Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban
Fikih terkait puasa di bulan Sya’ban:
- Dianjurkan banyak berpuasa di bulan Sya’ban
Dalam sebuah riwayat disebutkan, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau paling banyak melaksanakan puasa (sunnah) kecuali di bulan Sya’ban.”([1])
- Boleh berpuasa meski telah lewat 15 Sya’ban bagi yang terbiasa puasa sunnah.
Terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama tentang masih disunnahkannya berpuasa sunnah apabila telah lewat 15 Sya’ban. Secara umum mayoritas ulama berpendapat bahwa puasa sunnah di bulan Sya’ban tetap disyariatkan meskipun telah lewat 15 Sya’ban([2]). Adapun sebagian ulama yang lain dari mazhab Syafi’iyah mengatakan makruh atau bahkan haram. ([3])
Ulama yang berpendapat haram atau makruhnya berpuasa apabila telah lewat 15 Sya’ban berdalil dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Apabila telah berlalu setengah dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa!”([4])
Namun, pendapat yang lebih kuat adalah tetap disunnahkan berpuasa sunnah meskipun telah berlalu setengah dari bulan Sya’ban. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang telah terbiasa berpuasa sebelumnya.”([5])
Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat, yang menunjukkan bahwasanya jika seseorang telah terbiasa puasa Senin-Kamis, maka tidak mengapa baginya untuk terus berpuasa hingga masuk bulan Ramadan. Dalil lain yang mendukung pendapat ini adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang telah kita sebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Apabila Nabi Muhammad ﷺ membatasi puasa hanya sampai 15 hari awal bulan Sya’ban, maka tentu puasa Nabi Muhammad ﷺ tidak dikatakan banyak lagi.
Adapun dalil yang dibawakan oleh sebagian ulama yang mengharamkan atau memakruhkan puasa setelah 15 Sya’ban, maka perlu kita ketahui bahwa beberapa ulama hadits mutaqaddimin (terdahulu) telah mengatakan bahwa hadits tersebut dhaif, di antaranya adalah Imam Ahmad rahimahullah,([6]) meskipun ulama sekarang menyatakan sahih seperti halnya Syaikh al-Albani dan Bin Baz([7]). Namun, penulis sendiri lebih condong kepada pendapat Imam Ahmad rahimahullah bahwa hadits tersebut dhaif. Wallahu a’lam.
- Tidak boleh berpuasa pada hari yang diragukan bagi yang jarang berpuasa
Sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya bagi orang yang terbiasa berpuasa, maka pendapat yang lebih kuat adalah boleh baginya untuk berpuasa hingga menjelang bulan Ramadan.
Namun, bagi orang yang tidak terbiasa puasa, lalu kemudian ingin berpuasa di bulan Sya’ban, maka hendaknya ia tidak berpuasa pada hari-hari yang diragukan, yaitu hari-hari terakhir dari bulan Sya’ban. Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada hari ini (hari yang diragukan) maka sungguh ia telah durhaka (bermaksiat) kepada Abu al-Qasim (Nabi Muhammad ﷺ).”([8])
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa pelarangan ini didasari keinginan Nabi Muhammad ﷺ tentang adanya pembeda antara bulan Sya’ban dan Ramadan. Sehingga bagi orang yang berpuasa di hari yang meragukan dengan niat kehati-hatian telah masuknya bulan Ramadan itu dilarang. Adapun orang yang terbiasa berpuasa sunnah, maka tidak mengapa dia berpuasa meskipun di hari ke-30 dari bulan Sya’ban.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
___________
Footnote:
([2]) Lihat: Fath al-Bari (4/129).
([3]) Lihat: Tuhfah al-Muhtaj (3/420).
([4]) HR. Abu Daud No. 2337, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([6]) Lihat: Al-Ajwibah al-Murdhiyah (1/333).
([7]) Lihat: Misykah al-Mashabih No. 1974 dan Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb (16/407).
([8]) HR. Abu Daud No. 2334, HR. Ibnu Majah No. 1645, HR. Tirmizi No. 686, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani.