14. وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا۟ فَقَالُوا۟ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَا۟ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهًا ۖ لَّقَدْ قُلْنَآ إِذًا شَطَطًا
wa rabaṭnā ‘alā qulụbihim iż qāmụ fa qālụ rabbunā rabbus-samāwāti wal-arḍi lan nad’uwa min dụnihī ilāhal laqad qulnā iżan syaṭaṭā
14. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.
Tafsir :
Mereka hanya berjumlah tujuh orang sedangkan mereka harus berdakwah, maka Allah kokohkan hati mereka. Sebagian ulama Tafsir menyebutkan bahwasanya Raja memanggil dan memerintahkan mereka untuk menyebutkan ajaran yang mereka bawa, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Dan ini adalah penafsiran yang senantiasa dibawakan oleh para ulama Salaf maupun Khalaf terkait ayat ini. Para ulama menyebutkan bahwasanya para pemuda tersebut aslinya adalah anak-anak para pembesar dan menteri di kerajaan Romawi. Pada suatu hari mereka keluar dari kota, mereka datang ke lapangan untuk melakukan peribadatan di sana, mereka menyembah berhala dan menyembelih untuk berhala-berhala tersebut dan mereka berpesta pora di sana. Berangkatlah mereka menuju lapangan bersama ayah-ayah mereka yang merupakan para pembesar kerajaan. Lalu ketika mereka berada di lapangan tersebut untuk melakukan peribadatan dan hari raya kepada berhala, ada salah satu dari pemuda yang tidak kuasa berada dalam kesyirikan tersebut sehingga ia keluar dari kumpulan manusia dan menyendiri di dekat pohon. Kemudian datang pemuda yang lain, kemudian disusul pemuda yang lain, sehingga mereka berjumlah sekitar tujuh orang. Semua manusia di kala itu sedang sibuk dengan kesyirikan, namun para pemuda tersebut berdiam diri di pinggiran, tidak berani saling bertegur sapa dan masing-masing menyembunyikan iman mereka. Akhirnya salah seorang dari mereka berbicara dan berkata: “Sebenarnya saya menyendiri di sini dan tidak mengikuti acara tersebut karena mereka semua berbuat kesyirikan padahal tidak patut Allah dipersekutukan, ibadah hanya boleh untuk Allah saja, sementara mereka berbuat kesyirikan dengan menyembah Allah dan menyembah yang lainnya”, lalu pemuda yang lain juga mengungkapkan pemikiran yang sama dan pemuda lainnya pun begitu. Ternyata mereka semua bertauhid kepada Allah Ta’ala. ([1])
Imam Ibnu Katsir membawakan kisah ini lalu beliau menguatkan dengan hadits Nabi ﷺ
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu berpasang-pasangan dan berkelompok-kelompok, jika mereka (bertemu) dan saling mengenal niscaya akan saling cocok satu sama lain, tetapi jika bertemu dan tidak saling mengenal maka pasti tidak saling cocok”. ([2])
Sebagaimana perkataan sebagian manusia, adakalanya seseorang baru bertemu dengan orang lain seketika langsung terjadi kecocokan antara orang tersebut. Inilah yang dimaksud dari hadits Nabi ﷺ di atas bahwa ruh-ruh itu berkelompok-kelompok. Demikian pula tujuh orang pemuda tersebut yang aslinya mereka tidak saling mengenal satu sama lain, akan tetapi “subhaanallah” seakan-akan ada yang mengilhamkan kepada mereka untuk berkumpul di bawah pohon tersebut dan ternyata mereka adalah orang-orang yang sama-sama beriman kepada Allah.
Lalu berita tentang keimanan mereka pun diketahui oleh manusia, sehingga mereka dipanggil oleh Raja di kala itu yang bernama “Daqyanus”. Lalu dihadirkan semua orang beserta ayah-ayah mereka (yang merupakan para pembesar kerajaan) lalu diajak untuk berdialog dan tatkala itulah terjadi pembicaraan yang Allah kisahkan setelah Allah kuatkan hati mereka:
إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“…di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak berdoa kepada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang menyimpang dari kebenaran”. (QS Al-Kahfi: ayat 14)
Maka pada kali ini mereka menjelaskan kepada kaumnya bahwasanya kaumnya telah berbuat kesyirikan dan sesungguhnya yang berhak diibadahi adalah Tuhan langit dan bumi saja. Dan bahwasanya tauhid rububiyyah sepatutnya melazimkan tauhid uluhiyyah. Oleh karena itu jika kaumnya meyakini bahwa pencipta alam semesta hanya Allah, yang menghidupkan dan mematikan hanya Allah dan yang menciptakan langit dan bumi hanya Allah, maka hanya Allah lah yang berhak untuk disembah. Lantas mengapa peribadatan tersebut diarahkan kepada makhluk selain Allah?
Ini adalah hal yang sangat logis, apakah berhala-berhala yang disembah tersebut yang menciptakan langit dan bumi? Apakah mayat yang ada di dalam kuburnya yang menciptakan langit dan bumi? Apakah Nabi Isa yang menciptakan langit dan bumi? Apakah berhala-berhala yang disembah yang menciptakan langit dan bumi? Apakah para jin yang dipersembahkan kepada mereka sesajian tersebut yang menciptakan langit dan bumi? Maka tentu saja jawabannya adalah: “Tidak”. Maka yang berhak disembah adalah Allah Yang menciptakan langit dan bumi.
Faedah Di Balik Penggunaan Lafal “Berdoa”
Para ulama menyebutkan bahwa dalam ayat ini Allah menyebutkan ibadah dengan lafaz doa نَدْعُوَ karena dalam bentuk doa tersebut tampak jelas bentuk peribadatan seseorang, oleh karena itu disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ:
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ العِبَادَة
“Sesungguhnya doa adalah ibadah”. ([3])
Ketika seseorang berdoa maka akan jelas hamba tersebut mengakui kehinaan dirinya dan mengakui Keagungan Tuhannya, oleh karena itu Allah senang jika hamba berdoa kepada-Nya dan dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah niscaya Dia akan murka kepadanya”. ([4])
Apakah engkau tidak butuh kepada Tuhan dan tidak mau meminta kepada Tuhan? Di antara bukti seorang hamba adalah hamba yakni dengan meminta kepada Allah Ta’ala, karena itu merupakan ibadah yang sangat agung. Jika doa ini diarahkan kepada mayit atau kepada seorang Nabi maka ini adalah hal yang berbahaya dan merupakan kesyirikan, oleh karena itu Allah berfirman di ayat yang lain:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
“Dan siapakah yang lebih tersesat dibandingkan orang yang berdoa kepada selain Allah (sesembahan) yang tidak dapat memperkenankan doa nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah) tersebut lalai dari doa-doa mereka”. (QS Al-Ahqaf: ayat 5)
Di antara syirik yang paling sesat adalah kesyirikan dalam berdoa kepada selain Allah. Kesyirikan wujudnya banyak; ada syirik menyembelih kepada selain Allah, ada syirik memakai jimat, ada syirik percaya kepada dukun, akan tetapi syirik yang paling parah adalah syirik berdoa kepada selain Allah. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan dalam doa tersebut tampak hakikat hamba kepada Tuhan nya. Karena itu dalam ayat ini para pemuda tersebut berkata:
رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“… Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang menyimpang dari kebenaran”.
_______________
Footnote :
([1]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 5/ 140-141.
([2]) HR Al-Bukhariy no 3336 dan Muslim no 2638.
([3]) HR Ahmad no 18352 dan Syaikh Al-Arna`uth mengatakan hadits ini sanadnya shahih.
([4]) HR At-Tirmidzi no 3373 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy.