12. ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًا
ṡumma ba’aṡnāhum lina’lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā
12. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).
Tafsir :
Allah menggunakan kata بَعَثْنَاهُمْ yang maknanya adalah “membangunkan/ membangkitkan” seakan-akan kebangkitan dari suatu kematian, karena tidur dalam Bahasa Arab juga dinamakan dengan kematian. Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ
“Dan Dialah yang mewafatkan kalian di malam hari dan mengetahui apa yang kalian lakukan di siang hari…”(QS Al-An’am: ayat 60), Allah menamakan tidur pada ayat ini dengan wafat, karenanya para ulama berbeda pendapat ketika menafsirkan firman Allah tentang Isa:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkan kamu dan mengangkat kamu kepada-Ku…” (QS Ali Imran: ayat 55)
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari مُتَوَفِّيكَ, apakah maknanya adalah mewafatkan beliau nanti pada akhir zaman? Ataukah menidurkan beliau lalu diangkat ke langit? Karena itu, dalam ayat ini bisa bermakna wafat dan bisa bermakna tidur.
Demikian pula dalam ayat yang lainnya, Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
“Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan mewafatkan jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan…”. (QS Az-Zumar: ayat 42)
Intinya secara bahasa Arab ‘tidur’ bisa disebut juga sebagai ‘wafat’, oleh karena itu doa seorang hamba ketika ia terbangun dari tidurnya adalah:
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kita dibangkitkan”([1]), karena tidur adalah kematian kecil.
Lalu Allah Ta’ala dalam ayat ini menggunakan kata بَعَثَ sebagaimana dalam firman-Nya:
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ
“Kemudian Kami membangkitkan mereka…”.(QS Al-Kahfi: ayat 12)
Allah menggunakan kata بَعَثْنَاهُمْ = “Kami bangkitkan mereka” sebagai contoh kecil bahwasanya Allah Ta’ala mampu membuat hari kebangkitan. Jika Allah mampu membangkitkan penghuni gua yang tidur selama 300 tahun lebih, maka Allah pun mampu untuk membangkitkan orang-orang yang telah wafat selama ribuan tahun dan menjadi tulang belulang. Maka ayat ini sebagai suatu tanda bahwasanya hari kebangkitan adalah sesuatu mudah bagi Allah Ta’ala. Allah memberikan bukti kecil pada ayat ini dimana orang yang tertidur selama lebih dari 300 tahun, yang secara logika harusnya tidak bisa bangun, namun ternyata Allah berkehendak bahwa orang-orang tersebut tidur selama 300 tahun lebih lalu dihidupkan kembali oleh Allah Ta’ala, maka demikian pula pada hari kebangkitan, Allah pun mampu untuk melakukannya. Jika Allah memberi contoh tulang-tulang yang berusia ribuan tahun hidup kembali maka hilanglah fungsi ujian beriman kepada yang ghaib, karena “hari kebangkitan” bukan lagi menjadi suatu yang perlu diimani akan tetapi telah nyata dihadapan mata.
Lalu Allah melanjutkan:
لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
“… agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu)”.(QS Al-Kahfi: ayat 12)
Allah menyebutkan dalam ayat ini ada dua kelompok yang berselisih tentang berapa lama para “ashabul-kahfi” tersebut tertidur:
- Sebagian ulama menyebutkan bahwa perselisihan tersebut maksudnya adalah antara “ashabul-kahfi” yang tertidur dengan orang-orang di luar “ashlabul-kahfi”. Mereka berselisih tentang “ashabul-kahfi” tersebut, berapa lama mereka tertidur?
- Ada juga ulama yang menyatakan bahwa yang berselisih adalah orang-orang diluar “ashabul-kahfi” yang meributkan tentang “ashabul-kahfi”.
- Sebagian ulama menyatakan bahwa yang berselisih adalah “ashabul-kahfi” itu sendiri, yaitu sesama mereka, dimana mereka berdebat tentang lama waktu mereka tertidur. Ketika mereka terbangun, sebagian mereka bertanya: “Berapa lama kita tertidur?” sebagian mengatakan : “Satu hari atau setengah hari”, sebagian lagi mengatakan: “Allah yang lebih mengetahui” sehingga Allah bangkitkan mereka agar bisa lebih mengetahui siapa yang lebih tepat hitungan tempo mereka tidur di dalam gua tersebut.([2])
________________
Footnote :
([1]) HR Al-Bukhariy no 6313 dan Muslim no 2711.
([2]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 17/ 613 dan tafsir Al-Qurthubi: 10/ 364.
Adapun firman Allah: لِنَعْلَمَ… “… agar Kami mengetahui…”.(QS Al-Kahfi: ayat 12), apakah menunjukkan bahwa Allah baru mengetahui setelah mereka bangkit? Maka tentu saja tidak demikian. Karena Allah telah mengetahui sebelumnya dan yang menakdirkan segalanya dan telah mengetahui segalanya sebelum sesuatu terjadi. Adapun maksud dari bagian ini adalah agar Kami mengetahui kejadian tersebut secara wujud riil, karena Ilmu Allah yang sebelumnya tentang akan terjadi berbeda dengan Ilmu Allah setelah terjadi, keduanya telah diketahui oleh Allah Ta’ala.
Mudahnya adalah sebagaimana perkataan seseorang: “Saya merencanakan bahwa malam ini saya akan makan sate”, saya memiliki ilmu tentang hal tersebut dan saya telah mengetahuinya, ketika saya makan sate bukankah itu sesuatu yang berbeda? Yakni pengetahuan saya ketika akan makan sate dengan pengetahuan setelah makan sate adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah pengetahuan akan makan, sedangkan yang kedua adalah pengetahuan setelah makan.
Maksudnya Allah memang telah mengetahui bahwasanya mereka akan tertidur selama 300 tahun, akan tetapi mereka belum tidur dan mereka belum dibangkitkan, Allah telah mengetahui hal tersebut dan telah mentakdirkan semuanya, akan tetapi agar Allah mengetahui dengan Ilmu tatkala mereka sudah terjadi. Sehingga berbeda antara ilmu tentang sesuatu yang akan terjadi dengan ilmu tentang sesuatu yang sudah terjadi dan keduanya telah diketahui oleh Allah Ta’ala. Sederhananya adalah seperti orang yang makan sate tadi yang sudah mengetahui bahwa dia akan makan sate dan memiliki ilmu tentang hal tersebut dan ilmu setelah dia makan sate. Sehingga ilmu dia tentang makan sate ada dua mode: ilmu bahwasanya dia akan makan sate dan ilmu bahwasanya dia telah makan sate. (Lebih lanjut baca Majmu’ Fatawa karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah: 8/496 dan Ar-Rad ala Al-Manthiqiyyin: 1/466.)