20. إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا۟ عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِى مِلَّتِهِمْ وَلَن تُفْلِحُوٓا۟ إِذًا أَبَدًا
innahum iy yaẓ-harụ ‘alaikum yarjumụkum au yu’īdụkum fī millatihim wa lan tufliḥū iżan abadā
20. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya”.
Tafsir :
Terdapat dua pendapat mengenai tafsir ayat diatas.
Pendapat pertama dipilih oleh As Syinqithy rahimahullah bahwasanya orang-orang zaman dahulu tidak diberi udzur karena paksaan. Maksudnya jika mereka dipaksa untuk melakukan kekufuran atau mengucapkan kekufuran mereka tidak boleh melakukannya, apapun yang terjadi, meskipun harus mati (mengorbankan nyawa). Berbeda dengan umat Muhammad shallallahu álaihi wasallam, jika dipaksa melakukan atau mengucapkan kekufuran, dengan ancaman jika tidak melakukannya maka akan dibunuh, maka boleh mengucapkan dan melakukannya, dan mereka diberi udzur. Karenanya mereka (Ashabul Kahfi) mengatakan bahwa kalau kita tertangkap maka hanya ada dua kemungkinan; (1) kalau kita bertahan dalam tauhid maka kita akan dirajam sampai mati, (2) tapi jika kita tidak bertahan dan akhirnya kita akan pura-pura kafir maka kita selamat di dunia namun kita tidak akan beruntung selama-lamanya yaitu kita akan binasa dan sengsara di akhirat. Berdasarkan pendapat ini sebagian ulama menyimpulkan bahwasanya orang-orang terdahulu kalau dipaksa berbuat syirik, tidak ada udzur bagi mereka. Berbeda dengan umat zaman sekarang, Allah memberi udzur kepada orang-orang yang dipaksa untuk berbuat syirik([1]) sebagaimana termaktub dalam firman-Nya,
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Ammar bin Yasir radhiallahu ánhu, kedua orang tuanya dibunuh, kemudian beliau dipaksa untuk mengucapkan kalimat syirik dan akhirnya beliau ucapkan namun beliau diberi udzur atas tindakan tersebut. Udzur seperti ini juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad ﷺ. Adapun umat terdahulu maka tidak ada udzur bagi mereka, meskipun dalam keadaan terpaksa mereka tetap dihukumi sebagai seorang yang musyrik.
Pendapat kedua yang dipilih oleh Al-Alusy dan As-Syirbini bahwasanya di hadapan mereka hanya ada dua pilihan; (1) mereka bertahan di atas tauhid dan bila tertangkap mereka akan dirajam sampai mati atau (2) mereka berpura-pura berbuat syirik dan dikhawatirkan perbuatan tersebut akan menjadikan mereka terbiasa dalam kesyirikan, yang nantinya lama-lama akhirnya mereka akan menganggap kesyirikan tersebut menjadi kebenaran, sehingga mereka tidak akan selamat di akhirat kelak. Berdasarkan pendapat ini bahwasanya orang yang dipaksa tetap mendapat udzur, hanya saja ketika ia dalam kondisi berpura-pura syirik lama-kelamaan dia akan terbiasa dan nantinya dia akan menganggap hal tersebut benar dan akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kesyirikan yang sebenarnya([2]).
Perkataan mereka dalam ayat ini juga menunjukkan bahwa mereka tidak merasa percaya diri dengan kekuatan iman mereka, mereka khawatir jika tertangkap kemudian di siksa mereka tidak mampu mempertahankan keimanan mereka. Hal sama seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf alaihissalam sewaktu berdoa kepada Allah ﷻ,
وَاِلَّا تَصْرِفْ عَنِّيْ كَيْدَهُنَّ اَصْبُ اِلَيْهِنَّ وَاَكُنْ مِّنَ الْجٰهِلِيْنَ
“Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.” (QS Yusuf : 33)
Sekelas Nabi Yusuf alaihissalam tidak merasa percaya diri ketika berhadapan dengan fitnah, maka hendaknya seseorang jangan terlalu percaya diri dengan fitnah. Hendaknya semampu mungkin untuk terhindar dari fitnah, ini adalah yang terbaik, baik itu fitnah syubhat maupun fitnah syahwat.
________________
Footnote :
([1]) Lihat Tafsir Adhwaul Bayan 3/251
([2]) Lihat Tafsir Al-Alusy 8/220; As-Sirojul Munir karya Al-Khotib As-Syirbini 2/358