1. يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ لَا تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li’iddatihinna wa aḥṣul-‘iddah, wattaqullāha rabbakum, lā tukhrijụhunna mim buyụtihinna wa lā yakhrujna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa tilka ḥudụdullāh, wa may yata’adda ḥudụdallāhi fa qad ẓalama nafsah, lā tadrī la’allallāha yuḥdiṡu ba’da żālika amrā.
1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Tafsir :
Firman Allah ﷻ,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
“Wahai Nabi! Apabila kalian menceraikan istri-istrimu.”
Jika kita terjemahkan ayat ini secara kata-perkata, maka arti ayat ini menjadi “Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian”. Karena dalam ayat ini terdapat kata ganti orang kedua tunggal menjadi kata ganti orang kedua jamak. Sebagian para ulama berpendapat bahwa hal ini merupakan dalil bahwasanya hukum asal yang ditujukan kepada Nabi ﷺ itu berlaku kepada umatnya([1]) karena Nabi ﷺ adalah ushwah (teladan). Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
Maka hukum asal, seluruh yang dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi ﷺ juga berlaku bagi kita. Kecuali ada dalil yang menunjukkan tentang kekhususan bagi Nabi ﷺ.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwasanya asalnya perkara cerai ini berkaitan dengan keumuman kaum muslimin([2]). Adapun surah ini Allah ﷻ buka dengan memanggil nama Nabi ﷺ dan bukan orang-orang yang beriman adalah untuk menunjukkan bahwa perkara ini adalah perkara yang besar dan jangan dipandang sebelah mata. Karena yang diajak berbicara pertama kali adalah Rasulullah ﷺ ﷺ. Karena betapa banyak orang bisa mencerai sesuai sunnah, dan banyak pula yang mencerai tidak sesuai sunnah. Mereka melanggar aturan-aturan Allah ﷻ, sehingga Allah tidak memberikan bagi mereka solusi.
Kemudian firman Allah ﷻ,
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Apabila kalian menceraikan istri-istri kalian maka hendaklah ceraikan mereka pada waktu idahnya (yang wajar).”
Yang dimaksud dengan menceraikan pada waktu idahnya yaitu menceraikan dengan talak sunnah. Talak berdasarkan waktu menjatuhkannya asalnya terbagi menjadi dua, talak sunnah dan talak bid’ah. Akan tetapi Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan ada jenis talak yang ketiga yaitu talak tidak sunnah dan tidak bid’ah.
- طلاق السنة – Talak Sunnah. Talak sunnah adalah seorang laki-laki yang menjatuhkan talak satu ketika sang wanita suci dan belum digauli, atau bisa juga laki-laki menceraikan istrinya ketika sedang hamil dan jelas kondisi kehamilannya. Maka jika seorang suami hendak menceraikan istrinya, hendaknya dia mengikuti aturan talak sunnah ini. Dan talak sunnah ini adalah talak yang syar`i, yaitu talak yang dianjurkan.
- الطلاق البدعي – Talak Bid’ah. Adapun talak bid’ah adalah yang menyelisihi talak sunnah. Dan maksud lafal bid’ah di sini adalah “haram”. Jadi talaq bid’ah maksudnya adalah talaq yang haram. Contohnya adalah langsung menalak tiga, atau menceraikan wanita suci namun telah digauli, atau menceraikan wanita dalam kondisi haid atau nifas. Maka barangsiapa yang melakukan talak dengan jenis ini, maka dia telah melakukan sesuatu yang haram, sehingga dia berdosa. Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apakah wanita yang ditalak dengan talak bid’ah itu talaknya sah atau tidak. Menurut jumhur ulama empat mazhab, meskipun talak yang dilakukan adalah talak bid’ah, jika seseorang menjatuhkannya maka talaknya tetap sah namun dia berdosa. Adapun pendapat sebagian ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah([3]) dan diikuti oleh muridnya Ibnul Qoyyim([4]), serta dirajihkan oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah bahwasanya talak bid’ah jika dijatuhkan maka tidak sah, karena itu termasuk talak yang haram, dan Allah ﷻ tidak menerima talak yang haram([5]). Intinya adalah sah atau tidaknya talak yang dilakukan, selama seseorang menalak istrinya dengan talak bid’ah maka dia telah berdosa.
- Talak tidak sunnah dan tidak bid’ah. Yang termasuk dalam talak yang tidak sunnah dan tidak pula bid’ah di antaranya adalah menceraikan wanita yang telah masuk masa menopause, atau wanita yang belum haid, atau wanita yang belum digauli. ([6])
Maka tatkala seorang suami menjatuhkan cerai kepada istrinya hendaknya dia melihat waktu idahnya, yaitu sebagaimana yang termasuk dalam talak sunnah. Dan ini merupakan dalil bahwasanya jika seseorang marah kepada istrinya, tidak boleh serta-merta dia menceraikan istrinya. Dia harus mempelajari dan melihat apakah jika dia menjatuhkan cerai tersebut termasuk talak sunnah atau talak bid’ah. Kalau sekiranya istrinya sedang haid atau dalam masa nifas, maka dia tidak boleh menjatuhkan cerai dan harus menunggu hingga suci kembali. Demikian pula tidak boleh menceraikan istrinya yang suci namun sudah digauli. Dia harus menunggu hingga haid dan suci berikutnya jika ingin menjatuhkan cerai. Kalau dia nekat untuk menceraikan dalam kondisi-kondisi tersebut, maka hukumnya haram dan dia berdosa. Adapun cerainya sah atau tidak, maka ada khilaf di kalangan para ulama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Penggalan ayat ini juga menjelaskan bahwasanya cerai adalah perkara yang halal. Kenapa talak disyariatkan? Tidak lain adalah karena ada suatu perkara yang tidak ada solusi lain selain cerai. Sehingga cerai disyariatkan untuk menghilangkan kemudharatan. Contohnya suami istri yang merasa sudah saling tidak cocok, baik karena suami yang menyimpang ataupun sang istri. Dan bisa jadi jika pernikahan terus dipertahankan maka akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar yang harus mereka jalani bertahun-tahun. Oleh karenanya syariat memberi solusi adanya talak untuk menghilangkan kemudharatan tersebut. Berbeda dalam sebagian agama yang menjadikan talak adalah hal yang tidak diperbolehkan. Tentu hal tersebut bisa menjadi musibah jika sekiranya permasalahan dalam rumah tangga tidak bisa hilang, sementara tidak bisa bercerai. Oleh karenanya talak itu disyariatkan sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah ﷻ, karena tidak seorang pun yang tahu bagaimana takdirnya dalam rumah tangganya. Bisa jadi seseorang menikah namun kemudian banyak timbul permasalahan yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cerai, maka cerai menjadi rahmat bagi mereka untuk menghilangkan kemudharatan tersebut. Tentunya talak adalah solusi terakhir, jika berbagai cara sudah ditempuh namun gagal. Pepatah arab :
آخِرُ الدَّوَاءِ الكَيّ
“Solusi terakhir adalah berobat dengan kay (menempelkan besi yang dipanaskan).” ([7])
Dan karena tujuan disyariatkannya talak adalah untuk menghilangkan kemudharatan, maka cerai tidak boleh menimbulkan kemudharatan. Karenanya tidak boleh seseorang menjatuhkan cerai dalam rangka untuk balas dendam kepada istrinya, atau seorang istri yang meminta diceraikan suaminya karena ingin balas dendam kepada suaminya. Yang demikian adalah tidak boleh, dan Allah ﷻ Maha Tahu tujuan dan niat seseorang.
Ayat ini menjelaskan tentang idahnya (kapan waktu untuk menceraikan) wanita-wanita yang telah digauli. Adapun wanita yang belum digauli maka seorang suami boleh menceraikannya kapan saja karena tidak ada masa iddah baginya. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kalian perhitungkan.” (QS. Al-Ahzab : 49)
Kemudian firman Allah ﷻ,
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Dan hitunglah waktu idah itu.”
Jika perceraian telah terjadi, maka hendaknya dia menghitungnya. Dan kata وَأَحْصُوا menunjukkan makna perhitungan dengan detail. Seorang suami jika menjatuhkan cerai kepada istrinya, dia harus tahu berapa lama idah bagi istri yang dia ceraikan dan kapan waktu idah itu selesai. Karena dibaik masa idah itu ada hak-hak yang harus ditunaikan.
Talak ditinjau dari jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu talak raj’i dan talak bain. ([8])
- Talak Raj’i.
الطَّلاَقُ الرَّجْعِيُّ Talak Raj’i adalah kondisi dimana seorang wanita ditalak namun suaminya masih bisa kembali kepadanya. Dan yang termasuk dalam talak raj’i adalah talak satu dan talak dua. Wanita yang ditalak satu atau dua, selama masa idahnya berlaku maka statusnya masih sebagai istri sehingga masih berlaku nafkah baginya baik tempat tinggal maupun makanan. Akan tetapi wanita yang sedang berada di masa idah tidak boleh digauli ataupun dinikmati. Jika seorang suami ingin menggauli istrinya, maka dia harus rujuk kepada sang istri dengan mendatangkan dua saksi. Dan sang suami berhak untuk kembali istrinya di masa idah istrinya tanpa persetujuan siapapun. Adapun jika seorang suami meninggal dalam masa idah istrinya maka sang istri mendapat warisan dari suami. Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya tentang berapa lama masa idah wanita yang diceraikan dalam keadaan dia suci,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru`.” (QS. Al-Baqarah : 208)
Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apa yang dimaksud dengan quru`. Ada yang mengatakan haid dan ada yang mengatakan suci. Akan tetapi kita mengambil pendapat yang mengatakan bahwa quru` itu adalah haid. Maka jika seorang wanita telah mengalami tiga kali haid setelah diceraikan, maka masa idah telah selesai, dan sang suami tidak bisa lagi rujuk kepada sang istri. Sang suami hanya bisa rujuk ketika wanita berada pada masa idahnya. Maka pilihan bagi sang istri yang telah selesai masa idahnya adalah dia boleh menikah dengan laki-laki lain, atau kembali kepada suaminya dengan syarat nikah ulang sebagaimana proses awal yang terdapat mahar, wali, dan saksi.
- Talak Bain.
Talak bain ada dua :
Pertama : الطَّلاَقُ البَائِنُ بَيْنُوْنَةً صُغْرَى Talaq bain (bainunah sughro). Yaitu jika seorang wanita ditalaq dengan talak satu atau talak dua, lantas habis masa íddahnya dan suaminya tidak ruju’ kepadanya. Maka tatkala itu suami tidak bisa serta merta kembali kepada sang wanita, karena sang wanita telah menjadi wanita ajnabiyah dan bukan lagi istrinya. Jika ia hendak kembali maka harus melalui proses pernikahan sebagaimana awal pernikahan. Yaitu melamar sang wanita dan seterusnya.
Termasuk Talaq Bain bainuunah sughro adalah jika seorang suami mencerai istrinya talak 1 maupun talak2 dengan menerima íwadh (ganti/upah) dari istrinya, maka suami tidak berhak untuk ruju’ (kembali kepada istrinya) meski masih dalam masa íddah([9]).
Kedua : الطَّلاَقُ البَائِنُ بَيْنُوْنَةً كُبْرَى Talak Bain (bainuunah kubro). Yaitu kondisi dimana seorang wanita ditalak tiga, pendapat yang rajih menyebutkan bahwa statusnya bukan lagi sebagai istri sehingga tidak wajib bagi sang suami untuk menyediakan tempat tinggal dan nafkah baginya. Dan jika suami meninggal dalam masa idah, maka wanita tersebut tidak mendapat warisan. Dan wanita yang telah ditalak bain bainunah kubro tidak bisa dirujuk meskipun dalam masa idahnya. Jika sang suami ingin kembali kepada istri yang ditalak bain, maka sang wanita harus menikah dan digauli oleh laki-laki lain, lalu diceraikan oleh laki-laki tersebut, lalu kemudian dia bisa kembali dengan menikahinya.
Kemudian firman Allah ﷻ,
وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
“Dan bertakwalah kepada Allah Rabb kalian.”
Maksud firman Allah ﷻ ini adalah seseorang yang menceraikan istrinya hendaknya bertakwa kepada Allah ﷻ([10]), yaitu dengan menceraikan dengan talak sunnah. Dan sudah sepantasnya kita semua bertakwa kepada Allah ﷻ dalam segala urusan, dan khususnya dalam masalah perceraian ini. Karena setelah Allah ﷻ berfirman tentang perintah cara menceraikan dengan cara yang tepat dan menghitung masa idah, Allah ﷻ kemudian memerintahkan untuk bertakwa. Artinya jika seseorang menjatuhkan cerai dengan ketakwaan maka dia akan mendapat pahala karena melakukan suatu bentuk ketakwaan. Akan tetapi kebanyakan orang menjatuhkan cerai tidak sesuai dengan sunnah sehingga akhirnya mereka tidak mendapatkan pahala dibalik perkara cerai tersebut.
Demikian juga firman Allah رَبَّكُمْ (Rabb kalian), sebagai peringatan bahwa aturan yang Allah berikan dalam masalah perceraian ini berkaitan dengan rububiyah Allah ﷻ. Ini menunjukan bahwa Allah membuat aturan ini untuk mentarbiyah (membimbing) kita, dan sesungguhnya Allah ﷻ membuat aturan karena lebih tahu tentang kemaslahatan kita. Maka kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah ﷻ yang menurunkan aturan tersebut demi kemaslahatan dan kebaikan kita.
Karenanya perkara cerai membutuhkan ketakwaan, jika seseorang tidak bertakwa kepada Allah ﷻ maka akan banyak pertikaian dan hak-hak yang tidak ditunaikan, akhirnya menjadi sumber banyak permasalahan bagi seseorang baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian firman Allah ﷻ,
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.”
Jika seorang telah menceraikan istrinya, maka hendaknya dia tidak mengeluarkan istrinya tersebut dari rumah-rumah mereka. Pada ayat ini Allah ﷻ bercerita tentang wanita yang ditalak raj’i([11]). Bahkan yang menakjubkan disini adalah Allah ﷻ menamakan rumah suami mereka sebagai rumah-rumah mereka (sang istri). Seakan-akan Allah ﷻ menjelaskan bahwa rumah tersebut milik sang istri, padahal sejatinya yang punya rumah adalah sang suami. Hal ini merupakan penekanan bahwasanya sang istri harus tetap di rumah dan jangan keluar karena statusnya masih sebagai istri. Dan dalam istilah bahasa Arab sang istri disebut Rabbatul Bait (pemilik rumah), yang artinya sang istri punya hak untuk tinggal di rumah tersebut meskipun asalnya yang punya rumah adalah sang suami.
Oleh karenanya seorang suami yang menceraikan istrinya tidak boleh memerintahkan istrinya untuk pulang ke rumah orang tuanya atau kembali ke kampung halamannya, dan tidak boleh seorang wanita yang diceraikan keluar dari rumah suaminya. Haram hukumnya bagi seorang wanita yang dicerai keluar dari rumah tanpa izin suaminya([12]). Jika dia nekat untuk keluar maka dia telah berlaku zalim dan tentunya berdosa, yaitu dia zalim kepada suaminya dan dia berdosa kepada Allah ﷻ. Dan betapa banyak kaum muslimin dan muslimat yang tidak menjalankan peraturan Allah ﷻ dalam perkara cerai ini. Jangankan pada perkara cerai, hanya masalah kecil saja masih banyak para istri yang nekat untuk kabur dari rumahnya. Padahal jika sampai tahpan dicerai saja seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya, maka tentu jika pada pertikaian kecil lebih tidak boleh lagi seorang wanita untuk keluar dari rumahnya. Adapun jika sang istri mendapat ancaman-ancaman yang membahayakan nyawanya, maka tidak mengapa dia pergi dari rumahnya ke tempat yang aman baginya.
Untuk aturan ini (tidak boleh para wanita yang dicerai keluar dari rumah) sungguh sudah banyak dilanggar oleh kaum muslimin. Betapa banyak wanita yang dicerai langsung pergi ke rumah orang tuanya. Akhirnya masalah yang ada di rumahnya kemudian berpindah ke rumah mertua dan keluarga-keluarganya, sehingga tidak menghasilkan solusi yang tepat. Padahal jika seseorang ingin agar dia mendapatkan jalan keluar dari segala permasalahannya maka ikutilah aturan Allah ﷻ. Jika seorang istri telah dicerai maka dia tidak boleh keluar dan tidak boleh dikeluarkan dari rumahnya.
Adapun firman Allah إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas), maksudnya wanita yang dicerai boleh dikeluarkan dari rumahnya jika melakukan perbuatan keji yang jelas. Diantara tafsirannya adalah ketika sang wanita jelas-jelas berzina, atau dia tidak bisa menjaga lisannya dari kata-kata yang menyakiti suaminya, atau sang wanita menyakiti hati keluarga suaminya, atau di keluar meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, maka yang demikian boleh untuk dikeluarkan dari rumah dan dipulangkan ke rumah orang tuanya atau keluarganya([13]). Akan tetapi selama tidak terjadi demikian, yaitu sang wanita tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji setelah jatuh talak, maka sang suami tidak boleh mengusir dang istri dari rumahnya, dan sang istri juga tidak boleh keluar dari rumahnya.
Kemudian firman Allah ﷻ,
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. ”
Penggalan ayat ini menjelaskan bahwasanya perceraian bukanlah hal yang sepele. Perceraian adalah perkara yang penting, sampai-sampai aturan-aturan perceraian yang telah kita bahas sebelumnya Allah sebut sebagai hukum-hukum Allah ﷻ. Dan barangsiapa yang melanggar aturan Allah ﷻ tersebut, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri dan telah menggiring dirinya kepada kebinasaan([14]), yaitu ia akan terjebak dalam kesulitan di dunia maupun di akhirat.
Kemudian firman Allah ﷻ,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui bisa jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.”
Disini Allah ﷻ memberikan solusi. Artinya Jika seseorang menceraikan istrinya dengan mengikuti aturan-aturan Allah, yaitu menceraikan sesuai dengan sunnah dan tidak mengeluarkan istrinya dari rumahnya sampai masa idahnya selesai, maka bisa jadi Allah ﷻ timbulkan suatu perkara yang baru. Yaitu tadinya sang suami benci kepada sang wanita lantas berubah menjadi tertarik kepadanya([15]). Hal ini bisa terjadi di antaranya bisa jadi sang suami setelah itu merasa iba kepada istri sehingga akhirnya dirujuk. Atau bisa jadi sang istri ketika tetap tinggal di rumahnya, dia melihat suaminya berbuat baik maka diapun juga kemudian memperbaiki dirinya, dan tatkala dia telah lebih baik dari sebelumnya maka bisa jadi suaminya kembali rujuk kepadanya. Hal ini jika keduanya bertakwa dalam menjalani perceraian, baik yang mencerai maupun yang dicerai, maka bisa jadi Allah menimbulkan perkara yang baru, yaitu yang baik bagi mereka berdua.
_____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/148
([2]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/294
([3]) Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa, Ibnu Taimiyyah 33/22-25
([4]) Lihat: Zaadul Ma’aad 5/201-220
([5]) Lihat: Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah 20/58 fatwa no 6542
([6]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/143
([7]) Lihat: Jamharatul Amtsal 1/97.
Maksudnya meskipun kay adalah bentuk pengobatan yang menyakitkan namun ia adalah obat, yaitu obat yang terakhir. Demikian pula dengan cerai, meskipun ia adalah perkara yang menyakitkan akan tetapi terkadang merupakan solusi yang terbaik untuk sebuah rumah tangga.
([8]) Lihat: Mukhtashor Al-Fiqhi Al-Islamy Fii Dhou’i Al-Quran wa As-Sunnah hal: 838
([9]) Untuk tholaq bi ‘iwadh (suami mentalak dengan menerima upah dari istri) maka para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, secara umum ada 2 pendapat :
Pertama : Perkara ini tetap termasuk talak, hanya saja hak rujuk gugur dari suami karena dia menerima pembayaran dari pihak istri. Namun karena ini termasuk talak maka tetap dihitung sebagai satu talal, dan sang wanita menjalankan ‘iddah sebagaimana ‘iddahnya wanita yang ditalak
Kedua : Perkara ini adalah khulu’, karena bentuknya adalah persis dengan khulu’ (yaitu dimana sang istri minta untuk membatalkan akad nikah dengan memberi bayaran kepada suami). Meskipun talak dengan ‘iwadh lafalnya adalah talak dari pihak suami, akan tetapi hakikatnya persis dengan khulu’ yang diminta dari pihak istri. Karenanya ini bukan termasuk talak, dan tidak dihitung sebagai talak, dan ‘iddahnya pun hanya sekali haid, sebagaimana ‘iddahnya wanita yang minta khulu’. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata :
وَالْخُلْعُ بِعِوَضٍ فَسْخٌ بِأَيِّ لَفْظٍ كَانَ وَلَوْ وَقَعَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ … وَهَذَا هُوَ الْمَنْقُولُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَصْحَابِهِ وَعَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَقُدَمَاءِ أَصْحَابِهِ لَمْ يُفَرِّقْ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ وَلَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَلَا قُدَمَاءُ أَصْحَابِهِ فِي الْخُلْعِ بَيْنَ لَفْظٍ وَلَفْظٍ لَا لَفْظِ الطَّلَاقِ وَلَا غَيْرِهِ بَلْ أَلْفَاظُهُمْ كُلُّهَا صَرِيحَةٌ فِي أَنَّهُ فَسْخٌ بِأَيِّ لَفْظٍ كَانَ
“Dan al-Khulu’ dengan membayar adalah fasakh (pembatalan akad nikah) dengan lafal apapun, meskipun dengan lafal talak yang tegas… dan inilah yang dinukilkan dari Abdullah bin Ábbas dan murid-muridnya, dan juga dinukil dari Imam Ahmad dan murid-murid seniornya. Tidak seorangpun dari salaf -termasuk Imam Ahmad bin Hanbal dan murid-murid seniornya- yang membedakan antara lafal yang satu dengan lafal yang lain dalam hal khulu’, tidak dibedakan antara lafal talak dan lafal yang lainnya. Pernyataan mereka seluruhnya tegas bahwasanya khulu’ adalah faskh (pembatalan akad nikah) dengan lafal apapun” (Al-Fataawaa al-Kubroo 5/486)
([10]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/298
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/155
([12]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/329
([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/156