6. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
yā ayyuhallażīna āmanū in jā`akum fāsiqum binaba`in fa tabayyanū an tuṣībụ qaumam bijahālatin fa tuṣbiḥụ ‘alā mā fa’altum nādimīn
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Tafsir :
Dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala فَتَبَيَّنُوا menjelaskan bahwa jika ada orang yang fasik membawa berita maka hendaknya dicek terlebih dahulu kebenarannya, dan dalam qiraah yang lain فَتَثَبَّتُوا yang keduanya memiliki makna yang sama.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
Jangan sampai sampai seseorang mendapatkan berita yang tidak benar lalu dia mengambil analisa atau bahkan mengambil sikap terhadap suatu kaum dengan kebodohannya, maka ini sangat berbahaya, dan pastinya nanti dia akan menyesal. Hal ini sering terjadi ketika seseorang mengadakan permusuhan kepada suatu kaum atau suatu kelompok dikarenakan masuknya berita kepadanya yang belum tentu benar, lalu dengan analisanya yang salah akhirnya hal tersebut menimbulkan penyesalan karena dia sudah terlanjur mengucapkan, mencela, atau mencerca namun akhirnya diketahui bahwa hal itu salah, dan hal itu juga sudah dicatat oleh malaikat yang dia akan menyesal di kemudian hari. Maka hendaknya seseorang menahan lisannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar sambil memegang lisannya,
إِنَّ هذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ
“Sesungguhnya inilah yang membuatku celaka.” ([1])
Dan ini yang mengucapkan adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, lalu bagaimana dengan kita yang bodoh ini?
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini, namun intinya ada seorang sahabat bernama Al-Walid bin ‘Uqbah bin Abu Mu’aith,Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan beliau sebagai pengambil zakat dan Nabi mengirim beliau kepada Bani Al-Mushtaliq, sementara Bani Al-Mushtaliq saat itu baru saja masuk Islam. Maka berangkatlah al-Walid menuju Bani Al-Mushtaliq untuk menarik zakat. Ternyata dahulu ketika zaman Jahiliyyah antara suku Al-Walid bin ‘Uqbah dengan Bani Al-Mushtaliq pernah terjadi suatu masalah, akan tetapi setelah datangnya agama Islam dihilangkan itu semua. Ketika Al-Walid bin ‘Uqbah ingin mengambil zakat dari mereka ternyata Bani Al-Mushtaliq ingin menyambut utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, lalu mereka semua bangkit membawa pedang dalam rangka menyambut kedatangan utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ingin menarik zakat, lalu ada seseorang yang datang menemui Al-Walid bin ‘Uqbah mengabarkan bahwa Bani Al-Mushtaliq datang keluar membawa pedang. Akhirnya Al-Walid bin ‘Uqbah pun takut akan dibunuh, lalu Al-Walid bin ‘Uqbah pun kembali dan melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka menolak untuk diambil zakatnya bahkan mereka hendak ingin membunuhnya, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Khalid bin Al-Walid untuk mengecek keadaan mereka, jika mereka memang murtad maka mereka harus dibunuh. Lalu berangkatlah Khalid bin Al-Walid menuju mereka untuk mengecek keadaan mereka, dan sebelum Khalid bin Al-Walid mendatangi mereka dia mengirim orang untuk mengetahui kondisi mereka dan ternyata terdengar adzan di kampung tersebut dan terlihat mereka shalat secara berjamaah maka Khalid bin Al-Walid pun mendatangi mereka dan dia mendapati kebenaran berita yang disampaikan kepadanya lalu dia pun kembali menyampaikan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu turunlah ayat ini([2]).
Dan dalam riwayat lain menjelaskan bahwa Bani Al-Mushtaliq mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. ([3])
Kisah ini adalah sebagai dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu ghaib, karena seandainya beliau mengetahui ilmu ghaib maka beliau pasti langsung menyalahkan kabar Al-Walid bin ‘Uqbah dan tidak perlu beliau mengutus Khalid bin Al-Walid, akan tetapi beliau tidak mengetahuinya hingga ada yang mengecek langsung kesana dan memberikan beliau kabar tentang mereka.
Dalam ayat ini juga Allah subhanahu wa ta’ala menamakan Al-Walid bin ‘Uqbah sebagai orang yang fasik, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ “Jika seseorang yang fasik datang kepada kalian”. Ini adalah permasalahan yang dibahas oleh para ulama, sementara oleh ‘Utsman bin ‘Affan di zaman pemerintahannya beliau menjadikan Al-Walid bin ‘Uqbah sebagai gubernur di Kufah, lalu bagaimana mungkin ‘Utsman mengangkat seorang yang fasik sebagai gubernur?. Ini adalah salah satu hal yang dijadikan oleh orang-orang Syi’ah sebagai bahan untuk mencela ‘Utsman karena beliau menjadikan orang yang telah Allah subhanahu wa ta’ala cap sebagai orang yang fasik sebagai guberbur. Para ulama membantah hal ini dengan banyak bantahan di antaranya bahwa tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan bahwa Al-Walid bin ‘Uqbah adalah orang yang fasik, karena Allah subhanahu wa ta’ala dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk bertaubat, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kemungkinan penyebutan fasik dalam ayat ini adalah untuk orang yang memberikan berita kepada Al-Walid bin ‘Uqbah. Dan Al-Walid bin ‘Uqbah tidak bersalah dalam hal ini karena dia berbuat sesuai dengan indikasi yang dia dapati, bahkan Bani Al-Mushtaliq datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mereka keluar dengan pedang bukan untuk membunuh Al-Walid bin ‘Uqbah akan tetapi mereka keluar dengan pedang dalam rangka menyambut utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang intinya yang disebutkan sebagai orang yang fasik dalam ayat ini adalah orang yang memberikan berita kepada Al-Walid bin ‘Uqbah, dan seandainya yang disebut fasik dalam ayat ini adalah Al-Walid bin ‘Uqbah maka ada kemungkinan beliau telah bertaubat dan kemudian menjadi orang yang saleh terlebih lagi kesalahannya bukanlah kesalahan yang fatal, karena dia berprasangka dan ternyata prasangkanya salah, karena fasik yang sesungguhnya adalah orang yang melanggar perintah Allah subhanahu wa ta’ala, melakukan dosa besar, atau bahkan merendahkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan yang dilakukan oleh Al-Walid bin ‘Uqbah tidak termasuk dari hal tersebut. Seandainya dia orang yang fasik maka tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya sebagai pemungut zakat, dan ini semua menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang fasik. Dan seandainya kita katakan dia adalah orang yang fasik maka kemungkinan dia telah bertaubat lalu menjadi orang yang mulia sehingga ‘Utsman mengangkatnya sebagai gubernur di Kufah.
Berita bisa datang dari tiga macam orang:
Pertama: berita yang datang dari orang yang tsiqah/amanah/jujur, maka jika datang sebuah berita dari orang yang terpercaya maka wajib bagi kita untuk menerimanya, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya”, maka mafhum mukhalafahnya jika datang berita dari orang yang jujur maka tidak perlu dicek, karena dia jujur, terkenal amanah, tidak asal bicara, dan jika menyampaikan berita sudah dipastikan benar.
Kedua: berita yang datang dari orang yang kadzib/pendusta, maka jika datang sebuah berita yang berasal dari pendusta harus ditolak meskipun saat itu dia sedang jujur, karena kita tidak bisa membedakan kapan dia jujur dan kapan dia berdusta maka kapanpun datang sebuah berita yang berasal dari pendusta maka harus ditolak.
Ketiga: berita yang datang dari orang yang fasik, dan kefasikan adalah dosa besar namun tidak semua pelaku dosa besar adalah pendusta, maka jika datang sebuah berita dari orang yang fasik maka harus dicek terlebih dahulu.
Dan inilah sikap kita dalam menerima berita, lalu bagaimana dengan berita yang sering kita terima dari media sosial, youtube, facebook, atau televisi maka masuk kategori yang mana? Terkadang kita tidak mengetahui keadaan orang yang menyampaikan berita tersebut, kita tidak mengetahui apakah dia orang yang tsiqah (yaitu orang yang rajin beribadah dan tidak berdusta) atau bukan, kita tidak mengetahui apakah orang tersebut saleh yang akhlaknya baik atau tidak, bahkan kita tidak mengetahui apakah pembawa berita kafir atau muslim, maka dari semua kesimpulan ini kita dapati bahwa kebanyakan orang yang membawa berita dalam media sosial adalah bukan orang yang tsiqah karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman “fatabayyanuu/fatatsabbatuu”, faidahnya:
- Asal majhul adalah ditolak riwayat dan syahadahnya.
- Diterimanya khobar ahad. Hal ini sangat penting dalam menerima berita zaman sekarang yang penuh dengan nilai politik
Lalu apakah mereka adalah pendusta atau fasik? Maka kita juga tidak mengetahuinya, namun terkadang kita dapati bahwa ada sebagian mereka yang berdusta secara berulang-ulang maka sudah pasti untuk kita tolak beritanya. Intinya agar kita berhati-hati dalam mendengar berita, karena kita dapati sebagian orang yang menerima berita dari mana saja lalu dia membuat analisa atau pengamatan, lalu dia mulai menuduh dan akhirnya dia membenci, padahal dia tidak mengetahui dari mana sumber beritanya. Banyak hal yang penulis ketahui yang beritanya tersebar luas namun faktanya tidak seperti yang tersebar, maka penulis menasihati agar kita berhati-hati dalam menerima berita dan hendaknya kita terus menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat, jika kita bukan ahli dalam bidang politik dan juga kita bukan politikus maka jangan kita berbicara tentang politik, cukup bagi kita untuk menjadi pemimpin rumah tangga maka tidak mengapa kita berpolitik di rumah, adapun berbicara politik tentang pemerintahan maka ini tidak boleh karena ini bukan bidang kita apalagi kita ketahui dalam dunia politik tidak ada teman dan musuh abadi, maka cukup bagi kita untuk melakukan hal yang bermanfaat dan meninggalkan perkara yang bukan urusannya sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang: dia meninggalkan hal-hal yang bukan urusannya.” ([4])
Adapun jika seseorang tersebut termasuk pakar dalam bidang tersebut, memiliki ilmunya, dan memiliki sumber berita yang terpercaya maka silahkan dia berbicara tentang hal itu. Jadi dalam masalah menerima berita sangat penting, kita harus berhati-hati terhadap berita yang dibawa entah oleh satu orang, atau berita yang datang dibawa oleh sekelompok tertentu, atau berita yang datang dibawa oleh organisasi tertentu atau chanel tertentu. Jika seseorang ingin mengecek berita tertentu dan dia memiliki alat untuk mengeceknya maka silahkan jika hal tersebut dibutuhkan, adapun jika seseorang tidak memiliki alat untuk mengeceknya maka bagaimana bisa dia untuk mengeceknya? Maka hendaknya orang yang tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut agar dia melakukan perkara yang bermanfaat, betapa banyak orang zaman sekarang sibuk dengan perkara yang bukan urusannya. Hendaknya seseorang senantiasa ingat bahwa waktu terus berjalan dan tanpa sadar seseorang semakin tua, dan betapa banyak orang yang usianya sudah tua masih sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Berita-berita yang datang pada zaman sekarang ini bagi seseorang yang tidak bisa menyaringnya dan dia tidak memiliki alat untuk menyaringnya hanyalah sampah yang datang dan pergi mengotori otak seseorang yang tidak menambah cara berpikirnya, dan juga wawasan yang terlalu banyak yang tidak tersaring ini dapat bisa merusak seseorang, dan terdapat penelitian terhadap penelitian yang membuktikan hal tersebut. Hal ini dikarenakan wawasan-wawasan yang datang tersebut tidak tertata berbeda dengan orang yang belajar di sebuah universitas karena setiap wawasan yang diberikan ada aturannya dan diberikan secara bertahap hingga ketika lulus dia menjadi orang yang ahli dalam bidangnya, adapun orang yang membaca semua berita yang datang tanpa menyaringnya maka dia akan bingung sendiri. Memang benar dia akan memiliki wawasan yang bermacam-macam akan tetapi hal tersebut hanyalah cuplikan yang tidak dapat membimbingnya menjadi orang yang cerdas, dan ini adalah penyakit zaman sekarang. Maka hendaknya kita berhati-hati dalam menerima dan menukil berita, dan hendaknya kita menerima dan menukil berita dari orang yang terpercaya.
_________________
Footnote :
([1]) HR. Malik dalam kitab Muwattho’ no. 3261
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 16/311