Faidah Kisah Nabi Yunus ‘Alaihissalam
Pada kesematan kali ini, kita akan menyampaikan tentang kisah Nabiyullah Yunus ‘alaihissalam yang disebutkan di dalam beberapa surah. Tentunya, dari kisah para nabi ada pelajaran yang dapat kita ambil. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf: 176)
Maka, dengan memikirkan kisah-kisah yang Allah sampaikan di dalam Alquran, tentunya akan memberikan faedah yang berharga bagi kita. Dan semua kisah yang Allah sampaikan baik itu kisah-kisah para nabi atau kisah orang salih merupakan kisah yang nyata, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (QS. Yusuf: 111)
Di antara faedah dari kisah-kisah yang Allah sampaikan kepada Rasulullah ﷺ tersebut adalah agar beliau tegar dalam menghadapi ujian dakwah, terutama waktu beliau berdakwah di kota Mekkah. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud: 120)
Rasulullah ﷺ menghadapi ujian yang luar biasa tatkala berdakwah di kota Mekkah. Yaitu beliau dituduh dengan tuduhan yang tidak benar. Padahal, sebelumnya beliau adalah orang yang terpuji sampai beliau diberi gelar dengan sebutan Al-Amin (yang dipercaya). Beliau juga memiliki nasab yang tinggi dari kalangan mereka. Akan tetapi, semua berubah tatkala beliau mendakwahkan Islam dengan tuduhan yang sangat luar biasa buruknya. Di antara tuduhan mereka terhadap nabi Muhammad ﷺ adalah beliau dituduh pendusta, penyihir dan orang yang keluar dari adat istiadat nenek moyang mereka. Nabi ﷺ mendakwahi kaum Quraisy yang dimana mereka juga termasuk kerabat beliau selama bertahun-tahun. Akan tetapi, mereka tidak beriman. Padahal Nabi ﷺ telah bertahan selama 13 tahun di kota Mekkah untuk mendakwahi mereka. Maka dari itu, butuh kesabaran bagi Nabi ﷺ untuk bertahan mendakwahi mereka. Oleh karenanya, Allah menurunkan kisah-kisah para nabi yang memberikan pelajaran kepada Nabi ﷺ agar beliau bisa bersabar. Di antaranya Allah sebutkan tentang kisah nabi Yunus ‘alaihissalam, yang pernah melakukan kesalahan yaitu beliau meninggalkan kaumnya yang tetap tidak beriman setelah beliau berdakwah kepada mereka. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada nabi Muhammad ﷺ,
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُنْ كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌ
“Maka bersabarlah kamu (wahai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan (Yunus) ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (QS. Al-Qalam: 48)
Sebelum kita membawakan ayat-ayat yang menjelaskan tentang kisah nabi Yunus ‘alaihissalam, perlu untuk kita ingatkan bahwa meskipun beliau pernah melakukan kesalahan, jangan sampai hal tersebut membuat kita suuzan dan merendahkan beliau. Karena, sesungguhnya beliau termasuk dari golongan para nabi yang tentunya memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Hal ini, didasarkan oleh firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang nabi Yunus ‘alaihissalam dan saudara-saudaranya dari kalangan para nabi di dalam Alquran,
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ. وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang salih. Dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 84-86)
Di dalam ayat di atas Allah menyebutkan rangkaian para nabi, dimana nabi Yunus ‘alaihissalam termasuk di dalamnya. Kemudian, pada beberapa ayat setelahnya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka semua,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am: 90)
Maka, jangan sampai terbetik di dalam benak-benak kita bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam adalah orang yang tercela. Sekali-kali tidak, sesungguhnya beliau adalah orang yang mulia. Beliau memang pernah melakukan kesalahan. Namun, Allah mengangkat derajatnya setelah beliau berbuat kesalahan, karena beliau bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ahli sejarah menyebutkan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam adalah keturunan para nabi dari kalangan Bani Israil. Yaitu dari keturunan Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim. Akan tetapi, tidak ada keterangan yang rinci pada tahun berapa masa beliau ini. Ahli sejarah menyebutkan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam diutus kepada suatu daerah yang bernama Nainawa (Ninawa), yaitu di daerah Al-Musil (Mosul), Irak. ([1])
Nabi Yunus ‘alaihissalam mendakwahi kaumnya di daerah tersebut dalam waktu yang cukup lama, namun kaumnya tetap juga tidak beriman. Kemudian, nabi Yunus ‘alaihissalam pun mengingatkan kaumnya tentang azab yang akan menimpa kaumnya dalam kurun waktu tiga hari. Ternyata mereka juga tetap tidak beriman. Akhirnya, setelah sekian lama kaumnya didakwahi dan tetap tidak beriman. Nabi Yunus ‘alaihissalam kemudian berhenti mendakwahi mereka dan pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Para ulama menyebutkan bahwa inilah kesalahan nabi Yunus ‘alaihissalam. Yaitu meninggalkan dakwah tanpa izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala([2]).
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kisah nabi Yunus dalam surah lain. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul.” (QS. Ash-Shaffat: 139)
Di dalam ayat ini Allah menegaskan dengan huruf Lam Taukid agar jangan sampai ada keraguan tentang nabi Yunus ‘alaihissalam termasuk di antara para rasul. Jangan sampai kita ragu tentang kasalihan dan juga kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan, nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk mengikuti petunjuk nabi Yunus ‘alaihissalam. Maka dari itu, Allah menegaskan melalui ayat ini tentang kerasulan nabi Yunus ‘alaihissalam.
إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
“(Ingatlah) Ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan.” (QS. Ash-Shaffat: 140)
Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan lafal ‘Abaqa’, dimana ada istilah Al-‘Abdul Abiq yang bermakna seorang hamba yang kabur dari tuannya. Sehingga seakan-akan Allah mengatakan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam seperti seorang hamba yang lari dari tuannya, yaitu beliau pergi tanpa izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala([3]). Beliau tidak beristikharah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tentang kaumnya yang membangkang meski telah didakwahi dan diancam azab. Sehingga beliau mengira bahwa kaumnya tidak akan pernah beriman, maka dia pun kabur meninggalkan kaumnya ke lautan dan naik ke kapal yang didapatinya penuh dengan muatan.
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
“Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian.” (QS. Ash-Shaffat: 141)
Dikisahkan, bahwa tatkala kapal tersebut berlayar, di tengah lautan terjadi ombak yang sangat dahsyat yang dapat mengakibatkan tenggelamnya kapal tersebut. Kemudian, orang-orang yang ikut di kapal tersebut membuang barang-barang yang ada di kapal untuk mengurangi resiko tenggelam. Namun, ternyata tetap saja kapal tersebut terancam tenggelam. Ada yang mengatakan bahwa waktu itu terjadi kilat dan petir, yang menurut mereka itu adalah isyarat bahwa ada orang yang bersalah di antara penumpang kapal tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa tatkala terjadi ombak yang besar dan mereka memastikan bahwa kapal akan tenggelam, maka harus ada penumpang yang dikurangi untuk bisa selamat. Sehingga, terdapat dua pilihan di antara mereka yaitu semua orang meninggal tenggelam atau sebagian meninggal dan sisanya selamat. Maka, pilihan kedua mereka pilih untuk menempuh kemudharatan yang lebih ringan, yaitu dengan sebagian orang harus lompat ke laut agar kapal tetap bisa terapung dengan normal kembali. Kemudian, tidak ada cara lain untuk menempuh pilihan kedua ini melainkan dengan cara undian.
Kemudian, para penumpang kapal tersebut melakukan undian untuk melihat siapa yang namanya keluar, maka dia harus melompat ke lautan untuk meninggalkan kapal tersebut. Disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, tatkala mereka melakukan undian, nama yang keluar ternyata adalah nama nabi Yunus bin Matta. Karena, orang-orang yang ada di kapal mengenal nabi Yunus sebagai orang yang salih, maka mereka menyayangkan kalau beliau yang lompat dari kapal. Akhirnya, mereka kemudian mengundi kembali untuk kedua kalinya. Dan ternyata kembali keluar nama nabi Yunus ‘alaihissalam. Maka, mereka pun kembali merasa tidak enak kepada nabi Yunus ‘alaihissalam. Tidak terpikirkan oleh mereka bahwa orang sesalih nabi Yunus ‘alaihissalam telah melakukan kesalahan yang membuat ombak begitu besar. Akhirnya, mereka pun mengundi untuk ketiga kalinya. Ternyata, kembali keluar nama nabi Yunus ‘alaihissalam. Dan orang-orang yang berada di atas kapal pun kembali tidak ingin nabi Yunus yang lompat ke laut. Akhirnya, nabi Yunus pun menyadari bahwa namanya telah keluar sebanyak tiga kali. Maka, beliaupun berdiri dan membuka bajunya, kemudian lompat ke laut. ([4])
فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ
“Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.” (QS. Ash-Shaffat: 142)
Ketika nabi Yunus ‘alaihissalam lompat ke lautan, beliau ditelan oleh ikan paus. Para ulama menyebutkan bahwa makna وَهُوَ مُلِيمٌ adalah nabi Yunus ‘alaihissalam telah melakukan perbuatan yang tercela yaitu meninggalkan kaumnya tanpa izin dari Allah Subhanahu wa ta ‘ala.
Maka, nabi Yunus ‘alaihissalam kemudian ditelan oleh ikan paus. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya).” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Dzun Nun di dalam ayat ini adalah sebutan untuk nabi Yunus ‘alaihissalam, Nun adalah ikan paus. Sehingga maknanya adalah nabi yang berada dalam perut ikan paus yaitu nabi Yunus ‘alaihissalam([5]). Kemudian kata نَقْدِرَ di dalam ayat ini berasal dari kata قَدَرَ yang berarti sempit. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.” (QS. Al-Fajr: 16)
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-‘Ankabut: 62)
Sehingga قَدَرَ terkadang bisa bermakna kekuatan dan terkadang bisa bermakna sempit. Maka, dalam surah Al-Anbiya’ ayat 87 Allah menerangkan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam menyangka bahwa Allah tidak akan menyempitkan urusannya. Dan ini adalah kesalahan, sehingga Allah memberikan ujian kepada nabi Yunus ‘alaihissalam dengan ditelan oleh ikan paus.
Kemudian, tentang berapa lama nabi Yunus ‘alaihissalam berada di dalam perut ikan paus, terdapat beberapa pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa nabi Yunus ditelan di pagi hari, kemudian di sore hari dimuntahkan oleh ikan paus. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam berada di dalam perut ikan paus selama tiga hari. Dan pendapat yang lain menyebutkan bahwa beliau berada di dalam perut ikan paus selama 40 hari([6]). Wallahu a’lam bisshawab tentang pendapat mana yang benar, akan tetapi disebutkan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam keluar dari perut ikan paus dalam kondisi sangat sakit yang menunjukkan beliau berada di dalam perut ikan paus dalam waktu yang cukup lama.
Namun, ketahuilah bahwa lautan adalah makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketika nabi Yunus ‘alaihissalam lompat ke lautan, beliau tidak tenggelam karena Allah melarang untuk menenggelamkan beliau. Kemudian, ikan paus juga merupakan makhluk Allah. Tubuh nabi Yunus tidak digigit dan hanya sekedar ditelan tanpa merusak tubuhnya karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Ketika nabi Yunus ‘alaihissalam telah berada di dalam perut ikan paus, barulah beliau sadar bahwa telah melakukan kesalahan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga, ketika itu nabi Yunus ‘alaihissalam menyeru di dalam kegelapan. Para ulama mengatakan bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam tatkala itu sedang terliputi tiga kegelapan, yang pertama adalah kegelapan lautan, kedua adalah kegelapan perut ikan paus, dan ketiga adalah kegelapan malam([7]). Sehingga dalam kondisi tersebut tentunya tidak ada yang bisa mendengar perkataannya. Akan tetapi, nabi Yunus adalah seorang nabi dan yakin bahwa dia memiliki tuhan. Sehingga dengan keyakinannya dia tetap menyeru kepada Allah dalam kondisi kegelapan yang bertumpuk-tumpuk kala itu.
Maka, Allah Subhanahu wa ta’ala menyelamatkan nabi Yunus ‘alaihissalam berkat doanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)
Di dalam sebuah hadits yang mauquf dari Anas bin Malik disebutkan bahwa tatkala nabi Yunus ‘alaihissalam berdoa kepada Allah, ternyata malaikat mendengar dan samar-samar mengenal suaranya. Malaikat berkata kepada Allah,
يَا رَبِّ، صَوْتٌ ضَعِيفٌ مَعْرُوفٌ مِنْ بِلَادٍ غَرِيبَةٍ؟ فَقَالَ: أَمَا تَعْرِفُونَ ذَاكَ؟ قَالُوا: لَا يَا رَبِّ، وَمَنْ هُوَ؟ قَالَ: عَبْدِي يُونُسُ
“Wahai Tuhanku, ada suara lemah yang telah dikenal bersumber dari negeri yang terasing.” Allah berfirman, “Tidakkah kalian ketahui suara itu?” Mereka bertanya, “Tidak, wahai Tuhanku, siapakah dia?” Allah berfirman, “Dia adalah hamba-Ku Yunus.”([8])
Maka, berkat doa yang dipanjatkan oleh nabi Yunus ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala menyelamatkan nabi Yunus dan ikan paus pun memuntahkan beliau.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala kembali berfirman,
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)
Kalau sekiranya nabi Yunus ‘alaihissalam tidak berdoa dan bukan termasuk orang-orang yang salih, maka pasti nabi Yunus ‘alaihissalam akan tetap berada di dalam perut ikan paus tersebut hingga hari kiamat.
فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ
“Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.” (QS. Ash-Shaffat: 145)
Kemudian, tatkala nabi Yunus ‘alaihissalam dimuntahkan dari perut ikan paus. Allah menempatkan pada daerah yang kosong, dimana tidak ada manusia maupun tumbuhan. Dan para ulama menyebutkan bahwa disebabkan lamanya nabi Yunus ‘alaihissalam berada di dalam perut ikan paus, dia keluar dalam keadaan sakit seperti burung yang baru menetas dari telurnya, yaitu sangat lemah juga sangat kurus karena tidak mendapatkan makanan. ([9])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ
“Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu.” (QS. Ash-Shaffat: 146)
Allah kemudian seketika menumbuhkan labu agar dapat segera dimakan oleh nabi Yunus ‘alaihissalam. Disebutkan bahwa buah labu termasuk buah yang mudah dimakan dan daunnya pun lebar sehingga dapat dijadikan selimut oleh nabi Yunus ‘alaihissalam([10]). Intinya, terdapat hikmah tertentu yang Allah kehendaki dengan memberikan kepada nabi Yunus ‘alaihissalam pohon labu.
Setelah itu Allah Subhanahu wa ta’ala kembali berfirman,
وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ
“Dan Kami utus dia (Yunus) kepada seratus ribu orang atau lebih.” (QS. Ash-Shaffat: 147)
Terdapat perbedaan pendapat tentang berapa jumlah kaum nabi Yunus ‘alaihissalam secara pasti, yang dimana beliau diutus kepada mereka. Yang jelasnya adalah nabi Yunus diutus kepada kaum yang jumlahnya lebih dari seratus ribu orang([11]). Tentunya, ini merupakan jumlah yang cukup banyak pada zaman tersebut. Hal ini merupakan kemuliaan yang Allah berikan kepada nabi Yunus ‘alaihissalam, yaitu diutus kepada kaum yang jumlahnya cukup banyak. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
“Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” (QS. Ash-Shaffat: 148)
Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa tatkala nabi Yunus ‘alaihissalam pergi meninggalkan kaumnya setelah memberikan peringatan bahwa akan datang azab kepada mereka, kemudian mereka melihat tanda-tanda akan datangnya azab tersebut. Maka, kaumnya pun bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([12]). Di antara pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa hukum asal seseorang yang bertaubat jika dalam kondisi seperti ini, maka taubatnya tidak akan diterima tatkala tanda-tanda kematian atau azab baginya sudah di depan mata. Sebagaimana yang telah dialami oleh Fir’aun yang tidak diterima imannya ketika kematian telah di depan matanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)
Hal yang serupa juga terjadi pada kaum-kaum yang lainnya, yang tatkala mereka bertaubat seteleh melihat azab, Allah tidak menerima taubat mereka. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: “Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (QS. Ghafir: 84-85)
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Ternyata, hukum asal tersebut tidak berlaku bagi kaumnya nabi Yunus ‘alaihissalam. Allah mengampuni mereka tatkala mereka bertaubat meskipun tanda-tanda azab telah datang kepada mereka. Sebagaimana berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus: 98)
Ini merupakan pengecualian yang Allah berikan kepada kaum nabi Yunus ‘alaihissalam. Akan tetapi, tidak disebutkan alasan pengecualian kaum nabi Yunus ‘alaihissalam di atas kaum-kaum yang lain. Sebagian ulama mengatakan bahwa kemungkinan hikmah dari pengecualian tersebut adalah Allah mengetahui bahwa kaum nabi Yunus ‘alaihissalam akan beriman dengan benar jika Allah angkat kembali azab tersebut. Sedangkan kaum yang lain Allah mengetahui bahwa mereka akan kembali kafir setelah beriman jika azab diangkat. Kemungkinan hikmah yang lain adalah bisa jadi Allah ingin membahagiakan nabi Yunus ‘alaihissalam yang tatkala meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah karena tidak mau beriman. Akan tetapi, setelah kepergiannya Allah menjadikan mereka beriman([13]). Wallahu a’lam bisshawab mengenai hikmah apa yang terkandung dari pengecualian ini.
Inilah kisah singkat dari kisah nabi Yunus ‘alaihissalam. Kisah beliau memang tidaklah sepanjang kisah-kisah nabi yang lain seperti nabi Musa, nabi Yusuf, dan nabi-nabi yang lainnya. Tentunya nabi Yunus ‘alaihissalam memiliki banyak kemuliaan yang tidak sampai kepada kita kabar tersebut.
Terdapat beberepa faedah yang bisa kita ambil dari kisah nabi Yunus ‘alaihissalam.
- Hendaknya seseorang senantiasa mengingat Allah di kala lapang, agar Allah mengingat dia di waktu sempit.
Faedah pertama ini disebutkan oleh para ulama, di antaranya adalah Ibnu Rajab Al-Hanbali yang menyebutkan di dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam bahwasanya seseorang harus berusaha memperbanyak ibadah kepada Allah dalam kondisi lapang. Karena, jika dalam kondisi lapang dia senantiasa mengingat Allah, maka dalam kondisi sulit Allah akan langsung menyelamatkannya. Dan hal ini juga merupakan wasiat Nabi ﷺ kepada Ibnu ‘Abbas radhiallau ‘anhuma, beliau bersabda,
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Hendaklah engkau mengenal Allah dalam kondisi lapang, maka Allah akan mengenalmu di waktu sulit.” ([14])
Inilah yang terjadi pada nabi Yunus ‘alaihissalam. Tatkala nabi Yunus dalam kondisi lapang, dia senantiasa mengingat dan beribadah kepada Allah, sehingga Allah menolongnya tatkala dia dalam kondisi sulit yaitu tatkala berada di dalam perut ikan paus. ([15])
Maka begitupun sebaliknya, bisa jadi tatkala seseorang melupakan Allah dalam kondisi lapang, maka Allah pun melupakannya dalam kondisi sempit seperti yang dialami oleh Fir’aun yang melupakan Allah dimasa lapangnya, sehingga Allah meninggalkannya dimasa sempitnya, padahal waktu itu dia mengingat Allah. Maka ingatlah sabda Nabi ﷺ ini, agar kita senantiasa mengenal Allah dalam kondisi lapang, sehingga Allah mengenal kita dala kondisi sulit. Dan ini merupakan kesempatan bagi kita yang memiliki kelapangan agar kita tidak lupa untuk membaca Alquran, bersedekah, berbakti kepada orang tua, berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena dengan demikian Allah akan mengenal kita dengan pengenalan khusus. Sesungguhnya Allah mengetahui seluruh makhluk-makhlukNya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا
“Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59)
Jadi, Allah mengenal seluruh makhluk-Nya, akan tetapi ini merupakan pengenalan khusus berupa pengenalan Allah terhadap makhluk-Nya yang berada dalam kondisi sulit. Dan di antara perkara yang sulit tersebut adalah ketika seseorang menghadapi kematian([16]). Apabila selama waktu lapang kita gunakan untuk senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala, maka diwaktu itu Allah tidak akan meninggalkan kita.
Kemudian dengan sifat seseorang yang senantiasa memiliki kebiasaan tersebut, yaitu senantiasa mengingat Allah di kala lapang dengan berbagai macam ibadah. Maka, Allah memberikan kepadanya balasan yang sangat baik. Yaitu Allah menjadikan kepadanya pahala yang tetap mengalir dari amalannya, meskipun dia memiliki uzur untuk tidak dapat melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya (pahala) amalan yang biasa dia kerjakan ketika dia sedang mukim lagi sehat.” ([17])
Ini merupakan kebaikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketika seseorang yang tidak dalam kondisi safar senantiasa shalat malam, menjaga shalat sunnah rawatib, bersedekah, puasa sunnah dan amalan lainnya. Kemudian, ketika dia mendapatkan halangan untuk mengejarkan semua ibadah yang biasa dia kerjakan seperti sakit dan safar, maka Allah tetap menjadikan dia mendapatkan pahala ibadah tersebut meski tidak dia lakukan disebabkan suatu halangan. Tentu saja, sakit dan safar hanya beberapa di antara sebab yang dapat menghalangi seseorang untuk beribadah seperti biasanya. Akan tetapi Nabi ﷺ menggunakan dua halangan ini karena keduanya lebih banyak membuat seseorang mendapatkan uzur, meskipun masih banyak jenis uzur yang lainnya seperti letih, dan kesempatan waktu. Sungguh Allahﷻ hanya melihat kebiasaan dari seorang hamba yang jika datang halangan baginya untuk tidak melakukan suatu ibadah yang biasa dia lakukan, Allah tidak menganggap dia memiliki uzur dan menganggap dia masih melakukan amal salih, sehingga pahalanya terus berjalan. Oleh karenanya, Nabi ﷺ mengingatkan tentang waktu dalam sabda beliau,
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلُكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara; waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang matimu.” ([18])
Tatkala seseorang masih muda, dia akan semangat dalam beribadah. Akan tetapi berbeda ketika dia telah lanjut usia. Kemudian, tatkala seseorang sehat, tentunya banyak yang bisa dikerjakan dibandingkan ketika sedang sakit. Dan ketika kita memiliki waktu yang lapang, maka jangan gunakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Gunakan waktu tersebut dalam ketaatan karena tidak semua orang diberikan karunia berupa waktu yang lapang.
Sebagaimana juga sabda Rasulullah ﷺ ketika beliau berjalan bersama para sahabat pada suatu hari untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا، مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ، حَبَسَهُمُ العُذْرُ
“Sesungguhnya di dalam Madinah itu ada sekelompok kaum, yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan tidaklah kalian menyeberangi lembah kecuali mereka diikutsertakan bersama kalian dalam ganjaran.” Mereka bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka berada di dalam Madinah?” Beliau menjawab: “Mereka di Madinah karena mereka terhalangi oleh udzur.” ([19])
Maksudnya adalah tatkala kaum yang disebutkan oleh Nabi ﷺ tidak memiliki udzur, kebiasaan mereka adalah senantiasa ikut bersama Nabi ﷺ. Maka tatkala mereka memiliki udzur dan tidak dapat ikut berjihad, mereka tetap dianggap ikut berjihad bersama Nabi ﷺ.
Maka, ini merupakan kesempatan untuk kita agar senantiasa beramal salih pada masa-masa lapangnya. Kenalilah Allah tatkala dalam kondisi lapang, niscaya Allah akan mengenali kita dalam kondisi susah. Dan di antara hal yang paling mampu membantu kita mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala adalah shalat malam. Hendaknya seseorang mencari muka di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala disepertiga malam terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda,
يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kami Tabaraka wata’ala setiap malam turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir, lantas Dia berfirman; ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengijabahinya, siapa yang meminta sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.” ([20])
Maka dari itu, sangat disayangkan ketika Allah Subhanahu wa ta’ala yang Maha Kuasa mencari hamba-hambaNya untuk menawarkan kebaikan, ampunan, dan pengabulan dalam doa, akan tetapi kita tidak bangun pada waktu itu untuk mencari muka dan memperkenalkan diri kepada Allah. Bangunlah, dan kenalkan diri Anda kepada Allah Subhanahu wa ta’la, karena akan datang masa dimana Anda tidak lagi bisa mengerjakan shalat malam.
- Perkara yang dialami oleh nabi Yunus ‘alaihissalam juga berlaku untuk seluruh manusia
Ketika seseorang berada dalam kondisi sulit, kemudian dia mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka, niscaya Allah akan menolongnya sebagaimana Allah menolong nabi Yunus ‘alaihissalam. hal ini telah disebutkan oleh Allah tatkala menyebutkan kisah nabi Yunus di dalam Alquran, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 88)
Ayat ini menunjukkan bahwa penyelamatan terhadap nabi Yunus ‘alaihissalam adalah contoh balasan bagi orang yang beriman. Allah tunjukkan kepada seluruh manusia, termasuk umat nabi Muhammad ﷺ. ([21])
Maka, tatkala seseorang berada dalam kondisi sulit, jangan sampai dia lupa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
- Doa nabi Yunus ‘alaihissalam mengungkapkan kondisinya sebagai permintaan kepada Allah
Nabi Yunus ‘alaihissalam tatkala berdoa kepada Allah, dia tidak mengungkapkan secara langsung keinginannya untuk dikeluarkan dari perut ikan paus. Ada kemungkinan nabi Yunus ‘alaihissalam tidak kuasa untuk mengungkapkan hal tersebut atau malu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Meskipun nabi Yunus ‘alaihissalam tidak menyebutkan keinginannya, beliau berdoa dengan menyebutkan kondisinya yang telah berbuat zalim. Beliau mengatakan,
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Meskipun nabi Yunus ‘alaihissalam tidak mengungkapkan secara langsung keinginannya untuk dikeluarkan dari perut ikan paus. Tetapi, ungkapan nabi Yunus ‘alaihissalam tentang kondisinya merupakan perwakilan dari permintaannya untuk dikeluarkan dari perut ikan paus. Oleh karenanya, jika Anda tidak mampu untuk mengungkapkan permintaan Anda kepada Allah. Janganlah merasa khawatir, cukup ungkapkan kondisi Anda, Allah akan tahu apa yang terbaik bagi Anda.
Hal seperti ini juga telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala tentang nabi Ayyub ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penderitaan (penyakit) dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al-Anbiya’: 83)
Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam ayat ini tidak meminta untuk dihilangkan penyakitnya, akan tetapi beliau hanya menyebutkan kondisinya yang sedang sakit. Dan doanya itu telah mewakili permintaannya kepada Allah untuk disembuhkan.
Oleh karena itu, tidak masalah bagi seseorang berdoa dengan menceritakan kondisinya saja atau menyebutkan secara langsung permintaannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Semakin banyak seseorang berdoa dengan menyebutkan kekurangan dan kelemahannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka itu akan semakin baik. Terkadang juga seseorang merinci dalam menyebutkan kondisinya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana doa nabi Zakaria ‘alaihissalam yang merincikan doanya kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا. قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا. وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Yaitu tatkala ia (Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai”.” (QS. Maryam: 3-6)
Maka, tatkala seseorang berdoa secara detail, maka itu akan menunjukkan kehinaan dan kerendahan seseorang. Sehingga dengan begitu akan semakin mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengabulkan permintaannya. Oleh karenanya, doa yang paling mudah dikabulkan adalah ketika seseorang sedang sujud. Karena, tatkala seseorang berdoa ketika sedang sujud, seserang berada dalam dua kondisi, yaitu tubuhnya dalam kondisi paling hina (sujud), kemudian lisannya juga mengucapkan hal-hal yang menunjukkan bagaimana kerendahannya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, janganlah seseorang malu untuk merincikan kekurangan-kekurangannya, kesulitan-kesulitannya tatkala berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Apalagi ketika seseorang berada dalam kondisi dan waktu yang mustajab untuk berdoa.
- Hendaknya seseorang beristighfar tatkala berdoa kepada Allah
Para ulama menyebutkan bahwa tatkala seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, hendaknya beristighfar dan mengakui dosa-dosanya kepada Allah([22]). Karena, di antara penghalang terkabulnya doa seseorang adalah karena dosa-dosanya. Dan ini dicontohkan dalam doa nabi Yunus ‘alaihissalam yang mengakui kedzaliman yang dia lakukan. Nabi Yunus ‘alaihissalam berkata,
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
- Seseorang bisa diangkat derajatnya dengan ujian yang dia alami
Nabi Yunus ‘alaihissalam adalah contoh dalam hal ini. Setelah Allah menjadikan nabi Yunus ‘alaihissalam ditelan oleh ikan paus yang kemudian dikeluarkan lagi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah kemudian menjadikan kedudukannya lebih tinggi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Qalam: 50)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kedudukan nabi Yunus ‘alaihissalam setelah ditelan oleh ikan paus, kemudian dia bertaubat dan menyeru kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan dikeluarkan dari perut ikan paus Allah menjadikan kedudukannya lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi dalil bahwa terkadang seseorang diuji oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena dosa atau kesalahannya, itu semua dalam rangka untuk diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, tatkala kita terkena musibah, hendaknya kita bersabar. Karena beruntung kita tidak ditimpakan azab yang bisa membuat kita mati seketika, yang mengakibatkan kita tidak sempat untuk bertaubat kepada Allah sebelum meninggal. Sehingga terkadang musibah harus kita syukuri karena bisa jadi itu adalah peringatan dari Allah, sehingga kita bisa mengingat doa dan kesalahan kita. Terkadang juga musibah harus kita syukuri, karena bisa jadi kita tidak ditimpakan suatu musibah yang lebih berat dari apa yang kita alami. Dan tentunya, kita juga berharap agar musibah yang menimpa kita dapat menaikkan derajat kita. Sebagaimana makna perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala,
“Terkadang Allah ingin memasukkan seseorang di surga yang tinggi. Akan tetapi amal salihnya tidak mampu untuk membawanya ke tempat tersebut. Sehingga Allah memberikan kepadanya musibah, sehingga semakin tinggi derajatnya hingga mencapai surga yang Allah kehendaki.” ([23])
Itulah beberapa faedah yang bisa kita bahas dari kisah nabi Yunus ‘alaihissalam. Setelah kita mengetahui tentang kisah nabi Yunus ‘alaihissalam, maka jangan sampai terbetik di dalam benak kita bahwa nabi Yunus ‘alaihissalam adalah seorang hamba yang tercela karena kesalahannya. Sekali-kali tidak, karena telah jelas bahwa Allah telah menerima permohonannya, menyelamatkannya, memilih dia berada di golongan orang-orang salih. Bahkan, Allah memerintahkan kita untuk mengikuti petunjuk dari nabi Yunus ‘alaihissalam. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
مَا يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ إِنِّي خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى وَنَسَبَهُ إِلَى أَبِيهِ
“Tidak patut bagi seorang hamba berkata bahwa aku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) lebih baik dari pada Yunus bin Matta ‘alaihissalam. Beliau menisbatkan pada bapaknya.” ([24])
Para ulama menyebutkan bahwa alasan nabi Muhammad ﷺ mengkhususkan nabi Yunus ‘alaihissalam, adalah karena bisa jadi seseorang yang berdakwah akan berprasangka buruk tentang sikap nabi Yunus ‘alaihissalam yang meninggalkan dakwah kepada kaumnya. Sedangkan dia adalah orang yang bertahan([25]). Padahal, sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi kaum yang diutus oleh Allah kepada nabi Yunus ‘alaihissalam yang membuat dia lari dari kaumnya. Intinya adalah nabi Yunus ‘alaihissalam adalah nabi yang mulia.
Dalam hadits lain juga disebutkan hal yang menunjukkan keutamaan nabi Yunus ‘alaihissalam. Rasulullah ﷺ bersabda,
دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ هُوَ فِي بَطْنِ الْحُوتِ: {لَا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ} فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا مُسْلِمٌ رَبَّهُ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلا اسْتَجَابَ لَهُ
“Doa Dzun Nun (Yunus) ketika berada dalam perut ikan paus: “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”, maka sesungguhnya tidak ada seorang muslim yang berdoa (dengan doa ini) kepada Allah dalam segala sesuatu, kecuali akan dikabulkan untuknya.” ([26])
Doa nabi Yunus ‘alaihissalam ini ternyata dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ dalam kondisi apapun. Maka dari itu, ketika kita berdoa kepada Allah, janganlah kita lupa untuk menyelipkan doa ini di antara doa-doa kita.
Demikianlah saudaraku yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, faedah dari kisah nabi Yunus ‘alaihissalam yang kita bahas pada kesempatan kali ini.
___________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/121
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/344
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/122
([4]) Tafsir Ibnu Katsir 5/366 dan 7/38
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/329
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/123
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/333 dan Tafsir Ibnu Katsir 5/367
([8]) Tafsir Ibnu Katsir 5/368
([9]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/36
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/129-130
([11]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/40-41
([12]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 15/131-132
([13]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/297
([14]) H.R. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak no. 6303&6304 dan Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman 2/383 no. 1099
([15]) Jami’ul Ulum wal Hikam Li Ibnu Rajab 2/564
([16]) Lihat: Jami’ul Ulum wal Hikam Li Ibnu Rajab 2/564
([17]) H.R. Bukhari 4/57 no. 2996
([18]) H.R. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak no. 7846 dan Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman 12/476 no. 9767
([19]) H.R. Bukhari 6/8 no 4423
([20]) H.R. Bukhari 8/71 no. 6321
([21]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/334 dan Tafsir Ibnu Katsir 5/369
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/324
([23]) Zadul Ma’ad Li Ibnul Qayyim 4/179
([24]) H.R. Bukhari 4/159 no. 3413