28. وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا
waṣbir nafsaka ma’allażīna yad’ụna rabbahum bil-gadāti wal-‘asyiyyi yurīdụna waj-hahụ wa lā ta’du ‘aināka ‘an-hum, turīdu zīnatal-ḥayātid-dun-yā, wa lā tuṭi’ man agfalnā qalbahụ ‘an żikrinā wattaba’a hawāhu wa kāna amruhụ furuṭā
28. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Tafsir :
Pada ayat ini para mufassir menyebutkan bahwasanya ada sekelompok orang-orang Quraisy (yaitu para pembesar-pembesar Quraisy) datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan diri untuk beriman akan tetapi dengan persyaratan. Mereka berkata: “Wahai Muhammad, singkirkan dulu orang-orang miskin (karena pada saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang yang miskin) baru kami nanti beriman, dan jika kami (para pembesar-pembesar Quraisy) beriman maka pengikut kami banyak, namun dengan syarat hendaknya engkau menyingkirkan orang-orang yang beriman”([1]). Perkataan mereka tentu tawaran yang sangat menarik, terlebih lagi untuk kemaslahatan dakwah di kemudian hari, terlebih lagi bisa jadi semua Quraisy (yang merupakan kerabat Nabi shallallahu álaihi wasallam) akan mengikuti jika pembesar-pembesarnya beriman. Akan tetapi persyaratan mereka tentu persayaratan yang sangat buruk. Allah subhanahu wa ta’ala langsung memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar, Allah berfirman,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ
“Dan bersabarlah kamu”
Dan ini adalah perintah untuk bersabar, dan bersabar dalam bahasa Arab dari kata الحَبْسُ yaitu “menahan”, sehingga arti ayat adalah “Tahanlah dirimu!”([2]), karena ini adalah godaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbang maslahat, seandainya pembesar-pembesar ini masuk Islam dan orang-orang yang miskin disingkirkan terlebih dahulu, tentu lebih baik, karena bisa jadi dengan masuknya mereka kepada agama Islam maka dakwah ini bisa lebih cepat tersebar. Bisa jadi terbetik dalam hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal-hal tersebut, namun entah apa yang dipikirkan oleh Nabi, tetapi ini adalah sesuatu yang menggoda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini adalah tawaran menarik.
Terlebih lagi disebutkan bahwa orang-orang yang miskin yang duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berjumlah 6 orang, sehingga hanya tinggal meminggirkan terlebih dahulu 6 orang tersebut, kemudian para pembesar tersebut akan masuk Islam sehingga nantinya banyak yang akan masuk Islam juga. Bisa jadi ada godaan yang seperti itu yang hinggap di benak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat berpikir seperti itu untuk menimbang maslahat dan mudarat, Allah subhanahu wa ta’ala langsung memberi wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tetap tegar dan tidak terpengaruh oleh perkataan orang-orang yang sombong tersebut, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَاصْبِرْ نَفْسَكَ “sabarkanlah dirimu”.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ
“bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”
Dalam masalah firman-Nya “di pagi hari dan petang hari” ada 2 pendapat:
Pertama: ada yang mengatakan maksudnya selalu([3]), dan ini adalah sebuah ungkapan dari orang-orang Arab. Ketika mereka ingin mengatakan “selalu” terkadang menggunakan ungkapan pagi dan petang. Jadi maksud dari ayat ini adalah: Hendaknya engkau sabarkan dirimu bersama orang yang selalu ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua: maksudnya sesuai dengan zahirnya yaitu benar-benar pagi dan petang([4]). Artinya 2 waktu ini adalah waktu spesial untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagian ulama menyebutkan alasannya, yaitu di waktu pagi seseorang belum beraktivitas untuk bekerja maka waktunya penuh untuk berkonsentrasi mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, begitu juga waktu petang ketika dia pulang dari kerja maka itu saatnya dia mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan berarti waktu di siang hari (yaitu antara setelah terbit matahari hingga waktu petang) kita tidak mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, kita tetap mengingat Allah subhanahu wa ta’ala pada waktu tersebut namun kondisinya berbeda dengan 2 waktu di atas. Maka ini isyarat bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai agar kita fokus dalam mengingat-Nya. Maka dua waktu ini disebutkan untuk menunjukkan keistimewaannya. Oleh karenanya disyariatkan juga untuk melakukan dzikir pagi petang. Penulis lebih condong kepada pendapat kedua bahwasanya yang dimaksud dengan pagi dan petang dalam ayat ini sesuai dengan zahirnya. Ini menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang mengkhususkan waktu di pagi hari untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan di petang hari untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. Sejak subuh hingga terbit matahari mereka mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan sejak shalat asar hingga terbenam matahari mereka berkonsentrasi untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang ikhlas, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman يُرِيدُونَ وَجْهَهُ “mereka mengharapkan wajah Allah”. Ini adalah dalil bahwasanya seseorang hendaknya selektif dalam berteman dan berusaha mencari teman-teman yang ikhlas. Kita bisa menentukan baik-buruknya seseorang (untuk dijadikan teman) dengan melihat zahirnya dan dengan persangkaan yang kuat. Contohnya ketika berbicara orientasinya bukan dunia yang kuat. Ketika berbicara agama orientasinya bukan dunia . Intinya ketika berbicara apa saja orientasinya bukan dunia. Karena ada orang berbicara agama namun orientasinya adalah dunia, contoh ketika ada orang yang mengajak untuk mendirikan pondok atau boarding school dikarenakan untuk meraih keuntungan yang tinggi, misalnya dengan memasang tarif uang masuk sebesar 60 juta. Maka ini jelas orientasinya adalah dunia. Berbeda jika seseorang mengatakan bahwa dengan 60 juta tersebut akan digunakan sebagai subsidi silang untuk anak yatim maka orientasinya adalah akhirat. Seseorang bagaimanapun akan tampak tujuannya, baik dunia ataupun akhirat, maka jangan terperdaya dengan baju seseorang yang lusuh, kadang pakaiannya lusuh namun otaknya dipenuhi dengan dunia, dan ada orang penampilannya mewah namun pikirannya bukan hal-hal duniawi dan semua ini berdasarkan pengalaman penulis dengan menyaksikannya sendiri. Jadi bagaimana cara kita mengetahui orientasi seseorang dunia atau akhirat? Maka dengan cara sering bergaul dengan dirinya, kita akan tahu, oleh karenanya kita diperintahkan untuk selektif dalam memilih teman karena teman sangat mempengaruhi. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar bersabar dalam bergaul dengan orang-orang yang ikhlas. Nabi adalah orang yang sangat ikhlas namun juga membutuhkan dengan teman-teman yang ikhlas dalam mendukung dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin kita ikhlas akan tetapi kita juga membutuhkan teman-teman yang ikhlas, karena jika kita ikhlas namun teman-teman kita orientasinya adalah dunia maka lama kelamaan kita akan terbawa ke orientasi dunia juga. Kita katakan ada urusan dunia dan ada urusan akhirat, kita bekerja di dunia namun orientasi tetap akhirat. Dan jika kita salah dalam bergaul dan berteman dengan orang-orang yang selalu membicarakan dunia dan dunia, maka sejatinya kita sebentar lagi akan meninggalkan dunia, kematian jika datang sering tidak memberi pemberitahuan terlebih dahulu. Jika orientasi kita dunia maka kita akan merugi. Agar orientasi kita bukan dunia maka jangan salah dalam bergaul, karena teman itu sangat berpengaruh. Kita bukan dilarang untuk berbicara masalah dunia, akan tetapi jika kita berkumpul maka orientasi kita bukan dunia dan jika mencari dunia pun itu untuk akhirat. Penulis memiliki sebagian sahabat yang diberi kelebihan dunia namun pikiran mereka akhirat. Kita tidak bisa memastikan seseorang tersebut ikhlas atau tidak namun kita bisa merasakannya lewat pembicaraannya, sikapnya, tulisannya, dan statusnya. Untuk apa kita mengejar dunia namun pada akhirnya kita meninggalkan dunia tersebut, kita mengumpulkan dan mengumpulkan sesuatu yang akan kita tinggalkan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala يُرِيدُونَ وَجْهَهُ “mereka mengharapkan wajah Allah” ini adalah ungkapan dari keikhlasan yang mereka mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala([5]), para ulama menafsirkan bahwa mereka ingin melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala di surga kelak. Dan ini dalil bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki wajah dan ini sifat dzatiyyah yang diyakini oleh Ahlus sunnah wal jama’ah bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat wajah. Sangat banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat wajah, di antaranya ayat ini dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” QS. Ar-Rahman: 27
Dan friman-Nya,
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” QS. Al-Qoshosh: 88
Intinya sifat wajah itu ada di Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka di antara makna يُرِيدُونَ وَجْهَهُ “mereka mengharapkan untuk melihat wajah Allah” dan ini butuh dengan keikhlasan.
Para ulama juga mengambil faedah dari ayat ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bersabar ketika bergaul dengan orang-orang yang miskin, oleh karenanya Asy-Syaikh As-Sa’dy dalam tafsirnya mengatakan bahwa faedah dari ayat ini bahwasanya siapa bersabar untuk bergaul dengan orang-orang fakir dan orang-orang miskin maka dia akan mendapatkan faedah yang sangat banyak ([6]). Jadi kita dalam bergaul bukan hanya dengan orang-orang kaya saja, namun hendaknya kita juga bergaul dengan orang-orang miskin, agar kita tahu bagaimana susahnya dia sehingga kita bersyukur. Dan ada banyak hal lainnya dari manfaat kita bergaul dengan orang yang lebih miskin daripada kita; kita bisa membantunya dan ini merupakan sarana untuk bersedekah, sebagaimana telah lalu yaitu kita tahu bagaimana susahnya kehidupannya sehingga kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita lihat bagaimana penderitaan seseorang dan kita menjadi tempat mencurahkan hatinya sehingga banyak pahala yang mungkin bisa kita dapatkan, yaitu kita menjadi orang yang bersyukur, bersabar, dan membantunya dengan bersedekah. Begitulah Asy-Syaikh As-Sa’dy mengatakan bahwa banyak faidah dari bergaul dengan orang-orang fakir. Itulah sebabnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar dengan orang-orang walaupun fakir tetapi mereka ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka;
تَعْدُ maksudnya jangan kau lewati pandanganmu, akan tetapi dalam bahasa arab عَدَا يَعْدُو seharusnya dia yata’addaa binafsihi (membutuhkan objek dengan sendirinya) dan tidak butuh huruf pembantu seperti عَنْ atau بِ akan tetapi dalam ayat ini disebutkanوَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ menggunakan perantara عَنْ yang seharusnya cukup وَلَا تَعْدُهُمْ عَيْنَاكَ tanpa perlu tambahan عَنْ di sini, ini secara bahasa arab. Sehingga para Ahli Tafsir (seperti Thahir Ibnu Asyur dan yang lainnya) mereka mengatakan bahwasanya tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menambah عَنْ di sini maka di dalamnya terdapat uslub at-tadhmin yaitu ada fi’il/kata kerja yang tersembunyi dalam kalimat ini, seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala berkata,
وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ وَلَا تُعْرِضْ عَنْهُمْ
“dan jangan kau kedua matamu melewati mereka dan jangan kau berpaling dari mereka.” ([7])
Artinya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar bersama mereka dan jangan berpaling menuju kepada orang-orang kaya, akan tetapi berpalinglah dari orang-orang kaya dengan bersabar bersama orang-orang miskin.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“(karena) mengharapkan perhiasan dunia ini”
Dunia memang indah. Bergaul dengan pembesar-pembesar Quraisy banyak menjanjikan, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya dunia akan sirna.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا
“dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.”
Apa yang dimaksud dengan ذِكْرِنَا “mengingat kami”? Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari ذِكْرِنَا adalah Al-Quran, sebagian ulama lain ada yang mengatakan maksud dari ذِكْرِنَا adalah dzikir secara umum([8]). Yaitu mereka dibuat lalai sehingga tidak sibuk dengan Al-Quran dan tidak sibuk dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala serta Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan hati mereka lalai.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“serta menuruti hawa nafsunya”
Pada kalimat ini terdapat faedah yang perlu kita perhatikan, pada kalimat sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا
“Kami lalaikan dari mengingati Kami.”
Dan yang dimaksud Kami di sini adalah Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala yang membuat hatinya lalai. Ini dalil bahwasanya segala yang terjadi di alam semesta (yang baik maupun yang buruk) semuanya di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Sampai-sampai lalainya hati seseorang pun atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini termasuk permasalahan iman terhadap takdir, bahwasanya semua yang terjadi di alam semesta tidak ada yang keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, apakah itu perkara yang baik maupun perkara yang buruk. Contoh sederhananya di dunia ini ada Iblis yang buruk, dan yang menciptakannya adalah Allah subhanahu wa ta’ala, Iblis meminta dipanjangkan umurnya untuk menggoda manusia juga dikabulkan dan diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi semua yang terjadi berupa keburukan dan kemaksiatan semuanya di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya ada hikmah yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Pada kalimat ini yaitu أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا “Kami lalaikan dari mengingati Kami” Allah subhanahu wa ta’ala menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala yang menakdirkan semuanya. Kemudian pada kalimat setelahnya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“serta menuruti hawa nafsunya”
Ini adalah dalil bahwasanya perbuatan hamba disandarkan kepada dirinya sendiri. Maksudnya jangan sampai seseorang bermaksiat lalu dia mengatakan bahwa hal tersebut kehendak Allah subhanahu wa ta’ala yang telah ditakdirkan, maka hal ini tidak diperbolehkan. Jika seseorang berbuat maksiat maka maksiat tersebut disandarkan kepada dirinya sendiri meskipun semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi semua hal tersebut hamba yang melakukannya, yang menghendakinya, dan ada pilihan di hadapannya (antara melakukan atau meninggalkannya), dan semua yang dipilih maka tidak keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, karena semua yang terjadi berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Walaupun demikian, jangan sampai seseorang berbuat maksiat, lalu dia mengatakan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala lah yang membuat dia berbuat maksiat, maka ini tidak boleh karena dialah yang berbuat. Oleh karenanya tatkala ada seseorang yang mencuri lalu ditangkap oleh Umar bin Al-Khotthob dan diperintahkan untuk dipotong tangannya, pencuri tersebut berkata:
مَهْلاً يا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، فَإِنَّمَا سَرِقْتُ بِقَدَرِ اللهِ.
“Sebentar wahai Amirul mukminin! saya mencuri hanya dengan takdir Allah”.
Maka ‘Umar pun menjawab:
فَقَالَ: وَنَحْنُ إِنَّمَا نَقْطَعُ بِقَدَرِ اللهِ.
“Dan kami pun memotong tangan juga dengan takdir Allah.” ([9])
Jangan sampai di akhirat seseorang mengatakan: Ya Allah, saya masuk neraka karena takdir-Mu, dan saya berbuat maksiat karena terpaksa”. Ini tidak benar. Karena sesungguhnya dia tidak terpaksa, dia bisa memilih antara melakukan atau meninggalkan. Dan semua yang terjadi atas kehendak kita, akan tetapi semua kehendak kita di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“dan perkara orang ini kacau”
Maka wahai Muhammad jangan engkau ikuti orang yang seperti ini. Yaitu orang yang hanya memikirkan dunia, hatinya lalai, tidak ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mungkin lisannya menyebut Allah subhanahu wa ta’ala namun hatinya lalai, dia hanya mengikuti hawa nafsunya, dan perkaranya kacau.
فُرُطًا bisa diartikan التَّفْرِيط atau الْإِفْرَاط. التَّفْرِيط maksudnya perkaranya kurang dan tidak sempurna. Adapun الْإِفْرَاط maksudnya perkaranya berlebih-lebihan, dia sombong dan dia angkuh. Dan inilah yang dimaksud dengan فُرُطًا. ([10])
______________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 5/152
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 15/304
([3]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 8/249
([4]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 475
([5]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 475
([6]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 475
([7]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 15/305
([8]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 8/249