَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ دَعْوَةَ أَخِي سُلَيْمَانَ رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي فَرَدَدْتُهُ خَاسِئً
“Sesungguhnya jin Ifrit (tadi malam) tiba-tiba (datang) menggangguku untuk memutuskan shalatku (dalam riwayat yang lain, setan ingin lewat di depanku mengganggu). Kemudian Allah memberi kemampuan kepadaku untuk mengalahkannya (menahan), lalu aku pun memegangnya. Kemudian aku ingin mengikat di salah satu tiang masjid (Masjid Nabawi), sehingga kalian bisa melihatnya (esok hari). Namun aku teringat doa saudaraku Sulaiman: ‘Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun setelahku. Kemudian aku pun melepaskannya sementara dia dalam kondisi terhina.” ([13])
Dari hadits ini, salah satu hikmah seseorang shalat menghadap sutrah adalah agar tidak diganggu. Karena tatkala seseorang shalat, maka dia sedang berada dalam ibadah yang sangat agung, mereka sedang bermunajat kepada Allah, maka hendaknya untuk tidak diganggu.
Pada hadits ini menunjukkan bahwa Allah yang memberikan kemampuan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menahan jin Ifrit, bukan karena kesaktian Rasulullah. Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melepaskan jin Ifrit dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar bahwa penguasaan jin hanya milik Nabi Sulaiman alaihis salam. Jika nabi membiarkan jin Ifrit diikat di tiang masjid, maka itu berarti nabi menguasainya, maka kemudian nabi pun melepaskannya.
Disebutkan dalam surah Al-Jinn, bahwa jin sering mendengarkan bacaan Alquran oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai banyak jin yang masuk Islam karena bacaan beliau. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan.” (QS. Al-Jinn : 1)
Banyaknya jin yang masuk Islam tidak membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pasukan jin. Padahal kita ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membutuhkan pasukan dalam perang badar, perang uhud, perang khandaq, bahkan ketika kehilangan kalung dari istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah meminta bantuan jin, apalagi sampai menguasainya. Semua kewenangan tersebut hanya milik Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan terlarang bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun orang yang mengaku memiliki jin, ketahuilah bahwa sesungguh ada mahar yang harus dibayar (syarat) yang dimana itu adalah kesyirikan. Sedangkan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan Nabi Muhammad diberikan kemampuan oleh Allah tanpa persyaratan.
Kedua: Surah Saba’
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (QS. As-Saba’: 12)
Sifat angin yang tunduk pada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam itu ada dua yaitu lembut dan sangat cepat. Adapun pada ayat ini kecepatan angin tersebut tidak begitu cepat melainkan berjalan satu hari sebanding dengan perjalanan sebulan([14]). Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir, tatkala Nabi Sulaiman ‘alaihissalam melakukan perjalanan dengan angin tersebut, burung-burung berada di atas beliau sebagai awan yang meneduhkan([15]). Semua ini merupakan mukjizat bagi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Karunia yang lain terhadap Nabi Sulaiman ‘alahis salam adalah Allah karuniakan tembaga berbentuk cair dalam sebuah mata air yang mengalir. Sebagaimana diketahui bahwa tembaga butuh dipanaskan dalam suhu yang tinggi untuk bisa menjadi cair, akan tetapi Allah mengaruniakan tembaga sudah dalam bentuk cair.
Terdapat khilaf di kalangan ulama ketika menafsirkan maksud dari azab neraka bagi jin-jin yang membangkang, apakah azabnya di dunia ataukah di akhirat (neraka Jahannam). Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa malaikat (di dunia) telah siap untuk mencambuk jin-jin yang membangkang([16]), sehingga tidak ada yang berani untuk membangkang dari perintah Nabi Sulaiman ‘alaihs salam.
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ : 13)
Ketundukan para jin membuat mereka harus melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Sulaiman ‘alahis salam. Ada yang diperintahkan membuat gedung tinggi (ada yang menyebutkan bahwa gedung itu masjid)([17]). Ada pula yang diperintahkan membuat patung berbentuk hewan dari tembaga. Adapun membuat patung, boleh jadi syariat pada masa tersebut dibolehkan (membuat patung), meskipun di zaman sekarang membuat patung makhluk bernyawa hukumnya haram. Hal ini dikarenakan syariat seorang nabi dengan nabi yang lain itu berbeda. Pada zaman Nabi Isa ‘alaihissalam juga disebutkan pernah membuat patung burung dari tanah liat, lalu meniupnya dan terbanglah (hidup) burung tersebut. Dalam tafsir Al-Baghawi menyebutkan bahwa bisa jadi pada zaman Bani Israil hal tersebut (membuat patung) dibolehkan, adapun zaman sekarang hukumnya haram([18]). Para pasukan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga diperintahkan membuat piring yang besarnya seperti danau, begitu pun dengan periuknya yang lebih besar lagi sampai dikatakan tidak berpindah dari tungkunya. Hal ini menunjukkan bahwa pasukan jin memiliki kekuatan yang amat besar dan hal tersebut tidak dapat dibangun oleh manusia.
Salah satu bukti syukur seseorang kepada Allah setelah diberikan nikmat yang begitu banyak adalah dengan beramal saleh. Hal ini sebagaimana Allah perintahkan kepada Nabi Sulaiman bin Dawud untuk bersyukur atas segala nikmat yang begitu besar dengan beramal saleh. Karena banyak orang ketika diuji dengan kemiskinan lebih mampu bersabar dalam kondisi kekurangan, akan tetapi banyak orang yang tidak berhasil ketika diuji dengan harta, karena tidak mampu bersyukur dengan harta yang dimiliki. Oleh karena itu, penghuni surga kelak kebanyakan dari golongan orang miskin dan sedikit dari golongan orang kaya, karena mereka (orang miskin) lebih mampu bersabar ketika diuji dengan kekurangan.
Ketiga: Surah An-Naml
Surah An-Naml merupakan surah yang paling banyak menceritakan kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman.” (QS. An-Naml : 15)
Banyak karunia yang berikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Daud dan Sulaiman ‘alaihimas salam, akan tetapi Allah menyebutkan ilmu, dan ini menunjukkan bahwa itu adalah karunia yang spesial. Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memuji Allah (bersyukur) dengan kelebihan ilmu yang diberikan kepada mereka. Di sekitar mereka banyak orang beriman, tapi yang spesial adalah yang dikaruniakan iman dan ilmu. Oleh karena itu Allah berfirman,
… يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11)
Orang yang beriman akan diangkat derajatnya oleh Allah, dan orang-orang yang berilmu (beriman dan berilmu) Allah angkat di atas orang beriman beberapa derajat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Keutamaan orang yang berilmu dibanding dengan ahli ibadah (hanya beriman), seperti bulan purnama dibandingkan seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama (orang berilmu) adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” ([19])
Selanjutnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata. Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). (QS. An-Naml : 16-17)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengambil warisan dari Nabi Daud ‘alaihissalam. Para ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud warisan di sini adalah ilmu dan kenabian([20]). Harta tidak diwariskan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
“Kami tidak mewariskan (harta), apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” ([21])
Apa-apa yang ditinggalkan oleh para nabi adalah sedekah. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tidak ada pembagian harta untuk Fatimah Radhiallahu ‘anha dan juga untuk para istri-istri nabi. Pendapat ini dipegang oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu bahwa para nabi tidak mewariskan harta.
Pada ayat ini, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga menisbahkan segala kelebihan (nikmat) yang dimiliki kepada Allah. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa beliau adalah seorang raja yang tegas, sehingga mampu mengatur pasukannya hingga yang paling kecil yaitu burung-burung dengan tertib.
Selanjutnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَا أَتَوْا عَلَى وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat–Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (QS. An-Naml : 18-19)
Ini merupakan salah satu mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, dimana pada kondisi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam datang bersama pasukannya yang banyak. Pada pasukan tersebut tentunya ada banyak suara kebisingan yang beragam, dan juga ada kemungkinan bahwa Nabi Sulaiman berada di atas angin atau di atas kuda yang membuat adanya jarak yang cukup jauh, akan tetapi Nabi Sulaiman bisa mendengar perkataan seekor semut diantara kebisingan tersebut.
Sikap senyum dan tertawanya nabi Sulaiman ‘alaihis salam disebabkan dua hal([22]):
Pertama, bahwa Nabi Sulaiman bersyukur kepada Allah karena diberi kemampuan untuk fokus mendengar perkataan satu ekor semut diantara banyaknya semut yang lain.
Kedua, bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam takjub dengan sikap dan perkataan semut tersebut. Semut ini mengetahui kedatangan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan pasukannya. Kemudian semut tersebut mengingatkan pasukannya dengan ungkapan yang indah yang dimana sebagian ulama membahas ushul fiqih ucapan semut tersebut. Semut tersebut menggunakan harfun nida’ (panggilan) kepada semua النَّمْلُ yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘semua yang berjenis semut’. Perkataan semut itu juga menunjukkan bahwa semut tersebut mengenal Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan menghormati beliau dengan ucapan ‘Sulaiman dan pasukannya’. Sikap menakjubkan lain dari semut tersebut adalah dia berhusnudzan (memberi udzur) kepada Sulaiman dan pasukannya yang tidak menyadari keberadaan mereka (semut-semut), sehingga jika ada yang mati dari semut-semut tersebut (terinjak), maka itu disebabkan salah mereka sendiri, karena seekor semut telah mengingatkan mereka semua. Sikap semut ini memberikan pelajaran untuk memberikan udzur kepada orang lain, juga memikirkan keselamatan rakyatnya (semut) dan tidak memikirkan keselamatan diri sendiri.
Nabi Sulaiman ‘alahis salam adalah seorang pandai yang bersyukur sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dan Allah memujinya. Akan tetapi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam (dalam ayat ini) meminta kepada Allah agar senantiasa bisa bersyukur. Tatkala seseorang bisa istiqomah dalam bersyukur merupakan sikap yang luar biasa, karena terkadang orang bersyukur kepada Allah satu waktu, dan lupa di waktu yang lain. Maka dari itu seseorang senantiasa berdoa untuk bisa teguhkan dalam sikap tersebut.
Sebagaimana disebutkan oleh seorang tabi’in, bahwa dia pernah melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Kemudian melihat seseorang berdoa ‘rabbi qinii syuhha nafsii’ (Ya Allah, hilangkanlah dariku sifat pelit), sehingga dia mengira bahwa dia adalah orang pelit yang meminta dijauhkan dari sifat tersebut, ternyata dilihat bahwa orang tersebut adalah Abdurrahman bin ‘Auf, orang yang paling dermawan([23]). Meskipun Abdurrahman bin ‘Auf dermawannya luar biasa, akan tetapi takut untuk berbuat pelit. Akhirnya di senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat pelit.
Begitu pula Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, hamba yang sangat bersyukur, akan tetapi tetap meminta kepada Allah agar dapat terus bersyukur kepada-Nya. Bukti betapa bersyukurnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah ketika ada nikmat yang diperoleh kedua orang tuanya, dia juga mensyukurinya. Karena Nabi Sulaiman menganggap, nikmat yang diberikan kepada kedua orang tuanya juga merupakan nikmat baginya. Lihatlah betapa baktinya Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kepada kedua orang tuanya.
Pada ayat ini Nabi Sulaiman juga berdoa agar senantiasa dapat beramal saleh yang merupakan bentuk nyata dari rasa syukur kepada Allah, dan juga meminta untuk dimasukkan ke dalam surga dengan rahmat Allah dalam jajaran hamba-hamba yang saleh. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak percaya diri dengan amalnya, ilmunya, pasukan dan kerajaannya, sehingga dia senantiasa meminta untuk dimasukkan ke dalam surga atas rahmat dan kasih sayang Allah Subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-Hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.” (QS. An-Naml : 20)
Ayat ini menunjukkan betapa perhatiannya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pada rakyatnya (pasukannya). Burung Hud-Hud yang kecil pun diperhatikannya. Beginilah seharusnya sikap seorang pemimpin yang memperhatikan seluruh bawahannya tanpa terkecuali. Hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak mengetahui hal-hal gaib tentang keberadaan burung Hud-Hud.
Selanjutnya Nabi Sulaiman memperlihatkan ketegasannya sebagai seorang pemimpin,
لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
“Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang” (QS. An-Naml : 21)
Di hadapan seluruh pasukannya, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata bahwa akan menyiksa burung Hud-Hud atau bahkan menyembelihnya jika tidak hadir di hadapannya. Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa maksud dari azab yang keras (siksa) yaitu akan dicabut bulu-bulu burung Hud-Hud ([24]). Maka pasukan yang lain pun tidak berani membangkang perintah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam karena takut disiksa. Maka dari itu seorang pemimpin harus menidak tegas bawahannya yang melanggar dan tidak dibiarkan, agar tidak ada yang menggampangkan aturan sehingga bisa membuat aturan tidak berjalan.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-Hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini.” (An-Naml : 22)
Perkataan sebagian ulama, di antaranya adalah Al-Qurthubi dan lainnya bahwa dalil ini menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman dan juga para nabi yang lainnya ‘alaihimus salam tidak mengetahui ilmu gaib([25]), dan rakyatnya mengetahui bahwa Nabi Sulaiman tidak tahu tentang ilmu gaib termasuk burung Hud-Hud. Maka dari itu Hud-Hud mengatakan dengan percaya diri “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.”
Pada ayat ini menceritakan bahwa burung Hud-Hud pergi ke negeri Saba’ di saat pasukan hendak dikumpulkan. Letak kerajaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah di Palestina, dan jarak Palestina dan Negeri Saba’ kurang lebih 2000 kilometer. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa burung Hud-Hud dalam perjalanannya menimbang antara maslahat dan mudarat, jika dia tidak terlambat maka ada berita yang tidak dia dapatkan, sedangkan risiko jika terlambat adalah akan disiksa akan tetapi mendapatkan berita yang sangat penting. Dari sinilah burung Hud-Hud menimbang mudarat yang lebih kecil demi maslahat yang besar.
Maka sampainya di hadapan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, burung Hud-Hud langsung menyampaikan inti kabar tersebut dengan mengatakan,
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (23) وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ (24) أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ (25) اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk. Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ´Arsy yang besar” (QS. An-Naml : 23-26)
Disebutkan bahwa di Negeri Saba’ ada kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita, konon nama ratu tersebut adalah Ratu Bilqis([26]), yang sangat kaya. Salah satu kekayaannya adalah istana yang megah.
Keterlambatan yang dilakukan oleh burung Hud-Hud ternyata untuk menyampaikan kabar bahwa ada praktik kesyirikan di negeri lain yaitu di Negeri Saba’. Ini menunjukkan bahwa Burung Hud-Hud tidak senang dan gelisah dengan adanya kesyirikan di atas muka bumi, maka dari itu dia merasa harus melaporkan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam meskipun risikonya adalah disiksa atau bahkan disembelih. Sementara sebagian orang saat ini, ketika ada praktik kesyirikan, dilestarikannya untuk mendatangkan wisatawan dan mendatangkan pendapatan. Ketahuilah bahwa kesyirikan harus dihilangkan, meskipun itu adalah tradisi.
Maka burung Hud-Hud mengabarkan bahwa di Negeri Saba’, ada seorang ratu beserta rakyatnya yang menyembah matahari.
Setelah dikabarkan kepada Nabi Sulaiman ‘alahis salam, beliau tidak langsung menerima berita tersebut. beliau mengatakan,
قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (Qs. An-Naml : 27)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam akan melihat apakah burung Hud-Hud benar atau tidak. Jika burung Hud-Hud berbohong, maka akan disiksa. Ayat ini pun menjadi dalil yang kuat bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak mengetahui hal-hal yang gaib, padahal dia adalah raja dari para jin. Nabi Sulaiman tidak mengetahui keberadaan Hud-Hud, tidak mengetahui ke mana perginya. Bahkan Nabi Sulaiman tidak tahu ada Negeri Saba’, tidak tahu ada kerajaan di sana yang dipimpin oleh Ratu Bilqis. Sebagaimana pula Nabi Ya’qub yang setiap hari menangis karena tidak mengetahui keberadaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang hilang, dan setelah belasan tahun berlalu, barulah dipertemukan Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Kemudian datang orang-orang sekarang yang mengakui mengetahui sesuatu yang gaib. Ketahuilah bahwa sesungguhnya itu dengan bantuan jin. Para nabi sendiri tidak mengetahui ilmu gaib tentang masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Nabi Sulaiman ‘alais salam hendak memastikan apakah benar perkataan burung Hud-Hud. Beliau berkata,
اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهْ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ
“Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.” (QS. An-Naml : 28)
Akhirnya burung Hud-Hud terbang dari Palestina menuju Negeri Saba’ dengan membawa surat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Maka sampailah burung Hud-Hud ke dalam kamar Ratu Bilqis, lalu dijatuhkan([27]). Maka ratu Bilqis membuka surat tersebut dan yang isi surat tersebut berbunyi,
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang muslim (berserah diri).” (Qs. An-Naml : 30-31)
Pesan dari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sangat singkat namun sangat tegas. Hanya terdiri dari dua kalimat, “Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang Islam (yang berserah diri).
Setelah Ratu Bilqis membaca surat tersebut, dia pergi menemui rakyatnya (pembesar-pembesarnya) dengan berkata,
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ
“Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia” (QS. An-Naml : 29)
Ratu Bilqis ternyata memuji surat tersebut, karena menurutnya itu adalah surat dari seseorang yang agung([28]). Karena tidak sembarang surat bisa sampai langsung kepada Ratu Bilqis, apalagi langsung masuk ke dalam kamarnya. Ratu Bilqis dalam hal ini telah mengenal Nabi Sulaiman ‘alaihis salam([29]) dan juga tentang negeri Arab, karena disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam termasuk nabi belakangan yang diutus jauh setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Kemudian Ratu Bilqis berkata,
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ
“Berkata dia (Bilqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)” (QS. An-Naml : 32)
Maka para pembesar-pembesar Ratu Bilqis menunjukkan kehebatan dan keberanian mereka, maka Allah mengabadikan perkataan mereka,
قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ
“Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan” (QS. An-Naml : 33)
Para pembesar Ratu Bilqis mengatakan untuk tidak perlu khawatir dengan kekuatan yang dimilikinya. Akan tetapi ratu Bilqis masih takut, karena telah mengenal siapa dan bagaimana hebatnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Maka ratu Bilqis berkata,
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
“Dia (Bilqis) berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (QS. An-Naml : 34)
Ratu Bilqis mengabarkan tentang bagaimana biasanya sikap seorang raja tatkala memasuki suatu negeri, dan itulah yang akan dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam kepada kerajaannya. Akhirnya Ratu Bilqis tidak setuju dengan ide perlawanan dan peperangan. Maka Ratu Bilqis menyarankan ide yang lain dengan berkata,
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu” (QS. An-Naml : 35)
Ayat ini menujukkan kecerdasan Ratu Bilqis, bahwa akan dikirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan menunggu bagaimana keputusannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Ratu Bilqis ingin melihat apakah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam orientasinya dunia atau akhirat, karena hadiah itu punya pengaruh([30]). Seakan-akan Ratu Bilqis hendak mengatakan kalau Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menerima hadiah tersebut, maka perang , dan jika tidak menerima hadiah tersebut maka dia (Nabi Sulaiman) serius dengan urusan agama sebagaimana pesan dari surat yang diterimanya. Karena Ratu Bilqis menganggap bahwa kalau Nabi Sulaiman menerima hadiah, maka dia (Sulaiman) dalam suratnya tidak berbicara tentang agama melainkan hanya sekedar bingkai. Sebagaimana sebagian orang berbicara tentang agama, akan tetapi ternyata agama tersebut hanya dijadikan sebagai bingkai untuk perkara dunia yang diperjuangkannya.
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ
“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (An-Naml : 36)
Disebutkan bahwa utusan ratu Bilqis datang kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dengan membawa hadiah yang banyak dari negeri Saba’ ke Palestina. Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam marah ketika mengetahui utusannya membawa hadiah([31]). Seakan-akan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam hendak berkata bahwa dia tidak akan dapat dibeli dengan harta.
Saya pernah mendengar, ada seorang pejabat berkata “Saya ditawari uang miliaran untuk mengubah satu peraturan. Maka saya kumpulkan pegawai saya dan mengatakan ‘kalau mereka bisa menilai kita dengan rupiah, maka kita tidak ada nilainya. Jangan sampai kita dinilai dengan rupiah.”
Maka dari itu Nabi Sulaiman mengajarkan kepada mereka bahwa dia tidak bisa dibeli dengan uang dan harta. Bahkan apa yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam lebih baik dari pada apa yang Allah berikan kepada mereka. Sedang mereka berbangga-bangga dengan apa yang mereka berikan kepada orang lain.
Kemudian Nabi Sulaiman ‘alahissalam berkata,
ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba’) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina.” (QS. An-Naml : 37)
Maka pulanglah utusan Ratu Bilqis kepadanya. Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihis salam telah mengira bahwa Ratu Bilqis akan takut karena ancamannya dan akan datang menyerahkan dirinya. Setelah itu Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memiliki rencana lain dan berkata kepada pembesar-pembesarnya,
قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ
“Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Naml : 38)
Maka mulailah Ratu Bilqis dan pasukannya keluar dari Negeri Saba’ untuk menyerahkan diri kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Setelah mereka keluar, maka Nabi Sulaiman ‘alaihissalam bertanya kepada pasukannya, siapa diantara mereka yang bisa mendatangkan singgasana ratu Bilqis sebelum mereka tiba. Maka dijawab pertanyaan tersebut,
قَالَ عِفْرِيتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
“Berkata ´Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya” (QS. An-Naml : 39)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud Ifrit mampu membawa singgasana tersebut sebelum berdiri dari tempat duduk adalah karena Nabi Sulaiman senantiasa melihat pekerjaan pasukannya, dan dia duduk beberapa jam, kemudian menjelang waktu dzuhur baru berdiri([32]). Jadi maksudnya adalah Ifrit butuh waktu beberapa jam atau beberapa saat sebelum Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berdiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa jin itu memiliki kekuatan, dan jin Ifrit sangat cepat memikul singgasana tersebut.
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml : 40)
Ada khilaf tentang siapakah yang dimaksud orang yang memiliki ilmu dari Al Kitab. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah orang saleh di negeri Sulaiman ‘alaihissalam. Ada juga yang menyebutkan bahwa orang tersebut adalah Nabi Sulaiman sendiri yang berkata kepada Ifrit bahwa “Saya mampu membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Maka ada khilaf apakah orang itu Nabi Sulaiman ‘alaihis salam atau orang lain, akan tetapi intinya adalah orang tersebut sangat hebat. ([33])
Tatkala Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melihat singgasana tersebut telah ada di hadapannya, maka dia pun bersyukur kepada Allah. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga berkata “barang siapa yang bersyukur, dia bersyukur untuk dirinya”. Artinya Allah tidak butuh dengan rasa syukur tersebut, tetapi seseorang bersyukur untuk dirinya. Jangan sampai terbetik di dalam benak kita bahwa Allah butuh untuk kita beribadah kepada-Nya, akan tetapi seseorang beribadah kepada Allah untuk dirinya sendiri.
Kemudian Nabi Sulaiman ‘alahihis salam berkata,
قَالَ نَكِّرُوا لَهَا عَرْشَهَا نَنْظُرْ أَتَهْتَدِي أَمْ تَكُونُ مِنَ الَّذِينَ لَا يَهْتَدُونَ
“Dia berkata: “Rubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenalnya.” (QS. An-Naml : 41)
Sebagian ahli tafsir isroiliyat menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tertarik menikahi Ratu Bilqis. Akan tetapi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ingin mengetahui apakah Ratu Bilqis itu cerdas. Maka diubahlah bentuk singgasananya, untuk mengetahui apakah dia mengenali singgasananya atau tidak.
فَلَمَّا جَاءَتْ قِيلَ أَهَكَذَا عَرْشُكِ قَالَتْ كَأَنَّهُ هُوَ وَأُوتِينَا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهَا وَكُنَّا مُسْلِمِينَ (42) وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ
“Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: “Serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri. Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. An-Naml : 42-43)
Jawaban Ratu Bilqis menunjukkan kecerdasannya yang tidak mengatakan iya atau tidak, melainkan menjawab dengan jawaban diplomasi([34]). Akan tetapi tafsir bahwa Nabi Sulaiman ingin menikahi Bilqis adalah pendapat israiliyat yang disebutkan dalam buku-buku tafsir, dan tidak dalil yang sahih tentang itu.
Sebelum kedatangan Ratu Bilqis, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membuat istana yang sangat megah yang terbuat dari kaca. Kemudian dibuat lantai istana tersebut terbuat dari kaca yang panjang, dan di bawahnya dialirkan air dengan ikan-ikan. Kaca tersebut tidak memiliki sambungan-sambungan sehingga orang mengira tidak ada kaca di atas air tersebut. sampai saat ini, belum ada istana seperti itu. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam ingin menunjukkan bahwa dia itu hebat, sehingga Ratu Bilqis jatuh mental di hadapannya.
Kemudian Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata,
قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam” (QS. An-Naml : 44)
Ratu Bilqis mengira disuruh masuk melalui kolam kecil. Ketika hendak lewat, dia mengira ada airnya, maka disingkapkannya betisnya. Dikatakan oleh sebagian ahli tafsir, ketika Nabi Sulaiman hendak menikahi Ratu Bilqis, ada jin yang tidak suka dengan mengatakan bahwa Bilqis memiliki betis seperti keledai([35]), sehingga dibuatlah istana tersebut untuk mengetahui kondisi betisnya. Akan tetapi kata Ibnu Katsir semua itu tidak memiliki dalil dan hanya kisah Israiliyat.([36])
Maka Nabi Sulaiman menjelaskan bahwa tidak ada air, yang ada hanyalah lantai, karena semua istana terbuat dari kaca. Maka Ratu Bilqis pun kagumlah dan berkata “Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, dan aku berserah diri (masuk Islam) bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. Jadi Ratu Bilqis tidak mengatakan tunduk kepada Nabi Sulaiman, akan tetapi tunduk kepada Allah.
Ada khilaf di kalangan ahli tafsir, bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menikahi Bilqis. Pendapat lain menyebutkan bahwa Bilqis menawarkan diri akan tetapi Sulaiman tidak mau lalu menikahkannya dengan raja yang lain. Intinya terdapat beberapa pendapat akan tetapi tidak ada dalil yang secara tegas apakah Nabi Sulaiman menikah dengan Bilqis. ([37])
Bagaimana kesudahan kisah Nabi Sulaiman ‘alaihis salam?
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam meninggal tatkala mengawasi para jin yang sedang bekerja. Allah berfirman dalam surah Saba’ ayat ke-14,
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)
Nabi Sulaiman biasanya mengecek para jin yang sedang bekerja dengan bertumpu pada tongkatnya. Disebutkan dalam buku-buku tafsir bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam biasanya shalat dengan tongkat([38]), dan ketika sudah shalat biasanya berjam-jam (lama). Dalam riwayat Israiliyat bahkan menyebutkan shalatnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam bisa berdiri sampai berhari-hari. Jadi para jin sudah terbiasa melihat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam bertumpu pada tongkatnya dalam waktu yang lama. Begitulah kebiasaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tatkala sudah datang lalu memegang tongkat, maka jin ketakutan lalu sambil bekerja.
Suatu hari Nabi Sulaiman datang untuk melihat pekerjaan sambil memegang tongkat, kemudian meninggal dunia. Para jin tidak tahu, disangkanya Nabi Sulaiman ‘alaihis salam sedang shalat. Maka para jin bekerja terus tanpa berhenti. Sehingga datang rayap memakan tongkat tersebut dan membutuhkan waktu yang lama. Tatkala rayap memakan tongkat tersebut, akhirnya tongkat tersebut patah dan Nabi Sulaiman jatuh. Barulah setelah itu jin mengetahui kalau Nabi Sulaiman telah meninggal.
Nabi Sulaiman ‘alaihis salam hendak menjelaskan kepada rakyatnya bahwa para jin itu sombong lagi angkuh dan mengaku mengetahui ilmu gaib([39]). Sehingga tampak bahwa Nabi Sulaiman meninggal, dia (jin) tidak tahu bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal dan terus bekerja dalam ketakutan. Ini dalil bahwa hukum asalnya jin-jin tidak mengetahui ilmu gaib. Yang mengetahui ilmu gaib hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
______________________________________________________________
([1]) Dan dijelaskan oleh As-Suyuthi bahwa yang pertama kali membangun masjidil Aqsho dan Al-Masjidil Haram adalah nabi Adam ‘alaihis salam, adapun Nabi Ibrahim dan Nabi Sulaiman maka mereka berdua hanya memperbaharui bangunannya. (lihat: Ad-Diibaaj ‘Alaa Shohiih Muslim bin Al-Hajjaaj 2/199
([2]) HR. Bukhari no. 1188 dan Muslim no. 1397
([3]) Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Darda
فَضْلُ الصَّلاةِ فِي المسجد الحرام على غيره مِئَة أَلْفِ صَلاةٍ وَفِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلاةٍ وَفِي مسجد بيت المقدس خمسمِئَة صَلاةٍ.
“keutamaan shalat di Al-Masjidil Haram seratus ribu kali shalat dibandingkan dengan masjid lainnya. Keutamaan shalat di Masjidku seribu kali shalat dibandingkan dengan masjid lainnya. Dan keutamaan shalat di Masjid Baitil Maqdis lima ratus kali shalat dibandingkan dengan masjid lainnya. “ HR. Bazzar dalam musnadnya no. 4142 dan dikatakan oleh Al-Haitsamy hadist ini shohih. (lihat: Majma’uz Zawaaid wa manba’ul fawaid no. 5873 4/7)
([4]) HR. An-Nasai no. 693. Dan dikatakan oleh Al-Albani hadits ini shohih
([5]) HR. Ibnu Majah no. 1408. Dan dikatakan oleh Al-Albani hadits ini shohih
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/169
([7]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 4/505
Dan penafsiran kedua ini tertulis dalam kita tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir 23/261
([9]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 712
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/205
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/205
([12]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/673
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 14/269
([15]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 14/269
([16]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 14/271
([17]) Lihat: Tafsir Al-Baqghowi 3/673
([18]) Lihat: Tafsir Al-Baqghowi 3/674
([19]) HR. Ibnu Majah no. 223. Dan Al-Albani mengatakan hadits ini shohih
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/164
([22]) Lihat: Tafsir Al-Alusi 4/254
([23]) Lihat: Akhbaaru Makkata Lil-Fakihi no. 415
([24]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/497
([25]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/181
([26]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/182
([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/190
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/191
([29]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/501
([30]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/169
([31]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/190-191
([32]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/505
([33]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/204-205
([34]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/194
([35]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/507
([36]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/197
([37]) Lihat: Tafsir Al-Baghowi 3/508