Berbuka Puasa
Berbicara tentang fikih terkait buka puasa, maka dalam hal ini ada beberapa pembahasan di antaranya:
1. Menyegerakan berbuka puasa
Anjuran untuk segera berbuka puasa adalah untuk menyelisihi para ahli kitab dan juga Rafidhah([1]). Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”([2])
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
Agama ini akan terus tampak selama manusia menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya. ([3])
Kita bersyukur bahwasanya masyarakat kita menerapkan sunnah ini. Kita mengenal di Indonesia ketika hendak berbuka puasa di bulan Ramadan, banyak dari masyarakat kita yang berburu ta’jil, yang mana maksud dari kebiasaan tersebut adalah menyegerakan berbuka.
Dalam sebuah hadits dikisahkan, suatu hari Nabi Muhammad ﷺ sedang bersama para sahabat di sore hari ketika berpuasa. Kemudian, matahari pun terbenam, maka Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk menyiapkan hidangan berbuka. Ketika itu, langit masih terlihat kemerahan dan agak terang. Maka sebagian para sahabat menyarankan agar berbuka puasa ditunda karena langit masih terang. Nabi Muhammad ﷺ ternyata tetap memerintahkan mereka untuk menyiapkan hidangan dan berbuka. Maka setelah Nabi Muhammad ﷺ berbuka, beliau berkata,
إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana maka orang yang puasa sudah boleh berbuka (sambil beliau memberi isyarat dengan jarinya ke arah timur).”([4])
Ini menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersegera dalam urusan berbuka puasa. ([5])
2. Waktu berbuka puasa
Kapan waktu berbuka puasa? Tentu jawabannya adalah ketika bulatan matahari sudah tenggelam seluruhnya. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam hal ini, yaitu:
- Harus dalam kondisi yakin bahwa matahari sudah tenggelam. Ada banyak hal yang bisa membuat kita yakin waktu magrib telah masuk, bisa dengan melihat jam yang memang sudah disepakati jadwal berbuka puasa setiap harinya, atau bahkan dengan melihat matahari tenggelam secara langsung. Apabila seseorang masih ragu apakah matahari sudah tenggelam atau belum, dan ia pun ragu dengan waktu magrib yang ada, maka hendaknya ia tidak berbuka.
Kita memiliki kaidah bahwasanya keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan. Asalnya, seseorang yang berpuasa masih dalam kondisi siang, sehingga tidak berbuka kecuali yakin dengan persangkaan yang kuat bahwa waktu malam (magrib) telah tiba.
Namun, apabila seseorang yakin bahwa matahari telah terbenam, misalnya mungkin waktu itu sedang mendung, lalu kemudian ia berbuka, kemudian beberapa saat angin menyingkap langit dan terlihat matahari masih ada, maka tidak perlu ia mengqada puasanya. Hal ini pernah terjadi oleh para sahabat di zaman Nabi Muhammad ﷺ.
Penulis menasihatkan ini agar seseorang tidak bermudah-mudahan dalam hal ini, tetapi hendaknya seseorang yakin dengan sebab-sebab yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya dengan persangkaan belaka.
- Waktu berbuka disesuaikan dengan lokasi seseorang yang berpuasa. Contoh, apabila seseorang berada di pesawat atau berada di lantai atas dari gedung yang paling tinggi, maka jadwal berbukanya jadi lebih lambat daripada orang yang berada di darat atau yang berada di lantai satu. Kenapa? Karena semakin tinggi letak seseorang maka matahari akan semakin terlihat.
Sebaliknya, apabila seseorang telah berbuka puasa di darat, kemudian ia naik pesawat ke arah barat dan ternyata melihat matahari kembali, maka tidak perlu ia berpuasa, karena matahari sudah tenggelam saat dia sedang berbuka.
- Memperhatikan waktu ketika bersafar. Orang yang bersafar dari barat ke timur, maka waktu berbuka baginya akan semakin cepat dari tempat asalnya. Adapun bagi yang bersafar dari timur ke barat maka waktu berbuka baginya lebih lambat.
Contoh: Seperti orang yang berangkat umrah dari Indonesia ke Arab Saudi. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Arab Saudi adalah 4 jam. Maka, seseorang yang sahur di Jakarta bisa jadi sampai di Arab Saudi masih siang atau sore. Akhirnya, seseorang harus menambah waktu puasanya hingga tiba waktu magrib di Arab Saudi. Ini juga merupakan implementasi dari poin sebelumnya, bahwa seseorang berbuka menyesuaikan dengan lokasi dia saat matahari tenggelam.
3. Sunnah dalam berbuka puasa
Ada beberapa sunnah yang bisa kita lakukan ketika berbuka puasa, di antaranya:
- Berdoa ketika berbuka puasa. Doa yang masyhur di masyarakat kita ada dua, yaitu:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah.”([6])
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”([7])
Kedua doa di atas boleh diucapkan, karena asalnya kita boleh berdoa apa saja yang kita sukai.
Oleh karenanya, ketika Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k meriwayatkan hadits tentang doanya orang yang berpuasa tidak akan tertolak, maka ia pun berijtihad dengan doa yang ia pilih sendiri ketika berbuka puasa. Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar Engkau mengampuniku.”([8])
Jadi, seseorang bisa berdoa dengan doa-doa di atas atau yang lainnya. Tentunya, seseorang yang berbuka puasa di dahului dengan membaca basmalah, lalu kemudian berdoa.
- Berdoa menjelang berbuka puasa. Asalnya, doa seseorang yang berpuasa kapan saja akan dikabulkan. Sebagaimana dalam hadits disebutkan,
ثَلَاثَةٌ لَا يُرَدُّ دُعَاؤُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya; yaitu Imam yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan doa orang yang teraniaya.”([9])
Ini menunjukkan bahwasanya kapan saja seseorang yang berpuasa berdoa, maka akan dikabulkan([10]). Namun, berdoa ketika berpuasa lebih ditekankan lagi ketika menjelang berbuka puasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ
“Sungguh orang yang berpuasa mempunyai doa yang dikabulkan dan tidak akan ditolak tatkala berbuka puasa.”([11])
Berdoa menjelang berbuka puasa adalah puncak dari rasa lapar dan haus seseorang. Sehingga hati jika berdoa kepada Allah di waktu tersebut benar-benar terenyuh dan diri benar-benar menjadi rendah di hadapan Allah ﷻ. Dan kita pun tahu bahwa di antara sebab mudahnya doa terkabulkan adalah sikap hina dan rendah diri seseorang di hadapan Allah ﷻ.
Oleh karena itu, hendaknya sunnah ini kita hidupkan, yaitu berdoa menjelang berbuka puasa. Apabila hidangan telah siap, dan masih banyak waktu untuk kita bisa berdoa kepada Allah ﷻ, maka berdoalah.
- Berbuka dengan ruthab([12]), kalau tidak ada dengan kurma, kalau tidak ada maka dengan air. Demikianlah yang Nabi Muhammad ﷺ contohkan, beliau berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka dengan seteguk air. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah ﷺ biasanya berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.”([13])
Apabila ternyata kita tidak memiliki ruthab maupun tamr, maka sebagian ulama menyarankan agar menggantinya dengan hal-hal yang manis. Hal ini dikarenakan makanan yang mengandung glukosa sangat mudah untuk diserap ketika berpuasa, dan mengoptimalkan kembalinya kekuatan tubuh yang lemah([14]).
Pertanyaan, apakah berbuka dengan ruthab ataupun kurma disunnahkan dengan jumlah ganjil? Pendapat yang lebih kuat dan dipilih Syekh ‘Utsaimin r adalah tidak disunnahkan dengan bilangan ganjil, karena yang sunnah memakan kurma dengan bilangan ganjil adalah makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri dan memakan tujuh butir kurma Ajwa di pagi hari, dan secara zahir ketentuan bilangan ganjil ini tidak menjadikan seluruh hal menjadi harus dengan bilangan ganjil([15]).
Dalam hal ini pula penulis ingin menasihatkan agar kita semua memperhatikan waktu dengan baik. Jangan sampai kita malah membuang-buang waktu istimewa di sore hari menjelang berbuka puasa dengan kegiatan yang sia-sia, seperti nongkrong, jalan-jalan, menonton film, dan yang semisalnya. Padahal, di waktu tersebut kita bisa banyak melakukan amal saleh, seperti membaca Al-Qur’an dan berdoa kepada Allah ﷻ.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([1]) Lihat: Fath al-Bari (4/199).
([2]) HR. Bukhari No. 1957 dan HR. Muslim No. 1098.
([3]) HR. Ahmad No. 1098, Abu Dawud No. 2353 dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([5]) Lihat: Fath al-Bari (4/197).
([6]) HR. Abu Daud No. 2357, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya. Namun, sebagian ulama hadits yang juga mendha’ifkan hadits tersebut. Sebagian mengatakan bahwa doa ini di baca setelah berbuka, namun dibaca sebelum berbuka pun tidak jadi masalah.
([7]) HR. Abu Daud No. 2358, dinyatakan dha’if oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya dan banyak ulama lainnya pun mendha’ifkannya.
([8]) HR. Ibnu Majah No. 1753, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam ta’liqnya menyatakan bahwa sandanya shahih. Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya menyatakan sanadnya hasan (2/637). Adapun Syekh al-Albani menyatakan hadits ini dha’if.
([9]) HR. Ahmad No. 9743, Syu’aib al-Arnauth menyatakan dalam ta’liqnya bahwa hadits ini shahih.
([10]) Lihat: Hasyiyah as-Sindi (1/533).
([11]) HR. Ibnu Majah No. 1753.
([12]) Kurma yang masih basah.
([13]) HR. Abu Daud No. 2356, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([14]) Lihat: Umdah al-Qari (11/66).
([15]) Lihat: Fatawa Nur ‘ala ad-Darb li al-Utsaimin (11/2).