Sejarah Puasa
Ketika puasa pertama kali diwajibkan kepada umat Islam, maka tidak seperti puasa kita pada saat ini. Menurut pendapat yang kuat, ada beberapa tahapan-tahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya:
Tahapan pertama: Wajib puasa Asyura (10 Muharam). Dahulu, hukum puasa Asyura wajib, bahkan orang Yahudi juga berpuasa pada waktu itu. Dalam riwayat Ibnu Abbas h, ketika Nabi Muhammad ﷺ memasuki kota Madinah, beliau ﷺ mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Maka ketika ditanyakan sebabnya, orang-orang Yahudi berkata,
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
“Ini adalah hari yang agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun. Lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah.”
Mendengar hal itu, maka Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa beliau dan umat Islam lebih utama mengikuti Nabi Musa n daripada orang-orang Yahudi. Maka, pada hari itu (hari Asyura) Nabi Muhammad ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.([1])
Tahapan kedua: Puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah syariat wajibnya puasa Asyura, maka tahapan selanjutnya adalah diwajibkannya puasa Ramadhan. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Namun, ketika itu berlaku aturan batas akhir makan dan menggauli istri adalah setelah shalat isya atau sebelum tidur. Sehingga, apabila ada seseorang yang telah berbuka di awal malam, kemudian tertidur, lalu kemudian terbangun di tengah malam, maka ia sudah tidak boleh lagi makan hingga magrib berikutnya.
Tentunya, puasa ketika itu menjadi amalan yang cukup berat, sampai-sampai suatu kejadian menimpa salah seorang sahabat, yaitu Qais bin Shirma h. Qais bin Shirma al-Anshari bekerja di siang hari sementara dia sedang berpuasa. Ketika pulang, ia tidak mendapati makanan di rumahnya untuk berbuka. Istrinya pun berusaha keluar mencari makanan. Qais bin Shirma pun menunggu, namun karena kelelahan maka ia pun tertidur. Karena aturan ketika itu tidak boleh lagi makan apabila telah tidur, maka ia pun kembali berpuasa esok hari tanpa berbuka. Ketika kembali bekerja keesokan harinya, ia pun akhirnya pingsan. Ketika sampai kabar tersebut kepada Nabi Muhammad ﷺ, maka turunlah firman Allah ﷻ,
﴿أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ﴾
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)([2]).
Tahapan ketiga: Berubahnya aturan puasa. Setelah turunnya sebagian firman Allah ﷻ dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 tersebut, maka berubahlah aturan puasa. Aturan tersebut berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan pasangan, makan, minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
______
Footnote: