16. ءَاخِذِينَ مَآ ءَاتَىٰهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ
ākhiżīna mā ātāhum rabbuhum, innahum kānụ qabla żālika muḥsinīn
16. sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
Tafsir :
Para ulama menafsirkan (آخِذِينَ) “mengambil” dengan dua makna. Pertama, adalah makna hakiki yaitu mengambil. Artinya banyak sekali yang diambil oleh penghuni surga ketika berada di dalam surga, seperti buah-buahan, makanan, bidadari dan lain sebagianya. Ada juga kenikmatan lainnya yang tidak diambil dengan tangan. Terdapat kenikmatan-kenikmatan yang dilihat ataupun didengar dengan begitu indah oleh penghuni surga. Kedua, makna dari “mengambil” adalah menerima dengan ridha, suka dan puas dengan semua pemberian Allah. Di dalam surga kelak penghuni surga merasakan segala bentuk kepuasan, tidak ada penghuni surga yang tidak puas dengan kenikmatan yang Allah berikan kepada penghuni surga. ([1])
Manusia ketika berada di dunia sering merasa tidak puas, seperti ketika dia mengeluarkan banyak uang untuk membeli mobil, rumah atau menikahi seseorang, ternyata kecewa dengan kekurangan atau cacatnya. Berbeda dengan kondisi di akhirat, mereka akan merasakan segala kepuasan. Apapun yang diberikan oleh Rabb mereka, apapun yang dirasakan oleh penghuni surga, pasti mendatangkan kepuasan. Semua hal yang diinginkan, baik berupa makanan, minuman, pendengaran, penglihatan, pembicaraan atau apapun itu, maka mereka akan merasakan kepuasan.
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik.”
Sebab penghuni surga memperoleh semua kepuasan kenikmatan yang ada di dalam surga adalah karena dahulu ketika di dunia termasuk orang-orang yang berbuat baik (ihsan).([2])
Ihsan mencakup dua hal. Yaitu ihsan kepada Allah dan ihsan kepada makhluk. Pertama, Ihsan kepada Allah. Maksudnya adalah menjalin hubungan baik dengan Allah, sebagaimana Rasulullah ketika didatangi malaikat Jibril lalu bertanya tentang islam dan imam, lalu berkata:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Kabarkanlah kepadaku apa itu ihsan?” Beliau bersabda: Engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” ([3])
Hadits ini memiliki beberapa faedah yang diantaranya menjadi isyarat bahwa Allah bisa dilihat oleh hamba-hambaNya pada hari kiamat kelak.
Para ulama mengatakan bahwa derajat orang-orang yang beriman ada tiga. Pertama, adalah islam. Merupakan derajat yang paling rendah. Kedua, adalah iman. Merupakan derajat yang lebih tinggi dari islam. Ketiga, adalah ihsan. Yaitu derajat yang paling tinggi diatas islam dan iman.
Sesungguhnya seorang hamba yang telah mencapai derajat ihsan, tatkala beribadah kepada Allah. Maka, dia merasakan seakan-akan melihat Allah. Hal itu disebabkan; karena iman dan keyakinannya yang kuat kepada Rabb-nya, dia sangat merindukan dan mencintai Allah, dia merasakan begitu agungnya Dzat-Nya, hingga seakan-akan dia melihat Allah di hadapannya dan berbicara denganNya di dalam shalatnya. Dia memang tidak melihat Allah. Akan tetapi, seakan-akan dia melihatNya. Bisa dibayangkan, jika seseorang shalat dalam kondisi seperti ini, maka dia akan melaksanakan shalatnya dengan khusyu’.
Namun, jika seorang hamba tidak mampu dalam tahapan seakan-akan Allah melihatnya di dalam ibadah. Maka, hendaknya dia yakin bahwa Allah melihatnya. Mungkin ada seseorang yang tidak mampu untuk mencapai tahapan tersebut disebabkan lemahnya iman pada dirinya atau kurangnya pengagungan dirinya kepada Allah. Maka, dia bisa meraih tahapan berikutnya, yaitu meyakini bahwa Allah melihatnya setiap kali dia melaksanakan ibadah kepadaNya. Mungkin, banyak sekali orang yang mampu melakukan tahapan ini.
Hendaknya seorang mukmin selalu menghadirkan dalam dirinya muraqabah (Allah selalu mengawasi hambaNya). Jika seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah. Maka, dia akan selalu ikhlas di dalam ibadahnya, di dalam shalat dia selalu khusyu’, karena dia yakin Allah sedang melihatnya di dalam rukuknya maupun sujudnya. Allah berfirman,
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ. الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ. وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’ara’: 217-219)
Artinya seseorang ketika berdiri melaksanakan shalat, dia merasa dilihat oleh Allah. Atau ketika dia berbakti kepada orang tuanya, dia merasa dilihat oleh Allah. Atau tatkala dia sedang berbuat baik kepada istrinya dan anaknya, bersedekah kepada orang-orang fakir lagi miskin, membantu orang lain ataupun berdakwah, maka dia selalu merasa bahwa Allah sedang melihatnya.
Biasanya, orang-orang yang memiliki tipe seperti ini, yang menjadi tujuan utamanya hanya penilaian Allah terhadap dirinya. Dari sebab itulah, dia akan terhindar dari riya’. Dan sebaliknya, setiap kali dia kehilangan perasaan tersebut, maka akan dengan mudah pula dia akan terserang penyakit hati yang berupa riya’. Dia mulai mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang terhadapnya.
Jadi, hendaknya setiap orang selalu berusaha untuk mencapai derajat ihsan. Jika dia tidak mampu merasa seakan-akan melihat Allah, maka hendaknya dia yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Inilah yang dimaksud dengan derajat ihsan yang berkaitan dengan hubungan antara seorang hamba terhadap Allah.
Kedua, ihsan kepada makhluk. Maksudnya adalah menjalin hubungan baik dengan sesama makhluk. Seorang hamba hendaknya selalu berbuat yang terbaik kepada makhluk-makhluk Allah, seperti bersedekah, membantu dengan bantuan fisik, materi maupun pikiran, bertutur kata yang baik, memberikan senyuman, atau segala hal baik yang diberikan kepada makhluk-makhlukNya. Bahkan, kepada hewan sekalipun. Jika seorang hamba berbuat baik kepada hewan atau makhluk hidup lainnya, maka hendaknya dia selalu mengedepankan ihsan kepada sesama makhluk. Dan inilah diantara bentuk ihsan terhadap makhluk Allah. ([4])
____________________
Footnote :
([1]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/347.