25. إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ
iż dakhalụ ‘alaihi fa qālụ salāmā, qāla salām, qaumum mungkarụn
25. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaamun”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal”.
Tafsir :
Ketika tamu-tamu tersebut hendak menemui Nabi Ibrahim, mereka mengetuk pintu dengan berkata ‘Assalamu’alaikum’. Lalu beliau menjawab salam mereka dan menyambut mereka sebagai kaum yang beliau sendiripun tidak mengenalnya. Artinya Nabi Ibrahim sama sekali tidak menyadari bahwa tamu-tamu itu adalah para malaikat. Beliau heran, karena tamu-tamu tersebut bukan dari penghuni negerinya. Beliau tidak mengetahui sama sekali asal muasal mereka([1]), selain itu tamu-tamu ini lebih dahulu mengucapkan salam yang hal ini bukanlah kebiasaan kaum Ibrahim atau penduduk setempat di zaman tersebut([2]).
Namun, Nabi Ibrahim memiliki kebiasaan memuliakan tamu. Siapapun tamu yang datang ke rumahnya, maka beliau akan memuliakannya, entah beliau mengenalinya ataupun tidak. Selama dia mengetuk pintu rumah beliau, maka beliau akan memuliakan tamu tersebut, meskipun tidak mengenalinya sama sekali.
Di dalam ayat tersebut disebutkan (سَلَامًا) dimana dalam pembahasan Bahasa arab disebut dengan maf’ul muthlaq yang memiliki makna (نُسَلِّمُ سَلَامًا) aku mengucapkan sebuah penghormatan. Artinya para malaikat mengucapkan dan mendoakan keselamatan kepada Nabi Ibrahim. Lalu beliau menjawab dengan kata (سَلَامٌ) yang merupakan bentuk pengkhabaran. Para ulama mengatakan kata (سَلَامٌ) bentuk pengkhabaran lebih utama dari pada kata (سَلَامًا) yang merupakan bentuk mendoakan. Artinya Nabi Ibrahim menjawab dengan salam yang lebih baik dari salam yang diucapkan oleh tamu-tamunya([3]). Perbuatan ini sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya.” (QS. An-Nisa’: 86)
Jika ada seseorang yang mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’ kepada orang lain, maka hendaknya dia menjawab ‘wa’alaikumussalam’ atau menambahkannya dengan yang lebih baik yaitu ‘wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh’. Apabila dia mengucapkan salam dengan sempurna ‘Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh’, maka hendaknya dijawab dengan jawaban sempurna yang semisalnya yaitu ‘wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh’.
Janganlah seseorang ketika diucapkan salam kepadanya ‘Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh’. Lalu dia hanya menjawab dengan ‘wa’alaikumussalam’. Artinya dia telah menjawab salam yang kurang sempurna dari orang yang telah mengucapkan salam dengan sempurna kepadanya. Padahal, Allah memerintahkan untuk menjawab salam yang lebih baik atau yang semisalnya ([4]).
Demikian pula, jika ada seseorang yang memberi salam kepada orang lain dengan sapaan yang hangat dan senyum. Maka, hendaknya dia membalas dengan sapaan yang hangat disertai senyuman. Apabila dia membalasnya dengan bermuka masam, maka hal itu menunjukkan adab yang tidak terpuji.
_________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/376.
([2]) Lihat: Tafsir Ibni Áthiyyah 5/177 dan Fathul Qodiir, Asy-Syaukani 5/105
([3])Lihat : Fathul Qodiir 5/105, hal ini karena salamnya para malaikat adalah dalam bentuk doa, adapun salamnya Ibrahim kepada mereka adalah dalam bentuk khabar/pengabaran (yaitu taqdirnya bisa jadi sebagai Khobar dari mubtada’ yang dihapuskan أَمْرٌ سَلامٌ perkaranya adalah salam, atau وَاجِبٌ لَكُمْ سَلامٌ wajib atas kalian adalah salam, atau taqdirnya sebagai mubtada’ dari Khobar yang dihapuskan yaitu سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ kesalamatan atas kalian). (Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/177). Dan khabar lebih kuat dari doa, karena doa masih menunggu ijabah, adapun khabar menunjukan seakan-akan telah terjadi, atau pasti terjadi.