82. وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
wa ammal-jidāru fa kāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahụ kanzul lahumā wa kāna abụhumā ṣāliḥā, fa arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik, wa mā fa’altuhụ ‘an amrī, żālika ta`wīlu mā lam tasṭi’ ‘alaihi ṣabrā
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Tafsir :
Faedah dari ayat ini:
Sebagian ulama yang dimaksud dengan أَبُوهُمَا “ayahnya” di sini adalah kakek yang ke tujuh([1]). Ini adalah dalil bahwasanya jika seseorang bertakwa maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaganya bahkan menjaga anak-anaknya. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” ([2])
Di antara penafsiran para ulama adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu, menjaga keluargamu, menjaga anak-anakmu, dan menjaga hartamu. Yang terpenting adalah engkau menjaga Allah, yaitu menjaga perintah-perintah-Nya juga larangan-larangan-Nya di manapun engkau berada([3]), sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan dosa maka ikut sertakanlah dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan dosamu. Serta pergaulilah orang lain dengan akhlak yang baik.”([4])
Oleh karenanya salah satu seorang saleh yaitu Ibnul Musayyib rahimahullah ta’ala dia memperpanjang shalat, dia berkata kepada anaknya (menjelaskan alasan dia memperpanjang shalatnya),
لأزيدنَّ في صلاتي مِنْ أجلِك، رجاءَ أنْ أُحْفَظَ فيكَ
“Sungguh aku akan menambah panjang shalatku demi dirimu, dengan harapan aku dijaga begitu juga dirimu.” ([5])
Terkadang kita banyak membaca Al-Quran agar Allah subhanahu wa ta’ala menjaga diri kita dan menjaga anak-anak kita, dan agar anak kita tidak menjadi anak yang berakhlak buruk. Dalam ayat ini kita bisa bayangkan betapa salehnya ayah tersebut, sampai Allah subhanahu wa ta’ala menjaga tujuh keturunannya, bahkan sampai Allah subhanahu wa ta’ala mengutus nabi Khadir untuk mendirikan dinding tersebut. Jika Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan sesuatu maka Dia akan menyiapkan sebab-sebabnya. Allah ingin menjaga kedua anak yatim yang mungkin tak seorangpun peduli dengannya, karena mereka miskin. Namun ternyata mereka memiliki harta yang banyak, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengutus nabi Khadir untuk datang ke negeri tersebut, padahal nabi Khadir meminta makan saja ditolak oleh penduduk negeri tersebut. Akan tetapi ada dua anak yatim yang harus dijaga, sehingga nabi Khadir memperbaiki dinding tersebut demi kedua anak yatim tersebut, atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya Khodir berkata,
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Ini penting bagi kita sebagai orang tua, hendaklah kita bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar Allah subhanahu wa ta’ala menjaga kita, keluarga kita, harta kita, dan juga menjaga keturunan kita.
Faedah lain yang bisa kita petik dari kisah ini adalah bahwa seseorang yang saleh dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak hanya memberikan ganjaran akhirat saja, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala juga akan memberikannya balasan berupa ganjaran duniawi. Ini juga pernah penulis sampaikan ketika menjelaskan tentang kisah nabi Yusuf ‘alaihissalam, bahwa termasuk bentuk pikiran negatif kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika seorang meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hanya akan memberikan balasan berupa akhirat saja bagi seseorang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka akan diberikan ganjaran berupa duniawi sebelum akhirat, akan tetapi kita ketahui bahwa ganjaran akhirat lebih baik daripada dunia,
وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (QS. Yusuf: 57)
Jangan sampai mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberikan balasan berupa dunia yang diperlukan oleh hambanya. Oleh karenanya orang yang bersedekah akan dilapangkan rezekinya dan orang yang berbuat baik akan dijadikan berbahagia. Banyak sekali kebaikan dunia yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada orang yang bertakwa.
Ini juga dalil bahwasanya seseorang bisa mendapatkan manfaat dari perbuatan orang lain. Lihatlah bagaimana kedua anak yatim ini mendapatkan manfaat dari perbuatan kakeknya yang ketujuh. Harta tersebut dijaga bukan karena perbuatan pemiliknya akan tetapi karena kakeknya adalah orang yang saleh. Demikian juga hubungan antara anak dan orang tua, mereka bisa saling memberikan manfaat di dunia dan juga akhirat. Bisa jadi ayah yang saleh kelak bisa mengangkat derajat anaknya ke derajat tinggi yang setara dengan ayahnya dan begitu juga sebaliknya.
Inilah rahasia mengapa nabi Khadir melakukan hal-hal yang kelihatannya aneh namun ternyata ada hikmah di balik itu semua.
Rasulullah bersabda,
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَرْحَمُ اللهُ مُوسَى، لَوَدِدْتُ أَنَّهُ كَانَ صَبَرَ حَتَّى يُقَصَّ عَلَيْنَا مِنْ أَخْبَارِهِمَا،
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam. Sebenarnya aku lebih senang jika Musa dapat sedikit bersabar, sehingga kisah Musa dan Khadhir bisa diceritakan kepada kita dengan lebih panjang lagi’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa sekiranya nabi Musa ‘alaihissalam bisa bersabar, maka akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan. Hal seperti ini juga pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ungkapkan tentang Siti Hajar, ibunya Ismail ‘alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ لَكَانَتْ عَيْنًا مَعِينًا
“Semoga Allah merahmati Ummu Ismail, andai ia membiarkan air zamzam begitu saja, maka akan menjadi mata air yang mengalir.” ([6])
Oleh karena sebagian ulama mengatakan bahwa air zamzam adalah murni keberkahan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi ketika bercampur dengan tangan manusia yaitu Siti Hajar yang membendungnya, maka keberkahannya berkurang. Dimana seharusnya air zamzam bisa menjadi sungai, akan tetapi hanya bisa menjadi mata air pada sebuah sumur([7]).
Inilah kisah tentang pertemuan nabi Musa ‘alaihissalam dan nabi Khadhir ‘alaihissalam.
Permasalahan-Permasalahan terkait Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khodir
Pertama : Sebab penyebutan Nabi Khadir
Al-Hafidz Ibnu Hajar memiliki kitab berjudul Az-Zahru an-Nadhir fii Akhbaaril Khadhir yang khusus membahas tentang Khadhir, meskipun pada kitab-kitabnya yang lain seperti Al Ishabah Fii Tamyiz ash-Shahabah dan Fathul Bari juga dibahas tentang Khadhir.
Al-Khodir secara bahasa artinya “hijau”. Khadhir disebut Khadhir karena dikisahkan beliau pernah duduk di suatu tempat yang tandus kemudian keluar tumbuhan berwarna hijau. Sebagaimana Sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاء، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ تَحْتَهُ خَضْرَاء
“Khadhir pernah duduk pada tanah tandus, maka bergetarlah tanah tersebut dan muncul tumbuhan hijau dari bawahnya.” ([8])
Kedua : Khodir adalah seorang Nabi, bukan sekedar Wali.
Terdapat tiga pendapat tentang status Khadhir([9]):
Pertama, Khadhir adalah seorang nabi. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama([10]). Bahkan Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menulis buku khusus tentang nabi Khadir dan beliau mengatakan bahwasanya Khadir adalah nabi. Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Asy-Syinqithi rahimahullah ta’ala.
Kedua, Khadhir adalah seorang wali. Ibnu Hajar berkata, “Sekelompok sufiyah berpendapat bahwa Khodir adalah wali. Ini adalah pendapat Abu Áli bin Abi Musa dari Hanabilah, Abu Bakar bin al-Anbari… dan Abul Qosim Al-Qusyairi([11])”. Ini juga pendapat Al-Qurthubi.
Ketiga, Khadhir adalah seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia. Akan tetapi pendapat yang ketiga ini merupakan pendapat yang batil. Imam an-Nawawi mengomentari tentang pendapat ketiga ini dengan berkata:
هَذَا غَرِيْبٌ بَاطِلٌ
“Ini pendapat yang aneh dan batil” ([12])
Pendapat yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa Khodir adalah seorang nabi. Dalil akan hal ini adalah :
Pertama : Khodir diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman tentang perkataan Khodir:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَن أَمْرِي
“dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri” (QS Al-Kahfi : 82)
Ibnu Hajar berkata,
وَهَذَا ظَاهر أَنه بِأَمْر من الله، وَالْأَصْل عدم الْوَاسِطَة. وَيحْتَمل أَن يكون بِوَاسِطَة نَبِي آخر لم يذكرهُ، وَهُوَ بَعِيْدٌ
“Ini nampak bahwa itu dengan perintah Allah, dan secara asal hal itu tanpa perantara (antara Allah dengan al-Khodir), dan ada kemungkinan dengan perantara nabi yang lain yang tidak ia (Al-Khodir) sebutkan, namun ini pendapat yang jauh” ([13])
Demikian juga Allah berfirman:
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)
Ini adalah sifat para nabi, yaitu mereka mendapatkan ilmu tanpa harus belajar terlebih dahulu. Adapun kita, maka agar mendapatkan ilmu kita harus belajar dahulu, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
وَإِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“sesungguhnya ilmu hanya didapat dengan belajar.” ([14])
Sebagaimana perkataan Khadhir kepada Musa waktu bertemu,
إِنَّكَ عَلَى عِلْمٍ مِنْ عِلْمِ اللهِ عَلَّمَكَهُ اللهُ لَا أَعْلَمُهُ، وَأَنَا عَلَى عِلْمٍ مِنْ عِلْمِ اللهِ عَلَّمَنِيهِ لَا تَعْلَمُهُ،
“Sesungguhnya kamu mendapatkan sebagian ilmu Allah yang diajarkan-Nya kepadamu yang tidak aku ketahui dan aku mendapatkan sebagian ilmu Allah yang diajarkan-Nya kepadaku yang kamu tidak ketahui.” ([15])
Perkataan nabi Khadhir di atas menunjukkan kepada nabi Musa ‘alaihissalam bahwa mereka sama-sama seorang nabi.
Kedua : Allah memberikan rahmat dan ilmu kepada al-Khodir, Allah berfirman :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi : 67)
Di dalam al-Qurán sering dijumpai penyebutan rahmat dan ilmu yang maksudnya adalah kenabian([16]) sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 31-32)
Rahmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kenabian. Kemudian juga Allah subhanahu wa ta’ala menamakan kenabian dengan ilmu sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ ۚ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisa: 113)
Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَمَّا دَخَلُوا مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوهُمْ مَا كَانَ يُغْنِي عَنْهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا حَاجَةً فِي نَفْسِ يَعْقُوبَ قَضَاهَا ۚ وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai ilmu yang Kami ajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Yusuf: 68)
Jadi rahmat dan ilmu terkadang maksudnya adalah kenabian. Kedua hal ini terkumpul dalam diri Khadir. Sebagaimana kita ketahui bahwa para nabi sebelumnya tidak pernah belajar. Ilmu yang mereka miliki seluruhnya diajarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu para sufi beranggapan bahwa Khadhir sebagai wali bisa mendapatkan semacam itu (memiliki ilmu tanpa belajar). Sehingga kita kenal mereka menyebutkan hal seperti ini dengan ilmu ladunni. Padahal Nabi ﷺ bersabda,
وَإِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu itu diraih hanya dengan belajar”.([17])
Sehingga kita dapati para sahabat dan para ulama bersafar untuk belajar dan mencari hadits Nabi ﷺ. Maka pendapat para sufi yang mengatakan bahwa para wali (dalam hal ini adalah nabi Khadhir) bisa mendapatkan ilmu tanpa berusaha (sebagaimana para nabi) adalah pendapat batil.
Ketiga : Dalil lain yang menunjukkan bahwa Khadhir merupakan seorang nabi adalah Allah menjadikan Khadhir mengetahui ilmu gaib. Dan ini menjadi dalil yang paling kuat. Yaitu tatkala beliau membunuh anak dengan alasan bahwa anak ini jika tumbuh dewasa, kelak akan menjerumuskan kedua orang tuanya dalam kekufuran. Kemudian beliau juga menghancurkan kapal karena jika dibiarkan dalam keadaan baik, maka akan datang seorang raja merampas kapal tersebut. Ini semua adalah hal-hal gaib([18]). Sementara Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman tentang ini,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا * إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-7)
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa tidak mungkin Allah menampakkan hal gaib kecuali kepada nabi dan rasul. Maka selain daripada nabi dan rasul, tidak akan mengetahui hal-hal gaib. Sehingga dalil ini menunjukkan bahwa Khadhir adalah seorang nabi.
Ketahuilah bahwa sebagian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ada yang menyatakan bahwa Khadhir adalah seorang wali yang diberikan karomah. Sekalipun demikian tidak ada keyakinan-keyakinan yang aneh dibalik kewaliannya. Berbeda dengan sebagian orang sufi ekstrim, mereka berpendapat bahwa Khadhir adalah seorang wali, akan tetapi tidak cukup di sini, di atas pendapat ini mereka membangun kebatilan-kebatilan, misalnya dengan mengatakan bahwa seorang wali lebih hebat dari pada nabi. Oleh karena Ibnu ‘Arabi berkata,
مَقَامُ النُّبُوَّةِ فِيْ بَرْزَخ ** فُوَيْقَ الرَّسُوْلِ وَدُوْنَ الْوَلِيّ
“Kedudukan Kenabian berada di alam barzakh ** sedikit di atas rasul dan di bawah wali.” ([19])
Secara urutan Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa yang paling tinggi adalah wali, kemudian rasul, setelah itu nabi. Mereka membalik urutan yang sebenarnya sehingga menjadi batil. Urutan yang benar adalah, yang paling tinggi adalah rasul, kemudian nabi, kemudian wali. Contoh sufi ekstrem lainnya, kita dapati riwayat dari Abu Yazid al-Busthomi mengatakan,
خُضْنَا الْبَحْر وَوَفَقَ الاَنْبِيَاءُ وَالْمُرْسَلُوْنَ عَلَى سَاحِلِهِ
“Kami (para wali) telah menyelam ke lautan, sementara para nabi dan rasul masih di pinggiran pantai.” ([20])
Menurut mereka bahwasanya para wali lebih memahami ilmu dari pada para nabi. Orang-orang sufi menjadikan Khadhir wali sebagai sarana untuk mencapai kezindikan mereka. Awal mulanya dengan mengatakan bahwa Khadhir adalah wali, sehingga boleh keluar dari syariat nabi Musa ‘alaihissalam. Dan anggapan mereka ini merupakan kezindikan dan kekufuran. ([21])
Maka dari itu Ibnu Hajar al-Asqolani mengatakan dalam kitabnya bahwa cara yang pertama untuk membantah orang-orang sufi adalah dengan menunjukkan bahwa Khadhir itu adalah nabi dan bukan wali. Karena tatkala bisa dibuktikan bahwa Khadhir adalah nabi, maka segala macam kebatilan dan kekufuran orang-orang sufi akan hancur. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَكَانَ بعض أكَابِر الْعلمَاء يَقُول: أول عقدَة تحل من الزندقة، اعْتِقَاد كَون الْخضر نَبيا، لِأَن الزَّنَادِقَة يتذرعون بِكَوْنِهِ غير نَبِي، إِلَى أَن الْوَلِيّ أفضل من النَّبِي؛
“Sebagian ulama besar berkata: Simpul pertama yang melepas ikatan kezindiqan adalah meyakini bahwa al-Khodir adalah Nabi, karena orang-orang zindiq menjadikan pendapat bahwa Khodir bukan Nabi untuk menyatakan bahwa wali lebih mulia daripada nabi” ([22]).
Karenanya tidak diragukan lagi bahwa Al-Khodir adalah seorang Nabi, bukan seorang wali. Ibnu Hajar berkata :
وَالَّذِي لَا يتَوَقَّف فِيهِ الْجَزْم بنبوته
“Dan yang tidak perlu ragu padanya adalah memastikan bahwa al-Khodir adalah Nabi” ([23])
Ketiga, Tidak benar pernyataan bahwa seorang wali tatkala mencapai hakikat boleh keluar dari syariat.
Sebagian orang zindiq menyatakan demikian dan berdalil dengan kisah Musa dan al-Khodir, karena Al-Khodir melakukan hal-hal yang keluar dari syariát Nabi Musa álaihis salam. Jika demikian, siapapun yang telah mencapai derajat al-Khodir, maka ia boleh keluar dari syariát Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam.
Pernyataan ini terbantah dari beberapa sisi:
Pertama: Kita katakan bahwa pendapat mereka (yang mengatakan bolehnya keluar dari syariat tatkala mencapai tingkat tertentu) adalah batil. Ijma’ ulama sepakat bahwa siapa saja yang meyakini bahwa seorang boleh keluar dari syariat nabi Muhammad ﷺ maka dia telah kafir. ([24]) Memang, para ulama khilaf tentang hukum orang yang meninggalkan shalat tapi masih meyakini kewajiban shalat([25]), akan tetapi berbeda halnya jika ada seseorang mengatakan ia boleh meninggalkan shalat tatkala telah mencapai hakikat, maka para ulama sepakat bahwa dia telah kafir. Maka dari itu, jika shalat saja ditinggalkan bisa menjadikan diri kafir, apalagi jika menyelisihi syariat nabi Muhammad ﷺ secara umum. ([26])
Kedua : Nabi Khadhir bukanlah termasuk umat nabi Musa ‘alaihissalam. Nabi Musa ‘alaihissalam tidak pernah diutus oleh Allah kepada Khadhir, melainkan diutus kepada Bani Israil. Sedangkan yang diutus untuk seluruh umat hanyalah nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana sabda beliau,
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً، وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً
“Aku telah diutus dengan lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi sebelumku: (di antaranya) dan para nabi terdahulu diutus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.” ([27])
Oleh karenanya dalam kisah pertemuan nabi Musa dan nabi Khadhir, mereka tidak saling mengenal. Nabi Khadhir juga tidak mengenal nabi Musa ‘alaihissalam. Tatkala nabi Musa tidak pernah diutus kepada Khadhir maka ini menunjukkan bahwa nabi Khadhir boleh menyelisihi syariat nabi Musa ‘alaihissalam. Tidak ada kelaziman bagi Khadhir untuk mengikuti syariat nabi Musa. Seandainya Nabi Khodir menyelisihi syariát Nabi Musa maka tidak mengapa, karena beliau bukanlah termasuk umat Nabi Musa. ([28])
Ketiga : Nabi Khadhir tidak menyelisihi syariat nabi Musa. Buktinya ketika Nabi Khadhir menjelaskan kepada nabi Musa tentang makna perbuatannya, nabi Musa tidak mengingkari jawabannya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh nabi Khadhir sesuai dengan syariat nabi Musa ‘alaihissalam.
Keempat, Apakah nabi Khadhir masih hidup?
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Al-Khodir masih hidup hingga saat ini. Namun tentu seandainya al-Khodir masih hidup hingga saat inipun, tetap tidak akan merubah syariát Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam yang sudah sempurna. Yang menjadi masalah adalah bahwasanya sebagian kaum sufi memiliki ritual ibadah-ibadah tertentu yang baru dan zikir-zikir tertentu, dimana mereka mengaku bahwa yang mengajarkan kepada mereka adalah Nabi Al-Khodir, atau mereka mendapatkan sanadnya sampai ke al-Khadhir.
Namun pendapat yang lebih kuat bahwasanya Nabi al-Khodir telah meninggal. Ibnul Jauzi berkata:
وَالدَّلِيْلُ عَلَى أَنَّ الْخَضِرَ لَيْسَ بِبَاقٍ فِيْ الدُّنْيَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاء: الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْمَعْقُوْلُ
“Dalil yang menunjukkan bahwa Khadhir telah tiada (wafat) di atas muka bumi ini ada empat perkara; yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma’ ulama para ahli tahqiq, dan akal sehat.”([29])
Jika kita perinci maka ada beberapa dalil,
- Dalil pertama dari Al-Quran,
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang pun manusia sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS. Al-Anbiya: 34)
- Dalil kedua dari Al-Quran,
Jika Khadhir masih hidup sampai sekarang, maka usianya tentu sudah mencapai ribuan tahun (jika dihitung sejak zaman nabi Musa ‘alaihissalam sampai sekarang). Tentu ini merupakan mukjizat tersendiri, sementara para Nabi sebelumnya hanya berusia kurang lebih 1000 tahun. Seperti Nabi Adam usianya hanya 960 tahun([30]) dan Nabi Nuh álaihis salam 1000 tahun lebih. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا
“Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.” (QS. Al-Ankabut: 14).
Usia nabi Nuh ‘alaihissalam disebutkan oleh Allah karena termasuk angka yang menakjubkan. Jika nabi Khadhir usianya ribuan tahun, tentulah Allah sebutkan di dalam Al-Quran. Akan tetapi kita tidak dapati keterangan tersebut, karena jika usia al-Khodir hingga beribu-ribu tahun tentu ini merupakan salah satu tanda besar dari Rububiyah Allah. ([31])
- Dalil dalam As-Sunnah disampaikan oleh Imam Al-Bukhari. Beliau pernah ditanya apakah nabi Khadhir masih hidup atau telah meninggal, maka beliau menjawab,
وَكَيْفَ يَكُوْنُ ذَالِكَ؟ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَأَيْتَكُمْ لَيْلَتَكُمْ هَذِهِ، فَإِنَّ رَأْسَ مِائَةِ سَنَةٍ مِنْهَا، لاَ يَبْقَى مِمَّنْ هُوَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ أَحَدٌ.
“Bagaimana dia (Khadhir) masih hidup? Sedangkan Nabi telah berkata (kepada para sahabat) : ‘Bagaimana menurut kalian malam ini? Sesungguhnya setelah seratus tahun setelah malam ini, tidak seorang pun di atas muka bumi ini akan hidup.” ([32])
Artinya adalah, kalau nabi Khadhir masih hidup di zaman nabi Muhammad ﷺ, maka seratus tahun setelah malam tersebut dia akan meninggal. Sedangkan saat ini sudah berlalu 1400 tahun lebih setelah malam tersebut. Sehingga ini menjadi dalil yang menguatkan bahwa nabi Khadhir telah meninggal.
Kemudian orang-orang sufi mengatakan bahwa hadits nabi Muhammad ﷺ tidak bertentangan, karena hanya khusus untuk manusia di atas muka bumi, sedangkan nabi Khadhir berada di atas langit dan tidak di atas muka bumi. Maka terdapat bantahan dari hadits Rasulullah ﷺ yang bersifat umum. Beliau bersabda,
مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ الْيَوْمَ، تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ، وَهِيَ حَيَّةٌ يَوْمَئِذٍ
“Tidak ada satu jiwa pun yang hidup saat ini, dia tidak akan hidup setelah seratus tahun setelah hari ini.” ([33])
- Dalil akal yang menunjukkan bahwa nabi Khadhir telah meninggal di antaranya adalah sebagaimana perumpamaan sabda Nabi ﷺ,
لَوْ كَانَ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِي
“Jika nabi Musa hidup di zamanku, maka dia pasti akan mengikutiku.” ([34])
Oleh karena itu jika nabi Khadhir masih hidup, tentunya dia akan menjadi pengikut nabi Muhammad ﷺ. Akan tetapi Khadhir tidak didapati ketika terjadinya perang Badar. Sampai-sampai Nabi ﷺ beristigasah dan berdoa kepada Allah,
اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ
“Ya Allah kalau seandainya kami yang sedikit ini meninggal dunia, maka engkau tidak akan disembah di atas muka bumi ini.” ([35])
Ketahuilah bahwa jin banyak mengaku sebagai Khadhir, karena tidak ada riwayat yang sampai kepada kita tentang ciri-cirinya. Sedangkan nabi Muhammad ﷺ tidak dapat ditiru oleh jin, karena kita mengetahui standarisasi ciri-ciri beliau dalam hadits-hadits sahih. Sehingga kita bisa menanyakan kepada orang yang mengatakan bermimpi bertemu Nabi ﷺ. Sedangkan nabi Khadhir tidak kita dapati bagaimana ciri-cirinya dan dikhawatirkan bahwa yang mengaku sebagai Khadhir tersebut adalah jin. ([36])
Oleh karena itu, perkataan orang-orang Sufi yang menyatakan bahwa nabi Khadhir masih hidup dan berjalan di atas muka bumi (yang terkadang bertemu dan memberi wasiat kepada guru mereka) ini adalah khurafat di kalangan mereka.
Faidah
Ada beberapa faedah yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah tentang kisah pertemuan nabi Musa ‘alaihissalam dengan nabi Khadhir ‘alaihissalam, antara lain([37]):
- Pentingnya menuntut ilmu. Nabi Musa ‘alaihissalam meninggalkan Bani Israil untuk menuntut ilmu. Seorang da’i sangat butuh menambah ilmunya, meskipun harus meninggalkan kaumnya beberapa waktu. Dan yang terbaik adalah seorang da’i menggabungkan keduanya yaitu berdakwah dan juga menuntut ilmu. Tatkala seorang da’i merasa puas dengan ilmunya, maka ia pasti tidak dapat memberikan manfaat yang banyak kepada orang lain.
- Keutamaan bersafar menuntut ilmu. Nabi Musa ‘alaihissalam bersafar untuk mencari ilmu. Sampai beliau mengatakan rela untuk melakukan perjalanan sampai bertahun-tahun untuk bertemu dengan nabi Khadhir ‘alaihissalam, tujuannya adalah satu yaitu belajar. Oleh karenanya para ulama tatkala mengomentari sabda Rasulullah ﷺ berikut,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” ([38])
Para ulama juga mengatakan bahwa Rasulullah mengkhususkan penyebutan ilmu sebagai jalan menuju surga karena jalan tersebut adalah jalan termudah yang bisa ditempuh, dan ilmu itu dapat membuka pintu-pintu kebaikan yang lain.
- Bolehnya seseorang mengambil pembantu. Akan tetapi ketika mengambil pembantu, hendaknya mencari orang yang cerdas, sebagaimana nabi Musa ‘alaihissalam mengambil Yusya’ bin Nun sebagai pembantu. Karena Yusya’ bin Nun setelah hari itu kelak diangkat menjadi nabi.
- Hendaknya seseorang mengambil ilmu dari orang di bawah keutamaanya. Nabi Musa ‘alaihissalam lebih utama daripada nabi Khadhir ‘alaihissalam. Akan tetapi karena nabi Musa ‘alaihissalam tidak memiliki ilmu yang dimiliki oleh nabi Khadhir, maka Musa rela untuk menemui Khadhir. Oleh karena itu seseorang hendaknya tidak angkuh, karena bisa jadi dia seorang yang alim, tetapi pasti ada suatu bidang ilmu yang dia tidak ketahui.
- Hendaknya seseorang tatkala belajar dengan seorang guru, mengucapkan perkataan yang merendah. Kata para ulama, tatkala seorang menuntut ilmu, ia harus menunjukkan kebutuhan terhadap seorang guru. Tidak boleh menyombongkan diri dengan bentuk menunjukkan rasa tidak butuh.
- Hendaknya seorang pembantu memakan apa yang dimakan oleh tuannya. Sebagaimana nabi Musa ‘alaihissalam ketika hendak makan bersama.
- Hendaknya seseorang bersabar hingga mendapatkan hikmah di balik itu. Nabi Musa ‘alaihissalam tidak dapat bersabar dari peristiwa yang dilihatnya, karena tidak mengetahui hikmah dibalik itu. Oleh karena itu tatkala seseorang menyadari bahwa ada hikmah dari setiap musibah yang menimpanya, maka pasti dia akan mampu untuk bersabar. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tatkala seseorang terkena musibah, terkadang Allah langsung menampakkan hikmahnya, terkadang Allah menunda hingga bertahun-tahun, dan bahkan terkadang seseorang tidak dapat mengetahui hikmahnya. Tatkala seseorang tidak dapat mengetahui hikmah di balik musibah yang menimpanya, hendaknya dia melihat kisah nabi Musa ‘alaihissalam dan nabi Khadhir ‘alaihissalam, karena Musa ‘alaihissalam yang sebagai nabi pun tidak memahami hikmah dibalik perbuatan nabi Khadhir ‘alaihissalam.
- Seseorang hendaknya bersabar dalam menuntut ilmu.
- Jika ada dua perkara yang membawa mudarat, maka ditempuh yang paling ringan kemudaratannya. Para ulama mengatakan bahwa bukanlah orang yang fakih itu yang mengetahui halal dan haram, akan tetapi orang yang fakih itu adalah orang yang dihadapkan dua kemudharatan dan dia mengetahui dari kedua pilihan tersebut mana yang lebih sedikit kemudaratannya.
- Berkhidmat kepada orang saleh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada alasan yang mendorong nabi Khadhir membenahi tembok yang miring kecuali alasan yang menyebutkan bahwa kedua orang tuanya adalah orang saleh. Sehingga para ulama menyebutkan bahwa berkhidmat kepada orang-orang saleh merupakan hal yang dianjurkan.
- Tidak boleh seseorang menyandarkan keburukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Yusya’ bin Nun yang mengatakan bahwa yang membuatnya lupa adalah syaithan. Sebagaimana juga disebutkan bahwa nabi Khadhir mengatakan bahwa dia ingin merusak kapal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tatkala seseorang melakukan keburukan, harus menyandarkannya kepada pelakunya dan bukan menyandarkannya kepada Allah. Adapun tentang kebaikan, maka harus disandarkan kepada Allah. Ini semua merupakan adab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan kita wajib beradab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala meskipun perkara buruk juga ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Inilah beberapa faedah yang bisa kita ambil dari kisah ini.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 11/38
([2]) HR. At-Tirmidzi no. 2516 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([3]) Lihat: Jami’ul ‘ulumi Wal Hikam: 1/562-466
([4]) HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’. Dan Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini hasan lighairih.
([5]) Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam 2/554
([7]) Lihat Irsyaad as-Saarii, Al-Qostholani 4/204, Tuhfatul Baari, Zakariya Al-Anshoori 5/138
([8]) HR At-Tirmidzi no 3151 dan Ibnu Hibban no 6222, Imam At-Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih gharib dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albaniy. Syaikh Al-Arnaut dalam tahqiq Ibnu Hibban berkata: shahih sesuai syarat Muslim, lihat Az-Zahru An-Nadhir fi Akhbaril-Khadhir: hal. 63.
([9]) Lihat : Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 15/136
([10]) Sebagaimana dinyatakan oleh Abu Hayyan di tafsirnya dan dinukil oleh Ibnu Hajar di Az-Zahir An-Nadhir hal 68, demikian juga dinyatakan oleh al-Qurthubi di tafsirnya 11/16
([11]) Az-Zahir An-Nadhir hal 69
([12]) Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 15/136.
([13]) Az-Zahru An-Nadhir: hal. 66.
([15]) HR Al-Bukhari No. 122 dan Muslim No. 2380.
([16]) Adapun rahmat maknanya kenabian seperti pada ayat-ayat berikut :
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ، أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ
Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? (QS Az-Zukhruf 31-32)
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ
Berkata Nuh: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya? (QS Huud: 38)
Adapun ilmu yang maknanya kenabian seperti pada ayat-ayat berikut :
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَك مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu” (QS An-Nisa: 113)
وَإِنَّهُ لَذُو عِلْمٍ لِمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS Yusuf: 68)
([17]) HR Al-Bukhari secara mu’allaq, Ath-Thabaraniy dalam Mu’jam Awsath no 2663 dan dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
([18]) Lihat Az-Zahru An-Nadhir: hal. 31.
([19]) Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa Ibnu Árobi juga menyatakan pernyataan ini, terlebih lagi Ibnu Árobi telah menegaskan hal ini dalam kitabnya Fushush al-Hikam (Lihat Majmu al-Fatawa 2/221)
([20]) Lihat Tobaqoot as-Sya’roni 6/12, al-Futuhaat al-Ilaahiyah, Ibnu Ájiibah hal 26, dan al-Insaan al-Kaamil, al-Jiili 1/124
([21]) Lihat perkataan Muhaqqiq kitab Az-Zahru An-Nadhir: hal. 27
([22]) Az-Zahru An-Nadhir: hal. 67.
([23]) Az-Zahru An-Nadhir: hal. 162
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ لَأَحَدٍ طَرِيْقًا إِلَى اللهِ مِنْ غَيْرِ مُتَابَعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ لاَ يَجِبُ عَلَيْهِ اِتِّبَاعُهُ وَأَنَّ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ خُرُوْجًا عَنِ اتِّبَاعِهِ وَأَخْذِ مَا بُعِثَ بِهِ: أَوْ قَالَ: أَنَا مُحْتَاجٌ إِلَى مُحَمَّدٍ فِي عِلْمِ الظَّاهِرِ دُوْنَ عِلْمِ الْبَاطِنِ أَوْ فِي عِلْمِ الشَّرِيْعَةِ دُوْنَ عِلْمِ الْحَقِيْقَةِ أَوْ قَالَ أَنَّ مِنَ الأَوْلِيَاءِ مَنْ يَسَعُهُ الْخُرُوْجُ مِنْ شَرِيْعَتِهِ كَمَا وَسِعَ الْخَضِرَ الْخُرُوْجُ عَنْ شَرِيْعَةِ مُوْسَى أَوْ إِنَّ هُدَى غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ – فَهُوَ كَافِرٌ
“Barang siapa yang meyakini bahwasanya seseorang memiliki jalan menuju Allah tanpa melalui meneladani Muhammad shallallahu álaihi wasallam, atau tidak wajib baginya untuk meneladani Nabi, atau boleh baginya atau boleh bagi orang lain untuk tidak ittiba’ (mengikuti) Nabi, atau tidak mengambil ajaran Nabi, atau berkata : Aku hanya membutuhkan Muhammad dalam perihal ilmu dzohir tanpa ilmu batin, atau dalam perihal ilmu syariát dan bukan ilmu hakikat, atau berkata : Diantara wali-wali Allah ada yang boleh baginya untuk keluar dari syariát Nabi sebagaimana al-Khodir boleh keluar dari syariát Musa, atau berkata: Sesungguhnya ajaran selain Nabi termasuk dari ajaran Nabi shallallahu álaihi wasallam, maka ia kafir.” (al-Iqnaa’ fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal 4/298-299, Lihat juga pernyataan Ibnu Taimiyyah di Majmuu al-Fataawa 3/422, 11/402, 11/539, juga al-Qostholani di al-Hadzir fi Amri al-Khodir hal 145, 146, dan Mulla Áli Al-Qoori di Syarh al-Fiqh al-Akbar hal 183)
([25]) Lihat Aqidatus-Salaf wa Ashabil-Hadits karya Imam Abu Utsman Isma’il Ash-Shabuniy: hal. 67-68, Bab Hukmu Tarikish-Shalat, cet. Maktabah Imam Al-Wadi’iy.
([26]) Lihat Majmu Fatawa karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah: 11/ 425-426.
([27]) HR Al-Bukhari no 335 dan Muslim no 521.
([28]) Lihat Az-Zahru An-Nadhir: hal. 27-28 dari perkataan Imam Ibnu Abil- ‘Izz yang mensyarah Aqidah Ath-Thahawiyyah.
([29]) Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qoyyim di al-Manaar al-Muniif hal 52 dan dinukil juga oleh Ibnu Hajar di Az-Zahru An-Nadhir hal 49-50
([30]) Sebagaimana telah penulis jelaskan dalam buku penulis yang lain “Mendulah faidah dari kisah para nabi”
([31]) Lihat Az-Zahru An-Nadhir: hal. 53.
([32]) Lihat Az-Zahra An-Nadhir fi Akhbaril-Khadhir: hal. 41 adapun hadits nya maka itu adalah riwayat Al-Bukhariy no 564.
([34]) Lihat Az-Zahru An-Nadhir fi Akhbaril-Khdhir: hal. 87
([36]) Lihat Az-Zahru An-Nadhir: hal. 54.
([37]) Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman karya Syaikh As-Sa’diy: 1/ 482.